BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Bangsa Indonesia pada saat ini sedang mengalami multi krisis yang salah satunya adalah krisis dalam penegakan hukum1 (law enforcement). Indikasinya ketika dalam penegakan hukum semata-mata mengutamakan aspek kepastian hukum (rechtssicherheit) dengan mengabaikan aspek keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan hukum (zweckmassigheit) bagi masyarakat. Adagium bahwa cita hukum adalah keadilan (justice) dalam konteks perkembangan abad 21 telah berubah. Abad nasionalisme modern yang mengutamakan daya nalar hampir tidak pernah memuaskan pikiran manusia tentang arti dan makna keadilan (Belanda:rechtsvaardigheit) di dalam irama gerak hukum dalam masyarakat.2 Karena jelas bahwa hukum, atau aturan perundang-undangan terutama dalam implementasinya harusnya adil (Inggris: just, Belanda:Rechtsvaardig), tetapi ternyata yang terjadi adalah ketidakadilan (unjustice). Padahal hukum terkait dengan keadilan (Latin: iustitia), namun dalam praktik di kalangan aparatur penegak hukum belum sepenuhnya menyadari hal tersebut.3
Di samping krisis dalam penegakan hukum juga terjadi kecenderungan pengabaian terhadap hukum, ketidakhormatan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Sebagai contoh, sejumlah persepsi ketidakpercayaan masyarakat pada hukum adalah
1.Adanya perangkat hukum, baik produk legislatif maupun eksekutif yang dianggap belum mencerminkan keadilan sosial (social justice);
2.Lembaga peradilan yang belum independen dan imparsial;
3.Penegakan hukum yang masih inkonsisten dan diskriminatif;
4.Perlindungan hukum pada masyarakat yang belum mencapai titik satisfactory.4
1.Satjipto Rahardjo, 2006, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 169 membedakan istilah penegakan hukum (law enforcement) dengan penggunaan hukum (the use of law). Penegakan hukum dan penggunaan hukum adalah dua hal yang berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau kepentingan lain. Menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan hukum.
2.Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, hlm. 30.
3.Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hlm. 239.
4.Sultan Hamengku Buwono X, 2007, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 275.
Hukum, dengan demikian, dianggap sebagai suatu pranata yang belum difungsikan optimal, khususnya dalam tahap implementasinya oleh lembaga penegak hukum. Dalam praktik penegakan hukum masih terdapat kecenderungan menegakkan hukum hanya dari aspek kepastian hukum dengan mengabaikan nilai keadilan (justice value), kemanfaatan bagi manusia. Menegakkan hukum yang hanya berpatokan pada kepastian hukum justru menyebabkan hukum itu kehilangan makna yang sesungguhnya yaitu hukum yang memberikan keadilan, kemanfaatan, kebahagiaan dan menjamin terpenuhinya hak asasi manusia (HAM).
Bagaimana pun juga hakikat dan inti hukum itu adalah keadilan yaitu keadilan bagi banyak orang. Para penegak hukum khususnya hakim harus bisa merasakan pesan moral di balik setiap undang-undang yaitu keadilan yang senantiasa ditunggu pencari keadilan (iustitiabelen) dan masyarakat pada umumnya. Dalam konteks itulah Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “tidak ada undang-undang yang abadi, oleh karena undang-undang itu adalah perumusan yang pasti, sementara ia harus berhadapan dengan kehidupan yang selalu berubah. Undang-undang yang terpatok pada rumusan kata-kata itu akan selalu tertinggal dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, yang justru harus dikontrol atau dikendalikannya” inilah yang disebut “De wet hinkt achter de feiten”.5
Begitu besar jumlah kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang tidak bisa diselesaikan dengan tuntas. Sepertinya hukum kehilangan nyali, hukum tidak berdaya, hukum berada dalam bayang-bayang penguasa. Pada intinya telah terjadi krisis hukum di Indonesia. Bentuk-bentuk lain krisis hukum misalnya hukum diperjualbelikan, diperdagangkan dan hukum dibisniskan, seakan-akan keadilan itu hanya milik kalangan tertentu sehingga disebut “justice (not) for all”.6 Penempatan kata “not” dalam kurung itu mencerminkan bahwa kadang-kadang dalam realitasnya keadilan bukan untuk semua orang. Padahal asasnya mengatakan bahwa keadilan untuk semua orang atau justice for all.
5.Satjipto Rahardjo, “UUD 1945, Desain Akbar Sistem Politik dan Hukum Nasional”, Makalah dalam Konvensi Hukum Nasional Tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional di Hotel Borobudur Jakarta, 15-16 April 2008, hlm. 11. Bandingkan dengan Sudikno Mertokusumo, 2006, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 113 yang kadang-kadang disebut “het recht hinkt achter de feiten aan” yang berarti hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. F.
6.X. Adji Samekto, 2008, Justice (Not) For All Kritik Terhadap Hukum Modern Dalam Perspektif Studi Hukum Kritis, Genta Press, Yogyakarta, hlm. v.
Kritik yang pernah dilontarkan oleh Pizzi terhadap kondisi pengadilan Amerika Serikat ratusan tahun yang lalu kini terjadi di Indonesia, bahwasanya pengadilan cenderung menjadi ajang untuk mencari kemenangan daripada kebenaran dan keadilan (justice and justification).7
Segala sendi kehidupan, mulai dari tatanan ekonomi, sosial, apalagi politik menjadi caru marut. Konsep hukum mendatangkan interpretasi bebas dan banyak dipelintir dengan memanfaatkan dasar aturan-aturan karet yang ada. Hampir semua kasus besar KKN yang menyebabkan kerugian negara (baik materiil maupun moril) kebanyakan lolos lewat pintu hukum yang dinamakan prosedur atau kepastian hukum.
Hal tersebut menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia khususnya terhadap pengadilan saat ini sangat rendah. Hasil survey yang dilakukan Harian Umum Kompas pada tanggal, 29-30 Agustus 2007 terhadap hakim baik di Departemen Kehakiman maupun di Mahkamah Agung (MA) menyimpulkan bahwa kinerja hakim dalam memutuskan perkara-perkara KKN tidak memuaskan.[8] Dilaporkan kinerja hakim tidak memuaskan baik di PN dan PT sebesar 79,0%, hanya 17,5% responden yang menyatakan memuaskan dan 3,5% menyatakan tidak tahu. Kinerja hakim agung dilaporkan, hanya 21,0% responden menyatakan puas, 72,8% menyatakan tidak puas dan 6,2% tidak tahu.
Hasil-hasil survey yang rutin dilakukan Harian Umum Kompas pada tahun-tahun sebelumnya juga menyimpulkan tingkat kepuasan yang kurang lebih sama. Ini berarti sedang terjadi masalah krisis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan yang saat ini menjadi keprihatinan nasional. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah “mengapa penegakan hukum di era reformasi cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan”?
7.Satjipto Rahardjo, 2009, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing, hlm. 95.
Profesi penegak hukum berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan keamanan ketertiban masyarakat yang berkeadilan. Penghormatan terhadap martabat manusia merupakan landasan tujuan penegakan hukum. Penegakan hukum sebagai bagian dari sistem hukum, yang tidak bisa dipisahkan dengan substansi hukum dan budaya hukum.Hukum sebagai gejala sosial yang dikaji kedalam variabel independen memberikan pengaruh pada berbagai kehidupan sosial, sedangkan kehidupan sosial ini menjadi dependent variabel. Hukum sebagai independent variabel, dapat dikaji secara law in action serta legal impact.
Penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari sejarah maupun struktur sosial masyarakatnya. Hukum dan masyarakat terkait erat dan saling mempengaruhi dilihat dari segi penegakan hukum, berarti hukum juga akan tertarik ke dalam pengaruh dari konfigurasi kekuasaan dalam masyarakat. Akhirnya apabila hukum dituntut untuk memperlakukan setiap anggota masyarakat secara sama, pada saat yang sama hukum justru dihadapkan kepada keadaan yang tidak sama.
Diantara pekerjaan penegakan hukum, pekerjaan Kepolisian adalah yang paling menarik, karena didalamnya banyak keterlibatan manusia dalam pengambilan keputusan. Polisi pada hakekatnya sebagai hukum yang hidup, karena di tangan Polisi tersebut hukum mengalami perwujudannya, terutama dibidang pidana. Apabila hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat dengan melawan kejahatan. Akhirnya Polisi akan menertibkan secara konkrit apa yang di sebut sebagai penegak ketertiban.
Oleh karena latar belakang tersebut diatas, maka Penulis mencoba membuat makalah dengan judul “Polri sebagai Lembaga Profesi Penegak Hukum di Indonesia”.
PERMASALAHAN
1.Apakah pelaksanaan juklak, juknis tentang penyelidikan dan penyidikan sudah menjamin bahwa penegakan hukum sesuai dengan etika profesi Polisi ?
2.Penegakan hukum yang sudah dijiwai etika profesi Polisi, apakah bertujuan memenuhi rasa keadilan ( Aristoteles, Justianus, Mill dan lain-lain)
3.Apakah bertujuan kemanfaatannya ? (Jeremy Bertham, Jhon Stuart Mill ) Apakah bertujuan kepastian hukum ?
4.Sesuai Etika Profesi Polisi, apakah tujuan penegakan hukum keadilan , kemanfaatan dan kepastian hukum ( Gustav Radbruch ), seperti apa yang bisa dipraktikkan di Indonesia ?
5.Dan lain – lain yang terkait .
BAB II
TEORI DAN KONSEP
A.PENEGAKAN HUKUM
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya. Apakah kita akan membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subjeknya maupun objeknya atau kita batasi hanya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya, hanya menelaah aspek-aspek subjektifnya saja. Makalah ini memang sengaja dibuat untuk memberikan gambaran saja mengenai keseluruhan aspek yang terkait dengan tema penegakan hukum itu.
B.UTILITARIANISME KLASIK
John Stuart Mill, yang lahir di London, 20 Mei 1806, merupakan salah satu tokoh Utilitarianisme yang terkenal dalam menelurkan konsep kebebasan, yang dituangkan secara komprehensif di dalam bukunya On Liberty. Mill adalah anak dari James Mill dan murid dari seorang utilitarian ternama, Jeremy Bentham.
Utilitarianisme adalah sebuah teori yang diusulkan oleh David Hume untuk menjawab moralitas yang saat itu mulai diterpa badai keraguan yang besar, tetapi pada saat yang sama masih tetap sangat terpaku pada aturan-aturan ketat moralitas yang tidak mencerminkan perubahan-perubahan radikal di zamannya
Utilitarianisme secara utuh dirumuskan oleh Jeremy Bentham dan dikembangkan secara lebih luas oleh James Mill dan John Stuart Mill. Prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan atau Manfaat’ (the principle of utility). Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas yang menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia juga merupakan ukuran moralitas.
Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy Bentham, James Mill dan, anaknya, John Stuart Mill, dapat diringkas dalam tiga proposisi berikut:
a.Pertama, semua tindakan mesti dinilai benar-baik atau salah-jelek semata-mata berdasarkan konsekuensi atau akibatnya.
b.Kedua, dalam menilai konsekuensi atau akibat itu, satu-satunya hal yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Jadi, tindakan-tindakan yang benar adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan terbesar ketimbang penderitaan.
c.Ketiga, dalam mengkalkulasi kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan, tidak boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain.
C.KEADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM
Menurut teori etis hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. Dengan perkataan lain, Hukum menurut teori ini bertujuan merealisasi atau mewujudkan keadilan. Francois Geny (1861-1959) termasuk salah seorang pendukung teori ini. Fokus perhatian utama dari prinsip keadilan adalah nasib anggota masyarakat yang paling kurang menguntungkan.8 Penerapan prinsip keadilan inilah yang menjadi parameter penilaian masyarakat terhadap kinerja hakim. Itulah sebabnya, Soetandyo Wignjosoebroto memosisikan keadilan (justice) sebagai jantungnya hukum.9
8.Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 77.
9.Winarno Yudho, 2002, “Sosok Guru dan Ilmuwan yang Kritis dan Konsisten”, Kumpulan Tulisan Peringatan 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jakarta, hlm. 100.
Salah satu pilar atau tuntutan reformasi adalah terjadinya penegakan hukum yang konsekuen dan tidak terkontaminasi oleh kekuasaan. Sebab, proses penegakan hukum, sebenarnya bukan terjadi pada tahap aplikasi/ pelaksanaan hukum (law enforcement) saja, tetapi bisa dimulai pada tahap formulasi (tahap pembuatan undang-undang). Sementara itu Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum adalah merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum.10
Upaya penegakan hukum juga merupakan bagian dari penerapan hukum yang semestinya dapat berjalan selaras dengan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat sangat dipengaruhi oleh rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum pada dasarnya harus memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi upaya penegakan hukum tersebut, yaitu meliputi (1) materi hukum (peraturan/perundang-undangan); (2) aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat dan lembaga pemasyarakatan); (3) sarana dan prasarana hukum dan (4) budaya hukum (legal culture).11
Budaya hukum meliputi di dalamnya cita hukum masyarakat, kesadaran hukum masyarakat, dan etika profesi para aparat penegak hukum. Ketertiban masyarakat dapat terwujud jika ada wibawa hukum. Di satu sisi, terciptanya wibawa hukum sangat dipengaruhi oleh kesadaran hukum, sementara kesadaran hukum (Belanda: rechtsbewustzyn, Inggris: sense of justice) sangat dipengaruhi oleh rasa keadilan (Inggris: sense of justice) masyarakat. Di lain sisi, wibawa hukum juga sangat dipengaruhi oleh wibawa aparatur penegak hukum, sedangkan wibawa aparatur penegak hukum sangat dipengaruhi oleh terpenuhi atau tidaknya rasa keadilan masyarakat.
Relevan dengan hal tersebut, Romli Atmasasmita, menegaskan bahwa terdapat empat masalah mendasar yang mendesak dan segera harus diselesaikan, yaitu meliputi reaktualisasi sistem hukum, penataan kelembagaan aparatur hukum, budaya hukum, dan pemberdayaan birokrasi.12
10.Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 24.
11.Sudibyo Saleh, “Komitmen Supremasi Hukum di Tengah Kemajuan Masyarakat Indonesia”, Makalah yang disampaikan dalam Dialog Nasional Profesional Aparat Penegak Hukum dalam Pelaksanaan di Tengah Masyarakat yang Bersih dan Berwibawa, Jakarta, 11 Oktober 2004, hlm. 5-6.
12.Harkristuti Harkrisnowo, 2003, “Reformasi Hukum di Indonesia: Quo Vadis”? Kumpulan Artikel Hukum di Web-Site “http”//www.hukumonline.com” dalam buku Analisis Hukum 2002, Jangan Tunggu Langit, Runtuh. Cetakan Pertama, PT Justika Siar Publika, Jakarta, hlm. 30-31.
Dalam kaitan dengan pemberdayaan birokrasi itu penting diketahui ciri-ciri pemerintahan yang baik (Good Governance). UNDP mengemukakan ciri-ciri pemerintahan yang baik adalah (1) partisipasi, bahwa setiap warga negara baik langsung maupun melalui perwakilan, mempunyai suara dalam pembuatan keputusan dalam pemerintahan; (2) aturan hukum (rule of law), kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama untuk HAM; (3) transparansi, yang dibangun atas dasar kebebasan arus informasi, informasi dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan serta dapat dipahami dan dimonitor; (4) ketanggapan (responsiveness), yang berarti bahwa berbagai lembaga dan prosedur-prosedur harus berupaya untuk melayani setiap stakeholder dengan baik dan aspiratif; (5) orientasi pada konsensus, artinya governance yang baik menjadi perantara kepentingan – kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas; (6) kesetaraan (equity), artinya semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraannya; (7) efektivitas dan efisiensi, penggunaan sumber-sumber secara berhasil guna dan berdayaguna.13
Oleh karena itu, tujuan penegakan hukum yang paling utama adalah untuk menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Gustav Radbruch (1878-1949) menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiang penyanggah penegakan hukum. Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yaitu menekankan dan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.14 Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata, melainkan lebih merupakan urusan perilaku manusia. Kepastian hukum itu menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan. Sebelum itu, selama ribuan tahun, apabila kita berbicara mengenai hukum, maka kita lebih banyak berbicara mengenai keadilan.15
13.Sudibyo Saleh, Op. Cit.. hlm. 7.
14.Theo Huijbers, 1999, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 163.
15.Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 84-85.
D.RESPONSIF DAN PROGRESIF DALAM PENEGAKAN HUKUM
Penegakan hukum yang responsif dapat dikatakan sebagai “conditio sine quanon” saat ini, jika ingin hukum tetap dianggap sebagai panglima dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Istilah hukum sebagai panglima yang berarti hukum berada di garis depan yang mampu merespon nilai-nilai keadilan dalam masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
Philippe Nonet & Philip Selznick mengintroduksi tipologi hukum responsif (responsive law) sebagai hukum negara yang mampu merespons dan mengakomodasi nilai, prinsip, tradisi dan kepentingan masyarakat, sehingga mencerminkan sistem pemerintahan demokratis yang dianut oleh pemerintah yang sedang berkuasa, khususnya dalam implementasi kebijakan pembangunan hukumnya.16
Pengembaraan mencari hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang terus berkelanjutan. Sebagaimana yang dikatakan Jerome Frank (1889-1957) tujuan utama kaum realis hukum adalah untuk membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial.17 Suatu hukum yang responsif masih harus diperjuangkan dalam tataran implementasi, agar tidak bertentangan dengan keadilan dan dimensi HAM. Untuk itu diperlukan suatu hukum progresif terutama dalam implementasinya. Jadi ada korelasi yang sangat erat antara hukum responsif dengan hukum progresif. Hukum di satu sisi mengakomodasi kepentingan dan keberpihakan kepada masyarakat dan di lain sisi lebih berani dan maju dalam penegakannya terutama oleh aparatur penegak hukum.
Agar terwujudnya suatu penegakan hukum yang progresif, maka dibutuhkan hukum progresif.18 Atas dasar itulah Satjipto Rahardjo menawarkan teori hukum progresif.
16.Philippe Nonet & Philip Selznick, 2007, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, hlm. 83.
17.Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 1105 menjelaskan kata progresif berarti ke arah kemajuan, berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politik), bertingkat-tingkat naik (tentang aturan pemungutan pajak dan sebagainya). Lihat juga John M Echols dan Hassan Shadily, 2008, Kamus Inggeris – Indonesia, An English – Indonesian Dictionary, PT Gramedia, Jakarta yang menjelaskan bahwa kata progresif berasal dari Bahasa Inggris yaitu“progressive” yang berarti “maju” (kata sifat), dan orang yang menyukai kemajuan (kata benda).
18.Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”,makalah Dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007, hlm. 11.
Inti dari hukum progresif terletak pada berpikir dan bertindak progresif yang membebaskannya dari belenggu teks dokumen hukum, karena pada akhirnya hukum itu bukan untuk teks hukum, melainkan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.19
Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia.20 Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.
Kualitas hukum, ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi “hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat.21 Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memilikki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum.
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.22
Dalam perkembangannya, setidaknya dapat diidentifikasi beberapa karakter hukum progresif yang diharapkan menjadi tipe hukum yang mampu memberi jalan bagi pembangunan hukum di Indonesia di masa yang akan datang, yaitu hukum progresif menganut paradigma (1) hukum diciptakan untuk kesejahteraan manusia; (2) pluralisme hukum; (3) sinergi atas kepentingan pusat dan daerah; (4) koordinasi; dan (5) harmonisasi
19.Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan)”,Makalah disampaikan pada acara jumpa alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang tanggal, 4 September 2004, hlm. 4.
20.Ibid.
21.Satjipto Rahardjo, ”Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan)”,Artikel dalam News Letter Kajian Hukum Ekonomi dan Bisnis No. 59 Desember 2004, hlm. 1-14.
22.Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional “Solusi Permasalahan Hukum Pasca Bencana Gempa dan Tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam”, diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro bekerjasama dengan AusAID dan Bappenas, Semarang 31 Mei – 2 Juni 2005, hlm. 1-9.
hukum. Asas yang menjadi dasar penerapannya adalah (1) asas persatuan; (2) asas kesamaan derajat; (3) asas desentralisasi; (4) asas otonomi dan (5) asas fungsional.23
Pada tataran praktis, maka pelaksanaan dekonstruksi hukum sebagai bagian dari aplikasi tipe hukum progresif dilakukan dengan kegiatan menumbuhkan dan menyebarkan kesadaran tentang kebutuhan bangsa Indonesia terhadap tipe hukum progresif dalam kehidupan berhukum di Indonesia. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan sosialisasi hukum progresif ke berbagai kalangan yang meliputi (1) kalangan akademisi/Perguruan Tinggi; (2) kalangan aparat pemerintah; (3) kalangan praktisi hukum dan (4) kalangan masyarakat umum.24
Hukum progresif tidak berpikir semata-mata menurut “legal way” tetapi lebih daripada itu menurut “reasonable way”. Apabila terjadi kebuntuan, maka hukum progresif melakukan cara alternatif yang kreatif, di atas menjalankan hukum “to the letter”.25 Inti dari hukum progresif terletak pada berpikir dan bertindak progresif yang membebaskannya dari belenggu teks hukum, melainkan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.26 Hukum yang menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat hanya akan tercapai jika kembali membaca dengan cermat konstitusi dasar kita yaitu UUD 1945. Membaca Pembukaan UUD 1945 adalah membaca sebuah pesan mendasar dalam pembangunan hukum, yaitu agar hukum kita tetap menjadi Indonesia. Inilah yang oleh Satjipto Rahardjo disebut sebagai “Indonesia Bersatu” atau Indonesia Incorporateditu. Hukum (dan lain-lain) di Indonesia masih belum benar-benar mengindonesia. Desain sistem hukum kita sesungguhnya masih kuat berwatak Barat, mulai dari kosmologi, struktur, maupun kulturnya. Pembukaan UUD 1945 tidak mengamanatkan agar hukum kita menjadi liberal dan individualis, melainkan kekeluargaan dan kebersamaan. Itulah cara Pembukaan merumuskan watak kontekstualisme hukum kita.27
23.Satjipto Rahardjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 195.
24.Satjipto Rahardjo, Konsep dan Karakteristik……..Op. Cit, hlm. 10.
25.Ibid.
26.Satjipto Rahardjo, UUD 1945, Desain……, Op. Cit., hlm. 16. Baca juga Satjipto Rahardjo, “Membangun “Indonesia Incorporated”, Artikel dalam Harian Umum Suara Pembaruan, 21 September 2000.
27.Soetandyo Wignjosoebroto. “Hukum Progresif: Apa yang Harus Dipikirkan dan Dilakukan Untuk Melaksanakannya”, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007, hlm. 3.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, hukum progresif bukanlah hukum yang berproses balik ke era pra-positivisme, dengan langkah-langkah strategiknya untuk membangun kembali substansi hukum berdasarkan postulat-postulat moralisme seperti yang dulu dianut paham aliran naturalisme yang mempercayai adanya higher norms atau grundnorm.28 Hukum (yang) progresif adalah suatu sistem hukum yang berkembang secara progresif untuk beradaptasi dengan tuntutan perkembangan kehidupan yang dalam alam empiriknya tak bisa disangkal, ialah perkembangan yang disebut globalisasi, yang kalaupun menjurus ke terbentuknya one world tetapi toh full of differences, yang berdasarkan berbagai bukti globalisasi ini pada hakikatnya adalah juga merupakan proses glokalisasi.29
E.MANFAAT DAN KEPASTIAN HUKUM DALAM PENEGAKAN HUKUM
Hukum, keadilan dan kesejahteraan rakyat adalah tiga kata kunci untuk terwujudnya manfaat dan kepastian hukum dalam penegakan hukum yang menghasilkan masyarakat yang adil dan makmur. Hal tersebut dapat ditelusuri dari Pembukaan UUD 1945. Eksistensi negara hukum (rechtsstaat) Republik Indonesia sebagaimana tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mengarah kepada kebahagiaan rakyat Indonesia sebagai manusia. Alinea kedua Pembukaan UUD dinyatakan: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Selanjutnya dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 dinyatakan:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
28.Ibid.
29.Satjipto Rahardjo, 2007, Mendudukkan Undang-Undang Dasar, Suatu Pembahasan dari Optik Ilmu Hukum Umum, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 88-89.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Oleh karena itu, yang menjadi tugas negara dalam hal ini pemerintah selanjutnya adalah mengimplementasikan amanat UUD 1945 dalam berbagai produk hukum yang di dalamnya terkandung muatan dan tujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dengan perkataan lain, hukum hendaknya membuat bahagia”. Dalam konteks itu patut dipertanyakan, kita bernegara hukum untuk apa? Masyarakat ingin agar hukum juga aktif memberi perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya. Untuk itu negara ikut campur tangan secara aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraaan masyarakat. Ini yang dikenal sebagai “Negara Kesejahteraan” (welvaartstaat). Oleh karena itu, Pemerintah harus cermat melihat pesan moral dibalik UUD 1945.30
Dalam konteks itulah Benjamin Nathan Cardoso (1870-1938) dan Roscoe Pound (1870-1964) menyetujui suatu perkembangan bebas hukum berkat kegiatan para hakim, asal mereka memperhatikan tujuan hukum, yakni kepentingan umum.31 Di Jerman pandangan ini disebut “Recht ist was dem volke nutzt”, hukum adalah apa yang berguna bagi rakyat,32 hukum itu, penyokong kebahagiaan”.33
Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat, “hukum untuk manusia” bermakna juga “hukum untuk keadilan”. Ini berarti, bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum.34 Hakikat hukum ialah membawa aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit, inbreng van recht). Semua arti lain menunjuk ke arah ini sebagai arti dasar segala hukum.35
30.Theo Huijbers, 1999, Filsafat Hukum dalam………Op. Cit., hlm, 180.
31.Theo Huijbers, 1999, Filsafat Hukum dalam………Op. Cit., hlm, 180.
32.Ibid.
33.Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2006, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV KITA, Surabaya, hlm. 74.
34.Ibid. hlm. 57.
35.Theo Huijbers, 1999, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 77.
Berkaitan dengan menyediakan aparatur penegak hukum guna menunjang penegakan hukum yang berkeadilan, penulis teringat akan apa yang dikatakan B. M. Taverne, seorang pakar hukum negeri Belanda, yang terkenal dengan kata-katanya yang berbunyi, “geef me goede rechter, goede rechter commissarissen, goede officieren van justitieen, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken” artinya “berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang baik, maka aku akan berantas kejahatan meskipun tanpa secarik undang-undang pun”. Dengan perkataan lain, “berikan padaku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun saya bisa mendatangkan keadilan.36 Artinya, bagaimana pun lengkapnya suatu rumusan undang-undang, tanpa didukung oleh aparatur penegak hukum yang baik, memiliki moralitas dan integritas yang tinggi, maka hasilnya akan buruk.37
Ungkapan tersebut hendak mengingatkan bahwa cita hukum yaitu keadilan untuk terwujudnya keejahteraan masyarakat akan tercapai jika ditunjang oleh aparatur penegak hukum yang memahami jiwa dan semangat undang-undang yang pada level yang lebih tinggi untuk kebahagiaan manusia”. Dalam kaitan dengan itu, Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM), mengatakan “Salus populi suprema lex esto”, hendaknya kesejahteraan rakyat menjadi hukum tertinggi.38
Seperti halnya Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya telah mendorong orang untuk berpikir tentang kehadiran suatu ilmu hukum yang khusus menyoroti negara-negara tersebut. Suatu kumpulan karangan yang disunting oleh Marasinghe dan Conklin pada tahun 1984 diberi judul “Kumpulan Karangan mengenai Perspektif Dunia Ketiga dalam Ilmu Hukum”. Dalam kata pengantar buku tersebut ditulis, bahwa pembicaraan mengenai Dunia Ketiga dalam ilmu hukum termasuk ke dalam kategori ilmu hukum terapan. Dalam ilmu hukum yang demikian tekanan diberikan kepada masalah yang secara karakteristik dihadapi oleh negara-negara tersebut, seperti (1) masalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau membangun perekonomian; (2) pengangkatan harkat kemanusiaan di tengah-tengah proses perubahan sosial; dan (3) penyatuan berbagai komuniti etnik ke dalam satu masyarakat.39
36.Satjipto Rahardjo. Membedah Hukum……Op. Cit. hlm. 6.
37.Satjipto Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum …….., Op. Cit., hlm. 103.
38.B. J. Marwoto, H. Witdarmono, 2004, Proverbia Latina, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hlm. 237.
39.Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 232.
Intinya adalah penekanan pada penegakan hukum berkeadilan yang di Indonesia yaitu terciptanya kesejahteraan masyarakat atau yang sering disebut dengan “masyarakat yang adil dan makmur”. Oleh karena itu, pemerintah yang mengemban tugas negara dalam membuat undang-undang harus sungguh-sungguh memperhatikan 2 (dua) hal yang telah dijelaskan di atas yaitu hukum hendaknya membuat sejahtera dan bahagia masyarakat serta hukum yang diciptakan harus berpihak kepada masyarakat dan itulah yang disebut “hukum untuk manusia”.
Dalam rangka terwujudnya kesejahteraan masyarakat, maka posisi pemerintah sebagai pengayom dan pengemban kesejahteraan masyarakat sangat strategis. Relevan dengan hal ini tepatlah apa yang dikatakan Caius Suetonius Tranquillus (71-135) bahwa “Boni pastoris est tondere pecus, non deglubere”, tugas gembala yang baik adalah mencukur ternaknya bukan mengulitinya. Artinya seorang penguasa mempunyai kewajiban menyejahterakan masyarakatnya, bukan menyengsarakan mereka yang berasal dari kelompok marginal.40
Hukum melalui penegakannya yang berkeadilan seyogianya memegang peranan penting dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat (bonum commune communitatis) atau untuk kebaikan umum (pro bono publico). Jeremy Bentham dan John Stuart Mill merumuskannya dengan kalimat “The greatest happiness of the greatest number”,41 bahwasanya tujuan hukum adalah untuk memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada jumlah sebanyak-banyaknya. Sesungguhnya hukum pada hakikatnya untuk mengantarkan masyarakat kepada kesejahteraan dalam hidupnya, yang oleh Jeremy Bentham disebut kebahagiaan. Hanya saja, di kebanyakan negara terutama di negara-negara berkembang peranan tersebut belum menjadi kenyataan, demikian juga di Indonesia, hukum belum berkeadilan yang berperan dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.
Kondisi tersebut di atas menggugat eksistensi hukum yaitu menjaga ketertiban dan memberikan keadilan. Muncul pertanyaan, “hukum untuk masyarakat” atau “masyarakat untuk hukum”? Memilih yang pertama menimbulkan suasana yang dinamis, sedang yang kedua statis danstagnant atau macet.42 Eksistensi hukum dalam banyak kasus justru menyebabkan penderitaan masyarakat khususnya masyarakat kelompok marginal seperti kaum buruh dan hanya menguntungkan kelompok elit.
40.B. J. Marwoto, H. Witdarmono, Op. Cit., hlm. 33.
41.J. W. Harris, 1989, Legal Philosophies, Butterworths, London, hlm. 36. Lihat juga Roscoe Pound, 1989, Pengantar Filsafat Hukum,Brahtara, Jakarta, hlm. 42.
42.Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain………Op. Cit., hlm. 43.
Di samping itu hukum juga tidak mampu membebaskan masyarakat yang mengalami penderitaan akibat kebijakan (beleid) pemerintah yang keliru. Padahal Roscoe Pound (1870-1964) sudah mengingatkan dengan teorinya yaitu “law as tool of social engineering” bahwa hukum berfungsi sebagai alat perekayasa (pemberdayaan) sosial. Hukum itu ditandai olehnya sebagai suatu jenis teknik sosial (social engineering) atau kontrol sosial (social control) di dalam suatu masyarakat politik, yakni dalam negara. Tujuannya ialah untuk sebaik-baiknya mengimbangi kebutuhan-kebutuhan sosial dan individual yang satu dengan yang lain.43
Sebagai bagian dari keluarga ilmu, maka ilmu hukum tidak dapat dipikirkan terlepas dari perkembangan ilmu pada umumnya. Garis perbatasan ilmu itu sudah bergeser. Pergeseran-pergeseran ini barang tentu tak dapat diabaikan atau dianggap tidak ada oleh ilmu hukum. Ilmu hukum juga memerlukan pencerahan yang datang dari pergeseran-pergeseran tersebut di atas.44 Kita tidak akan pernah berbicara tentang hukum jika di dalamnya tidak terkait dengan manusia. Berbicara tentang hukum berarti berbicara tentang tujuan hukum yaitu untuk manusia. Dengan adanya hukum, maka yang ingin dicapai adalah pemberdayaan manusia yaitu nilai-nilai keadilan, kesejahteraan dan pada tahap yang paling tinggi adalah kebahagiaan bagi manusia. Pada hakikatnya hukum dimanfaatkan untuk menghasilkan sebesar-besarnya kesenangan atau kebahagiaan bagi jumlah orang yang terbanyak.45
F.TEORI TUJUAN HUKUM
Hukum senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Dalam masyarakat sering terjadi konflik oleh sebab itu diperlakukan suatu aturan untuk mengatur kepentingan antara manusia dalam masyarakat. Dalam sosiologi hukum dikenal teori konflik yang menekankan bahwa setiap masyarakat merupakan subjek dari perubahan sosial, dan perubahan ini terdapat dimana-mana. Setiap masyarakat pasti mengalami pertikaian dan konflik. Setiap elemen masyarakat memberikan sumbangan disintegrasi dan perubahan dan setiap masyarakat berdasarkan pada paksaan yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lain.
43.Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam……Op. Cit., hlm. 180.
44.Satjipto Rahardjo, Mengajarkan Keteraturan dan Menemukan Ketidak-teraturan (Teaching Order Finding Disorder), Pidato Mengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 15 Desember 2000, hlm. 7.
45.Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang, hlm. 25.
Hukum memiliki tujuan yang jelas. Ada begitu banyak grand theory tentang apa yang menjadi tujuan hukum. Achmad Ali membagi grand theory tujuan hukum menjadi teori barat (teori klasik dan modern), teori timur dan teori Islam.
1.Teori Barat
Teori Barat dibagi menjadi teori klasik dan teori modern dimana teori klasik meliputi teori etis, teori utilitis dan teori legalistik sedangkan teori modern meliputi teori prioritas baku dan teori prioritas kasuistik. Teori klasik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Teori etis dimana tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan keadilan (justice).
b.Teori utilitis dimana tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kemanfaatan (utility).
c.Teori legalistik dimana tujuan hukum semata-mata untuk mewujudkan kepastian hukum (legal certainty).
Sedangkan Teori Modern dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.Teori prioritas baku dimana tujuan hukum mencakupi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
b.Teori prioritas kasuistik dimana tujuan hukum mencakupi keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum dengan urutan prioritas, secara proporsional sesuai dengan kasus yang dihadapi dan ingin dipecahkan.
2.Teori Tujuan Hukum Timur, teori ini tidak menampakkan kepastian tetapi hanya menekankan pada tujuan bahwa keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian. Jadi berbeda dengan tujuan hukum Barat, maka tujuan hukum bangsa-bangsa Timur yang masih menggunakan kultur hukum asli mereka.
3.Teori Hukum Islam, pada prinsipnya bagaimana mewujudkan kemanfaatan kepada seluruh umat manusia yang mecakupi kemanfaatan dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Gustav Radburch seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan adanya tiga ide dasar hukum yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat hukum, juga diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherkeit). Radburch mengajarkan bahwa diperlukan penggunaan asas prioritas dalam menentukan tujuan hukum itu, dimana prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah kepastian hukum.46
G.POLRI SEBAGAI PENEGAK HUKUM
Polri sebagai penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum (anggota Polri) itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:
1.Institusi penegak hukum (Polri) beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
2.Budaya kerja yang terkait dengan anggota Polri, termasuk mengenai kesejahteraan anggota Polri, dan
3.Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaan Polri maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja Polri, baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya.
Upaya penegakan hukum oleh Polri secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
46.http://bunga-legal.blogspot.com/2010/02/teori-tujuan-hukum.html
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum oleh Polri di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu :
1.Pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’),
2.Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan
3.Penegakan hukum (the enforcement of law).
4.Ketiganya membutuhkan dukungan adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable).
Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, ‘the administration of law’ itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan (vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum Polri tersebut dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja
1.Penyelidikan dan Penyidikan
a.Tinjauan Tentang Penyelidikan dan Penyidikan
Ketentuan umum yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan tentang pengertian penyidik dan penyidikan yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidikan sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah meletakkan tanggung jawab fungsi penyidikan kepada instansi kepolisian. Akan tetapi tidak semua pejabat kepolisian dapat memegang jabatan sebagai penyidik. Seorang pejabat kepolisian harus memenuhi syarat kepangkatan untuk dapat diberi jabatan sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal yang dimaksud, kedudukan dan kepangkatan penyidik yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum.
b.Penyelidik
Menurut Pasal 1 butir 4 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan. Pasal 4 KUHAP menegasakan lagi, bahwa Penyelidik adalah setiap polisi Negar Republik Indonesia.
c.Penyelidikan
Menurut Pasal 1 butir 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Apabila penyelidik mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga sebagai tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan (Pasal 102 ayat (1) KUHAP). Kemudian penyelidik mengumpulkan data dan fakta yang berhubungan dengan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana tersebut. Berdasarkan data dan fakta yang diperoleh penyelidik tersebut, penyelidik menentukan apakah peristiwa itu benar merupakan tindak pidana dan apakah terhadap tindak pidana tersebut dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan (H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1992: 20-21).
Untuk dapat menentukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana benar-benar merupakan suatu tindak pidana penyelidik harus dapat mengindentifikasi suatu peritiwa sebagai tindak pidana. Secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan suatu tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang untuk dilakukan dan diabaikan, yang apabila dilakukan atau diabaikan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang. Dengan demikian setiap tindak pidana harus mengandung unsur melawan hukum dan ats perbuatan tersebut dianccam dengan pidana. Sedangkan untuk dapat menentukan suatu tindak pidana dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan, harus tersedia bukti permulaan atau bukti yang cukup (H. Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, 1992 : 21-27).
d.Penyidikan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Menurut M. Yahya Harapan (1998 : 99-100) pengertian penyidikan adalah suatu tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.
Dalam bahasa Belanda penyidikan disejajarkan dengan pengertian opsporing.Menurut Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.(Andi Hamzah, 2000 :118).
Maka berdasarkan beberapa pengertian diatas disimpulkan bahwa penyidikan merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahap pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi peradilan pidana karena apabila dalam proses penyidikan tersangka tidak cukup bukti dalam terjadinya suatu tindak pidana yang di sangkakan maka belum dapat dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan di dalam persidangan.
Penyidikan sebagai bagian terpenting dalam Hukum Acara pidana yang pada pelaksanaannya kerap kali harus menyinggung mertabat individu yang dalam persangkaan kadang-kadang wajib untuk dilakukan. Suatu semboyan penting dalam Hukum Acara Pidana yaitu hakikat penyidikan perkara pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang seharuskan dibebankan padanya. Oleh karena tersebut sering kali proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis diusahakan dari penghentian penyidikan.
Penyidikan mulai dapat dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenag dalam instansi penyidik,di mana penyidik tersebut telah menerima laporan mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. Maka berdasar surat perintah tersebut penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya dengan menggunakan taktik dan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum.
Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, dimana penuntut umum nantinya akan memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum, bila belum maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi untuk dilakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk penuntut umum dan bila telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tesebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka dapat di lanjutkan prosesnya ke persidangan.
e.Penyidik
Menurut Pasal 1 butir 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan dalam Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan dua macam badan yang dibebani wewenang penyidikan adalah Pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, selain dalam ayat (1) undang-undang tersebut dalam ayat (2) ditentukan bahwa syarat kepangkatan pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai kepangkatan penyidik yang memeriksa perkara maka berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (1) ditetapkan kepangkatan pejabat polisi menjadi penyidik yaitu sekurang-kurangnya pembantu Letnan dua polisi (ipda), sedangkan bagi pegawai sipil yang dibebani wewenang penyidkan adalah berpangkat sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau disamakan dengan itu.
Pengangkatan penyidik itu sendiri dilakukan oleh instansi pemerintah yang berbeda-beda, untuk penyidik Pejabat polisi Negara diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain.Sedangkan penyidik pegawai sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawahi pegawai tersebut.Wewenang pengangkatan tersebut dapat dilimpahkan pula oleh Menteri Kehakiman , dimana sebelum pengangkatan Menteri Kehakiman terlebih dahulu meminta pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Andi Hamzah, 2000 :78).
Selain terdapat penyidik seperti yang telah di jelaskan di atas, berdasarkan Pasal 10 KUHAP terdapat pula penyidik pembantu. Penyidik pembantu berdasarkan Pasal 10 ayat (1) KUHAP adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (1) pasal 3 ini disebutkan bahwa syarat kepangkatan diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 3 Tahun 1983 yaitu pada Pasal 3 yang memuat bahwa yang disebut penyidik pembantu adalah pejabat polisi Republik Indonesia yang berpangkat sersan dua dan pejabat Pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
Pekerjaan polisi sebagai penyidik dapat dikatakan berlaku seantero dunia.Kekuasaan dan wewenang (power and authority) polisi sebagai penyidik sangatlah penting dan sulit. Di Indonesia sendiri penyidik sangatlah penting peranannya karena polisi memonopoli penyidikan hukum pidana umum (KUHP) yang berbeda dengan negara-negara lainya dimana hal ini dapat terjadi karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang mempunyai adat istiadat yang berbeda (Andi Hamzah, 2000 :78).
f.Kewenangan Penyidik
1.Kewenangan Penyidik di Indonesia
Penyidik sebagai mana yang dimaksud dalam pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP ) berwenang untuk:
a)Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana Ketentuan dalam pasal 1 butir 25 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa pengaduan yaitu pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan.
Laporan yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).
b)Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian
Kegiatan penyidikan yang pertama kali dilakukan oleh penyidik dalam mengungkap suatu kejahatan pada saat di tempat kejadian adalah menemukan barang bukti maupun bekas-bekas kejahatan yang tertinggal pada tempat kejadian pekara (TKP) atau bagian-bagian terjadinya kejahatan. Barang bukti pertama yang dicari oleh penyidik adalah menemukan sidik jari pelaku kejahatan, hal ini termasuk dalam lingkup hukum acara pidana.
c)Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka Kewenangan ini penting dimiliki oleh penyidik , karena berkaitan dengan adanya orang yang dicurigai yang mengharuskan penyidik mengambil tindakan memberhentikan guna melakukan pemeriksaan dan meminta keterangan. Namun dalam hal orang yang dicurigai tidak mengindahkan peringatan penyidik maka penyidik pun tidak dapat melakukan upaya paksa yang dibenarkan undang-undang. karena kalau akan melakukan penangkapan harus ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi misalnya adanya surat perintah penangkapan.
d)Melakukan Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, dan Penyitaan
Penangkapan menurut Pasal 1 butir 20 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Penahanan menurut Pasal 1 butir 21 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Disamping itu terdapat syarat-syarat penahanan, yaitu:
(1)Syarat Subjektif
(a)kekhawatiran tersangka/ terdakwa akan melarikan diri
(b)kekhawatiran tersangka/ terdakwa merusak/ menghilangkan barang bukti
(c)kekhawatiran tersangka/ terdakwa mengulangi perbuatannya kembali
(2)Syarat Objektif
(a)tindak pidana yang dilakukan diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih
(b)kurang dari 5 tahun akan tetapi dikecualikan oleh Undang-Undang, Pasal 21 Ayat (4) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Penggeledahan terdiri dari 2 jenis yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan badan. Penggeledahan rumah menurut pasal 1 butir 17 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Penggeledahan badan menurut pasal 1 butir 18 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
Penyitaan menurut pasal 1 butir 16 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyitaan adalah serangkain tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,berwujud dan atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Disamping itu menurut pasal 39 KUHAP ditentukan bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
(1)Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana
(2)Benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya
(3)Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
(4)Benda yang khusus di buat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
g.Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis)
Petunjuk – petunjuk dalam pelaksanaan dan teknis penyelidikan maupun penyidikan yang terdapat dalam KUHAP antara lain :
Pasal 102
(1)Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
(2)Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf b.
(3)Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.
Pasal 103
(1)Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu.
(2)Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.
Pasal 104
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya.
Pasal 105
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a. BAB XIV
Pasal 106
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.
Pasal 107
(1)Untuk kepentingan penyidikan, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan.
(2)Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3)Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 108
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
Pasal 109
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Pasal 110
(1)Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
(2)Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.
(3)Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
(4)Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
Pasal 111
(1)Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik.
(2)Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.
(3)Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai.
(4)Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud di atas selesai.
Pasal 112
(1)Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut.
(2)Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.
Pasal 113
Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya.
Pasal 114
Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Pasal 115
(1)Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.
(2)Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka
Pasal 116
(1)Saksi diperiksa dengan tidak disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan.
(2)Saksi diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3)Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.
(4)Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut.
Pasal 117
(1)Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun.
(2)Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.
Pasal 118
(1)Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang memberi keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2)Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan tanda tangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 119
Dalam hal tersangka dan atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan, pemeriksaan terhadap tersangka dan atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik di tempat kediaman atau tempat tinggal tersangka dan atau saksi tersebut.
Pasal 120
(1)Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
(2)AhIi tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.
Pasal 121
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi, keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara.
Pasal 122
Dalam hal tersangka ditahan dalam waktu satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan dan harus mulai diperiksa oleh penyidik.
Pasal 123
(1)Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu.
(2)Untuk itu penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu.
(3)Apabila dalam waktu tiga hari permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik.
(4)Untuk itu atasan penyidik dapat mengabulkan permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis tahanan tertentu.
(5)Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat tersebut di atas dapat mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat.
Pasal 124
DaIam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini.
PasaI 125
Dalam hal penyidik melakukan penggeledahan rumah terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada tersangka atau keluarganya, selanjutnya berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam PasaI 33 dan Pasal 34.
Pasal 126
(1)Penyidik membuat berita acara tentang jalannya dari hasil penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5).
(2)Penyidik membacakan lebih dahulu berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun tersangka atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
(3)Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 127
(1)Untuk keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.
(2)Dalam hal ini penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidak meninggalkan tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.
Pasal 128
Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita.
Pasal 129
(1)Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua Iingkungan dengan dua orang saksi.
(2)Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang darimana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.
(3)Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
(4)Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.
Pasal 130
(1)Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak dan cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik.
(2)Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut.
Pasal 131
(1)Dalam hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya, penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar dan sebagainya dan jika perlu menyitanya.
(2)Penyitaan tersebut dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 129 undang-undang ini.
Pasal 132
(1)Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
(2)Dalam hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipergunakan sebagai bahan perbandingan.
(3)Dalam hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta tidak dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 131, penyidik dapat minta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan menyerahkan tanda penerimaan.
(4)Dalam hal surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak menjadi bagian dari suatu daftar, penyimpan membuat salinan sebagai penggantinya sampai surat yang asli diterima kembali yang dibagian bawah dari salinan itu penyimpan mencatat apa sebab salinan itu dibuat.
(5)Dalam hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam surat permintaan, tanpa alasan yang sah, penyidik berwenang mengambilnya.
(6)Semua pengeluaran untuk penyelesaian hal tersebut dalam pasal ini dibebankan pada dan sebagai biaya perkara.
Pasal 133
(1)Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2)Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3)Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pasal 134
(1)Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2)Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. (3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Pasal 135
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal 134 ayat (1) undang-undang ini.
Pasal 136
Semua biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Kedua Bab 14 ditanggung oleh negara.
2.Etika Profesi Polisi
Polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib (order) dan hukum. Kepolisian nasional di Indonesia disebut Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri. Polri bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia.
Tugas Polri adalah melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, yang seharusnya dapat menjadi contoh disiplin bagi masyarakat. Namun, anggota Polri tetaplah manusia biasa, masih banyak anggota Polri yang melakukan pelanggaran kedisiplinan.
Berikut merupakan beberapa pelanggaran kedisiplinan yang dilakukan oleh anggota Polri:
a.Pelanggaran disiplin ringan:
Tidak membawa surat kelengkapan data diri; pelanggaran perilaku; pelanggaran ketertiban penggunaan seragam Polisi, atribut dan kelengkapannya; pelanggaran performance; pelanggaran kelengkapan kendaraan bermotor; pelanggaran atas penggunaan inventaris dinas; lupa membawa surat izin senjata api atau inventaris dinas yang dipinjam pakaikan; ke luar kantor pada jam dinas tanpa izin pimpinan.
b.Pelanggaran disiplin berat:
Mangkir atau tidak melaksanakan tugas atasan (disersi); melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih dari tiga bulan; berbuat asusila; ikut terlibat dan/atau memback-up dalam suatu tindak pidana/kejahatan yang terorganisasi; penyalahgunaan wewenang dan/atau jabatan.
Sanksi yang dijatuhkan untuk pelanggaran disiplin yang sifatnya ringan berupa tindakan disiplin, sedangkan untuk pelanggaran disiplin berat berupa hukuman disiplin. Etika kepolisian merupakan sarana untuk mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai seorang polisi, yang kemudian dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat; mencapai sukses penugasan; membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar membentuk partisipasi masyarakat; mewujudkan polisi yang profesional, efektif, efesien dan modern, yang bersih dan berwibawa, dihargai dan dicintai masyarakat.
Pelanggaran terhadap etika kepolisian pun kerap terjadi. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran kode etik profesi Kepolisian Republik Indonesia meliputi pelanggaran terhadap etika kepribadian, etika kenegaraan, etika kelembagaan, serta etika dalam hubungan dengan masyarakat.
Proses penegakan kode etik profesi Kepolisian Republik Indonesia dilakukan melalui tahapan pemeriksaan pelanggaran disiplin. Pemeriksaan pelanggaran disiplin merupakan tindak lanjut dari penerimaan laporan, tertangkap tangan dan temuan oleh petugas yang dilakukan dalam bentuk kegiatan berupa pemanggilan terperiksa dan saksi, pembuatan berita acara pemeriksaan atau BAP, dan pemeriksaan saksi ahli.
Proses persidangan pelanggaran disiplin anggota Polri melalui beberapa tahap, yaitu tahap persiapan sidang, pelaksanaan sidang, serta pelaksanaan putusan sidang.
BAB III
PEMBAHASAN
A.Apakah pelaksanaan juklak, juknis tentang penyelidikan dan penyidikan sudah menjamin bahwa penegakan hukum sesuai dengan etika profesi Polisi ?
Juklak dan Juknis tentang penyelidikan dan penyidikan apabila dilaksanakan dengan benar akan menjamin bahwa penegakan hukum sesuai dengan etika profesi Polisi, namun apabila hal tersebut tidak diimbangi dengan mental dan moral baik dari para penyidik maka pelaksanaan penegakan hukum akan menjadi tidak sesuai dengan etika profesi Polri. Disamping itu apabila pelaksanaan Juklak dan Juknis tersebut mengutamakan kepastian hukum maka secara tidak langsung akan mengesampingkan nilai-nilai lainnya seperti keadilan dan kemanusiaan.
Oleh karena itu dalam proses penyidikan, perlu segera dilakukan perubahan-perubahan mendasar dengan mencari akar permasalahan yang menghambat proses tersebut, baik terhadap aparat penyidiknya, ketentuan-ketentuan hukum dan petunjuk pelaksanaannya serta cara-cara yang dilakukan dalam proses dimaksud, untuk mewujudkan penyidik yang mandiri dan profesional.
Kemandirian penyidik disini dimaksudkan bahwa dalam melaksanakan tugas penyidikan tidak terpengaruh dan atau dipengaruhi oleh pihak lain, bebas dari keterpengaruhan politis, bahkan oleh penguasa negara dan pimpinan sekalipun. Selanjutnya konsep profesionalisme penyidik secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kemahiran penyidik dalam melaksanakan tugas, fungsi dan peranannya di dukung oleh pengetahuan dan keterampilan, wawasan serta ethos kerja yang tinggi, dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun taktik dan teknik penyidikan secara benar dan tepat berdasarkan hukum dan Perundang-undangan yang berlaku.
Revitalisasi proses penyidikan Polri untuk mewujudkan supremasi hukum, tentunya perlu pembenahan beberapa aspek yang berkaitan dengan penegakan hukum yaitu aspek Perundang-undangan, aspek aparat penegak hukum, sarana dan prasarana serta budaya, masyarakat. Keempat aspek tersebut saling mempengaruhi yang satu dengan yang lainnya. Dalam rangka pencapaian hasil penyidikan yang optimal, efektif dan efisien, tentunya pembenahan keempat aspek itu tidak dapat dilaksanakan sekaligus, tapi perlu pengaturan dan pemikiran prioritas yang tepat, bertahap dan berlanjut.
Untuk itu Revitalisasi proses penyidikan Polri perlu memprioritaskan pembenahan kultur penyidik, terutama yang berkaitan dengan moral dan etika agar tidak melukai dan merugikan masyarakat pencari keadilan. Disamping itu perlu perubahan perilaku, dari sikap membela penguasa menuju ke pembelaan rakyat yang benar serta merubah sistem yang berlaku yang telah diatur dalam KUHAP dan petunjuk-petunjuk penyidikan yang tidak efisien. Dengan melalui perubahan-perubahan diatas diharapkan terwujud sosok penyidik yang profesional, bersih, berwibawa dan dicintai rakyat yang dilindungi, diayomi dan dilayani. Langkah-langkah tersebut akan tercermin pada integritas pribadi setiap penyidik/ penyidik pembantu yang mampu menjamin reputasi, legitimasi, maupun kredibilitas penyidik secara utuh.
Sehubungan dengan pembahasan tersebut diatas, maka strategi Revitalisasi proses penyidikan Polri yang perlu dilaksanakan sebagai berikut :
a.Kembali kepada jati diri Polri selaku aparat penegak hukum sesuai visi dan misinya, dengan mengutamakan perubahan perilaku penyidik. Perilaku penyidik yang mendesak harus dirubah adalah perilaku penguasa (arogan) dan pemerasan atau meminta imbalan uang dan atau barang dalam menangani perkara.
b.Pendekatan pencapaian tujuan hidup sejahtera dengan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya harus dirubah dengan pola hidup prasaja dan berbudi luhur sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam Tribrata. Untuk itu aparat penyidik / penyidik pembantu harus dikembalikan jati dirinya menjadi pembela rakyat yang dirugikan orang lain, pelindung semua warga dan pelurus warga yang tersesat perbuatannya, dengan memahami dan menghayati kembali moral dan etika profesi kepolisian. Setiap insan penyidik/penyidik pembantu harus memiliki kepribadian moral yang kuat dan menghayati secara mendalam, norma-norma bagi penegak hukum disamping Perundang-undangan dan taktik serta teknik penyidikan.
c.Budi luhur yang mendasari kepribadian yang kuat dan mantap adalah sebagai berikut :
1)Kejujuran.
Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran. Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tanpa kejujuran keutamaan-keutamaan moral lainnya akan kehilangan nilainya. Ada dua sikap jujur yang penting: pertama, sikap terbuka; kedua, sikap fair atau wajar. Sikap yang pertama mendasari kesediaan penegak hukum untuk melayani pencari keadilan secara seimbang dan tidak diskriminatif. Sikap kedua, yaitu sikap berlaku wajar sebagai sesama warga negara, menghindarkan diri dari perilaku angkuh dan berlebihan, sehingga cenderung untuk otoriter dan berlaku kasar/ menindas terhadap orang lain, bertindak sewenang-wenang karena berkuasa.
2)Nilai-nilai Autentik
Autentik berarti : kita menjadi diri kita sendiri. Manusia autentik adalah manusia yang menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadiannya yang sebenarnya. Dalam diri para penegak hukum, autensitas pribadi tersebut misalnya: tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat penyidik selaku anggota masyarakat dan warga negara, tidak mengisolir diri dari pergaulan sosial, bersikap mendahulukan kepentingan klien serta tugas dan kewajibannya, berani berbuat sendiri bukan karena semata-mata telah diperintahkan oleh atasan atau karena peraturan/ketentuan yang diberlakukan baginya, berani berinisiatif secara bijaksana.
3)Kesediaan untuk bertanggung jawab.
Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional di dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Ini berarti :
a)Kesediaan untuk melakukan apa saja yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Contoh : sikap tidak diskriminatif yang wajib dilakukan dalam pelayanan oleh penyidik.
b)Bertindak secara proporsional. Misalnya : tidak dibenarkan dengan sengaja membebani klien dengan biayabiaya yang tidak perlu.
c)Tidak membatasi perhatiannya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya saja, melainkan merasa bertanggung jawab bilamana saja ia diperlukan.
d)Kesediaan untuk meminta dan untuk memberikan pertanggung jawaban atas tindakan-tindakannya, atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Jika ia lalai, ia bersedia untuk dipersalahkan dan tidak melemparkan tanggung jawab kepada orang lain, apalagi bawahannya.
4)Kemandirian moral.
Yang dimaksudkan adalah bahwa penyidik tidak begitu saja ikut-ikutan dengan pandangan-pandangan moral di lingkungannya, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri, serta bertindak sesuai dengannya. Misalnya : perilaku moral yang didasarkan pada perasaan malu, oportunis, malas, emosi, pertimbangan untung rugi. Mandiri secara moral berarti bahwa penentuan sikap kita tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas; atau kita mungkin tidak akan pernah dapat rukun hanya demi kebersamaan, apalagi kalau sampai melanggar keadilan. Dalam hal ini seorang penyidik harus memiliki integritas moral, dalam arti segala pertimbangan moral harus melandasi tugas-tugas profesionalnya. Pertimbangan moral profesional ini harus diselaraskan dengan nilainilai sopan santun serta nilai-nilai agama.
5)Keberanian moral.
Keberanian moral pada prinsipnya merupakan kemampuan untuk selalu membentuk penilaian terhadap suatu masalah moral atas dasar keutamaan intelektual. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam atau melalui kesediaan untuk mengambil resiko konflik. Keberanian semacam ini misalnya terungkap dalam : sikap para penegak keadilan atau para penegak hukum untuk menolak segala macam bentuk tindak korupsi atau penyuapan.
6)Kerendahan hati
Dalam bidang moral, kerendahan hati tidak hanya berarti kita menyadari akan keterbatasan diri kita sendiri, melainkan juga sadar akan kemampuan kita sendiri untuk memberikan penilaian moral yang terbatas. Jadi atas dasar kesadaran ini, kita tidak perlu memutlakan pandangan moral kita sendiri pada orang lain. Tanggung jawab moral yang nyata menuntut juga sikap realistis dan kritis. Ini dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan untuk menciptakan suatu keadaan masyarakat yang member peluang kepada setiap anggota masyarakat untuk hidup secara lebih bebas (Lih. Magnis-Suseno, 1987, hal 141-150).
Disamping kriteria kepribadian moral yang kuat, para penyidik/ penyidik pembantu juga wajib mentaati norma-norma bagi penegak hukum pada umumnya, terutama dalam menggembalakan hukum, menyusun serta memelihara hukum. Norma-norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu :
1)Kemanusiaan.
Norma kemanusiaan menuntut penyidik untuk senantiasa memperlakukan manusia secara manusiawi, sebab dia memiliki kedudukan keluhuran budi. Mereka harus dihormati sebagai pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Hukum yang ada harus dilihat sebagai pembatasan kebebasan setiap orang untuk menjadikannya benar-benar bebas, pandangan tersebut menjadi dasar dalam rumusan hak-hak manusia yang azasi. Jadi, didalam kehidupannya manusia selalu berusaha untuk menyesuaikan sikap dan tingkah lakunya terhadap dunia dan lingkungannya untuk menjaga nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat.
2)Keadilan
Keadilan adalah kehendak yang kekal untuk memberikan kepada orang lain apa saja yang menjadi haknya. Seseorang disebut adil bila ia dapat mengenali dan mengakui yang lain, yang berbeda dari dirinya sendiri. Keadilan itu dapat ditentukan didalam kehidupan bersama antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Untuk memenuhi rasa keadilan, seorang penyidik dituntut untuk mentaati ketentuan-ketentuan dan norma-norma secara hukum dan secara moral.
3)Kepatutan
Kepatutan adalah hal yang wajib dipelihara dalam pemberlakuan Undang-Undang dengan maksud untuk menghilangkan ketajamannya. Hukum pada hakekatnya berlaku umum, namun dalam realitas hidup manusia, banyak terdapat hal-hal yang tidak mungkin disebut dengan ukuran umum/universal. Pemberlakuan hukum pada dasarnya untuk mengoreksi perbuatan seseorang. Namun dalam banyak hal, yang patut itu belum tentu adil menurut hukum. masalah tersebut perlu dilihat dari sebab-sebab yang melatar belakangi perbuatan seseorang. Disamping banyak hal yang belum diatur dalam hukum. Oleh sebab itu, kepatutan juga wajib dipelihara dalam pemberlakuan hukum dan Perundang-undangan dengan maksud untuk mengurangi dan bahkan menghilangkan ketajaman hukum itu sendiri. Perubahan aspek budaya penyidik ini akan secara langsung ditanggapi oleh masyarakat, baik dengan pujian, perasaan puas atau sebaliknya dengan celaan atau kekecewaan masyarakat.
d.Percepatan Revisi KUHAP dan Petunjuk-petunjuk Penyidikan.
Aturan-aturan tertentu dalam KUHAP baik yang berkaitan dengan penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan/ penyitaan dan pemeriksaan saksi-saksi/ tersangka serta penyerahan berkas BAP banyak yang tidak efisien dan menjadi beban penyidik, yang akhirnya menghambat proses penyidikan dan bahkan berakibat terabaikannya perlindungan hak azasi baik tersangka, korban maupun saksi.
Dengan penyederhanaan prosedur penyidikan melalui revisi KUHAP, memberi dasar dan peluang bagi Polri untuk menyederhanakan petunjuk-petunjuk teknis dan petunjuk-petunjuk penyidikan lainnya guna mewujudkan proses penyidikan yang efektif, efisien, cepat, murah dan sederhana. Diharapkan proses penyidikan yang akan datang tidak lebih dari dua puluh hari dan berkas tidak lebih dari lima belas lembar. Sehingga penggunaan sumber daya organisasi baik yang menyangkut dana, personil, peralatan dan waktu akan dapat dihemat dan digunakan untuk menangani perkara-perkara yang lebih banyak lagi. Agar ide-ide efisiensi KUHAP dapat diterima oleh pemerintah, DPR dan masyarakat, perlu langkah-langkah untuk mencari dukungan baik dari lingkungan akademisi, masyarakat maupun anggota DPR itu sendiri.
B.Penegakan hukum yang sudah dijiwai etika profesi Polisi, apakah bertujuan memenuhi rasa keadilan ? ( Aristoteles, Justianus, Mill dll)
Penegakan hukum yang sudah dijiwai etika profesi Polisi bertujuan memenuhi rasa keadilan sesuai dengan Teori Aristoteles yang mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis yang bukanlah bawaan alamiah ‘manusia sempurna’ versi Socrates, bukan pula mutu ‘kaum terpilih’ (aristocrat) model Plato. Perasaan sosial-etis ada dalam konteks individu sebagai warga Negara (polis). Formulasinya tentang keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam yang dianggapnya sebagai prinsip keadilan utama, yaitu: Honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere (hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan memberi kepada tiap orang bagiannya).
Tahun 527 – 322 SM ; (1) Kaisar Romawi, Flavius Anacius Justianus menciptakan peraturan hukum modern yang terkodifikasi, ‘Corpus Iuris’ sebagai jaminan atas keadilan dan hak-hak asasi manusia. Sehubungan dengan keadilan, Ulpianus (200 SM), seorang pengemban hukum kekaisaran Romawi pernah menuliskan “Íustitia Est Constants Et Perpetua Voluntas Ius Suum Cuique Tribuendi” yang mengandung makna bahwa keadilan adalah kehendak yang bersifat tetap dan yang tak ada akhirnya untuk memberikan kepada tiap-tiap orang, apa yang menjadi haknya. Paradigma keadilan dijabarkan lebih lanjut oleh Justianus dalam Corpus Iuris Civilis, yang bermakna peraturan dasar dari hukum adalah hidup dengan patut, tidak merugikan orang lain dan memberi pada orang lain, apa yang yang menjadi bagiannya.47 Cita-cita hukum untuk menegakkan keadilan dicerminkan dalam suatu adagium hukum Fiat Justitia, ruat caelum. Keduanya mengandung pengertian tegakkan keadilan sekalipun langit runtuh.
47. Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, hal.3
Rasa keadilan perlu dikontrol dan dicerahi oleh sebuah akal yang lebih tinggi.” Ini adalah kalimat paling kritis dari John Stuart Mill atas fenomena kesadaran moral publik dalam bukunya yang berjudul Utilitarianism (1861).
Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan keNegaraan,selanjutnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolsiian Negara Republik Indonesia.
Adapun ketiga hal tersebut (keadilan, hidup secara terhormat dan hak asasi manusia) ada didalam etika profesi Polri, antara lain :
1.Dalam Kode Etik Kepolisian Bab II tentang Etika Kelembagaan, Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menampilkan sikap kepemimpinan melalui keteladanan, keadilan, ketulusan dan kewibawaan serta melaksanakan keputusan pimpinan yang dibangun melalui tata cara yang berlaku guna tercapainya tujuan organisasi.”
2.Pasal 2, menyatakan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia berbakti kepada nusa dan bangsa sebagai wujud pengabdian tertinggi dengan :
a. Mendahulukan kehormatan bangsa Indonesia dalam kehidupannya;
b. Menjunjung tinggi lambang-lambang kehormatan bangsa Indonesia;
c. Menampilkan jati diri bangsa Indonesia yang terpuji dalam semua keadaan dan seluruh waktu;
3.Pasal 4, menyatakan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas menegakan hukum wajib memelihara perilaku terpercaya dengan:
a. Menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah;
b. Tidak memihak;
4.Pasal 5 huruf e menyatakan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat senantiasa tidak membeda-bedakan cara pelayanan kepada semua orang”
5.Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menggunakan kewenangannya senantiasa berdasarkan pada Norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan dan nilai-nilai kemanusiaan.”
6.Pasal 20 menyatakan bahwa “Merupakan kehormatan yang tertinggi bagi setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghayati, menaati dan mengamalkan Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya maupun dalam kehidupan sehari-hari demi pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan Negara.”
C.Apakah bertujuan kemanfaatannya ? (Jeremy Bertham, Jhon Stuart Mill ) Apakah bertujuan kepastian hukum ?
Prinsip moral tertinggi yang disebutnya dengan ‘Asas Kegunaan atau Manfaat’ (the principle of utility). Maksud Asas Manfaat atau Kegunaan, kata Bentham, ialah asas yang menyuruh setiap orang untuk melakukan apa yang menghasilkan kebahagiaan atau kenikmatan terbesar yang diinginkan oleh semua orang untuk sebanyak mungkin orang atau untuk masyarakat seluruhnya. Oleh karena itu, menurut pandangan utilitarian, tujuan akhir manusia juga merupakan ukuran moralitas.
Singkatnya, Utilitarianisme Klasik yang diusung oleh Jeremy Bentham, James Mill dan, anaknya, John Stuart Mill, dapat diringkas dalam tiga proposisi berikut:
d.Pertama, semua tindakan mesti dinilai benar-baik atau salah-jelek semata-mata berdasarkan konsekuensi atau akibatnya.
e.Kedua, dalam menilai konsekuensi atau akibat itu, satu-satunya hal yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkannya. Jadi, tindakan-tindakan yang benar adalah yang menghasilkan surplus kebahagiaan terbesar ketimbang penderitaan.
f.Ketiga, dalam mengkalkulasi kebahagiaan atau penderitaan yang dihasilkan, tidak boleh kebahagiaan seseorang dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain.
Unsur yang diharapkan dari hukum adalah kepastian (legal certainty). Lembaga-lembaga hukum seperti hak milik, status perkawinan, dan kontrak semuanya harus ditepati oleh para pihak yang mengadakannya. Tanpa kepastian hukum akan muncul kekacauan dalam masyarakat Oleh karena itu, jelas bahwa berfungsinya hukum untuk menciptakan ketertiban, keadilan, dan kepastian dalam masyarakat. Dengan terciptanya hal itu akan memungkinkan manusia untuk mengembangkan segala bakat dan kemampuannya. Dapat dikatakan bahwa keseluruhan kaidah atau norma dan ketentuan hukum yang dibuat manusia akhirnya bermuara pada suatu asas utama yang diarahkan untuk penghormatan dan pengakuan terhadap martabat manusia. Sehingga, jika ditanya manakah yang lebih penting antara ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum? Pertanyaan ini dijawab oleh Denis Lloyd, ”………..justice is little more than the idea of rational order or coherence and therefore operates as a principle of procedure rather than substance” 48
Berbicara tentang etika maka tidak terlepas dari perilaku dan tindakan manusia yang terkait dengan norma dan nilai-nilai atau ukuran baik yang berlaku pada masyarakat. Sedangkan kepolisian pada intinya merupakan aparat penegak hukum yang bertanggung jawab atas ketertiban umum ,keselamatan dan keamanan masyarakat. Sehingga dengan adanya etika kepolisian mampu dijadikan barometer oleh pihaknya untuk menjadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum.
Memang Republik Indonesia ini sudah mendesak untuk memiliki polisi yang beretika, jujur, bersih, dan mengayomi masyarakat. Tetapi kita semua tahu, kendalanya sangat banyak. Salah satu akar permasalah adalah adanya kecenderungan melemahnya penghayatan dan pengamalanetika kepolisian.
Etika sendiri terbentuk dari endapan sejarah, budaya, kondisi sosial dan lingkungan dengan segala aspek dan prospeknya. Internalisasi dan penerapan etika kepolisian yang tidak mantap, merupakan faktor penyebab kurang dalamnya pendalaman etika, sehingga polisi ditingkat pelaksanaan sangat labil, mudah goyah dan terombang-ambing dalam gelombang dan gegap gempitanya perubahan dalam pembangunan jati diri yang sejati.
Manfaat etika sebenarnya memperkuat hati nurani yang baik dan benar dari diri pribadi, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi masyarakat, dan karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara terhormat didalam masyarakat.
48. Denis Lloyd, The Idea Of Law, Penguins Books, Harmondsworth, 1964, hlm. 12
Etika kepolisian dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika dilaksanakan dengan baik. Etika kepolisian saat ini memang belum mentradisi seperti etika lainnya. Hal itu disebabkan karena sejak awal etika kepolisian itu terus berkembang dan berubah-ubah, sehingga isi dan bentuk profesi kepolisian itu sendiri belum seragam.
Dalam upaya menjawab harapan masyarakat terhadap kinerja Polri, jajaran Polri memang harus memberikan jaminan kepastian hukum, dengan segala kegiatan penegakan hukum yang dilakukan secara konsisten. Dalam kaitan ini para pimpinan Polri memang sudah membuat kebijakan-kebijakan mendasar, baik secara struktural maupun mental aparatnya. Dengan adanya kebijakan-kebijakan yang mendasar yang menekankan adanya jaminan kepastian hukum tersebut, jajaran Polri berharap adanya dukungan dan partisipasi masyarakat. Sehingga Polri dapat lebih cepat mewujudkan fungsinya sebagai pelindung, pengayom, pelayan, dan penegakan hukum di tengah-tengah masyarakat.
D.Sesuai Etika Profesi Polisi, apakah tujuan penegakan hukum keadilan , kemanfaatan dan kepastian hukum ( Gustav Radbruch ), seperti apa yang bisa dipraktikkan di Indonesia ?
Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat nilai keadilan, kepastian hukum dan kegunaan. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar hukum, namun masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut (Spannungsverhaltnis).
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolak ukur sistem hukum positif. Kepada keadilan-lah hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.
Apabila, dalam penegakan hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser nilai keadilan dan kegunaan. Hal ini dikarenakan, di dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan. Begitu juga ketika nilai kegunaan lebih diutamakan, maka nilai kegunaan akan menggeser nilai kepastian hukum maupun nilai keadilan karena yang penting bagi nilai kegunaan adalah kenyataan apakah hukum tersebut berguna bagi masyarakat. Demikian juga, ketika yang diperhatikan hanya nilai keadilan, maka akan menggeser nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga, dalam penegakan hukum harus ada keseimbangan antara ketiga nilai tersebut.
Ketiga nilai hukum tersebut tidak dapat diterapkan secara seimbang oleh aparat penegak hukum ketika mereka menangani kasus Mbah Minah yang dituduh mencuri 3 biji kakao dari perkebunan milik PT. Rumpun Sari Antan 4. Di dalam persidangannya, Minah menuturkan bahwa tiga biji kakao tersebut untuk menambah bibit tanaman kakao di kebunnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas. Minah mengaku sudah menanam 200 bibit pohon kakao di kebunnya, tetapi ia merasa jumlah itu masih kurang. Namun, belum sempat buah tersebut dibawa pulang, seorang mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya. Minah lantas meminta maaf dan meminta Sutarno untuk membawa ketiga buah kakao tersebut. Alih-alih permintaan maafnya diterima, manajemen PT RSA 4 malah melaporkan Minah ke Kepolisian Sektor Ajibarang.
Kalau melihat kasus Minah, dapat disimpulkan bahwa aparat penegak hukum mengutamakan kepastian hukum dalam penegakan hukumnya tanpa memperhatikan rasa keadilan. Penegakan hukum yang diartikan oleh para aparat penegak hukum yang menangani kasus Minah adalah Penegakan hukum secara tekstual yaitu mengartikan perbuatan Minah sebagai pencurian. Padahal kalau mau dihitung, harga buah kakao tersebut lebih murah dibandingkan biaya perkara yang harus dikeluarkan untuk menangani kasus tersebut. Selain itu, motif Minah adalah potret dari kemiskinan. Kalau ada yang mau dihukum, seharusnya Negara karena tidak dapat menjalankan fungsinya yaitu mensejahterakan rakyat.
Berdasarkan pendapat Radbruch, dapat dikatakan bahwa seorang hakim dapat mengabaikan hukum tertulis (statutarylaw/ state law) apabila hukum tertulis tersebut ternyata dalam praktiknya tidak memenuhi rasa keadilan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat pencari keadilan. Namun, wajah peradilan Indonesia berangkat dari kasus Minah hanya menitikberatkan pada aspek dogmatika atau statutory law bahkan seringkali hakim hanya bertugas untuk menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) yang berakibat pada penciptaan keadilan formal belaka bahkan seringkali menemui kebuntuan legalitas formal.
Penegakan hukum yang berkeadilan seharusnya sarat dengan etis dan moral. Penegakan hukum seharusnya dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat. Namun disamping itu, masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai keadilan. Kendatipun demikian, terkadang apa yang dianggap berguna belum tentu adil, begitu juga sebaliknya, apa yang dirasakan asil, belum tentu berguna bagi masyarakat. Namun perlu diperhatikan bahwa di dalam menegakan hukum akan lebih baik diutamakan nilai keadilan. Hal ini sesuai dengan penegakan hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo.
Satjipto Rahardjo mengatakan penegakan hukum merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. Oleh karena itu, tujuan penegakan hukum yang paling utama adalah untuk menjamin adanya keadilan tanpa mengabaikan aspek kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai tiang penyanggah penegakan hukum. Ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian dan implementasi hukum yang memadai. Khusus tujuan keadilan atau finalitas yaitu menekankan dan menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Namun Satjipto Rahardjo mengingatkan bahwa masalah kepastian hukum bukan urusan undang-undang semata, melainkan lebih merupakan urusan perilaku manusia. Kepastian hukum itu menjadi masalah besar sejak hukum itu dituliskan. Sebelum itu, selama ribuan tahun, apabila kita berbicara mengenai hukum, maka kita lebih banyak berbicara mengenai keadilan.
Menurut Satjipto Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.
Seperti halnya kasus Minah tersebut, untuk mewujudkan keadilan bagi korban dan pelaku, adalah baik ketika para penegak hukum berpikir dan bertindak secara progresif yaitu tidak menerapkan peraturan secara tekstual tetapi perlu menerobos aturan (rule breaking) karena pada akhirnya hukum itu bukan teks demi tercapainya keadilan yang diidamkan oleh masyarakat.
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral, bernurani dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat “hukum untuk manusia” bermakna juga “hukum untuk keadilan”. Ini berarti, bahwa kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Intinya adalah penekanan pada penegakan hukum berkeadilan yang di Indonesia yaitu terciptanya kesejahteraan masyarakat atau yang sering disebut dengan “masyarakat yang adil dan makmur”. Oleh karena itu, pemerintah yang mengemban tugas negara dalam membuat undang-undang harus sungguh-sungguh memperhatikan 2 (dua) hal yang telah dijelaskan di atas yaitu hukum hendaknya membuat sejahtera dan bahagia masyarakat serta hukum yang diciptakan harus berpihak kepada masyarakat dan itulah yang disebut “hukum untuk manusia”.
Menurut Suteki, Masalah yang seringkali muncul adalah tidak dipenuhinya nilai keadilan, terutama rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat (the living law) seperti yang telah diamanatkan oleh UU Kekuasaan Kehakiman dengan alasan terkait dengan aturan hukum formal yang sebenarnya kaku dan seringkali melenceng dari rasa keadilan masyarakat. Di sini penegakan hukum telah mengalami kebuntuan legalitas formalnya untuk menghadirkan keadilan substantif. Ada yang perlu dilakukan untuk menembus kebuntuan legalitas formal itu, yaitu dengan melakukan non of enforcement of law yaitu kebijakan tidak menegakan hukum.
Kebijakan untuk tidak memberlakukan hukum dapat dilakukan dalam situasi sebagai berikut:
1.Kalau hukum tidak akrab dengan realitas sosial, tidak dekat dengan rasa keadilan rakyat, tidak dimengerti karena bahasa hukum yang sulit dimengerti. Bahasa hukum terbatas jumlahnya dan rata-rata berasal dari golongan penguasa dan orang-orang yang sulit dimengerti oleh rakyat ini kerap kali dianggap merupakan suatu kesombongan kekuasaan (The Arrogance of Power).
2.Bilamana peraturan pelaksanaan merupakan sesuatu yang mutlak harus ada pada suatu produk hukum tertentu. Dalam keadaan demikian ini, tanpa peraturan pelaksanaan, maka produk hukum secara operasional akan berhenti fungsinya dan hanya dapat menjadi bahan diskusi.
3.Bila peraturan perundang-undangan bertentangan dengan Pancasila sebagai Kaidah Penuntun.
Menurut penulis, kebijakan tidak menegakkan hukum seharusnya bias dilakukan oleh para aparat penegak hukum ketika menangani kasus minah demi terwujudnya keadilan substansial dan bukan hanya keadilan formal yang hanya mementingkan nilai kepastian hukum.
Unsur utama yang dibutuhkan manusia dari hukum adalah ketertiban. Dengan terwujudnya ketertiban maka berbagai keperluan sosial dalam bermasyarakat akan terpenuhi. Kepustakaan common law seringkali menyandingkan hukum dengan ketertiban atau menyebutnya law and order. Untuk mewujudkan ketertiban itu manusia memunculkan keharusan-keharusan berprilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam bentuk kaidah. Kaidah dan ketertiban yang diperlukan manusia adalah ketertiban dan kaidah yang sesungguhnya dapat menciptakan keadaan yang memungkinkan manusia secara wajar mewujudkan kepribadiannya secara utuh, yang dengan itu ia dapat mengembangkan semua potensi kemanusiaan seperti apa yang secara bebas yang dikehendakinya (vrije will). 49
49.B. Arief Sidharta, Aliran Filsafat Dan Hukum, makalah dalam seminar nasional, Menata Sistem Hukum Nasional Menuju Indonesia Baru, SEMA Univ. Atma Jaya, Yogyakarta, 4 Desember 1999, hal. 2
BAB IV
PENUTUP
A.KESIMPULAN
1.Krisis yang terjadi dalam penegakan hukum khususnya dalam terciptanya keadilan disebabkan paradigma aparatur penegak hukum masih dengan paradigma lama yaitu semata-mata mengedepankan aspek kepastian hukum dengan mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan. Artinya aparatur penegak hukum terutama yang berhubungan langsung dengan pengadilan, lebih memperhatikan peraturan dan prosedur, sehingga keadilan menjadi terpinggirkan.
2.Aparatur penegak hukum khususnya hakim terpaku dengan paradigma rule making yang hanya menerapkan undang-undang semata. Kurang berani untuk menerapkan paradigma rule breakingyaitu penerapan hukum yang melompat ke aspek nilai-nilai keadilan dan terutama kemanusiaan. Paradigma rule breaking ini sering disebut penegakan hukum progresif.
3.Aparatur penegak hukum belum sepenuhnya memahami bahwa tujuan finalitas penegakan hukum yang berkeadilan adalah hukum untuk terwujudnya kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
4.Proses penyidikan Polri yang dilakukan saat ini masih banyak penyimpangan-penyimpangan dan kurang efisien. Hal ini mengakibatkan timbulnya kekecewaan masyarakat dan hilangnya kepercayaan mereka terhadap lembaga maupun aparat penegak hukum, khususnya terhadap penyidik Polri.
5.Penyimpangan-penyimpangan oknum penyidik disebabkan kurang dihayatinya pedoman-pedoman/ ajaran-ajaran dalam Tri Brata maupun Catur Prasetya. Etika Profesi Penyidik belum mereka kenal. Sehingga tindakan-tindakan yang penyidik lakukan lebih mengarah pada membela kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat.
6.Bentuk penyimpangan pada umumnya berupa kekerasan / penganiayaan, arogan, tidak sopan dalam melayani pencari keadilan. Disamping itu juga masih banyak perbuatan-perbuatan oknum penyidik yang merugikan masyarakat dengan meminta imbalan dalam menyelesaikan perkaranya.
7.Disisi lain ditemukan aturan-aturan dalam UU No. 8 / 1981 tentang KUHAP, khususnya yang mengatur tentang pelaksanaan proses penyidikan, baik dalam kegiatan penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan tersangka dan saksi serta penyerahan berkas perkara pemeriksaan ke Jaksa Penuntut Umum banyak yang tidak efisien. Yang berakibat pada rendahnya produktivitas penyidik.
8.Untuk mewujudkan harapan masyarakat dalam menegakkan supremasi hukum dengan murah, cepat dan sederhana, perlu dilakukan reformasi dalam proses penyidikan, terutama pasal-pasal KUHAP yang tidak efisien.
9.Reformasi yang mendasar harus dimulai dari merubah perilaku penyidik/penyidik pembantu dengan mengembalikan jati dirinya sebagai petugas yang membela kepentingan rakyat lemah dan dirugikan melalui pemahaman, penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai etika profesi penyidik.
10.Disisi lain, dalam rangka meningkatkan produktivitas penyidik, perlu diadakan perubahan sistem peradilan pidana dengan merubah pasal-pasal dalam KUHAP yang tidak efisien serta perbaikan petunjuk-petunjuk penyidikan ke arah yang lebih sederhana tanpa harus mengurangi bobot pembuktian materiil di sidang pengadilan.
11.Perubahan-perubahan tersebut perlu dirumuskan secara konseptual, terencana dan berlanjut, agar implementasi strategis sampai jangka panjang dapat diselenggarakan dengan efektif dan efisien dan supremasi hukum dapat diwujudkan.
B.REKOMENDASI
1.Agenda yang harus segera dilakukan adalah menyusun konsep etika profesi penyidik dan konsep usulan revisi KUHAP. Kedua konsep tersebut perlu dimintakan masukan dan tanggapan dari masing-masing lingkungan komunitinya, dengan saresehan atau seminar, tatap muka, diskusi dsb. Kedua rumusan diatas juga perlu disosialisasikan kepada aparat CJS untuk memberikan pemahaman yang sama tentang maksud dan tujuan perubahan-perubahan tersebut. Etika profesi atau pedoman kerja penyidik perlu dilatihkan di kesatuan-kesatuan Polri, kerja sama dengan Lemdiklat.
2.Setelah dikaji secara mendalam dan diputuskan pemberlakuannya, maka etika profesi penyidik harus diberikan / diajarkan pada setiap pendidikan dan pelatihan penyidik. Sedangkan doktrin induk, Tribrata dan Catur Prasetya diajarkan pada lembaga-lembaga pendidikan pembentukan (SPN, AKPOL). Dengan demikian diharapkan terjadi perubahan perilaku aparat penyidik, agar tidak lagi bersikap sebagai penguasa, militeristik dan materialistik, tetapi berangsur-angsur menjadi pelindung, pengayom masyarakat melalui penegakan hukum yang profesional, efektif dan efisien.
Upaya diatas harus dibarengi dengan pembenahan diberbagai bidang, terutama sarana dan prasarana, anggaran, kesejahteraan penyidik dan pengawasan yang seimbang. Untuk pembangunan sarana dan prasarana, seharusnya diserahkan pada Corps Reserse, karena merekalah yang tahu banyak tentang segala sesuatu yang diperlukan untuk mendukung operasionalnya.
Demikian pula dibidang anggaran, sudah waktunya para penyidik diberi kebebasan menentukan dan menggunakan anggaran yang diperlukan untuk mendukung kegiatan-kegiatannya. Masing-masing penyidik diberi ATM untuk memudahkan penyediaan dana operasional dan administrasi setiap saat. Hal ini penting agar kepatuhan mereka terhadap etika profesinya dapat terjaga dengan baik. Sebagai sarana pengawasan, pada setiap akhir bulan diadakan gelar operasional dan pembinaan untuk meminta pertanggung jawaban para penyidik terhadap penggunaan dana dan hasil-hasil kegiatan yang telah mereka lakukan. Tentu cara diatas juga harus dikaitkan dengan keterbatasan dana kesatuan. Dibidang kesejahteraan penyidik, perlu dirumuskan tunjangan fungsional bagi penyidik maupun penyidik pembantu.
3.Orang semua tahu bahwa pelaksanaan tugas penyidik dari waktu ke waktu penuh dengan resiko, baik jiwa / keselamatan diri dan keluarga, keselamatan masa depan/ karier dan keselamatan masa depannya. Maka sudah pada tempatnyalah bila perhatian pemerintah, rakyat dan pimpinan Polri ³sedikit lebih´ dari anggota lainnya. Sekali lagi, bila penyimpangan-penyimpangan penyidik terutama yang mengarah ke pungutan-pungutan liar, KKN perlu ditiadakan. Sedangkan rumusan rancangan revisi KUHAP sudah harus diusulkan kepada pemerintah untuk ditindak lanjuti sesuai prosedurnya dengan harapan KUHAP yang efisien khususnya yang berkaitan dengan proses penyidikan dapat terwujud.
4.Implementasi reformasi proses penyidikan Polri jangka panjang sudah harus didasarkan pada pola pembinaan dan pengembangan yang merupakan bagian dari strategi pembangunan Polri jangka panjang. Reformasi yang dilakukan juga harus tetap mengacu pada tantangan yang dihadapi dan yang akan datang. Pengaruh lingkungan strategik, baik global, regional maupun nasional, terutama dengan kebijakan otonomi daerah, menuntut pengetahuan mengenai karakteristik daerah dan masyarakatnya. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar keberhasilan penyidik dalam mengungkapkan perkara justru diperoleh dari partisipasi masyarakat sebagai buah komunikasi yang baik.
5.Untuk itu maka dalam implementasi operasional tugas-tugas penyidik, selain harus profesional dalam arti mahir dan terampil dalam menerapkan teknik dan taktik penyidikan, jangan mengenyampingkan hal penting yang harus menjadi pegangan, yaitu dukungan dari masyarakat, khususnya tokoh-tokoh agama, Pemuda, pengusaha maupun birokratbirokrat yang ada dalam masyarakat tersebut. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat merupakan kunci pokok dalam mengoptimalkan kegiatan-kegiatan penyidikan.
6.Strategi penyelenggaraan penyidikan lebih dititik beratkan ke Polres-Polres sebagai kesatuan operasional dasar. Namun di tingkat pusat maupun Polda-Polda harus disiapkan satuan-satuan kecil dengan kemampuan tinggi untuk menangani kasus-kasus yang kompleks dan berdampak luas maupun kejahatan-kejahatan terorganisir dan berdimensi baru. Dengan demikian moral dan etika profesi yang mantap disertai prosedur penyidikan yang sederhana, dukungan sarana prasarana, anggaran dan potensi masyarakat diharapkan mampu mewujudkan supremasi hukum di Indonesia guna memenuhi harapan masyarakat untuk mendapat pelayanan hukum dengan murah, cepat dan sederhana. Disamping pembenahan pada aspek kultural dan instrumental diatas, perlu pula perubahan dibidang struktural, baik menyangkut struktural organisasi maupun hubungan dan tata cara kerja dengan instansi lain yang terkait. Validasi Korps Reserse perlu dijabarkan sampai tingkat Polsek sebagai ujung tombak pelayanan Polri.
7.Struktur organisasi sat Serse pada Polwiltabes, Poltabes, dan Polres/Ta dan gelar kekuatannya perlu disusun selengkap mungkin, karena di kesatuan-kesatuan tersebut harus mampu melaksanakan penyidikan sesuaidengan ancaman faktual di daerahnya.
8.Polri perlu segera memperbaiki pengelolaan sumber daya organisasi, terutama anggaran dan kesejahteraan penyidik untuk mendukung pelaksanaan ajaran-ajaran dalam etika profesi penyidik.
9.Perlu dilakukan studi banding ke beberapa negara lain yang lebih maju untuk mendalami proses penyidikan yang mereka lakukan serta merubah pasal-pasal dalam KUHAP yang tidak efisien.
DAFTAR PUSTAKA
A.Buku
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung.
Buwono X, Sultan Hamengku, 2007, Merajut Kembali Keindonesiaan Kita, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Friedrich, Carl Joachim, 2004, Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung.
Harris, J. W, 1980, Legal Philosophies, Butterworths, London.
Huijbers, Theo, 1999, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta.
—————, 1999, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
Marwoto, B.J, H. Witdarmono, 2004, Proverbia Latina,Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2006, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Nonet, Philippe & Philip Selznick, 2007, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung.
Pound, Roscoe, 1989, Pengantar Filsafat Hukum, Brahtara, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Cetakan Keenam, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
—————, 2006, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
—————, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
—————, 2007, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
—————, 2008, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Press, Jakarta.
—————, Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta.
—————-, 2009, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing.
Samekto, F. X Adji, 2008, Justice Not For All Kritik Terhadap Hukum Modern Dalam Perspektif Studi Hukum Kritis, Genta Press, Yogyakarta.
Tanya, Bernard L, 2006, Hukum, Politik dan KKN, Srikandi, Surabaya
—————-, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2006,Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV KITA, Surabaya.
Warassih, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT Suryandaru Utama, Semarang.
Yudho, Winarno, 2002, “Sosok Guru dan Ilmuwan yang Kritis dan Konsisten”, Kumpulan Tulisan Peringatan 70 Tahun Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulan Untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HUMA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jakarta.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang.
Denis Lloyd, The Idea Of Law, Penguins Books, Harmondsworth, 1964.
B.Makalah / Prosiding
Nyoman Nurjaya, “Reorientasi Paradigma Pembangunan Hukum Negara dalam Masyarakat Multikultural: Perspektif Hukum Progresif”, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Semarang, 15 Desember 2007.
Prosiding Seminar dan Lokakarya NasionalSolusi Permasalahan Hukum Pasca Bencana Gempa dan Tsunami di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro bekerjasama dengan AusAID dan Bappenas, Semarang 31 Mei – 2 Juni 2005.
Rahardjo, Satjipto, “Mengajarkan Keteraturan dan Menemukan Ketidak-teraturan (Teaching Order Finding Disorder)”, Pidato Mengakhiri Masa Jabatan Sebagai Guru Besar Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 15 Desember 2000.
————–, “UUD 1945, Desain Akbar Sistem Politik dan Hukum Nasional”, Makalah dalam Konvensi Hukum Nasional Tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Landasan KonstitusionalGrand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional di Hotel Borobudur Jakarta, 15-16 April 2008.
Saleh, Sudibyo. “Komitmen Supremasi Hukum di Tengah Kemajuan Masyarakat Indonesia”, Makalah yang disampaikan dalam Dialog Nasional Profesional Aparat Penegak Hukum dalam Pelaksanaan di Tengah Masyarakat yang Bersih dan Berwibawa, Jakarta, 11 Oktober 2004.
Wignjosoebroto, Soetandyo, “Hukum Progresif: Apa yang Harus Dipikirkan dan Dilakukan Untuk Melaksanakannya”, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Undip dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta di Semarang, 15 Desember 2007.
B. Arief Sidharta, Aliran Filsafat Dan Hukum, makalah dalam seminar nasional, Menata Sistem Hukum Nasional Menuju Indonesia Baru, SEMA Univ. Atma Jaya, Yogyakarta, 4 Desember 1999.
C.Artikel dalam Jurnal, Surat Kabar dan Internet
Rahardjo, Satjipto, “Membangun ”Indonesia Incorporated”,Artikel dalam Harian Umum Suara Pembaruan, 21 September 2000.
————-, “Hukum Progresif: Sebuah Tawaran”, Artikel dalam Jentera (Jurnal Hukum), Edisi 2, 2003, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta.
Harkristuti Harkrisnowo, 2003, Reformasi Hukum di Indonesia: Quo Vadis? Kumpulan Artikel Hukum di Web-Site “http”//www.hukumonline.com” dalam buku Analisis Hukum 2002, Jangan Tunggu Langit Runtuh, Cetakan Pertama, PT Justika Siar Publika, Jakarta.
D.Kamus
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Pusat Bahasa, Cetakan Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Echols, John M dan Hassan Shadily, 2008, Kamus Inggris – Indonesia, An English – Indonesian Dictionary, PT Gramedia, Jakarta.
E.Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia