Perdagangan Perempuan Sebagai Kejahatan Trafficking
Perdagangan manusia (trafficking) merupakan bentuk perbudakan modern, yang bertujuan komersial seperti; eksploitasi seksual atau kerja paksa. Sejak zaman dulu, perbudakan sudah dikenal, namun perbudakan yang ada saat itu melibatkan langsung antara penyalur dan pembeli (user) serta obyek yang digunakan. Korban yang sering mengalami perbudakan modern berasal dari kelompok masyarakat bawah yang kurang mempunyai pendidikan formal yang cukup. Dengan alasan ekonomi, banyak keluarga yang memiliki anak perempuan yang masih berusia dibawah umur, didesak untuk menerima tawaran orang-orang yang sering mendatangi rumah mereka agar mau bekerja di luar negeri. Tujuannya (klasik) agar dapat memperbaiki kehidupan ekonomi mereka tanpa paham akan akibatnya.
Di Indonesia, kasus perdagangan perempuan masih menjadi hal yang rumit, ini disebabkan selain posisi perempuan yang rentan, faktor kemiskinan juga menjadi korban mudah dijual oleh orang-orang terdekatnya, seperti paman, tante, tetangga, lurah dan bahkan suaminya sendiri tega menjual korban demi uang.
Praktik trafficking berlangsung dalam berbagai cara, modus operandinya mirip penipuan dengan dalih misalnya melakukan perekrutan dengan janji akan memberi pekerjaan di dalam maupun luar negeri, namun banyak kenyataan setelah direkrut para wanita muda dijual dan disuplai ke hotel-hotel sebagai pekerja seks komersial. Objek kegiatan trafficking pada umumnya menimpa wanita. Kegiatan trafficking tidak saja berlangsung melalui perekrutmen tenaga kerja ke luar negari dan dalam negeri. Praktik trafficking dilakukan terhadap sekelompok orang, maupun individu dengan janji akan dipekerjakan di sebuah perusahaan di luar negeri, nyatanya sampai di luar negeri mereka dijual dan lain sebagainya.
1. Apa itu Human Trafficking
Trafficking atau perdagangan manusia adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, dan penyalahgunaan kekuasan atau posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi . Kegiatan trafficking sudah sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk mencari keuntungan finansial tanpa menghiraukan perbuatannya menyalahi ketentuan hukum negara yang berlaku.
Definisi perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Provent, Suppres and Punish Trafficking in Perons Especially Women and Children Suplemeting the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksud dengan Human Trafficking adalah: The recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of person, by means oh threat or use of force or other for more coercion,of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulneralibility or a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other form of sexual explanation, forced labour services, slavery or practices similar to slavery, servitude or forced labour services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (Terjemahan bebas: ” … rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/ pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi yang minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi illegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).
Perdagangan manusia, khususnya perempuan, dapat dikatakan sebagai salah satu kejahatan transnasional, karena sebagian kejahatan dilakukan dengan melibatkan jaringan kejahatan lintas negara. Trafficking telah terjadi secara meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri sehingga menjadi ancaman terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap HAM.
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah Kejahatan Kemanusiaan Yang Serius, Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang sifatnya sangat mendesak, hal ini disebabkan beberapa alasan berikut :
1. Perdagangan Orang dianggap sebagai “industri paling menguntungkan” dibanding dengan kejahatan terorganisir lainnya, seperti trafficking of drug and arms. Hal ini menyangkut manusia yang diperlakukan sebagai “komoditi yang bisa didaur ulang.” Artinya, korban dieksploitasi, disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi berulangkali untuk meningkatkan keuntungan pelaku. Tidak seperti narkoba yang sekali pakai habis. Dalam kasus eksploitasi prostitusi, korban bahkan dieksploitasi sejak berumur 15 tahun dan kemudian dicampakkan begitu saja setelah dianggap tidak mempunyai nilai jual (dikarenakan faktor usia atau menderita penyakit). Dalam kasus yang lain, pembantu rumah tangga bisa dijual ke puluhan majikan selama bertahun-tahun.
2. Perdagangan Orang adalah “modern day slavery,” artinya pelaku memangsa pihak yang berada dalam posisi rentan yang lemah secara ekonomi, fisik maupun emosional. Pelaku menggunakan cara-cara modern untuk memperlakukan manusia layaknya budak. TKW yang bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga dipaksa bekerja tanpa istirahat dan tanpa imbalan, dirampas paspornya sebagai cara untuk mengikat kebebasan bergerak korban dan ditempatkan dalam kondisi yang tidak manusiawi (tidur di lantai, sanitasi yang buruk dan sebagainya).
3. Perdagangan Orang adalah bentuk “Pelanggaran Hak Asasi Manusia”. Korban tidak diberikan hak dasarnya sebagai manusia, seperti hak untuk bebas bergerak, hak atas standar hidup yang layak termasuk cukup pangan, sandang dan pagan, hak atas tingkat hidup untuk kesehatan dan kesejahteraan diri.
4. Perdagangan Orang adalah “Kejahatan yang terorganisir dilakukan baik dengan cara-cara konvensional melaui bujuk rayu para sponsor (perekrut tenaga kerja di tingkat desa) sampai cara-cara yang modern, misalnya melalui iklan-iklan di meia cetak atau elektronik. Pelaku mengorganisir kejahatan dengan membangun jaringan dari daerah/ negara asal korban sampai ke daerah/ negara tujuan. Jaringan Pelaku memanfaatkan kondisi dan praktek sosial di daerah/ negara asal korban untuk menjerat korbannya. Kebiasaan ‘ngenger’ atau merantau, ketidaksetaraan jender, kemiskinan, gaya hidup konsumtif dan bencana alam sering digunakan pelaku untuk menjerat korban keluar dari situasi tersebut dan dengan kekuasaan yang dimilikinya, pelaku mengiming-imingi korban dengan janji-janji muluk dan kemudian memeras korban baik secara fisik maupun seksual.
Negara bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan terhadap warga negaranya agar tidak menjadi korban atau dirugikan dari perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, kesadaran bersama seluruh penyelenggara negara, masyarakat dan aparat penegak hukum, untuk peduli terhadap orang yang menderita, terlanggar haknya, atau menjadi korban dari perbuatan sewenang-wewenang dan tidak manusiawi dari orang lain merupakan keharusan.
2. Bentuk-Bentuk Perdagangan Perempuan
Ada berbagai bentuk dari perdagangan orang termasuk perdagangan perempuan, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Buruh migran, baik di dalam maupun di luar negeri yang tanpa perlindungan, sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak orang, termasuk anak di bawah umur, bermigrasi tanpa sepengetahuan Departemen Tenaga Kerja, melalui jalur informal atau melanggar hukum, sehingga meningkatkan jumlah buruh migran secara signifikan. Buruh migran di eksploitasi sepanjang proses migrasi mulai dari perekrutan hingga proses pra-keberangkatan, selama bekerja dan setelah kembali.
b. Pekerja/ Pembantu Rumah Tangga (PRT). PRT kerap menghadapi bahaya besar karena sifat pekerjaan mereka yang bertempat di rumah pribadi dan tertutup dari sorotan masyarakat umum. Sering terdengar laporan mengenai kekerasan seksual yang dilakukan oleh majikan. Ruang gerak PRT biasanya dibatasi. Mereka dibatasi kemana mereka mau pergi, dan biasanya mereka dikurung dirumah ketika majikan mereka pergi. Karena PRT masuk dalam sektor informal, profesi ini seringkali tidak iatur oleh pemerintah dan berada di luar jangkauan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nasional.
c. Perempuan atau anak yang dipekerjakan sebagai pelacur.
Perekrutan untuk industri seks komersial sering berkedok perekrutan untuk ijadikan buruh migran. Banyak perempuan-perempuan yang telah menyerahkan sejumlah uang kepada perekrut untuk mencarikan mereka pekerjaan di luar negeri atau di luar daerah, dan tidak mengetahui dari bentuk yang sebenarnya dari pekerjaan mereka sampai di tempat tujuan. Pelaku perdagangan memalsukan dokumen mereka, dan mereka tidak berani mengadu kepada pihak yang berwenang karena takut akan dideportasi dan sebagainya. Perekrut mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan agar para perempuan tidak berani melarikan diri. Korban juga disekap secara paksa dan dijaga secara ketat. Perempuan-perempuan yang semuta direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran atau untuk pekerjaan di sektor hiburan kemuian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersial.
d. Kerja Paksa. Orang yang melakukan kerja yang bukan kehendak sendiri dan tanpa memperoleh imbalan yang layak atau tanpa memperoleh imbalan sama sekali.
e. Pengantin pesanan. Ada kecenderungan yang marak di kalangan laki-laki dari negara industri untuk mencari pengantin dari negara berkembang atau sering disebut dengan pengantin pesanan seperti Taiwan, Hongkong, Jepang, Gina, Australia, Amerika Utara dan Eropa. Kebanyakan perempuan yang banyak dipesan berasal dari Asia Tenggara, Eropa Timur dan Amerika Latin. Meskipun banyak kasus pengantin pesanan yang sukses dan bahagia, namun di sisi lain banyak terjadi kasus penganiayaan dan kekerasan fisik atau praktek-praktek serupa perbudakan. Di mana seorang istri dibeli semata untuk melakukan pekerjaan Pembantu Rumah Tangga dan memberikan layanan seks.
f. Pedofilia. Orientasi seksual yang obyeknya anak-anak. Orang dikatakan pedofil atau melakukan praktek pedofil bila melakukan hubungan seksual seperti sodomi, menyentuh, meraba, memainkan alat kelamin, berfantasi tentang anak-anak kecil. Beberapa aktifitas pedofilia yang masuk dalam kategori perdagangan anak, biasanya menjauhkan anak-anak dari orang tua maupun lingkungan keluarga dengan tujuan tertentu seperti eksploitasi seksual.
g. Tenaga Penghibur. Orang yang bekerja di tempat hiburan malam yang menemani pengunjung sehingga pengunjung merasa terhibur. Banyak kasus terjadi di mana perempuan yang direkrut menjadi tenaga penghibur mengalami pelecehan seksual dan ancaman bila tidak mau melayani para pengunjung.
h. Pengemis dan anak jalanan. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia di mana anak-anak direkrut, diculik untuk dijadikan pengemis dan anak jalanan (anak yang bekerja di jalan).
3. Pelaku Perdagangan Perempuan
Menurut Rosenberg pelaku perdagangan orang (trafficker) adalah:
a. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah, manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara illegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkan ke dalam industri seks.
b. Agen atau calo-calo, bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman atau bahkan kepala desa, manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen. Yaitu usia mereka sebenarnya masih dibawah umur, tetapi dalam KTP atau surat jalannya seolah-oleh umur mereka telah dewasa.
c. Aparat pemerintah, manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyebrangan melintasi perbatasan secara illegal.
d. Majikan, apabila menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik dan seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan hutang.
e. Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar pasal 289, 296 dan 506 KHUP dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya, menjerat dalam libatan hutang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan memperkerjakan anak (di bawah umur 18 tahun).
f. Calo pernikahan, apabila pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.
g. Orang tua dan sanak saudara, apabila mereka secara sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi hutangnya dan menjerat anaknya dalam libatan hutang.
h. Suami. Jika ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim isterinya ke tempat lain untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi.
Sementara itu, dari sisi peranannya, pelaku dalam perdagangan orang (trafficking) dibedakan ke dalam 3 (tiga) unsur , sebagai berikut:
a. Pihak yang berperan pada awal perdagangan;
b. Pihak yang menyediakan atau menjual orang yang diperdagangkan;
c. Pihak yang berperan pada akhir rantai perdagangan sebagai penerima/pembeli orang yang diperdagangkan atau sebagai pihak yang menahan korban untuk dipekerjakan secara paksa dan yang mendapatkan keuntungan dari kerja itu.
4. Korban Perdagangan Perempuan
Menurut “The Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power”, PBS (1985), yang dimaksud dengan korban (victim) adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif, telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik, mental, emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan subtansial hak-hak asasi, melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran (omissions) yang melanggar hukum .
Sementara itu, pengertian Korban dalam Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), BAB I pasal 1 angka 3 adalah: “seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/ atau sosial, yang iakibatkan tindak pidana perdagangan orang”. Selain itu, UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Karban memberi pengertian korban sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
5. Pola Rekrutmen Dan Modus Operandi
Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against Transnational Organized Crime Tahun 2000, menyebutkan bahwa pola rekrutmen adalah salah satu unsur dari perdagangan orang. Disebutkan dalam protokol tersebut bahwa kegiatan perekrutan dapat saja menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/ pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi.
Selain itu, secara umum, modus operandi sindikat perdagangan perempuan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a. Dengan ancaman dan pemaksaan. Biasanya dilakukan oleh trafficker yang telah dikenal dekat dengan pelaku. Dalam hal tersebut pelaku menggunakan kedekatannya dan kedudukannya yang lebih superioritas dibanding korban, sehingga membuat korban berada dalam tekanan dan kedudukan tersubordinasi. Hal tersebut membuat korban tidak dapat menolak keinginan pelaku.
b. Penculikan. Biasanya korban diculik secara paksa atau melalui hipnotis melalui anggota sindikat. Tak jarang juga korban diperkosa terlebih dahulu oleh anggota sindikat sehingga menjadi semakin tidak berdaya.
c. Penipuan, kecurangan atau kebohongan. Modus tersebut merupakan modus yang paling sering dilakukan oleh sindikat trafficking. Korban ditipu oleh anggota sindikat yang biasanya mengaku sebagai pencari tenaga kerja dengan menjanjikan gaji dan fasilitas yang menyenangkan sehingga korban tertarik untuk mengikuti tanpa mengetahui kondisi kerja yang akan dijalaninya. Modus operandi tersebut dengan melibatkan pihak-pihak mulai dari keluarga, kawan, calo, penyalur tenaga kerja (agen), oknum aparat, sindikat serta pengguna.
d. Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perdagangan perempuan banyak aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membacking sindikat perdagangan perempuan. Pemalsuan identitas kerapkali dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pengurusan data diri. Seperti pemalsuan KTP dan akta kelahiran. Di bagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga perdagangan perempuan yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara dengan aman.
Modus operandi rekrutmen terhadap kelompok rentan biasanya dengan rayuan, menjanjikan berbagai kesenangan dan kemewahan, menipu atau janji palsu, menjebak, mengancam, menyalahgunakan wewenang, menjerat dengan hutang, mengawini atau memacari, menculik, menyekap atau memerkosa. Modus lain berkedok mencari tenaga kerja untuk bisnis entertainment, kerja di perkebunan atau bidang jasa di luar negeri dengan upah besar. lbu-ibu hamil yang kesulitan biaya untuk melahirkan atau membesarkan anak dibujuk dengan jeratan hutang supaya anaknya boleh diadopsi agar dapat hidup lebih baik, namun kemudian dijual kepada yang menginginkan. Anak-anak di bawah umur dibujuk agar bersedia melayani para pedofil dengan memberikan barang-barang keperluan mereka bahkan janji untuk disekolahkan. Modus operandi kejahatan ini semakin kompeks dalam bentuk-bentuknya maupun teknis operasionalnya, baik dilakukan secara perorangan, kelompok, maupun bersindikat.
6. Proses Rekrutmen Dan Modus Operandi .
Perdagangan orang saat ini sudah menjadi bisnis global, yang memberikan keuntungan terbesar ketiga setelah perdagangan senjata dan obat-obatan terlarang. Perdagangan orang merupakan sindikat internasional yang terorganisir. Di Indonesia ada dua lingkup wilayah tujuan perdagangan orang, yaitu antar daerah/pulau dan antar negara. Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 33 propinsi, 17.504 pulau dan ratusan suku dan kelompok budaya, sehingga sangat memudahkan terjadinya perdagangan orang dalam lingkup domestik. Ada banyak propinsi di negara ini di mana seseorang dapat diperdagangkan ke tempat yang tidak dikenal dan tidak diperbolehkan untuk mendapatkan bantuan agar bisa kembali ke rumah.
Sebagai gambaran, banyak perempuan muda yang masih dibawah umur disuatu wilayah direkrut untuk dipekerjakan di kawasan industri atau mall di tempat tertentu. Sampai di tempat tujuan, justru mereka ditempatkan di lokasi-lokasi hiburan sebagai pekerja seks, dan mereka tidak bisa melepaskan diri karena harus membayar uang dalam jumlah besar yang dibebankan pada mereka sebagai biaya rekrutmen dan transportasi. Di tingkat internasional biasanya disamarkan dalam proses penempatan tenaga kerja buruh migran atau untuk pengantin pesanan. Perempuan lokal biasanya dibujuk oleh calo yang menawarkan gaji tinggi atau dalam bentuk perkawinan yang menjanjikan hidup mewah. Negara-negara yang menjadi tujuan perdagangan manusia lnternasional dari Indonesia umumnya adalah Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Jepang dan sebagian besar negara Timur Tengah.
Dengan alasan menyediakan lapangan pekerjaan menjadi jalan mulus buat mereka mendapatkan mangsa. Agen dan calo perdagangan manusia mendekati korbannya di rumah-rumah perdesaan, di keramaian pesta-pesta pantai, mal, kafe atau di restoran. Para agen atau calo ini bekerja dalam kelompok dan sering menyaru sebagai remaja yang sedang bersenang-senang atau sebagai agen pencari tenaga kerja. Korban yang direkrut dibawa ke tempat transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan pesawat terbang, kapal atau mobil bergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan.
Untuk ke luar negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang agen termasuk penanganan masalah keuangan. Sering perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sangat jauh sehingga sulit kembali. Jika muncul keinginan korban untuk pulang, mereka ditakut-takuti atau bahkan diancam. Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk beberapa minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Akan tetapi, kemudian mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil dan rumah hiburan lain, dan mulai dilibatkan kegiatan prostitusi. Mereka diminta menandatangani kontrak yang tidak mereka mengerti isinya. Jika menolak, korban diminta membayar kembali biaya perjalanan dan tebusan dari agen atau calo yang membawanya. Jumlah yang biasanya membengkak itu menjadi hutang yang harus ditanggung korban.
Umumnya modus operandi yang dipergunakan adalah: bujuk rayu dengan iming-iming tertentu, pemaksaan/kekerasan dan intimidasi, penculikan, pengiklanan secara bertingkat dan terus menerus melalu beragam media massa, pemalsuan identitas/dokumen pribadi, sampai kepada “penjualan” yang justru dilakukan oleh orang-orang terdekat (orangtua, kerabat-saudara, tetangga, ternan). Perdagangan orang menjadi kejahatan berat bagi kemanusiaan. Mengingat korban dari perdagangan manusia akan mengalami kerugian yang luar biasa baik secara psikis maupun fisik. Bahkan masa depannya hilang begitu saja. Perdagangan orang saat ini menjadi hantu di siang bolong yang memburu anak-anak Indonesia terutama yang keluarganya termasuk golongan miskin.
Dari uraian tersebut diatas, bila diidentifikasi variabel atau unsur-unsur Perdagangan Perempuan sebagai kejahatan Trafficking yang terjadi, dapat dikelompokkan dalam beberapa fase yaitu :
a. Recruitment Stage (Tahap Perekrutan)
No Pasokan Pelanggan Regulator Kompetisi
1. Kesulitan menempatkan iklan-iklan yang salah/menyesatkan.
Hubungan-hubungan yang diketahui dengan jaringan penyedia transportasi 1. Kekuatan ketentuan hukum yang berlaku/ ada yang melarang perdagangan manusia.
1. Peluang pekerjaan yang sah atau legitimate untuk korban yang potensial di wilayah sumber,
2 Tingkat kesadaran di antara populasi yang beresiko tinggi Sejauh mana pencari korban bepergian ke tempat rekrutmen untuk mencari korban. 2. Sejauhmana pengawasab polisi terhadap perekrut yang dicurigai
3. Keberadaan kelompok criminal lain yang mencari korban yang sama.
3 Kemudahan dalam melakukan kontak dengan korban (keluarga, klub)
Pola rekrutmen dalam menjaring korban biasanya dengan menggunakan sistem sponsor. Yang dimaksud dengan sponsor adalah orang yang merekrut korban di daerah asal korban dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk proses pemberangkatan, termasuk penginapan korbannya. Yang berperan sebagai sponsor biasanya orang-orang terdekat korban seperti pacarnya, tante, tetangga, lurah, sehingga mempermudah mereka mendapatkan akses untuk mendekati korban melalui pendekatan terhadap orang tua korban di kampung-kampung. Mereka mengatakan bahwa anaknya akan diberi pekerjaan dengan penghasilan yang tinggi dan untuk meyakinkan terhadap orang tua tersebut mereka memberikan sejumlah uang. Dengan demikian tentu saja orang tua korban cukup percaya terhadap apa yang dikatakan si sponsor bahwa anaknya akan dipekerjakan antara lain di mal, di restoran dan sebagainya. Persoalannya, yang menjadi calo ini tidak hanya satu orang melainkan berantai, sehingga banyak tangan yang terlibat. Jadi di daerah asal saja bisa terjadi korban berpindah tangan dari calo yang satu ke calo yang lainnya. Kemudian dioper lagi ke calo di Jakarta atau Surabaya. Lalu dibawa atau dikirim ke Batam, Tanjung Pinang, Bintan ataupun Karimun. Selanjutnya mereka diberangkatkan ke negara tetangga naik pompong/perahu kecil dan di sana sudah ada yang menampung, yaitu tekongnya.
Selain melakukan perekrutan secara face to face di daerah pedesaan, ada pula para sponsor di perkotaan yang menjaring korbannya dengan memasang iklan di media cetak. Melalui iklan di media masa dengan iming-iming penghasilan puluhan juta per bulan untuk bekerja diluar negeri. Dengan iming-iming imbalan gaji yang besar sangat mudah mendapatkan mangsa, untuk kemudian mangsanya (korban) diberangkatkan ke daerah/negara tujuan sesuai pesanan dengan dokumen palsu dengan tujuan eksploitasi seks.
Harus diakui bahwa informasi tentang perdagangan manusia masih sangat terbatas. Banyak masyarakat terutama yang tinggal di pelosok-pelosok belum mengerti masalah ini. Sudah jelas bahwa trafficking merupakan masalah yang besar. Kedudukan regulator dalam hal ini otoritas penegak Hukum, pemerintah, Masyarakat luas (internasional) sebenarnya telah berulang kali mencoba untuk menghapuskan praktek perdagangan manusia melalui instrumen internasional, antara lain : Persetujuan Internasional untuk Penghapusan Perdagangan Budak Kulit Putih tahun 1904, Konvensi Internasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak pada tahun 1921, dan Konvensi Internasional Memberantas Perdagangan Perempuan Dewasa pada tahun 1933. Pada 15 November 2000, Majelis Umum PBB mengadopsi Konvensi tentang Kejahatan Terorganisir beserta protokolnya yakni Protokol Menentang Penyeludupan Migran melalui Jalur Darat, Laut dan Udara dan Protokol untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Pelaku trafficking terhadap Manusia, khususnya Perempuan dan Anak.
Berdasarkan pasal 3(a) dalam Protokol tersebut, istilah perdagangan manusia diartikan sebagai perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang melalui penggunaan ancaman atau tekanan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan, atau posisi rentan, atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan sehingga mendapatkan persetujuan dari seseorang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, untuk kepentingan eksploitasi yang secara minimal termasuk eksploitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktek-praktek lain yang serupa dengan perbudakan, penghambaan, atau pengambilan organ-organ tubuh. Sebagaimana definisi ini, suatu kegiatan dapat dikategorikan kasus trafficking bila memenuhi tiga unsur penting, pertama mulai dari Proses pemindahtanganan seseorang dari satu pihak ke pihak lainnya yang meliputi kegiatan (perekrutan, pengiriman, pengangkutan, pemindahan, penampungan, penerimaan), kedua, Jalan/cara (ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan), ketiga Tujuan (prostitusi, pornografi, kekerasan/eksploitasi seksual, pedofilia, kerja paksa, kerja dengan upah yang tidak layak, pengedaran obat terlarang, pengemis, pengantin perempuan dalam perkawinan transnasional, perbudakan/praktek-praktek lain sejenisnya).
Di Indonesia sendiri berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh sejumlah organisasi non-pemerintah, mulai dari kampanye, advokasi korban, advokasi kebijakan, membangun aliansi bersama untuk pencegahan, maupun melakukan pendidikan penyadaran akan bahaya perdagangan manusia dan sebagainya. Pada tanggal 12 Desember 2000, Indonesia ikut menandatangani Protokol PBB untuk Mencegah, Memberantas dan Menghukum Perdagangan Orang, terutama Perempuan dan Anak. Disamping itu, Pemerintah RI telah menetapkan undang-undang yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Lahirnya UU ini, sampai saat ini belum mampu mengcover terjadinya tindak pidana Perdagangan Perempuan. Karena karakteristik tindak pidana perdagangan orang ini, bersifat khusus dan merupakan extra ordinary crime, karena banyak melibatkan aspek yang kompleks, dan bersifat transnasional organized crime, karena melintasi batas-batas negara serta dilakukan oleh organisasi yang rapi dan tertutup. Sehingga menyulitkan polisi melakukan pengawasan baik ditempat perekrutan maupun jalur lalulintasnya. Disamping itu, aparat penegak hukum belum memiliki SDM yang cukup profesionalisme dan handal untuk memahami ketentuan hukumnya dan melakukan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan. Hal ini terbukti masih adanya oknum aparat terkait yang memegang kekuasaan menyalah gunakan kewenangannya untuk memperlancar terlaksananya bahkan menutupi terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Perempuan ini. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat terutama kerabat dan orang-orang terdekat korban untuk mau melaporkan ke pihak yang berwajib atas peristiwa yang dialaminya atau diketahuinya. Bahkan mereka menjadi pelaku terjadinya tindak pidana perdagangan perempuan ini. Kondisi sedemikian rupa, akan tetap mendukung tumbuhnya niat dan kesempatan para pelaku-pelaku (Traffiker) dan menumbuhkan pelaku-pelaku baru untuk melakukan aksinya.
b. Tranporter stage (Tahap Pemindahan/ Transportasi)
No Pasokan Pelanggan Regulator Kompetisi
1. Status hubungan dengan pelaku perekrutan.
1.Hubungan-hubungan yang diketahui dengan kelompok criminal pelaku perekrutan di wilayah tujuan.
Pengetahuan polisi tentang kegiatan prostitusi lokal dan kegiatan buruh illegal. Kekuatan regulasi atas bisnis untuk mengontrol buruh kerja paksa dan buruh yang dibayar sangat murah. Upaya penegakan yang dilakukan untuk menemukan orang-orang yang diperdagangkan 1. Usaha prostitusi lokal yang menggunakan wanita yang tidak diperdagangkan.
2 Kemudahan akses terhadap metode transit dan rute transit yang mudah 2. Sejauhmana wilayah tujuan kelompok konstan atau berubah. 2. Sejauh mana permintaan illegal lokal atas buruh/ seks dilayani oleh pemasok yang bukan melakukan perdagangan manusia.
Kebanyakan dari kasus trafficking yang dialami perempuan adalah menjebak mereka sebagai pekerja seks . Pengalaman pertama menjadi pekerja seks akan selalu terkait dengan masalah psikis mereka. Melalui pengalaman mereka, banyak diantara mereka yang mengalami trauma. Sebagai ilustrasi :
Bunga (bukan nama sebenarnya) yang didampingi oleh Yayasan Hotline Surabaya di Bangunsari, Surabaya. Bunga menjadi pekerja seks pertama kali di Samarinda ketika berusia 17 tahun. Bunga mengalami proses yang sangat panjang sampai akhirnya menjadi pekerja seks. Dalam keadaan menganggur dan miskin, Bunga mau diajak bibinya bekerja. Awalnya Bunga sebagai pembantu Rumah Tangga disebuah Losmen. Tetapi dia berhenti karena sakit-sakitan, kemudian Bunga dibawa bibinya bekerja ditempat lokalisasi sebagai pelayan bar membawakan tamu-tamu bir. Selain itu, Bunga juga disuruh membantu ngerokin tamu-tamu bibinya. Bunga tidak tahu kalau bibinya bekerja ditempat orang-orang nakal. Rupanya bibinya Bunga berencana menjualnya. Bunga dikenalkan kepada seorang camat, tetapi ia juga pacaran dengan seorang polisi. Suatu malam, ketika Bunga belajar merokok, bibinya menyuruhnya masuk kamar dan kamar dikunci dari luar oleh bibinya. Lalu masuk polisi pacarnya Bunga. Polisi itu berkata kalu dia telah memberikan sejumlah uang kepada bibinya untuk membeli keperawanan Bunga. Tetapi Bunga menolak melayani polisi (pacarnya) itu sehingga keesokan harinya Bunga menerima siksaan fisik dari bibinya. Akhirnya Bunga kabur dari tempat itu dengan bantuan temannya. Bunga memutuskan pergi ke tempat lokalisasi di Muara Badak untuk menjadi pekerja seks. Ditempat itulah Bunga menjual keperawanannya kepada tamu pertamanya yang ia lupa siapa pertama kali ia layani. Tetapi hanya 6 bulan Bunga sebagai pekerja seks, ia berhenti karena sakit. Sampai akhirnya Bunga ditolong oleh seorang laki-laki yang kemudian melamarnya. Perkawinan Bunga hanya bertahan 2 tahun, karena pada saat mengandung 8 bulan ia dipulangkan ke Malang. Ketika anak berusia 2 bulan, suaminya bersurat kalau kontraknya sudah habis. Itu berarti kerjanya sudah habis.
Dari ilustrasi yang dialami Bunga, menggambarkan bahwa ia adalah korban Trafficking. Terjadinya Trafficking dalam kasus Bunga disebabkan antara lain, pertama : ada isu pemindahan yang menempatkan Bunga pada posisi rentan dan kehilangan dukungan sosial karena sendirian menghadapi godaan tekanan psikologis untuk menjadi pekerja seks. Kedua, adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh bibinya. Bibi sebagai tali keluarga yang seharusnya melindunginya atau menghindarkannya dari perdagangan perempuan, malah menjebaknya menjadi pekerja seks dan tega menjual keponakannya kepada laki-laki yang sebetulnya sudah menjadi pacarnya (seorang polisi). Ketiga, adalah bibinya menerima uang dari laki-laki yang sudah ia kenal dan bahkan berstatus sebagai aparat yang semestinya bertindak mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana perdagangan perempuan ini. Tetapi malah menjadi pelaku sebagai pelanggan terjadinya tindak pidana ini. Keempat, walaupun ditemat tujuannya bunga tersedia lapangan pekerjaan yang lain (bukan sebagai pekerja seks), tetapi karena adanya pengaruh lingkungan dan dalam keadaan yang tertekan memaksa Bunga untuk menjadi korban Trafficking. Kelima, masih adanya permintaan (demand) dari orang-orang tertentu baik sebagai calo ataupun pelanggan yang menginginkan adanya pekerja seks, dan didukung kondisi rentan pihak korban serta adanya pembiaran terjadinya tindak pidana perdagangan perempuan oleh aparat, akan menyuburkan bisnis ini tetap terlaksana dengan tertutup dan rapi. Artinya, sepanjang adanya permintaan (demand) dari daerah tujuan, maka kegiatan perekrutan dan suply dari daerah asal akan tetap berjalan. Kondisi seperti ini akan tetap mengancam perempuan sebagai korban trafficking.
Terkait dengan peristiwa yang menimpa Bunga dan korban-korban trafficking lainnya, terjadinya praktek trafficking yang sampai saat ini belum bisa ditanggulangi karena adanya Penyalahgunaan kekuasaan. Dalam perdagangan perempuan banyak aparat yang menyelahgunakan kekuasaannnya untuk membackingi sindikat perdagangan perempuan. Pemalsuan identitas kerapkali dilakukan oleh aparat pemerintah yang berhubungan langsung dengan pengurusan data diri. Seperti pemalsuan KTP dan akta kelahiran. Di bagian imigrasi juga sering terjadi kolusi antara pelaku dengan pegawai imigrasi sehingga perdagangan perempuan yang ditujukan ke luar negeri dapat melewati batas negara dengan aman.
Kondisi ini sungguh amat memprihatinkan, kebijakan penegakan hukum yang terpadu dan terpusat pada korban amatlah dibutuhkan. Fungsi regulator dalam hal ini adalah pentingnya memberikan dukungan dan proteksi bagi korban trafficking. Pada pokok pertama, perlu dipresentasikan terlebih dahulu asal muasal kebijakan dukungan bagi korban seperti pergerakan peran korban bagi pelaporan tindak kejahatan dan statistik kepolisian. Selanjutnya, perlu diperhatikan aspek dukungan dan proteksi dari korban trafficking yang memiliki kebutuhan khusus dan menghadapi kesulitan yang berbeda dibanding korban kejahatan lainnya. Memperhatikan kedua hal tersebut, ketentuan dan praktek yang diperlukan oleh regulator bagi kesejahteraan korban trafficking perlu digaris bawahi. Lebih jauh, dan berdasarkan pada tinjauan literatur, perlu ditekankan asumsi bahwa melaporkan kejahatan dan berkonsentrasi pada kegiatan investigasi polisi. Sebagai konsekuensinya, keberhasilan dari gugatan kriminal semacam ini lebih dimungkinkan, dan ini berarti bahwa trafficker akan berhasil diidentifikasi dan jaringan trafficking akan dapat terbongkar.
Pada akhirnya, perlu digaris bawahi pentingnya korban sebagai manusia yang bebas menentukan kontribusinya bagi sistem peradilan pidana, serta animo mengenai kebutuhan atas kebijakan anti-trafficking yang berpusat pada korban terkait denga hak asami manusia yang seimbang dengan animo terhadap dakwaan yang efektif (dengan adanya partisapasi dari korban) bagi trafficker sebagai bagian dari pendekatan yang lebih luas yang beroreantasi pada pencegahan perdagangan manusia.
Koordinasi dan kerjasama di antara semua pihak yang bergerak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan sangat diperlukan. Keperluan membangun Koordinasi intra-lintas-nasional antar instansi, antara lain, karena (a) adanya keterbatasan setiap institusi baik secara kewenangan dalam hukum atau keahlian profesional, (b) dibutuhkannya penanganan kasus secara komprehensif dan terpadu bagi pencegahan dan penanganan perdagangan perempuan yang memang memiliki karakteristik yang kompleks (misalnya kejahatan lintas wilayah, lintas negara) sehingga membutuhkan penanganan yang tidak biasa (extraordinary). Terwujudnya Koordinasi intra-lintas-nasional antar instansi tersebut dimungkinkan jika ada dukungan kesediaan dari segenap pelaku pencegahan dan penaggulangan perdagangan perempuan yang telah ada, dukungan legal, serta dukungan dan fasilitasi yang memadai.
c. Exploiter Stage (Tahap Eksploitasi)
Pasokan
Pelanggan
Regulator
Kompetisi
1. Kekuatan hubungan-hubungan dengan kelompok yang melakukan pemindahan korban.
2. Kapasitas untuk melakukan intimidasi korban untuk mempertahankan control atau kendali.
3. Kemudahan dimana korban bisa dipindahkan setelah sampai di tujuan. 1. Ukuran permintaan lokal dalam hal prostitusi.
2. Ukuran pasar untuk mempekerjakan pekerja yang tidak didokumentasikan.
3. Tingkat kesadaran perdagangan manusia di lokasi tujuan. 1. Pengetahuan polisi tentang prostitusi lokal dan kegiatan buruh illegal.
2. Kekuatan peraturan terhadap bisnis terhadap orang-orang yang menguasai. 1. Kemudahan yang relative dan keuntungan dari perdagangan manusia dibandingkan dengan menyelundupkan barang-barang lain.
2. Intensitas kompetisi dari kelompok kejahatan lain.
Memang tidak ada satu pun yang merupakan sebab khusus terjadinya trafficking. Terjadinya Trafficking karena bermacam-macam kondisi serta persoalan yang berbeda-beda. Tetapi dapat disimpulkan beberapa faktor, antara lain :
1. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafficking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban.
2. Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut.
3. Kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, diyakini menjadi salah satu pemicu trafficking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua.
4. Lemahnya pencatatan /dokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas.
5. Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafficking
Dapat digambarkan dari hasil penelitian , yang mengungkapkan gambaran samar dari suatu jaringan pelaku perdagangan orang (trafficker) yang diperoleh melalui berbagai penjelasan informan penelitian tentang pola rekruitmen para pelaku perdagangan orang (trafficker) dalam menjaring korban. Dari penjelasann para informan tersebut, kemudian diperoleh berbagai peran yang menggambarkan jaringan pelaku perdagangan orang (trafficker) tersebut, antara lain adanya: Sponsor, yaitu orang yang merekrut korban di daerah asal korban dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk proses pemberangkatan, termasuk penginapan korbannya dan orang tua korban juga diberikan sejumlah uang. Modus ini dilakukan untuk mengikat korban dengan secara tidak langsung sudah berhutang kepada pelaku. Mau tidak mau, suka tidak suka si korban harus mengikuti apa perintah si pelaku. Selanjutnya, Calo, yang tidak hanya satu orang melainkan berantai sehingga banyak tangan yang terlibat, yang terdiri dari beberapa calo berantai di daerah asal korban dan calo yang berada di Jakarta atau Surabaya, yang bertugas untuk membawa korban ke tempat tujuan, misalnya ke Batam, Tanjung Pinang, Bintan ataupun Karimun. Tekong, pihak yang menampung korban di tempat tujuan, bahkan di luar negeri. Setelah mereka berada di tempat tujuan maka mereka disalurkan ke beberapa pihak, seperti germo setempat, pengusaha tempat hiburan/prostitusi dan sebagainya.
“Mengacu pada uraian pengalaman beberapa korban perdaganganorang (trafficking) di atas, maka adalah benar bahwa jeratan hutang adalah salah satu sarana bagi orang atau kelompok orang untuk menguasai seseorang untuk tujuan mempunyai kendali atau kontrol atas seseorang, atau untuk memaksakan kehendak atau kepentingan, atau untuk eksploitasi”.
Perdagangan Orang dianggap sebagai “industri paling menguntungkan” dibanding dengan kejahatan terorganisir lainnya, seperti trafficking of drug and arms. Hal ini menyangkut manusia yang diperlakukan sebagai “komoditi yang bisa didaur ulang.” Artinya, korban dieksploitasi, disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi berulangkali untuk meningkatkan keuntungan pelaku. Tidak seperti narkoba yang sekali pakai habis. Dalam kasus eksploitasi prostitusi, korban bahkan dieksploitasi sejak berumur 15 tahun dan kemudian dicampakkan begitu saja setelah dianggap tidak mempunyai nilai jual (dikarenakan faktor usia atau menderita penyakit). Dalam kasus yang lain, pembantu rumah tangga bisa dijual ke puluhan majikan selama bertahun-tahun. Artinya, perdagangan orang telah menjadi bisnis kuat yang bersifat lintas daerah bahkan lintas negara karena walaupun illegal hasilnya sangat menggiurkan, merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan senjata. Tidak mengherankan jika kejahatan internasional yang terorganisir kemudian menjadikan prostitusi internasional dan jaringan perdagangan orang sebagai fokus utama kegiatannya.
Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan sumber daya yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen bersama yang lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana dan konsisten antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah bahkan melibatkan jaringan luas baik dengan pemerintah negara sahabat dan lembaga internasional. Oleh karena itu dalam Peraturan Daerah sebaiknya dikembangkan pula kerjasama antara provinsi ataupun kabupaten/kota di Indonesia, kemitraan dengan dunia usaha dan berbagai elemen masyarakat sebagai upaya untuk melakukan pencegahan dan penanganan korban Perdagangan Orang dan membangun berbagai jejaring dengan berbagai elemen masyarakat. Peraturan daerah tentang Pencegahan dan Penanganan Karban Perdagangan orang lebih menekankan pada upaya untuk melakukan pencegahan perdagangan orang daripada upaya represif terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang karena pengaturan mengenai tindakan represif telah diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pemberantasan Perdagangan Orang dan dengan dimaksimalkannya upaya pencegahan terhadap perdagangan orang diharapkan dapat menekan seminimal mungkin korban perdagangan orang.
Upaya Pencegahan Perdagangan orang dilakukan melalui Pencegahan Preemtif dan Pencegahan Preventif. Pencegahan preemtif merupakan tindakan yang harus dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan oleh Pemerintah Daerah yang bersifat jangka panjang dalam upaya pencegahan perdagangan orang. Pencegahan Preventif merupakan upaya langsung yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pencegahan perdagangan orang yang berupa pengawasan terhadap setiap Perusahaan Penyalur Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) dan Korporasi yang ada, membangun jejaring dengan berbagai pihak terkait (LSM, penegak hukum) dan membuka akses pengaduan terhadap adanya tindak pidana perdagangan orang.
Secara institusional, pemerintah (regulator) mempunyai kewenangan untuk menangkap trafficker, dan mengalokasikan sumberdaya untuk mendukung program dan kegiatan pencegahan dan perlindungan kepada korban. Untuk mengatasinya, diperlukan kerjasama seluruh pihak, baik di dalam dan di luar negeri, antara daerah asal, transit dan tujuan. Kerjasama tersebut sangat penting, karena penghapusan perdagangan orang di daerah tujuan tidak akan pernah berhasil jika daerah asal masih tetap mengirimkan calon korban untuk dieksploitasi. Selain kerjasama antar daerah atau negara, kerjasama antara pelaku penghapusan perdagangan orang di suatu daerah juga sangat penting, seperti misalnya pihak kepolisian tidak akan mungkin pernah bisa mendeteksi terjadinya setiap kejahatan di wilayahnya karena keterbatasan personil dan perlengkapannya, sehingga untuk itu diperlukan bantuan masyarakat untuk menginformasikan terjadinya kejahatan yang diketahuinya kepada polisi sehingga dapat segera ditindaklanjuti.
Perdagangan orang khususnya perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, korban dirampas hak asasinya dan diperlakukan seperti barang dagangan yang dibeli, dijual, dipindahkan dan dijual kembali bahkan terkadang berisiko pada kematian. Gejala ini berkembang dan berubah dalam berbagai bentuk kompleksitasnya, tetapi bagaimanapun bentuknya tetap sebagai perbudakan. Selama ini banyak masyarakat menganggap bahwa perdagangan orang hanya terbatas pada bentuk prostitusi saja, pada hal dalam kenyataannya mencakup banyak bentuk lain dari kerja paksa. Oleh karena itu isu perdagangan orang ini sekarang menjadi isu besar yang menarik perhatian masyarakat luas baik regional maupun internasional.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan instrumen untuk melindungi masyarakat dari bahaya tindak pidana perdagangan orang. Akan tetapi, patutlah diwaspadai bahwa karakteristik tindak pidana perdagangan orang ini, bersifat khusus dan merupakan extra ordinary crime, karena banyak melibatkan aspek yang kompleks, dan bersifat transnasional organized crime, karena melintasi batas-batas negara serta dilakukan oleh organisasi yang rapi dan tertutup. Dengan demikian, strategi penanggulangan dan pemberantasannya harus secara khusus pula. Oleh karena itu, diperlukan profesionalisme dan kehandalan para penegak hukumnya untuk memahami ketentuan hukumnya dan melakukan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan. Disamping dukungan masyarakat melalui advokasi dan pemberdayaan seluruh lapisan masyarakat, sehingga diharapkan tindak pidana perdagangan orang ini dapat ditekan bahkan diberantas.
Daftar Pustaka
Muhammad Kemal Darmawan, Pemberdayaan Korban Perdagangan Manusia, dalam Victimologi Bunga Rampai Kajian Tentang Korban Kejahatan : Jakarta, FISIF UI Press, 2011, halaman 111.
Arif Gorsita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1993, hal. 46.
Harkristuti Harkrisnowo: Jakarta, Laporan Perdagangan Manusia di Indonesia, Sentra HAM Universitas Indonesia, 2003.
Dra. Dtp. Kusumawardhani, M.Si, Laporan Akhir Program Insentif Peneliti dan Perekayasa Lipi Tahun 2010, “Human Trafficking: Pola Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu Terhadap perdagangan perempuan.
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia Tahun 2004-2005.
Pigay, N, Migrasi dan penyelundupan manusia : 2005. http://www.nakertrans.go.id
Jurnal ELSAM seri ( 6, September 2005). Perdagangan Manusia dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP.
Jurnal Perempuan 36, untuk pencerahan dan kesetaraan, Pendampingan Korban Trafiking, Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan, Juli 2004, hal 8.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Convention against Transnational Organized Crime yang diselenggarakan di Palermo Itali Tahun 2000 dalam Bahan Kuliah Mahasiswa S2 STIK Angkatan I, tanggal 25 Januari 2012.
International Organization for Migration (2008), Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban Dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, hal. 18.
HAM Dalam Praktek, Panduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak : Jakarta, Global Alliance Against Traffic in Women, 1999.