Bulan: Juli 2012

PENANGGULANGAN VIKTIMISASI STRUKTURAL AKIBAT KETIDAKMAMPUAN KPU DALAM MENETAPKAN DPT PEMILU 2009 SECARA BENAR (Studi Kasus “Kisruh DPT” Pemilu 2009 )

PENANGGULANGAN VIKTIMISASI STRUKTURAL AKIBAT KETIDAKMAMPUAN KPU DALAM MENETAPKAN DPT PEMILU 2009 SECARA BENAR
(Studi Kasus “Kisruh DPT” Pemilu 2009 )
oleh DEFOR ,Mr.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perspektif viktimologi, pada prinsipnya negara berkewajiban menjamin rasa aman dan perlindungan bagi warganya dalam berbagai aspek kehidupan. Negara memiliki peran dalam penyelenggaraan kehidupan yang layak bagi seluruh warga negaranya melalui proses tertentu dalam suatu system yang ada. Namun kenyataannya dalam rangka pelaksanaan peran dimaksud, terkadang negara justru berperan atau mempunyai andil dalam menimbulkan suatu viktimisasi melalui dikeluarkannya berbagai kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, baik dalam skala nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun dalam skala lokal yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tertentu, yang semula ditujukan untuk mengatur aspek-aspek kehidupan dalam masyarakat, namun justru mengakibatkan timbulnya kerugian di kalangan masyarakat, antara lain berupa diskriminasi terhadap kelompok sipil tertentu, tidak terpenuhinya hak-hak warga negara, dll, sehingga dalam hal yang demikian terjadi suatu viktimisasi struktural. Viktimisasi struktural meliputi :
1. politically structural victimization,
2. socially structural victimization,
3. legally structural victimization,
4. economically structural victimization dan
5. victimization caused by power abuse

Viktimisasi struktural merupakan bentuk kejahatan non-kekerasan dengan ciri hampir selalu impersonal, random, serta korban yang massif dan kolektif. Viktimisasi struktural tersebut bentuknya dapat berupa derita fisik atau pun non-fisik, yang berlangsung secara prosesual, tidak kasat mata dan tidak langsung, namun implikasinya dapat ditemui pada berbagai sistem di masyarakat. Ciri korban kejahatan non-kekerasan meliputi perasaan ketakutan terhadap kejahatan tidak berkembang, tidak merasa diancam/terancam secara fisik, tidak acuh /mengerti / sadar bahwa telah terviktimisasi dan indikasi kondisi ‘ketergantungan’ dan sikap ‘pasrah’. Sebagai bahan studi kasus dalam melakukan analisis terhadap fenomena viktimisasi struktural yang hendak dituangkan dalam penulisan ini, selanjutnya penulis akan mengambil contoh kasus “kisruh DPT” dalam Pemilu 2009, baik dalam Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Kasus tersebut menarik, mengingat pada saat terjadinya di tahun 2009, menimbulkan kegoncangan politik yang luar biasa karena muncul berbagai spekulasi di dalamnya terkait dengan pihak mana yang harus mempertanggungjawabkannya.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah : ”Bagaimana upaya pencegahan dan penyelesaian viktimisasi struktural yang terjadi akibat ketidakmampuan KPU dalam penetapan DPT Pemilu 2009 secara benar
(Studi Kasus ”Kisruh DPT” Pemilu 2009) ?”

C. Persoalan-Persoalan

1. Bagaimana kondisi riil penetapan DPT dalam Pemilu 2009 ?
2. Bagaimana terjadinya viktimisasi struktural akibat ketidakmampuan KPU dalam menetapkan DPT Pemilu 2009 ?
3. Bagaimana upaya penanggulangan viktimisasi struktural akibat ketidakmampuan KPU dalam menetapkan DPT Pemilu 2009 ?

II. PEMBAHASAN

A. Kondisi riil DPT Pemilu 2009

Dalam penulisan ini, penulis hanya akan mengulas kondisi riil terkait permasalahan penetapan DPT pada pelaksanaan Pemilu 2009 dengan merujuk kepada beberapa contoh kasus yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia mengingat tidak memungkinkan untuk membahas secara detail keseluruhan kasus yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia terkait dengan banyaknya jumlah kasus dimaksud yang terjadi saat Pemilu 2009, sebagaimana yang diakui oleh Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari terkait dengan temuan Panitia Angket DPT DPR bahwa ada kesalahan DPT di sejumlah Provinsi di Indonesia, kurang lebih di 13 daerah adalah hal yang benar adanya . Kondisi riil yang dimaksud terkait dengan bentuk-bentuk riil permasalahan penetapan DPT dalam Pemilu 2009 di beberapa daerah di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
1. Kasus DPT bermasalah yang terjadi di Jawa Timur Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi Jawa Timur menemukan daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah di hampir seluruh kabupaten kota di provinsi itu. Panwas menemukan sedikitnya 40 ribu kasus, mulai dari nama dan nomor induk kependudukan ganda, pemilih yang sudah pindah tempat tinggal dan warga dibawah umur. Ketua Panwaslu Jawa Timur Sri Sugeng Pujiatmiko menuturkan panwas juga masih menemukan ada anggota TNI/Polri yang masuk dalam DPT.

Dari hasil penelusuran yang dilakukan, di beberapa kabupaten di Jatim telah terjadi penggelembungan jumlah pemilih. Di Kabupaten Trenggalek, misalnya, NIK yang sama mencapai 6.115, NIK dan nama sama sebanyak 4.960, sedangkan NIK, nama dan tempat tanggal lahir (TTL) sama mencapai 4.397.

2. Kasus DPT bermasalah yang terjadi di Jawa Tengah Panwaslu Provinsi Jawa Tengah (Jateng), menemukan sekitar 66.917 pemilih yang terdaftar pada daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah. Permasalahan yang ditemukan, antara lain disebabkan tidak ada nomor induk kependudukan (NIK), DPT ganda dan pemilih yang telah meninggal dunia. Selain itu, terdaftar sebagai anggota TNI/Polri, di bawah umur, terdaftar di DPS tetapi tidak terdaftar di DPS, pindah alamat, alamat fiktif, tidak dikenal dan sakit jiwa. Puluhan ribu DPT bermasalah ini ditemukan oleh Panwas ditingkat Kabupaten/Kota. Rincian DPT bermasalah tersebut meliputi, DPT ganda sebanyak 14.168 pemilih, terdaftar sebagai TNIsebanyak 255 pemilih, sebagai anggota Polri 141 pemilih, di bawah umur, pada tanggal 5 Januari 2010.

714 pemillih, meninggal 16.259 pemilih, terdaftar di DPS tetapi tidak ada di DPT 931 pemilih. Selain itu, ada pula pemilih yang dinyatakan sakit jiwa namun masuk dalam DPT berjumlah 85 pemilih, tidak ada NIK 28.715 pemilih, pindah alamat 3.904 pemilih, alamat fiktif 1.329 pemilih, dan tak dikenal 416 pemilih.

Tim sukses Capres Megawati-Prabowo di Solo juga menemukan ribuan nama dalam DPT yang dikeluarkan KPU Solo, Jawa Tengah diduga fiktif. Di Kabupaten Blora juga ditemukan 11 ribu pemilih belum terdaftar dalam DPT Pilpres.

3. Kasus DPT bermasalah yang terjadi di DKI Jakarta Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) DKI Jakarta mencatat sedikitnya terdapat 18 kelurahan dari 267 kelurahan di Jakarta yang dikategorikan rawan penyimpangan data pemilih. Kelurahan-kelurahan tersebut yakni Kebon Kosong, Jatinegara, Cakung Timur, Cakung Barat, Pulogadung, Selong, Senayan, Kalibata, Rawajati, Duren Tiga, Karet, Setia Budi, Krendang, Srengseng, Pegadungan, Kamal, Kapuk Muara, dan Ancol. Analisa mengenai pemetaan wilayah kelurahan rawan tersebut,didasari pada salinan data DPT yang diterbitkan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta. Salinan tersebut di antaranya DPT Pemilu 2004, Pemilih Sementara (DPS) Pileg, DPT Pileg, dan DPT Pilpres. Panwaslu DKI Jakarta membandingkan keempat data daftar pemilihtersebut dan menemukan penambahan atau pengurangan jumlah pemilihyang ekstrim pada ke-18 kelurahan tersebut. Bentuk keganjilan yangditemukan tersebut dikarenakan adanya jumlah pemilih yang meningkathingga lebih 25 persen dan wilayah lainnya mengalami penurunan dengannilai signifikan. Peningkatan jumlah pemilih paling eksrim terjadi diKelurahan Jatinegara, dengan kenaikan jumlah pemilih mencapai 19.639(DPT Pileg 78.297 pemilih sedangkan DPT Pilpres 97.936). Sedangkan, penurunan jumlah DPT paling eksrim terjadi di Kelurahan Kalibata sengan penurunan mencapai 13.080 (DPT Pileg 30.455 dan DPT Pilpres 17.375).

4. Kasus DPT bermasalah yang terjadi di Sulawesi Selatan Sebanyak 67.639 nama dalam daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah ditemukan di Sulsel. Nama-nama tersebut tersebar di Kota Makassar, Parepare, Bone, dan Bantaeng. Masalah tersbeut ditemukan panitia pengawas pemilu (panwaslu), calon anggota legislatif, dan lembaga swadaya masyarakat. Di Bone, para ketua partai mendatangi KPU meminta print out DPT untuk dilakukan cross check masing-masing. Kekacauan terbanyak terjadi di Kabupaten Bantaeng, dengan terdapatnya 67.375 nama yang kacau, dikarenakan permasalahan-permasalahan seperti pemilih ganda, pemilih di bawah umur, pemilih tanpa keterangan nomor induk kependudukan (NIK), dan NIK yang diduga tidak valid. Di Parepare, lembaga swadaya masyarakat dan partai politik menemukan beberapa keganjilan antara lain, nama satu orang tertulis beberapa kali, jumlahnya mencapai 178 kasus, kemudian ada pula nama sepasang suami istri yang disinyalir hilang dari DPT. Di Bone, ada 300 nama ganda.Di Makassar, panwaslu menemukan kekacauan DPT di Kelurahan Bungaya, Kecamatan Tamalate, dengan ditemukannya satu nama yang terdaftar di dua TPS, jumlahnya 76 kasus, kemudian ada pula kasus namaganda dan orang yang sudah meninggal masuk dalam DPT. Panwas di Kecamatan Tamalate, Makassar, menemukan nama gandadalam DPT untuk dua tempat pemungutan suara (TPS), yaitu ada 76 nama yang sama di TPS tersebut, yaitu TPS 2, 3 dan 13 di Kelurahan Bungaya.

B. Viktimisasi struktural dalam kasus ”Kisruh DPT” Pemilu 2009

Berdasarkan studi kasus diatas, maka penulis berpendapat bahwa dalam permasalahan yang timbul akibat ketidakmampuan KPU untuk menetapkan DPT Pemilu 2009 secara benar telah mengakibatkan terjadinya suatu viktimisasi struktural, artinya bahwa hal tersebut telah menimbulkan korban di pihak masyarakat yang menjadi kehilangan hak pilihnya dalam Pemilu 2009.Perwujudan viktimisasi struktural yang terjadi dalam kasus dimaksud, dapat dikategorikan sebagai victimization caused by power abuse, karena kesalahan yang terjadi dalam penetapan DPT Pemilu 2009 diakibatkan oleh ketidakmampuan KPU melakukan pendataan terhadap masyarakat yang telah memiliki hak pilih sehingga berakibat terjadinya berbagai permasalahan ketika DPT ditetapkan. Kinerja KPU yang tidak “correct” tersebut disamping menimbulkan korban di pihak masyarakat yang seharusnya memiliki hak pilih namun menjadi kehilangan hak pilihnya, juga menimbulkan korban dari pihak para peserta Pemilu 2009, baik para calon legislatif (caleg) dalam Pemilu Legislatif 2009 maupun para calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009. Selain KPU, sebagai pihak yang dituding paling bertanggungjawab secara langsung dalam kasus DPT bermasalah tersebut, terdapat beberapa pihak lain yang juga dituding turut bertanggung jawab secara tidak langsung, antara lain Departemen Dalam Negeri. Depdagri dituding turut bertanggung jawab sehubungan dengan mekanisme penentuan nomor induk kependudukan (NIK) yang menjadi domain Depdagri . Berbagai pihak pun melayangkan gugatannya terhadap kasus tersebut, antara lain sebagaimana yang dilakukan oleh Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) yang menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait DPT bermasalah yang dinilai mengindikasikan adanya skenario politik. KIPP melalui Sekjennya, Mochtar Sondakh, menyatakan bahwa KPU telah melakukan pelanggaran HAM, dengan pertimbangan bahwa hak memilih dan dipilih termasuk dalam hak dasar demokrasi, sehingga jika hilangnya hak tersebut disebabkan oleh DPT, maka KPU dapat dikategorikan sebagai pelanggar HAM . Gugatan serupa juga diajukan oleh pasangan Capres-Cawapres JK-Wiranto dan Mega-Prabowo melalui tim advokasinya yang akan mengajukan gugatan berbagai temuan kecurangan selama pemilihan presiden dan wakil presiden, termasuk di dalamnya masalah daftar pemilih tetap (DPT) kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Namun keseluruhan gugatan tersebut ditolak oleh MK dengan pertimbangan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ketua MK, Mohammad Mahfud MD, bahwa permasalahan DPT dan pelanggaran pidana . Oleh karena itu, permasalahan DPT tersebut masih menyisakan tanya terkait dengan siapa pihak yang paling serta harus bertanggung jawab secara hukum. Namun secara umum, KPU merupakan pihak yang paling bertanggung jawab untuk itu, apapun alasannya, disamping adanya pihak-pihak lain yang turut bertanggung jawabm secara tidak langsung, seperti Depdagri.

C. Penanggulangan viktimisasi struktural dalam kasus ”Kisruh DPT” Pemilu2009

Permasalahan viktimisasi struktural merupakan permasalahan yang tidak mudah untuk ditanggulangi mengingat terdapatnya keterlibatan unsur-unsur struktur sosial, yaitu: kepentingan, lembaga-lembaga sosial, nilai-nilai sosial,norma, status dan peranan.
Oleh karena itu dalam penanggulangan viktimisasi struktural tersebut, perlu didapatkan pemahaman secara integral terhadap esensi permasalahan viktimisasi struktural dimaksud. Pemahaman tersebut dapat dimulai dengan melakukan analisis terhadap unsur-unsur struktur sosial yang terlibat di dalamnya. Tahap selanjutnya dalam penanggulangan viktimisasi struktural adalah mewujudkan bentuk-bentuk perlindungan kepada pihak-pihak yang menjadi korban dalam viktimisasi struktural tersebut yang merupakan kewajiban negara sebagai akibat terjadinya kejahatan, penyimpangan atau kekeliruan tindakan aparat negara, yaitu pemberian kompensasi / penyetaraan hak, rehabilitasi / pemulihan hak dan restitusi / pengembalian hak. Tidak cukup sampai disitu, negara pun harus menyelenggarakan suatu mekanisme guna mencegah terjadinya suatu viktimisasi struktural untuk ke depannya.Disamping itu yang perlu diperhatikan dalam menanggulangi suatu permasalahan viktimisasi struktural adalah terwujudnya asas keadilan dan keseimbangan, artinya dapat terwujud suatu keadilan dan keseimbangan bagi para pihak yang menjadi korban dengan mendapatkan perlindungan yang sesuai dari negara maupun keadilan dan keseimbangan sanksi yang harus diterima oleh pihak penimbul korban (victimizer).

Berdasarkan fakta-fakta yang terdapat dalam kasus “Kisruh DPT” Pemilu 2009, maka penanggulangan yang dapat diupayakan dalam permasalahan viktimisasi struktural tersebut, antara lain sebagai berikut :

1. Pemerintah harus melakukan pengusutan terhadap permasalahan terkait dengan penetapan DPT Pemilu 2009 secara hukum sehingga dapat diketahui pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam permasalahan tersebut. Selanjutnya terhadap pihak-pihak dimaksud harus dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah merupakan lembaga sosial yang harus berperan utama dalam mengusut permasalahan dimaksud melalui lembaga-lembaga negara yang berkompeten, antara lain Polri, Panwaslu, Bawaslu, dll.

2. Apabila permasalahan dalam kasus penetapan DPT Pemilu 2009 tersebut sudah terurai dengan jelas meliputi posisi kasusnya serta pihak-pihak yang terlibat di dalamnya, baik sebagai penimbul korban (victimizer) maupun pihak korban (victim), maka terhadap korban, dalam hal ini masyarakat yang kehilangan hak pilihnya perlu diberikan restitusi guna mengembalikan haknya tersebut untuk dapat memilih dalam Pemilu 2009 melalui mekanisme yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, misalnya dengan melakukan Pemilu susulan untuk masyarakat yang kehilangan hak pilihnya, dll, sehingga secara otomatis akan terpenuhi juga hak dari korban yang timbul pada pihak peserta Pemilu, yaitu para caleg atau capres dan cawapres guna meraih tambahan suara yang semula hilang akibat penetapan DPT yang bermasalah oleh KPU. Sedangkan terhadap pihak penimbul korban, dalam hal ini antara lain KPU maupun Depdagri perlu diberikan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, baik pidana maupun administratif, tergantung kepada fakta-fakta yang terungkap dari hasil pengusutan permasalahan tersebut, misalnya sanksi administratif dengan pencopotan para pejabat KPU.

3. Sebagai mekanisme pencegahan agar permasalahan yang sama tidak terulang ke depannya, maka pemerintah perlu melakukan serangkaian langkah-langkah, antara lain :
a. Pelaksanaan pendataan ulang oleh KPU terhadap warga Negara Indonesia yang telah memiliki hak pilih.
b. Revisi kebenaran identitas dalam KTP oleh Depdagri, khususnya terkait dengan status warga negara apakah masih hidup atau sudah meninggal, apakah dalam kategori sipil yang memiliki hak pilih atau TNI / Polri, dll. Selanjutnya apabila hal tersebut sudah teridentifikasi dengan baik, maka terhadap NIK warga negara yang memiliki hak pilih diserahkan kepada KPU, sedangkan yang tidak memiliki hak pilih dilakukan penyortiran untuk tidak diserahkan ke KPU.
c. Pemerintah melalui KPU perlu menyelenggarakan pusat-pusat pelayanan bagi warga negara yang hendak melakukan pengaduan apabila terjadi permasalahan dalam hal penetapan DPT oleh KPU sehingga permasalahan tersebut dapat segera ditindaklanjuti dan tidak meluas.
d. Pemerintah melalui instansi-instansi terkait harus memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang mekanisme penetapan DPT, misalnya dengan melaksanakan sosialisasi, sehingga diharapkan dapat timbul suatu kontrol social (social control) dari masyarakat terhadap kineja pemerintah manakala terjadi penyimpangan atau kekeliruan dalam hal penetapan DPT.

III. KESIMPULAN

Permasalahan yang timbul dalam penetapan DPT oleh KPU pada Pemilu 2009 terwujud dalam berbagai bentuk, antara lain terdapatnya NIK ganda, terdapat NIK orang yang sudah meninggal, terdapat NIK anggota Polri/TNI, terdapat NIK anak-anak, dll. Permasalahan tersebut diakui sebagai tanggung jawab utama dari KPU oleh Ketua KPU.
Viktimisasi struktural yang terjadi dalam kasus dimaksud, dapat dikategorikan sebagai victimization caused by power abuse, karena kesalahan yang terjadi dalam penetapan DPT Pemilu 2009 diakibatkan oleh ketidakmampuan KPU melakukan pendataan terhadap masyarakat yang telah memiliki hak pilih sehingga berakibat terjadinya berbagai permasalahan ketika DPT ditetapkan.
Penanggulangan viktimisasi struktural dalam permasalahan penetapan DPT dimaksud harus dilakukan secara integral oleh pemerintah melalui serangkaian langkah – langkah tertentu sehingga penanggulangan permasalahan dimaksud dapat dilakukan secara tepat sasaran dan tidak menimbulkan korban yang lain.
Disamping itu, masyarakat pun harus berperan dalam melakukan kontrol sosial terhadap kinerja pemerintah dalam penanggulangan permasalahan dimaksud sehingga tidak terjadi penyimpangan atau kekeliruan bahkan tidak tepat sasaran.

Jakarta, April 2012
Penulis

DAFTAR PUSTAKA

• Gosita, Arif, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), PT Bhuana IlmuPopuler, Jakarta, 2004.
• Meliala, Adrianus, Korban Kejahatan Non Kekerasan, diakses dari situs :http://www.adrianusmeliala. com/ index.php?kat=4&hal=lecture,
• “Kasus DPT: Bila Salah Ketua KPU Terancam Diberhentikan”, diakses dari situs :http://www.menkokesra.go.id/content/view/12406/39/,
• “Panwas Jawa Timur Temukan 40 Ribu Kasus DPT Bermasalah”, diakses dari situs :http://kanalpemilu.net/berita/Panwas%20Jawa%20Timur%20Temukan%2040%20Ribu%20Kasus%20DPT%20Bermasalah,
• “Kasus DPT Rawan Gugatan Hasil Pemilu”, Jakarta Press, diakses dari situs :http://www.jakartapress.com/news/id/5080/Kasus-DPT-Rawan-Gugatan-Hasil-Pemilu.jp,
• “Panwas Jateng Temukan Puluhan Ribu DPT Bermasalah”, Surya, diakses dari situs :http://www.surya.co.id/2009/04/01/panwas-jateng-temukan-puluhan-ribu-dpt-bermasalah.html,
• “Keluhan DPT Bermasalah Masih Marak”, Okezone, diakses dari situs :http://news.okezone.com/read/2009/07/02/230/235001/230/keluhan-dpt- bermasalah-masih-marak,
• “DPT Pilpres di DKI Bermasalah”, Republika Newsroom,http://www.republika.co.id/berita/59631/DPTPilpres_di_DKIBermasalah,
• “67 Ribu DPT Bermasalah di Sulsel”, diakses dari situs :http://www.tribun-timur.com/read/artikel/19059,
• “Depdagri Jangan Lepas Tanggung Jawab Soal DPT”, diakses dari situs :http://www.ham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=521%3Atjahjo-depdagri-jangan-lepas-tanggung-jawab-soal-dpt&Itemid= 151,
• “KIPP Akan Gugat KPU soal DPT”, Kompas, 10 April 2009, diakses dari situs :http://nasional.kompas.com/read/2009/04/10/18015545/kipp.akan.gugat.kpu.soal.dpt,
• “JK-Wiranto Ajukan Gugatan ke MK”, Republika, 27 Juli 2009, diakses dari situs :http://lingkarmadani.blogspot.com/2009/07/menggugat-dpt-merupakan-keharusan.html,
• “SBY Menang, Mega-JK Menggugat”, Digital News Acces, 24 Juli 2009, diakses darisitus : http://www.politic.dnaberita.com/24%20JULI—SBY.php, padatanggal 5 Januari 2010.14.“MK Tolak Tangani Gugatan DPT”, Republika, 8 Mei 2009, diakses dari situs :http://www.migrantcare.net/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=9&artid=540,

Fenomena gerakan radikalisme-fundamental

RADIKALISME AGAMA
By. IGA LOMBOK
Pendahuluan
“Hendaknya mereka yang memeluk agama yang berbeda-beda dan dengan mengucapkan bahasa yang berbeda-beda pula, tinggal bersama di bumi pertiwi ini, hendaknya rukun bagaikan satu keluarga, seperti halnya induk sapi yang selalu memberikan susu kepada manusia, demikian bumi pertiwi memberikan kebahagiaan kepada umat manusia” (Atharvaveda XII.1.45).
Fenomena gerakan radikalisme-fundamental yang mengatasnamakan agama mulai marak dengan segala isu dan pemberitaan yang semakin sering akhir-akhir ini. Kasus-kasus terkait dengan konflik Ahmadiyah, peledakan bom di masjid Polres Cirebon, peledakan bom gereja di Surakarta, bom buku, perekrutan anggota NII dengan cara cuci otak dan lain-lain adalah terkait dengan agama. Sayangnya isu agama yang muncul bukan yang tampak damai, sejuk, toleran sebagaimana misi agama itu sendiri, melainkan justru berwajah keras, memaksa, dan intoleransi. Kasus seperti itu jelas menunjukkan betapa kuatnya arus radikalisme yang dilatarbelakangi oleh agama. Fenomena radikalisme agama memang bukan monopoli satu agama misalnya Islam. Hampir semua agama ada fenomena radikalisme di dalamnya. Meskipun secara kuantitatif kaum radikal ini relatif sedikit, namun gerakannya cukup mengganggu dan mengkhawatirkan.
Kini radikalisme agama berwujud pada aksi terorisme berupa bom bunuh diri, telah mengusik rasa aman masyarakat. Bias radikalisme-fundamentalisme yang melahirkan gerakan-gerakan agama garis keras di negeri ini tentu menjadi catatan sejarah sepanjang perjalanannya . Terbunuhnya tokoh-tokoh teroris seperti Noordin M top dan Dr Azhari serta perburuan dan penangkapan jaringannya tidak menyurutkan gelora semangat dari kaum radikal untuk memperjuangkan keyakinannya. Soft program dari pemerintah berupa deradikalisasi juga tidak signifikan mengurangi kejadian terorisme di Indonesia. Apabila kita membaca jejak pendapat Litbang Kompas edisi Senin 9 Mei 2011 tentang Jalan Memupus Radikalisme terhadap faktor-faktor yang paling mendorong berkembangnya radikal bernuansa agama di Indonesia, terdapat hasil sebagai berikut : Pertama, Lemahnya penegakan hukum mencapai 28,0%; Kedua, Rendahnya tingkat pendidikan dan lapangan kerja mencapai 25,2 %; Ketiga, Lemahnya pemahaman ideologi Pancasila mencapai 14,6%; Keempat, Kurangnya dialog antarumat beragama mencapai 13,9%; Kelima, Kurangnya pemahaman agama mencapai 4,9%; Keenam, Ketidakpuasan terhadap pemerintah mencapai 2,3%; Ketujuh, Kesenjangan ekonomi mencapai 1,6%; Kedelapan, Lainnya mencapai 3,1%; Kesembilan, Tidak tahu/tidak jawab mencapai 6,4%. Angka-angka tersebut menunjukan persepsi masyarakat tentang perkembangan radikalisme agama di Indonesia. Banyak referensi dan pendapat-pendapat yang menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya radikalisme agama di Indonesia ataupun dunia melalui perspektifnya masing-masing seperti halnya menurut pendapat Syamsul Bahri (2004.6) yang menjadi faktor-faktor penyebab munculnya gerakan radikalisme adalah sosial politik, emosi keagamaan, kultural, faktor ideologis anti westernisme, kebijakan pemerintah, dan media massa. Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA menyatakan ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau iri hati atas keberhasilan orang lain. Banyaknya faktor-faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya radikalisme agama berdasarkan berbagai pendapat maupun studi empiris dari peneliti namun dalam tulisan ini akan membatasi pembahasan mengenai gerakan radikalisme sebagai upaya pertahanan melawan kekuatan perubahan global dan modernisasi dunia dengan menggunakan agama sebagai sarananya.

Kerangka Konsepsi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Secara semantik, radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru-Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa radikalisme adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini radikalisme adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim.
Menurut Ermaya Radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan/ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku.
Pendeta Djaka Sutapa menyatakan bahwa Radikalisme Agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi radikalisme memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu.

Pembahasan
Dalam banyak peristiwa radikalisme di berbagai belahan dunia selama ini, agamalah yang tercatat sebagai daya tarik dan daya dorong yang utama . Harus diakui, agama mampu meniupkan semangat dalam praktik-praktik radikalisme dan pergelaran kekerasan yang dibarengi dengan klaim penegakan kebenaran melalui justifikasi moral yang kuat dengan maksud bahwa tidakan yang diambil adalah untuk menegakan kebenaran ilahi menurut versi dan tafsirnya. Tindakan radikalisme bukanlah kesalahan ajaran agama tertentu, melainkan adalah pemahaman yang keliru terhadap agama yang dianutnya. Agama seringkali digunakan sebagai alasan dalam setiap tindakan radikalisme. Radikalisme muncul dari problem keagamaan yang timbul di tengah-tengah masyarakat yang majemuk peradaban dan dan keberagamaan. Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang ada. Terbunuhnya Rajiv Gandhi melalui bom bunuh diri yang diduga dari kelompok Tamil Eelam menunjukkan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu. Kemudian adanya empat aliran radikal kristen di Amerika yaitu Christian Identity, Nordic Christianity, Fundamentalisme Freewheeling dan Kreatorisme yang merupakan agama ektrimis di Amerika yang berdasarkan pada penyalahan terhadap ras lain, agama lain atau kelompok-kelompok kebangsaan yang lain . Selain itu gerakan Tamil di Srilangka, IRA (kelompok bersenjata Irlandia Utara), militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di Jepang yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah yang juga merupakan gerakan radikalisme agama. Demikian pula bentuk radikal yang lebih serius, mereka menganggap bahwa agamanya sendiri yang benar, sedangkan yang lain salah. Bahkan mereka tidak saja berhenti pada saat telah memegangi keyakinannya itu, tetapi juga memaksa orang lain untuk mengikuti jalan pikirannya. Keadaan seperti itu bagi sementara orang menyebutnya sebagai telah muncul radikalisme agama.
Agama memang memiliki motivasi yang luar biasa dalam menggerakkan individu atau pemeluknya. Sehingga apapun yang dilakukan umat beragama, semua didasarkan pada motivasi atas pengamalan ajaran agama. Seseorang yang beragama bisa melaksanakan peperangan maupun perdamaian, semua bisa disandarkan pada ajaran agama. Transisi dari sikap kepercayaan pra-modern ke modern telah menjadi tatangan yang bagi agama-agama di dunia. Marty dan Appleby (1993) mengatakan bahwa gerakan radikal fundamentalisme agama yang intoleransi adalah bagian dari trend internasional dimana gerakan tersebut merupakan pertahanan melawan kekuatan perubahan dan bahwa orang-orang akan mempertahankan diri mereka sendiri dengan memeluk tradisi masa lampau. Dengan serbuan modernitas dan globalisasi, agama-agama harus melepaskan dari doktrin yang sifatnya mengikat secara universal dan harus menerima secara politis agar secara bersama-sama menjalani eksistensi di dalam masyarakat majemuk. Kelompok radikalisme agama biasanya juga merupakan kelompok-kelompok mardjinal di dalam masyarakat dan di tengah komunitas agama mereka sendiri. Itulah sebabnya aksi kekerasan yang mereka lakukan merupakan sebagai upaya untuk menyeimbangkan marjinalitasnya diaman sebagai suatu cara mengukuhkan status sosial mereka didalam masyarakat dan memperkuat identitas mereka ditegah komunitas agama.
Afif Muhammad juga menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi. Kelompok-kelompok radikal tersebut demi mencapai mempercepat dalam mencapai tujuannya, dengan segera mengidentifikasikan dirinya melalui agama sebagai sarana. Dalam kenyataannya, tidak semua memiliki kemampuan untuk memahami agama lain, yang mengakibatkan sikap tidak toleran terhadap agama lain. Demikian pula halnya dengan fanatisme buta yang hanya didasarkan kepada solidaritas dari suatu komunitas, apalagi ditunjang oleh dogma-dogma kaku yang sengaja diciptakan untuk kepentingan golongan tertentu sehingga akhirnya akan mudah sekali memicu terjadinya gesekan dan benturan kepentingan diantara pandangan-pandangan yang berbeda. Adanya pemaksaan terhadap suatu agama atau konversi agama atau perubahan agama yang dikenal sebagai Suddhi oleh umat Hindu, Tabligh oleh umat Islam atau Konversi oleh umat Kristen, merupakan suatu tindakan yang menunjukan sebagai pandangan yang rapuh tentang superioritas satu agama terhadap agama lain. Hal ini akan menjadi puncak intoleransi, dan intoleransi adalah sejenis kekerasan, jika satu agama superior terhadap agama lain .
Sebuah studi empirik yang dilakukan Sutrisno (Sutrisno.1999) menampilkan keterkaitan antara struktur kelas dengan perilaku keagamaan. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa pada kelas bawah agama dimaknai sebagai fungsi artikulasi psiko-kultural. Agama tidak tampil dalam simbol politik atau instrumen politik. Sementara pada kelas atas agama menjadi fungsi artikulasi kepentingan, dimana ia hadir dalam simbol politik. Studi yang dilakukan tersebut belum menemukan makna hakiki mengenai hubungan kondisi ekonomi dengan perilaku keagamaan sebelum sampai pada analisa kecendrungan psikologik yang bermain pada proses sosial dalam struktur masyarakat. Apabila agama telah dipakai sebagai sarana untuk mencapai kepentingan maka akan terjadi benturan antar agama yang menciptakan gerakan-gerakan radikalisme agama. Konflik antaragama akan makin membesar ketika negara yang diharapkan menjadi payung yang mengayomi semua agama absen. Atau, kalaupun hadir, tidak menempatkan keadilan sebagai panglima. Negara hadir, justru untuk memihak salah satu agama tertentu, atau aliran tertentu. Parahnya, segala potensi konflik seperti dibiarkan berkembang. Dan, ketika perkembang¬an itu meluas benar-benar menjadi konflik, negara terlambat mengatasi, karena tidak maksimal mengantisipasi. Terkadang, malah konflik itu seperti sengaja dirawat demi kepentingan politik tertentu. Negara masuk dalam pusaran konflik tanpa mampu menempatkan dirinya sebagai hakim yang adil bagi semua. Pada akhirnya, kepenting¬an politik selalu mewarnai segala kebijakan penyelesaian konflik agama yang terjadi antarumat beragama.
Tidak dapat dipungkiri bahwa apabila berbicara radikalisme agama, maka main set kita akan tertuju kepada gerakan radikalisme islam. Umat Islam adalah di antara yang paling rentan terhadap godaan radikalisme karena posisi mereka yang masih berada di belakang peradaban. Posisi tertinggal ini dapat mendorong orang untuk menempuh jalan pintas dalam mencapai tujuan, tetapi dalam jangka panjang pasti akan berujung pada penderitaan, penyesalan dan kegagalan, yang paling repot. Kebangkitan islam khususnya di negara-negara Asia yang diwujudkan dengan penerimaan terhadap globalisasi dan teknologi modern berakibat terjadinya clash of civilization (benturan antar peradaban) antara Islam dan Barat. Barat yang sudah kehilangan ‘musuh’ sejak berakhirnya perang dingin mulai mengalihkan konsentrasinya kepada kekuatan islam yang dinilai mulai kekuatan baru yang dapat mengancam eksistensinya. Efek globalisasi yang hampir dialami oleh seluruh masyarakat dunia memungkinkan benturan ini terjadi. Posisi dunia Islam sebagai satunya peradaban yang memiliki potensi paling memungkinkan untuk melakukan resistensi terhadap globalisasi Barat (Amerika). Samuel Huntington (1996) mengatakan bahwa fundamentalisme islam umumnya diidentikkan dengan gerakan politik islam, padahal ia hanyalah salah satu komponen dari kebangkitan islam yang lebih luas dimana kebangkitan itu mencakup ide-ide, praktik-praktik, retorika, dan pengembalian ajaran islam (pada sumber-sumber asasinya, Al-Quran dan Al Sunnah) yang dilakukan oleh umat islam. Berdasarkan pemikiran tersebut demi pengembalian ajaran islam atau yang biasa disebut pemurnian ajaran agama islam ditengah gelombang globalisasi dan teknologi modern yang menimbulkan pemikiran-pemikiran radikalisme. Selama arogansi Barat dan intolenransi Islam yang secara global selalu berbenturan, maka gerakan-gerakan radikalisme akan berkembang pada negara-negara islam. Pendukung radikalisme agama tampaknya tidak mempunyai modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan dalam menghadapi tantangan gelombang demokrasi yang berbalut globalisasi. Napas yang sesak karena berbagai hantaman sejarah yang datang bertubi-tubi telah menempatkan sebagian muslim dalam posisi tragis tetapi tak berdaya. Oleh sebab itu mereka menempuh jalan pintas berupa self-defeanting (menghancurkan diri sendiri) atas nama agama yang dipahami dalam suasana jiwa yang sangat rentan dan tertekan. Kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.
Gerakan radikalisme agama yang dilakukan oleh penganut paham fundamental islam merupakan reaksi defensif melawan ketakutan akan tercerabutnya gaya-gaya hidup tradisional dengan cara-cara kekerasan . Dalam suatu tataran psikologis, reaksi defensif ini adalah untuk menarik kekuatan dari sumber-sumber spiritual yang menggerakkan suatu potensi kekuatan yang dapat mendukungnya. Secara psikologis, agama memberikan justifikasi yang paling meyakinkan untuk dipakai dan mampu menggerakan perjuangan melawan kekuatan-kekuatan yang dianggap sebagai ancaman. Huntington juga mengatakan bahwa dalam praktiknya, komunitas keagamanaan merupakan komunitas yang memiliki domain yang paling luas dimana kelompok lokal yang terlibat dalam konflik akan memberikan dukungannya. Apabila dalam suatu konflik terjadi antara dua kelompok, maka dengan cepat kelompok tersebut mngidentifikasikan dirinya sebagai Islam dan Kristen seperti halnya perang Serbia dan Kroasia di wilayah bekas jajahan Yugoslavia dan perang antara Armenia dan Azerbaijen di Kaukasus. Hal ini dengan maksud agar kelompok yang mengidentifikansikan diri sebagai kelompok Islam mendapat dukungan dana dan persenjataan dari negara-negara Islam di dunia, dan kelompok yang mengidentifikasikan diri sebagai Kristen berharap akan mendapat bantuan dana dari Barat. Kembali lagi terbukti bahwa gerakan radikalisme yang ada memanfaatkan agama sebagai tameng justifikasi untuk mencapai tujuannya. Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis.
Pemurnian agama dalam hal ini agama Islam di dunia Islam berarti menggantikan apa yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam agar berlaku secara murni dalam negara Islam agar menghindari dari pengaruh globalisasi Barat. Mereka (penganut paham radikal) memiliki problem yang sama dengan apa yang mereka lihat sebagai meningkatnya pengaruh Barat dimana mereka merasa terancam dengan efek Westernisasi khususnya teknologi dan demokrasi . Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penganut paham radikalisme menginginkan masyarakat Islam pada negara-negara Islam tetap memelihara nilai-nilai keislaman secara murni. Mereka menganggap bahwa nilai-nilai Barat dilihat sebagai ancaman asing yang membahayakan yang sangat berbenturan dengan nilai-nilai tradisional keislaman. Secara logika bahwa kekerasan atau gerakan radikalisme merupakan satu metode untuk melindungi nilai-nilai keislaman. Kembali kita dapat melihat benturan antara arogansi Barat dan intolerasi islam. Didalam bukunya Amerika Perangi Teroris, Bukan Islam, Hilaly Basya dan David Alka mengatakan bahwa kekerasan agama dalam suatu gerakan radikalilisme dipengaruhi secara bersamaan oleh tekanan struktur sosial yang menghimpit mereka dalam kehidpan sehari-hari akibat perlakuan yang tidak adil, tidak jujur serta motivasi dan kepentingan pribadi yang bersangkutan. Penganut radikalisme agama ini frustasi ditegah khidupan sehari-hari disamping ketidakmampuan mengekspresikan emosi secara cerdas dengan membelokan menjadi tindakan kekerasan terhadap sasaran utama demi tercapai tujuan yang dikehendakinya.

Penutup
Seperti halnya pengertian-pengertian mengenai radikalisme diatas, tidak semuanya berkonotasi negatif. Radikalisme yang ditujukan demi kebaikan melalui nilai-nilai kemanusian tentu dapat memberikan arti positif dalam kehidupan umat manusia. Semua agama mengajarkan nilai kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Hindu mengajarkan kedamaian, Budha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh umat. Namun radikalisme yang menggunakan cara-cara pemaksaan dan kekerasan terhadap nilai-nilai kemanusian tentunya merupakan hal negatif yang dapat menghancurkan umat manusia. Harus dipahami betul bahwa kaum radikal itu bukanlah representasi dari agama secara utuh. Banyaknya faktor-faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya radikalisme agama berdasarkan berbagai pendapat maupun studi empiris dari peneliti namun yag paling mempengaruhi secara global adalah bahwa gerakan radikalisme agama sebagai upaya pertahanan melawan kekuatan perubahan global dan modernisasi dunia dengan menggunakan agama sebagai sarananya. Pertahanan yang dimaksud adalah mempertahankan dan memurnikan nilai-nilai tradisional agama dari nilai-nilai yang dianggap membahayakan. Pandangan tersebut mengakibatkan mereka menjadi termarjinalkan dalam kelompok global maupun dalam lingkup agamanya sendiri. Tekanan-tekanan yang diterima secara struktur sosial itulah yang menimbulkan terjadinya radikalisme agama.

Daftar Pustaka
Samuel Huntington, 1996, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Penerbit Qalam, Yogyakarta
White Jonathan, 2006, Akar Teologis Radikalisme Dalam Kristen (artikel dalam Agama dan Terorisme oleh Ahmad Norma Permata), Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Ermaya Suradinata, 2004, Radikalisme dan Masa Depan Bangsa, Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama, Bandung.
Muhammad, Afif. 2004, Radikalisme Agama Abad 21, Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama, Bandung.
Bilveer Singh & Abdul Munir Mulkham, 2012, Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia; jejak Sang Pengantin Bom Bunuh Diri, Jogja Bangkit Publiser, Yogyakarta.
Hilaly Basya dan David Alka, 2004, Amerika Perangi Teroris Bukan Islam, Center For Moderate Moslem (CMM), Jakarta.
Ahmad Norma Permata, 2006, Agama dan Terorisme, Muhamadiyah University Press, Surakarta.
Geovanna Borradori, 2005, Filsafat Dalam Masa Teror, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Dwi Hendro Sunarko, 2006, Idelogi Terorisme Indonesia, Program Pembangunan Sistem Derenbang Kapolri, Jakarta.
Sutrisno.1999, Kelas dan Sosiologi Politik Anak Muda Perkotaan, Tesis S2, Program Sosiologi Univrsitas Indonesia, dalam Jurnal Studi Kepolisian (Terorisme dan Deradikalisasi) berjudul Fundamentalisme : Melacak Radikalisme Berbasis Agama, edisi Desember 2009-Maret 2010.
Victor Silaen, 2009, Terorisme Belum Berakhir, dalam Jurnal Kepolisian berjudul Terorisme dan Deradikalisasi, edisi Desember 2009-Maret 2010.

MEKANISME DUKUNGAN OPERASI KEPOLISIAN oleh DIREKTORAT POLISI UDARA TERHADAP KEWILAYAHAN

MEKANISME DUKUNGAN OPERASI KEPOLISIAN oleh DIREKTORAT POLISI UDARA TERHADAP KEWILAYAHAN

meningkatkan daya operasional Polri serta bantuan kepada instansi terkait maupun masyarakat.
3). Melaksanakan kegiatan pengejaran pelaku tindak pidana dengan mobilitas tinggi, pencarian dan pertolongan (SAR) terhadap masyarakat.
4). Memberikan pertolongan dan penyelamatan masyarakat yang terkena bencana alam.
5). Mengelola sumber daya manusia secara profesional dalam mencapai tujuan .
6). Mengelola materiil secara profesional guna meningkatkan usia pakai dan kesiap siagaan.

- Visi dit Pol udara adalah sbb :
Terdukungnya setiap kegiatan dan operasi kepolisian terpusat maupun dikewilayahan dalam rangka memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat serta penegakan hukum.

- Kedudukan, tugas dan fungsi Dit Pol udara adalah :
a. Kedudukan : Direktorat Kepolisian Udara Yang Disingkat Dit Pol Udara Adalah Unsur Pelaksanan Utama Yang Berkedudukan Dibawah Dan Bertanggung Jawab Kepada Kepala Badan Pembinaan Keamanan.
b. Tugas : Dit Pol Udara Bertugas Menyelenggarakan Dan Membina fungsi Kepolisian Udara Dalam Batas Kewenangan Yang Ditentukan Di Bidang Kedirgantaraan Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dalam Rangka Melayani,Melindungi, Mengayomi Dan Menyelamatkan Masyarakat Serta Melakukan Penegakan Hukum, Memberikan Dukungan Taktis Dan Teknis Operasional Baik Kepada Mabes Polri Maupun Kepada Satuan-Satuan Kewilayahan
c. Fungsi : Dalam melaksanakan tgs kepolisian udara menyelenggarakan fungsi :
1). Perumusan, pengembangan petunjuk dan prosedur pelaksanaan fungsi Kepolisian Udara.
2). Penyelenggaraan pengawasan dan pemberan arahan dalam rangka menjamin terlaksananya tugas sesuai petunjuk dan prosedur pelaksanaan fungsi Kepolisian Udara.
3). Penyelenggaraan Operasional Kepolisian pusat dalam rangka pengamanan wilayah berupa deteksi, patroli, pengawalan, pengejaran, penegakan hukum dan Pembinaan Potensi Dirgantara Nasional Serta Kegiatan Pencarian dan Penyelamatan (SAR).
– Unsur operasional pelaksana Dit Pol udara sbb :
a. Pesawat / Helikopter
b. Awak Pesawat / Helikopter :
1). Penerbang.
2). Mekanik
3). FOO (Flight Operation Officer)
4). Pramugari.
c. Perlengkapan pendukung lainnya (sesuai kebutuhan).

- Bagaimana permasalahan internal yang terjadi di Pol udara Kepolisian Republik Indonesia :
a. Struktur organisasi Dit Pol Udara Belum lengkap, belum ada jabatan dibawah Kasi, masih ada jabatan Kasubdit yg kosong.
b. Masih kurangnya jumlah penerbang bila dibandingkan dengan jumlah pesawat. Jumlah idela penerbang bila dibandingkan dengan jumlah pesawat 1 : 2,5.
c. Banyaknya penerbang yang minta berhenti karena ingin kerja di penerbangan sipil.
d. Duk BBM hanya 18 % dari kebutuhan
e. Dukungan anggaran Operasi Kepolisiannal dan pemeliharaan hanya 14% dari kebutuhan

- Bagaimana permasalahan eksternal di Pol udara :
a. Masih minimnya Pemahaman para Kasatwil tentang penggunaan unit Operasi Kepolisiannal Dit Pol Udara.
b. Ada perasaan takut / ragu para pejabat satwil dibawah Kapolda untuk mengunakan Unit Operasi Kepolisiannal Pol Udara
c. Tidak adanya dukungan anggaran Unit Operasi Kepolisiannal Dit Polud dalam DIPA Satwil.

II. Referensi / Materi Tambahan.

- Bagaimana mekanisme dukungan Pol udara terhadap kepolisian kewilayahan sbb :
Permintaan Unit Operasi Kepolisiannal Pol Udara oleh satuan kewilayahan.
a. Kasatwil / Kapolda membuat surat permintaan dukungan unit Operasi Kepolisiannal Dit Pol Udara kepada Kapolri U.P. Kababinkam Polri.
b. Surat permintaan berisi penjelasan terhadapkegiatan yang akan dilaksanakan serta unit Operasi Kepolisiannal aa yang diperlukan.
c. Kababinkam memerintahkan Dir Pol Udara untuk menyediakan unit Operasi Kepolisiannl yg diminta (Pesawat/Helikopter, awak dan dukungannya)

III. Tanggapan / Pendalaman.

- Bagaimana kegiatan operasional Dit Polisi udara yang menonjol sepanjang tahun 2009 – 2010 ?
1. Operasi Kepolisian Mantab Brata di 21 Polda
2. Operasi Kepolisian Sikat Rencong Polda NAD, melibatkan 1 unit Heli Bell 412 dan 1 unit Pesawat Skytruck M 28
3. Operasi Kepolisian Puri Agung I Polda Bali , melibatkan 1 unit Heli Dauphin AS 365 N3
4. Operasi Kepolisian Bunaken Samprat I & II di Polda Sulut, melibatkan 1 unit Heli Dauphin AS 365 N3
5. Operasi Kepolisian Illegal Logging Polda Kaltim 1 Heli Dauphin AS 365 N3
6. Operasi Kepolisian Kemanusiaan Penanggulangan Gempa Bumi di Sumbar , melibatkan 4 unit Heli dan 4 unit Pesbang.
7. P’gulangan Terorisme di Jateng, melibatkan 3 unit Pesbang & 1 unit Heli.
8. Operasi Kepolisian Ketupat / Operasi Kepolisian Lilin.
9. Operasi Kepolisian P’gulangan Separatis Papua, melibatkan 3 unit Pesbang
10. Operasi Kepolisian Jaring Natuna 2009, libatkan 2 unit Heli & 2 unit Pesbang.
11. Operasi Kepolisian Hutan Lestari 2010 di Polda Papua, melibatkan 1 unit Heli Dauphin AS 365 N3
12. Lat IMAR Bersinar Polda Sumut, melibatkan 1 unit Heli Dauphin AS 365 N3
13. LATMA Indonesia Philipina (MARLEX) di Polda Sulut, melibatkan 1 unit Heli Dauphin AS 365 N3.
14. Lat Penangulangan Bencana Alam di Polda Bengkulu, libatkan 1 unit MI-2 Plus

ANALISIS KASUS BLOWFISH AMPERA, JAKARTA SELATAN

ANALISIS KASUS BLOWFISH AMPERA, JAKARTA SELATAN
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seringnya terjadinya konflik di indonesia dari jaman pra kemerdekaan sampai pada jaman pasca reformasi adalah merupakan suatu yang wajar terjadi. Dengan melihat sejarah berdirinya negara ini yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa, ras, mata pencaharian yang berbeda dan didukung oleh letak indonesia yang sangat strategis menimbulkan bermacam permasalahan yang menyebabkan konflik dan tak luput juga dipengaruhi oleh faktor dari luar dan dalam yang menginkan posisi di negeri tercinta ini. Hal ini merupakan ciri dari suatu negara yang sedang berkembang yang selalu diwarnai dengan berbagai konflik yang terjadi.
Konflik sosial pada hakekatnya berawal dari pemahaman individu terhadap suatu permasalahan. Mayoritas penyebabnya adalah karena permasalahan ekonomi, cara pandang yang selanjutnya melahirkan suasana kebathinan pembuatan keputusan individu yang pada saat dikomunikasikan berdampak terhadap kondisi hubungan atau interaksi individu dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok sampai dengan individu atau kelompok dengan negara. . Permasalahan konflik sosial dapat dikaji dan dimaknai dari perspektif berdasarkan faktor yang ada dari dalam diri setiap individu, kondisi hubungan antar individu, kondisi hubungan individu dengan kelompok, hubungan kelompok dengan kelompok, individu atau kelompok dengan penguasa (perspektif psychologis, sosiologis / anthropologis,manajemen dan hukum).
Berdasarkan definisinya konflik menurut pendapat dari “pace & faules, 1994:249” konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami. Sedangkan definisi konflik social. Konflik mengandung banyak penafsiran seperti : pertentangan, permusuhan, benturan, kekerasan, ketegangan yg konotasinya negatif konflik memiliki dua sisi pengertian : 1) positif, jika konflik mendorong ke arah terjadinya perubahan yg menuju ke arah perbaikan; 2) negatif, jika konflik mengarah pada perbedaan pendapat yg disertai dg pertentangan utk menyingkirkan kelompok yg lain.
Sebagai contoh seperti bentrokan antara dua pihak yang terjadi diclub blowfish, city plaza, komleks wisma mulia, jakarta selatan di klub blowfish. Sebagai akibatnya dari konflik tersebut , sekitar club blowfish mengalami rusak berat, kaca-kaca pecah dan banyak property yang berserakan. Tidak hanya kerugian property tetapi terdapat 3 orang korban dengan 1 orang diantaranya meninggal dunia, korban tewas bernama m soleh alias sony (27) yang beralamat di titin indah blok l 4, bekasi, sedangkan korban luka berat atas nama boy (40) dan nuh (35).
B. Permasalahan
1. Pengatahuan tentang konflik dan penyebab timbulnya konflik.
2. Anailsis kasus Blowfish di Jalan ampera, Jakarta Selatan.

II. PEMBAHASAN

A. PENGATAHUAN TENTANG KONFLIK DAN PENYEBAB TIMBULNYA KONFLIK
Konflik adalah sebuah pertikaian atau perselisihan yang terjadi pada individu atau kelompok masyarakat dengan individu atau kelompok lainnya. Konflik ada beberapa macam, salah satunya menurut Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
1. konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
2. konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
3. konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
4. konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
Faktor penyebab konflik antara lain :
a. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.
d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Menurut Karl Mark, sejarah umat manusia ditentukan oleh materi/benda dalam bentuk alat produksi. Alat produksi ini menguasai masyarakat atau dengan kata lain bahwa kehidupan manusia sangat tergantung dengan faktor ekonomi. Sehingga muncul teori karl mark yang dikenal dengan teori determisasi ekonomi yang menjelaskan bahwa konflik terjadi karena faktor ekonomi, yang dimaksud dengan faktor ekonomi adalah penguasaan terhadap alat produksi .
Sedangkan konflik dapat berkembang karena berbagai sebab, antara lain sebagai berikut :
• Batasan pekerjaan yang tidak jelas
• Hambatan komunikasi
• Tekanan waktu
• Standar, peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal
• Pertikaian antar pribadi
• Perbedaan status
• Harapan yang tidak terwujud

B. ANAILISIS KASUS BLOWFISH
Salah satu teori tentang konflik adalah marx (1818-1883), marx adalah salah satu tokoh yang pemikirannya mewarnai sangat jelas dalam perkembangan ilmu social. Pemikiran marx berangkat dari filsafat dialeka hegel. Sebagaimana yang dijelaskan cambell dalam tujuh teori sosial (1994), bahwa marx menciptakan trasisi materialism historis yang menjelaskan proses dialektika social masyarakat, penghancuran dan penguasaan secara bergilir kekuatankekuatan ekonomis dari masyarakat komunis primitive kepada feodalisme berlanjut kekapitalisme dan terakhir adalah masyarakat komunis. Berkaitan dengan konflik, marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendifinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat pasa abad ke 19 di eropa dimana ia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal dan kelas pekerja miskin.
Kasus Blowfish yang terjadi di Ampera pada dasarnya diawali dari permasalahan pribadi, yaitu dimana ada pengunjung klub yang cukup elite di Plaza City, Jakarta Selatan yang dipukul dan dikeroyok oleh petugas keamanan klub tersebut. Dari permasalahan tersebut meluas dan berkembang menjadi konflik yang terjadi antar suku, yaitu suku ambon dan flores selain itu kemungkinan dari permasalahan tersebut diakibatkan karena perebutan wilayah kekuasaan oleh kelompok-kelompok tersebut . Dalam insiden tersebut terdapat korban tewas sebanyak tiga orang yang diakibatkan karena terluka akibat sabetan senjata tajam, tusukan panah dan tertembak senjata api. Kasus pertikaian tersebut tidak saja terjadi pada awal bermulanya keributan, tetapi berlajut sampat pada persidangan dan paska dilakukannya persidangan. Yang terjadi tidak hanya tindakan saling menyerang antar kelompok tetapi juga disertai perusakan terhadap fasilitas umum yang ada, dan timbul tindakan anarkis yang menggangu ketertiban masyarakat disekitarnya.
Dalam kasus tersebut sesuai dengan teori konflik Karl Mark terdapat kelompok tertentu yang ingin mendominasi terhadap kelompok yang lain. Dapat kita lihat dalam hal ini dengan menggunakan cara kekerasan kedua kelompok saling menyerang yang tujuan utamanya adalah untuk menundukkan lawan dari kelompok tersebut. Pada dasarnya Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Melihat pada kasus Ampera ini konflik yang terjadi semakin tidak terkendali sehingga muncullah penyimpangan yang terjadi “deviation”.
Dalam hal ini penyimpangan yang terjadi bermula terjadi dari tindakan saling menyerang yang semakin brutal, yang sampai mengakibatkan korban jiwa. Melihat pad teori Karl Mark yang menyampaikan bahwa konflik pada dasarnya adalah dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan perubahan sosial, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya yang memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Apabila tindakan tersebut sudah tidak terkendali maka akan berkembang dan muncullah suatu penyimpangan perilaku yang dalam hal ini dikenal sebagai deviation, yaitu tingkah laku yang dianggap oleh sejumlah besar orang sebagai sesuatu yang tercela dan diluar batas-batas toleransi penyimpangan (James W. Vander Zanden,1979). Batas toleransi yang telah dilanggar karena tindakan yang terjadi menimbulkan keresahan dalam masyarakat dan selain itu menurut hukum yang berlaku tindakan tersebut telah masuk dalam unsur pidana yang dengan jelas disebutkan dapat dikenakan sanksi hukum pidana yang berlaku.

III. KESIMPULAN

Bahwa pada dasarnya konflik timbul karena adanya pihak yang menguasai dan pihak yang dikuasai dalam hal ini pihak yang menguasai biasanya disebut sebagai pihak yang menguasai alat produksi sedangkan pihak yang dikuasai adalah para pekerja/buruh. Permasalahan tersebut dipicu karena adanya permasalahan dalam perekonomian yang mana salah satu pihak ingin menguasai mata pencaharian pihak lain. Hal ini dapat terjadi seperti pertikaian dua kelompok yang saling menyerang untuk merebut wilayah kekuasaan kelompok lainnya.
Melihat kasus blowfish, seperti yang telah disidik kasusnya oleh pihak Kepolisian bahwa kasus tersebut terdapat indikasi perebutan wilayah kekuasaan oleh kelompok-kelompok preman yang walaupun pada mulanya berawal dari kasus pribadi kemudian meluas menjadi masalah besar yang melibatkan kelompok dalam jumlah besar dan bahkan sampai menelan korban jiwa. Dalam hal ini didapat pengertian seperti yang dikemukakan oleh Karl Mark :
a) Semakin tidak merata distribusi sumberdaya atau kekuasaan yang jumlahnya terbatas maka akan semakin tinggi tingkat konflik.
b) Semakin besar kesadaran kaum subordinat akan kepentingan kolektifnya. semakin baik atau terorganisasi desatuan kelompok maka semakin tinggi kesadaran kolektif. Hal biasanya terjadi kalau ada tokoh yang bisa menyatukan mereka, tokoh ini adalah pemimpin yang dapat menyebarkan ideologi kepada kelompoknya agar mereka semakin sadar akan penderitaannya menjadi marah sehingga dapat bersatu dalam kolktivitasnya.
c) Apabila kesadaran kelompok semakin tinggi dengan tingkat emosionalnya yang “marah” dan lebih terorganisasi dengan baik maka semakin besar kemungkinan mereka untuk mengadakan konflik langsung dengankelompok dominan.
d) Semakin tinggi tingkat konflik semakin besar polarisasi antara kelompok subordinat dan ordinat dalam sebuah sistem, semakin terpolarisasi antar kedua kelompok tersebut semakin tinggi tingkat kekerasan yang ditimbulkan oleh konflik.
e) Semakin tinggi tingkat kekerasan semakin besar perubahan strutural yang terjadi dana akan terjadi redistribusi sumberdaya yang terbatas tersebut

DAFTAR PUSTAKA

1. Materi kuliah konflik
2. http://faisal14.wordpress.com/2010/02/01/contoh-makalah-peran-manajer-dalam-mengelola-konflik-organisasi/
3. http://www.indolawcenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=225%3Apolisi-pastikan-bentrokan-ampera-terkait-blowfish&catid=181
4. http://nasional.kompas.com/read/2010/04/04/1305511/Motif.Bentrokan.di.Blowfish.Perebutan.Lahan.Keamanan

Industri Pengamanan ; antara keuntungan dan kerugian

Pengamanan secara Internal

  1. Keuntungan

a)     Adanya kemungkinan loyalitas yang kuat dari personil pengamanan terhadap perusahaan. Hal ini kami asumsikan karena dengan direkrutnya personil sebagi karyawan perusahaan tersebut maka loyalitasnya dapat terhadap perusahaan dapat diandalkan karena personil perusahaan tersebut kehidupannya tergantung dari perusahaan tersebut. Disamping itu personil pengamanan akan merasa menjadi bagian dari perusahaan. Walaupun akan dapat terjadi sebaliknya bila perusahaan tersebut memperlakukan karyawan-karyawannya dengan buruk termasuk personil pengamanan.

b)     Untuk menjamin keamanan rahasia perusahaan. Umumnya perusahaan mempunyai rahasia yang bila bocor keperusahaan saingan akan merugikannya. Dengan diselenggarakannya pengamanan secara internal maka kerahasian tersebut dapat lebih terjamin.

c)     Merupakan strategi bagi pengamanan perusahaan terhadap gejolak lingkungan. Upaya yang umum dilakukan perusahaan untuk menciptakan kerjasama dengan lingkungan sekitarnya aadalah merekrut karyawan dari masyarakat sekitarnya yang salah satunya merekrut sebagai personil pengamanan. Dengan hal ini maka gejolak atau konflik dengan lingkungan sekitar perusahaan dapat diredam.

d)     Pengendalian dapat dilakukan secara langsung. Dengan penyelenggaraan secara internal maka pengendalian dan pengawasan terhadap kinerja personil pengamanan dapat dilakukan secara langsung karena mereka merupakan karyawan perusahaan tersebut.

 

  1. Kerugian

a)     Biaya yang lebih besar. Dengan menyelenggarakan pengamanan secara internal maka tentunya perusahaan akan mengeluarkan biaya-biaya lebih besar seperti biaya untuk memberikan latihan, biaya untuk menyiapkan perlengkapan, serta biaya-biaya yang menjadi hak karyawan seperti tunjangan dan lain sebagainya.

b)     Menyita waktu manajemen perusahan. Dengan pengamanan secara internal tentunya memerlukan pemikiran tersendiri bagi perusahaan untuk menyediakan waktunya dalam menyelenggaran pengamanan tersebut.

c)     Bila dibandingkan dengan personil yang disiapkan oleh perusahaan jasa pengamanan maka personil pengamanan internal agak sedikit kurang dalam pengetahuan tentang segi-segi pengamanan karena perusahaan jasa pengaman lebih mendalami segi-segi pengamanan lebih mendetail.

 

Upaya untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas :

a)     Melakukan pendataan tentang perusahaan dan aktivitasnya sehingga dapat mengurangi anggaran yang harus disediakan.

b)     Mengetahui situasi dan kondisi lingkungan sekitar perusahaan untuk mengefektifkan kinerja petugas keamanan.

c)     Melakukan inventarisasi permasalahan – permasakahan yang ada termasuk kerawanannya, sehingga dapat membuat skala prioritas berdasarkan data diatas.

d)     Melakukan pembinaan kepada karyawan pengamanan agar mereka mau dan mampu menampilkan kinerja yang baik demi kelangsungan hidup perusahaan, dengan melakukan pelatihan-pelatihan dan mempersiapkan tenaga pengajar dari perusahaan sehingga tidak perlu lagi menyewa tenaga pengajar dari luar perusahaan.

e)     Mengadakan penelitian atau survey untuk mengetahui kerawanan yang ada sebagai dasar untuk mempersiapakan piras / pilun yg sesuai.

f)      Pemasangan CCTV, Komputer parkir, Sensor magnetic, Pemasangan alat pemadam kebakaran, Pemagaran lingkungan, Pemasangan lampu penerangan, Penggunaan alat komunikasi dll, untuk mengurangi tenaga kerja pengamanan sehingga biaya yang harus dikeluarkan dapat diperkecil dengan pemanfaatan teknologi

 

 

 

 

  1. a.             Pengamanan dengan menggunakan jasa eksternal
    1. Keuntungan

a)             Biaya lebih murah. Umumnya perusahaan telah menghitung biaya yang harus dikeluarkan bila menggunakan jasa pengamanan eksternal. Salah satu pertimbangannya adalah biaya lebih murah aatau bila biaya yang dikeluarkan sama maka keuntungan yang didapatkan lebih banyak.

b)             Lebih memiliki standar kualitas yang lebih tinggi. Karena perusahaan jasa keamanan bergerak pada bidang pengamanan industri tentunya mereka mempunyai standar yang lebih bagi personil-personilnya.

c)             Lebih praktis. Dengan menggunakan jasa dari luar maka manajemen perusahaan tidak akan disibukkan dengan penyelenggaraan pengamanan lagi.

 

  1. Kerugian

a)             Loyalitas personil pengamanan lebih kepada perusahaannya sendiri. Karena pada dasarnya mereka bukan merupakan karyawan dari perusahaan pengguna

b)             Lebih rentan terhadap kebocoran rahasia perusahaan. Karena bukan merupakan karyawan perusahaan pengguna maka tanpa disadari kadang-kadang dapat dimanfaat oleh perusahaan pesaing untuk mencuri rahasia perusahaan.

c)             Umumnya personil perusahaan jasa pengamanan harus melakukan sosialisi dari awal khususnya terhadap lingkungan sekitar perusahaan.

d)             Pengendalian dan pengawasan terhadap kinerja personil pengamanan tidak dapat dilakukan secara langsung tetapi harus melalui perusahaan yang menyewakannya.

 

Upaya untuk menanggulangi permasalahan tersebut di atas :

a)         Pengendalian terhadap petugas perusahaan jasa pengamanan bisa baik kalau perusahaan memiliki program pengamanan yang sesuai standar dan kriteria perusahaan sendiri (Security Manual), sehingga sewaktu-waktu bisa diadakan perubahan sesuai kebutuhan perusahaan itu sendiri, termasuk dalam menangani keadaan darurat.

b)         Prosedur penelitian pegawai dari perusahaan jasa pengamanan harus lebih ketat sesuai syarat yang ditentukan, hal ini sangat penting mengingat banyaknya data yang harus dirahasiakan dari perusahaan atau instansi lain.

c)          File arsip disederhanakan agar tidak membebani petugas jasa pengamanan. Catatan di pelihara untuk pendataan dan pengkajian serta sebagai alat kontrol dari perusahaan yang menyewa perusahaan jasa pengamanan.

d)         Menekanakan kepada manajer pengamanan dari perusahaan jasa pengamanan yang disewa agar dapat menumbuhkan motivasi dan profesionalisme anggotanya sehingga dapat mencapai tujuan dari perusahaan yang menyewa mereka, sesuai dengan panduan security (security manual) yang diberikan oleh perusahaan yang menyewa.

 

Dari hasil-hasil diatas maka disesuaikan dengan hal-hal yang kami sampaikan terdahulu maka keuntungan dan kerugian tersebut sifatnya tetap relatif karena masih ada hal lain yang mempengaruhinya. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa dalam menentukan pilihan penyelengaraan pengamanan perusahaan sangat memperhitungkan keuntungan maksimal yang didapat dari apa-apa yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dan upaya yang dapat dilakukan perusahaan untuk mengurangi permasalahan atau kerugian yang ada.

 

PERANAN HIRARKI SISTEM JALAN (Disusun Oleh : Ir. Adi Tanuarto M.Sc.)

PERANAN HIRARKI SISTEM JALAN
(Disusun Oleh : Ir. Adi Tanuarto M.Sc.)


1. MIXED TRAFFIC

Rata-rata jalan diperkotaan berperan untuk berbagai fungsi, disamping fungsinya menyediakan fasilitas bagi pergerakan kendaraan bermotor, juga untuk kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki. Fungsi ini dapat di kategorikan lebih luas lagi sebagai suatu lingkungan lalu lintas yang berinteraksi dengan tata guna lahan yang meliputi akses, lalu lintas setempat, lalu lintas antar wilayah dan lalu lintas jarak jauh (through traffic). Jika hal ini tidak dikendalikan atau ditata sedemikian rupa, maka akan timbul berbagai masalah yang disebabkan oleh terjadinya percampuran lalu lintas (mixed traffic).

Mixed traffic terjadi pada umumnya diakibatkan oleh berbagai aspek yang saling terkait antara Perangkat Penggerak dan Perangkat Pengendali (lihat gambar 1) pada sistem lalu lintas jalan. Pada komponen hardware dapat dikaji/dianalisa baik secara kwalitas maupun kwantitas karakteristik pergerakan lalu lintas berserta fasilitasnya (prasarana dan sarana), sedangkan komponen software dapat digunakan untuk mengimbangi antara kwalitas dan kwantitas. Sesungguhnya, jalan diperkotaan, tidak diharuskan berperan untuk berbagai fungsi dan mengakomodir seluruh jenis pergerakan lalu lintas yang timbul sebagai halhasil dari interaksi antara masing-masing sub-komponen didalam komponen hardware. Dengan demikian jelas bahwa perlu adanya suatu perencanaan dan perekayasaan yang matang dan konsisten.

Untuk maksud perencanaan dan perekayasaan (planning & design), sangat dibutuhkan identifikasi yang memadai dan terintegrasi didalam mengambil keputusan bagaimana seharusnya suatu jalan difungsikan dan diklasifikasikan dengan memberikan prioritas terhadap pergerakan lalu lintas yang memang harus diakomodir oleh jalan tersebut berserta fasilitasnya. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menghindarkan terjadinya mixed traffic yang pada akhirnya, bila sungguh-sungguh terjadi akan menimbulkan berbagai permasalahan lalu lintas. Dalam banyak hal masalah ini dapat dicegah dengan dibuat, disusun, diatur, diimplimentasikan, dan ditegakkannya komponen Software sesuai dengan kebutuhan secara menyeluruh dan terintegrasi atas dasar pertimbangan dari standar perencanaan dan perekayasaan.

2. STANDAR PERENCANAAN DAN PEREKAYASAAN

Dalam melakukan penilaian terhadap peranan infrastruktur jalan yang akan dibangun (jalan dan perlengkapannya) harus memenuhi standar perencanaan dan perekayasaan yang sesuai dengan peranan jalan tersebut didalam sistem lalu lintas jalan. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh kriteria kinerja (performance criteria) jalan tersebut sesuai dengan tingkat kebutuhan (makin tinggi kriterianya  biasanya biaya yang dibutuhkan juga akan semakin tinggi).

Dengan demikian didalam menentukan kriteria sesuai dengan kebutuhan harus ada keseimbangan antara nilai kwantitas dan kwalitas seperti tersebut diatas. Dalam hal ini dapat meliputi aspek kapasitas jalan, lingkungan, kecepatan, keselamatan, kemudahan dan kenyamanan pemakai jalan. Jadi pada awal perencanaan sangat penting mengidentifikasi dengan tepat kriteria perekayasaan (to identify the right design criteria) atas dasar faktor keseimbangan (balancing factor) tersebut sesuai kebutuhan yang tentunya akan terkait dengan penentuan prioritas (priority decision) yang akan diberikan.

3. MENENTUKAN PRIORITAS

Didalam menentukan prioritas seringkali dihadapi oleh berbagai konflik antara suatu kepentingan dengan kepentingan lainnya (range of conflicting uses), terutama dimana bila suatu jalan tidak lagi dapat mengakomodir permintaan pergerakan lalu lintas pada jam-jam tertentu dalam suatu hari.

Bilamana pada jam sibuk, kemacetan yang terjadi berkepanjangan (lebih dari 2 jam per hari) biasanya akan memperburuk masalah lalu lintas yang timbul. Hal ini umumnya terjadi karena hubungannya dengan satu atau lebih kegiatan yang dilakukan manusia didalam melaksanakan pembangunan mulai dari kegiatan pendidikan, sosial, pemerintahan, industri, dan kegiatan ekonomi yang berkesinambungan. Dari berbagai macam kegiatan tersebut, banyak terjadi konflik pergerakan antara satu sama lainnya, atau paling tidak seluruh kegiatan tersebut saling tumpang tindih karena dilakukan pada waktu yang bersamaan.

Disisi lain, pergerakan lalu lintas dari kegiatan tersebut tidak diatur sedemikian rupa sehingga sangat sensitif terhadap timbulnya berbagai masalah khususnya kemacetan yang berkepanjangan yang mana bisa mencapai lebih dari 6 jam per hari seperti yang sering terjadi di beberapa ruas jalan di Jakarta.

Jika cara berpikir kita didalam menentukan prioritas berusaha untuk mengakomodir sebanyak-banyaknya, masalah yang terjadi tidak akan dapat diselesaikan. Jadi apapun situasinya, harus dapat (berani) menentukan prioritas mana yang diberikan terhadap berbagai macam permintaan pergerakan lalu lintas (traffic demand) dengan mempertimbangkan matang-matang bahwa jalan yang dimaksud mempunyai peran tertentu dalam kaitannya dengan Perangkat Penggerak dan juga hubungannya dengan jalan lainnya didalam satu jaringan jalan (road network).

Sebagai contoh, jika suatu jalan memang diperuntukan kepada lalu lintas jalan jarak dekat (local traffic) dengan akses penuh, maka jalan tersebut tidak boleh dilalui oleh lalu lintas jarak sedang (antar wilayah) maupun jarak jauh dan juga kendaraan berat atau kendaraan yang dimensinya tidak sesuai dengan infrastruktur yang ada. Yang lebih baik lagi mungkin saja daerah disekitar jalan tersebut dijadikan kawasan pejalan kaki (pedestrian area) bilamana aktifitas sampingnya sangat tinggi.

Sebaliknya bila suatu jalan diperuntukan untuk lalu lintas jarak jauh tidak boleh dilalui oleh lalu lintas jarak pendek, dan juga harus ada pembatasan atas pengembangan lahan didaerah sekitar jalan tersebut dengan memperhatikan antara fungsi pergerakan dengan fungsi akses. Jadi dengan kata lain pengaturan dan pengendalian lalu lintas (to regulate & to manage the traffic ) serta aksesibilitas (to regulate & to control accessibility) sangat memerlukan klasifikasi dan fungsi jalan yang pada akhirnya jalan-jalan tersebut harus memiliki hirarki dalam kaitannya dengan tata guna lahan.

4. PEMECAHAN ALTERNATIF

Untuk mencapai keberhasilan didalam menentukan prioritas bagi pergerakan lalu lintas tertentu dapat dicapai dengan berbagai cara tergantung pada skala waktu yang dibutuhkan. Sebagai contoh, tindakan manajemen lalu lintas dengan biaya rendah (low cost traffic management) umumnya mudah di implimentasikan tetapi disisi lainnya memerlukan komitmen yang tinggi antar instansi terkait dengan memberlakukan/menempatkan/menegakkan komponen software yang memadai.

Dengan metode ini, tentunya tidak akan banyak perubahan terhadap infrastruktur yang ada dan biasanya hanya dapat bertahan untuk jangka pendek (short term solution). Seringkali pemecahan jangka pendek juga sangat merepotkan karena harus sering dimonitor dan dikaji ulang , untuk itu umumnya dikombinasikan dengan program yang jangka panjang (long term) yang dapat melibatkan investasi besar untuk menyediakan fasilitas baru yang dibarengi dengan perencanaan dan pengendalian tata guna lahan yang memadai.

5. KEUNTUNGAN HIRARKI JALAN

Keuntungan yang dapat diperoleh dengan mengkatagorikan (categorising) dan mengelola (manage) lalu lintas dan jalan yang ada (existing traffic & road systems) dalam bentuk hirarki jalan adalah sbb:

 Aktifitas tinggi yang berada di kawasan padat dengan berbagai bangunan didalamnya dapat diberikan ruang gerak yang lebih baik dengan catatan bilamana aspek lingkungan dan aksesilibilitas dominan. Sebagai contoh daerah pusat perbelanjaan, central bussiness district dan daerah komersial lainnya sangat memerlukan akses yang tinggi.

 Aktifitas yang tidak sesuai dengan pergerakan arus lalu lintas kendaraan pada suatu jalan/rute tertentu dapat dibatasi bilamana pergerakan arus lalu lintas tersebut menjadi dominan. Sebagai contoh pemberian ijin bangunan atau rencana pengembangan lahan harus disesuaikan dengan klasifikasi dan fungsi jalan didalam hirarki dan peranannya.

 Kapasitas jalan pada rute tertentu dapat ditingkatkan dengan melakukan segregasi terhadap berbagai jenis arus lalu lintas kendaraan dan dengan melarang berbagai akses bagi lalu lintas kendaraan. Sebagai contoh kendaraan berat hanya boleh beroperasi pada jalan-jalan tertentu dan jam-jam tertentu, larangan parkir, larangan bagi kendaraan yang performanya rendah (kendaraan roda tiga, angkutan umum yang tidak memadai, dll.) dan berbagai bentuk akses lainnya yang dapat mengganggu arus lalu lintas kendaraan (pejalan kaki dan tempat pemberhentian angkutan umum, bongkar muat barang, dll.). Sebaliknya fasilitas pendukung tertentu kemungkinan harus disediakan seperti jembatan penyebrangan, tempat pemberhentian bus dengan layby yang memadai (full standard layby).

 Resiko terjadinya kecelakaan dapat dikurangi dan kapasitas simpang dapat ditingkatkan dengan mengurangi jumlah persimpangan dan konflik arus lalu lintas pada rute jalan tertentu. Sebagai contoh jarak simpang yang saling berdekatan, kecelakaan sering terjadi pada persimpangan jalan.

 Dampak lingkungan akibat pergerakan lalu lintas dapat dikurangi dengan mengkosentrasikan pergerakan arus lalu lintas ke rute jalan yang jumlahnya lebih sedikit. Sebagai contoh dengan adanya pembatasan rute pergerakan, lingkungan tertentu dapat dihindari dari aspek dampak lingkungan yang disebabkan oleh arus lalu lintas kendaraan seperti polusi udara, kebisingan, dll.

 Tingkat pengembalian dari suatu investasi baru yang diperuntukan untuk memperlancar pergerakan arus lalu lintas, mengurangi kecelakaan dan mengurangi gangguan lingkungan dapat ditingkatkan dengan meng-konsentrasikan pergerakan arus lalu lintas pada beberapa koridor yang ditentukan. Sebagai contoh di dalam mengkaji investasi baru di bidang transportasi nilai ekonomi sangat penting, karena bentuk dari pengembalian yang diharapkan adalah suatu nilai pengembalian yang dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat luas sebagai pengguna jalan.

6. KLASIFIKASI JALAN DALAM HIRARKI

Undang Undang No.38 tahun 2004 tentang Jalan, Undang Undang No.26 tentang Penataan Ruang dan Undang Undang No.22 Tahun 2009 tentang LLAJ menjelaskan secara rinci mengenai klasifikasi dan fungsi jalan didalam hirarki, dan wewenang serta tanggung jawabnya. Hanya dalam prakteknya, apa yang tertera pada kedua dokumen tersebut tidak dapat terlaksana dan diartikan sebagaimana mestinya. Khususnya, terhadap batasan fisik dari klasifikasi dan fungsi jalan serta komitmen pentingnya koordinasi yang bersifat saling mengisi antar instansi terkait seperti Kementrian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementrian Perhubungan, Kementrian Pekerjaan Umum, Pemerintah Daerah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Walaupun demikian, secara teknis dan sangat penting untuk diperhatikan adalah bahwa jalan dibangun untuk maksud dan tujuan tertentu dalam melaksanakan pembangunan yang mempunyai peranan pokok sebagai pra-sarana distribusi dan komunikasi pada sistim perhubungan darat. Jika demikian, maka harus ada persamaan persepsi dan interpretasi antar instansi terkait terhadap klasifikasi dan fungsi jalan sesuai hiraki.

Sesungguhnya, tidaklah terlalu sulit untuk membuat suatu kebijaksanaan atau peraturan perundang-undangan didalam mengelopokan peranan masing-masing ruas jalan sesuai dengan karakteristik pergerakan lalu lintas dan perizinan pengembangan lahan. Dalam hal ini, jelas bahwa jaringan jalan mempunyai peranan sebagai jalur distribusi didalam sistem perhubungan darat, dan dengan adanya sensus lalu lintas dalam bentuk asal dan tujuan perjalanan (origin & destination trips) berserta karakteristiknya, maka sebagai halhasil akan diperoleh lima mmacam bentuk prasarana distribusi sbb:

 Distributor primer
 Distributor sekunder
 Distributor lokal
 Jalan akses
 Fasilitas pejalan kaki

Selanjutnya Tabel-1 dibawah ini memberikan contoh sistem klasifikasi didalam hirarki untuk jalan perkotaan berdasarkan fungsinya.

Tabel 1 – Sistem Klasifikasi Dan Fungsi Jalan Didalam Hirarki

Klasifikasi
Aktivitas Distributor Primer Distributor Sekunder Distributor Lokal Jalan Akses Fasilitas
Pejalan Kaki

Pra-syarat dominan/ prioritas kegiatan
 Kecepatan tinggi
 Lalu lintas jarak jauh
 tidak ada pejalan kaki
 Lalu lintas jarak menengah menuju jaringan primer
 Pelayanan angkutan umum
 Through traffic memperhatikan keadaan lingkungan  Awal pergerakan kendaraan
 Akhir dari seluruh perjalanan
 Lalu lintas lokal
 Pemberhentian bus  Pergerakan kendaraan lamban
 Kendaraan keluar masuk
 Pengiriman barang/bongkar muat
 Kegiatan rutin rumah tinggal
 Berjalan kaki  Berjalan kaki
 Kegiatan dalam kompleks CBD
 Perkantoran
 Pusat-pusat kegiatan lain (pertokoan, pasar, sekolahan, dll.)

Lalu lintas pejalan kaki  Tidak ada
 Pemisahan vertikal antara kendaraan & pejalan kaki  Aktivitas pejalan kaki minimum
 Pengamanan positive demi keselamatan pejalan kaki

 Kontrol dengan kanalisasi, zebra cross, dll.
 Kebebasan total dengan penyebrangan yang random
 Aktivitas pejalan kaki cukup tinggi  Kebebasan total pejalan kaki merupakan pra-syarat
 Kawasan pedestrianisasi
Kendaraan berhenti atau parkir
 Tidak ada
 Keadaan darurat  Beberapa tergantung dari faktor arus lalu lintas & kemacetan
 Parkir di tepi jalan dibatasi  Banyak dan harus off street
 Limited on street parking
 Beberapa dan tergantung dari faktor keselamatan  Tidak ada kecuali untuk services & darurat

Aktivitas/ pergerakan kendaraan berat barang  Cocok untuk pergerakan kendaraan berat khususnya through traffic
 Pergerakan kendaraan berat minimum
 Through traffic minimum
 Pergerakan kendaraan berat minimum
 Through traffic minimum
 Yang berkaitan dengan pelayanan pemukiman
 Pelayanan bongkar muat, pengantaran barang  Hanya yang sangat perlu
 Pelayanan pengantaran dan bongkar muat dibatasi pada tempat-tempat khusus

Akses kendaraan pada properti individu  Tidak ada kecuali seperti kantor polantas/ Jasa Marga

 Tidak ada kecuali pusat-pusat kegiatan tertentu sesuai dgn. kelas jalan lokal distributor
 Beberapa hanya pada pusat kegiatan penting

 Dominan dan merupakan prioritas

 Tidak ada kecuali yang bersifat darurat
Pergerakan lalu lintas local  Sangat kecil  Beberapa, jarak simpang sangat penting  Dominan dan merupakan prioritas
 Tidak ada  Tidak ada kecuali angkutan umum
Lalu lintas melewati (through traffic)  Dominan untuk lalu lintas jarak jauh  Dominan untuk lalu lintah jarak menengah
 Tidak ada
 Tidak ada
 Tidak ada
Kecepatan operasi kendaraan/ batas kecepatan
 Diatas 60 km/jam
 Batas kecepatan maksimum antara 45 – 60 km/jam
 Batas kecepatan 45 km/jam
 Kecepatan kurang dari 35 km/jam dgn speed detector
 Kecepatan kurang dari 15 km/jam

Catatan: Penjelasan pada tabel diatas hanya sebagai contoh dan tidak dapat berlaku secara umum tergantung dari karakteristik daerah/kawasan masing-masing. Untuk lebih tepat tentunya harus diadakan penelitian terlebih dahulu khususnya bagi daerah yang sudah begitu berkembang. Didalam membuat klasifikasi seperti diatas tentunya harus memper-hatikan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Jadi pada intinya bahwa untuk mempermudah pelaksanaan dan penegakkan dilapangan perlu adanya suatu kategorisasi dari sistim klasifikasi hirarki.

7. KAPASITAS JALAN PERKOTAAN DALAM HIRARKI

Menentukan kapasitas yang pasti bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Dalam perencanaan yang dapat ditentukan adalah penilaian kapasitas secara teoritis atas kecukupan kapasitas jalan yang telah dirancang untuk mengakomodir pergerakan lalu lintas sesuai dengan kelas jalan dalam hirarki. Biasanya perhitungan teoritis ini akan lebih kecil dari kapasitas jalan yang ada dengan catatan bila tidak diberlakukan berbagai batasan (traffic restraint).

Gambar dibawah ini memberikan pentunjuk atas penilaian tersebut. Untuk memungkinkan dibuatnya penilaian dimaksud diperlukan data distribusi panjang perjalanan didalam suatu kawasan dalam studi dengan melakukan survey transportasi. Disamping itu juga diperlukan data yang berkaitan dengan tingkat jarak perjalanan sebagai tolok ukur untuk masing-masing kelas jalan dalam hirarki.

1.0

0.5

Total traffic demand = Tij [(A)+(L)+(S)+(P)]

Total capacity = CA x l + CL x l + CS x l + CP x l

=  Ci x li

Ci = Kapasitas lajur per unit panjang lajur,
dan l = panjang lajur untuk setiap kategori

8. IMPLIKASI PERENCANAAN & KONTROL PENGEMBANGAN

Salah satu keuntungan dengan mendifinisikan hirarki jalan lebih mendalam adalah akan membantu memperjelas dan mempertegas segala kebijaksanaan yang berkaitan dengan jalan, terutama sewaktu ingin mengambil keputusan dalam perencanaan hubungannya dengan pengembangan lahan terhadap jalan yang sedang direncanakan. Hal ini akan semakin penting untuk jalan diperkotaan yang sangat sensitif terhadap kemacetan.

Lebih jauh lagi, kriteria perencanaan yang lebih spesifik dapat dikembangkan sesuai dengan rencana jalan dalam hirarki seperti; kecepatan rencana (design speed), lebar jalan, pengendalian pejalan kaki, parkir tepi jalan dan akses pengembangan lahan atau akses kendaraan. Dengan cara ini objektivitas perencanaan akan lebih jelas dan tegas untuk setiap kelas jalan dalam hirarki, dan kebijaksanaan terhadap pengembangan lahan serta tindakan manajemen lalu lintas akan dapat berfungsi lebih baik satu sama lainnya. Tentunya komitmen instansi terkait sangat dibutuhkan.

9. HUBUNGAN HIRARKI JALAN DENGAN KLASIFIKASI JALAN

Sesuai dengan penjelasan pada halaman 4 mengenai pengelompokan klasifikasi jalan berserta fungsinya dalam hirarki adalah sbb:

 Distributor Primer
Jalan ini secara keseluruhan membentuk jaringan primer bagi sentra-sentra kegiatan (sentra primer) di perkotaan. Umumnya juga terdiri dari jalan nasional (arteri primer) untuk through traffic dan menyatu dengan sistim jalan arteri nasional. Jadi seluruh pergerakan lalu lintas yang lebih jauh dari dan ke dalam daerah perkotaan harus di alihkan ke distributor primer. Jalan ini juga dapat berupa jalan toll yang memiliki peraturan perundang-undangan khusus (tersendiri). Bedanya, karena jalan toll dikenal sebagai jalan bebas hambatan, maka jalan tersebut harus memiliki akses mendekati nol (akses dalam hirarki dibatasi secara ketat) dan tidak boleh sama sekali ada gangguan samping sekalipun hanya berupa papan reklame yang berlebihan seperti sering kita lihat pada jalan-jalan toll di Indonesia. Disamping itu, larangan juga diberikan kepada kendaraan yang performanya lamban (tidak dapat bergerak pada batas kecepatan minimum). Hal ini harus diberlakukan secara ketat, karena akan sangat berbahaya bila bercampur dengan kendaraan lain yang dapat mencapai batas kecepatan maksimum atau lebih. Kendaraan yang kemampuannya dibawah lebih baik dialihkan kejalan nasional biasa.

 Distributor Sekunder
Jalan ini mendistribusikan pergerakan arus lalu lintas didalam suatu daerah antara kawasan permukiman inti dan industri yang membentuk jaringan dan menyatu dengan jaringan primer (kolektor primer dengan arteri primer atau jaringan sekunder dengan jaringan primer).

 Distributor Lokal
Jalan ini mendistribusikan pergerakan arus lalu lintas didalam daerah yang membentuk suatu lingkungan (daerah padat kegiatan). Jalan tersebut membentuk jaringan yang berhubungan dengan jaringan distributor sekunder dan jalan akses (antara/didalam distributor sekunder dan jalan akses).

 Jalan Akses
Jalan ini memberikan akses langsung ke kawasan pengembangan lahan (bangunan pusat kegiatan) dan lingkungan padat yang dapat membentuk jaringan dan berhubungan langsung dengan kawasan pejalan kaki (fasilitas pejalan kaki).

 Fasilitas Pejalan Kaki
Jalan/fasilitas yang diperuntukan khusus untuk pejalan kaki yang kadang-kadang juga dipergunakan bagi pengendara sepeda dan seringkali di jadikan kawasan pejalan kaki (pedestrianisasi). Pada waktu dan jam tertentu dengan izin khusus kendaraan dapat masuk khususnya untuk pelayanan bangunan disekitarnya atau bagi sarana angkutan umum.

DAFTAR PUSAKA:

1. ‘Roads and Traffic In Urban Areas’, The Institute of Highways & Transportation and Department of Transports United Kingdom, London, June 1987.

2. ‘Undang-Undang No.38 Tahun 2004 tentang Jalan’, Pemerintah Republik Indonesia.

3. ‘Undang Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang’, Pemerintah Republik Indonesia.

4. ‘Undang Undang No. 22 Tahun 2009 tentang LLAJ’, Pemerintah Republik Indonesia

5. ‘Dasar-Dasar Perencanaan Sistim Transportasi Jalan raya’, Adi Tanuarto, Jakarta 1987.

6. ‘Produk Standar Jalan Perkotaan’, Direktorat Pembinaan Teknis, Direktorat Jendral Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta 1991.

7. Diktat ‘Manajemen Lalu Lintas’, bahan kuliah di PTIK, Adi Tanuarto, Jakarta 1998.

8. ‘Traffic Management Lecture Notes’, The University Of Birmingham, Birmingham, UK, 1982/1983.

DAMPAK LALU LINTAS PENGEMBANGAN LAHAN (Oleh: Ir. Adi Tanuarto M.Sc.)

Image

 

 

 

  1. I.        Tata Guna Lahan Dan Pola Pergerakan Lalu Lintas

 

Di kota-kota besar sering terlihat bahwa adanya suatu pengembangan atas penggunaan lahan atau berubahnya suatu fungsi bangunan dapat merubah pula pola pergerakan arus lalu lintas termasuk besarannya pada lingkungan sekitar dalam radius tertentu . Hal ini, sering pula mengakibatkan perlunya ada perubahan didalam sistem lalu lintas jalan dan angkutan yang antara lain dapat meliputi prasarana jalan (pelebaran atau penambahan/perluasan jaringan jalan), sarana angkutan (pengaturan baru/penambahan trayek angkutan umum, perubahan arus pergerakan lalu lintas, dll.), penyedian fasilitas pejalan kaki atau pembangunan jembatan penyebrangan orang, dll.

 

Untuk itu, maka setiap adanya perubahan fungsi bangunan atau pengembangan baru, diperlukan suatu kajian Dampak Lalu Lintas Pengembangan Lahan. Pengertian dampak lalu lintas disini adalah untuk memperkirakan suatu besaran pergerakan arus lalu lintas baik yang ditimbulkan (generated) maupun yang ditarik (attracted) dalam kaitannya dengan besaran pembebanan jalan  yang akan terjadi apabila pengembangan tersebut telah di operasikan atau di buka untuk umum.

 

Agar dapat melakukan kajian secara kwantitatif dan melakukan penilaian atas dampak lalu lintas pada jaringan jalan yang berpotensi terjadi, maka perlu dihitung permintaan (demand) pergerakan lalu lintas yang berbeda beda baik generated maupun attracted, termasuk didalamnya asal dan tujuan pergerakan yang pada akhirnya akan mencerminkan pola pergerakan arus lalu lintas baru.

 

Besaran volume dan Karakteristik lalu lintas ini akan sangat tergantung dari type pengembangan (fungsi, besaran, kelas dan peranan bangunan), lokasi, dan juga hubungannya dengan pengembangan lahan lainnya baik yang sudah ada maupun yang akan di bangun  termasuk terhadap profil jaringan jalan, sistem lalu lintas dan angkutannya baik yang saat ini maupun yang akan datang sesuai Master Plan kota.

 

 

  1. 2.    Indentifikasi Kebutuhan Kajian

 

Seperti telah di uraikan diatas bahwa pada intinya aspek jalan dan lalu lintas yang harus dapat di identifikasikan untuk mengkaji dampak lalu lintas pengembagan lahan atau perubahan pemanfaat bangunan (fungsi gedung) adalah sbb:

 

  1.      Traffic Demand (Permintaan Pergerakan Lalu Lintas)

- Generated Traffic (Pergerakan arus lalu lintas tambahan yang akan di timbulkan/keluar dari pengembangan/ perubahan fungsi lahan).

-   Attracted Traffic (Pergerakan arus lalu lintas tambahan yang akan ditarik/masuk ke dalam lokasi pengembangan/ perubahan fungsi lahan.

- Distribusi  pergerakan  arus  lalu lintas (asal/tujuan pengunjung) baik yang attracted maupun yang generated dalam kaitannya dengan objek pengembangan.

Moda Angkutan  (angkutan umum, kendaraan pribadi, pejalan kaki, angkutan barang) yang akan digunakan oleh pengunjung dari distribusi pergerakan tersebut diatas baik yang akan datang maupun yang akan pergi  ke/dari objek pengembangan

-  Route  yang  akan diambil oleh pengunjung  (Kendaraan dan pejalan kaki) baik yang masuk maupun yang meninggalkan lokasi berdasarkan distribusi dan moda angkutan-nya.

 

ii.     Supply  (Fasilitas penunjang untuk traffic demand)

-        Kecukupan fasilitas sistem lalu lintas dan angkutan (jaringan jalan dan angkutan) yang ada untuk menampung penambahan permintaan akibat adanyan pengembangan/perubuhan fungsi lahan.

-        Susunan (layout) external akses keluar (egress)/masuk (ingress) pada lokasi pengembangan dan hubungannya dengan jaringan jalan disekitar objek pengembangan.

-        Susunan (layout) internal akses di dalam objek pengembangan untuk sirkulasi pergerakan arus lalu lintas termasuk pejalan kaki, angkutan barang (loading/unloading), pelayanan (services) dan parkir.

 

Setiap pengembangan baru harus dapat menyediakan susunan fasilitas objek pengembangan yang memuaskan untuk akses keluar/masuk, sirkulasi dan parkir, dan juga dalam kaitannya dengan aspek keselamatan, efisiensi operasional dan aspek lingkungan umum.

 

 

  1. 3.    Metodologi Dan Pendekatan

 

Aspek lalu lintas dan angkutan jalan terhadap suatu pengembangan baru yang telah di identifikasi pada bab sebelumnya dapat di kaji dan di nilai dengan metodologi dan pendekatan yang tertera pada gambar 1 dibawah ini.

 

 

Setiap proposal pengembangan lahan akan sangat bervariasi baik dari segi karakteristiknya, skalanya dan lokasinya. Walaupun demikian prinsip dasar pengkajian adalah sama tetapi besaran pekerjaan yang timbul dalam melakukan prediksi dapat berbeda. Hal ini sangat tergantung dari ukuran, lokasi, fungsi, kelas, dan pengaruhnya terhadap pergerakan arus lalu lintas dan angkutan jalan yang ada.

 

Oleh karenanya, pada tahap awal sangat perlu di definisikan secara cermat objek pengembangan tersebut termasuk rincian pengembangan (Engineering and Architectural Designs). Disamping itu perlu juga di ketahui karakteristik jaringan jalan dan lalu lintas yang ada saat ini.

 

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa karakteristik tata guna lahan dapat di tinjau berdasarkan:

  1. Karakteristik pengembangan

-        Peruntukan

-        Fungsi

-        Besaran

-        Kelas

-        Rancangan, Layout dan Fasilitas

-        Kriteria pembangunan (KDB =Koefisien Dasar Bangunan, KLB = Koefisien Lantai Bangunan, GFA = Gross Floor Area

  1. Lokasi

-        Kawasan CBD (Central Business District) utama

-        Kawasan Sub – CBD

-        Kawasan Sub – Urban (Commuter Routes)

-        Kawasan Rural

  1. Jaringan jalan

-        Arteri

-        Kolektor

-        Lokal

-        Geometrik (Kapasitas)

  1. Lalu Lintas

-        Volume Ruas (jam sibuk dan hari libur)

-        Volume Simpang

-        Kecepatan

-        Hambatan

 

Masing-masing dari variable diatas harus di data dan di analisa sehingga dapat mencerminkan tingkat dampak yang akan terjadi.

 

 

  1. 4.    Karakteristik Pengembangan

 

Karakteristik ini sangat diperlukan untuk menentukan karakteristik pergerakan arus lalu lintas pengunjung baik yang menggunakan kendaraan bermotor maupun yang berjalan kaki. Sebagai contoh peruntukan lahan, fungsi, besaran dan kelas akan sangat mempengaruhi karakteristik volume lalu lintas dan jenis angkutannya. Selain itu, rancangan, lay out bangunan dan kriteria pembangunan sangat menentukan dalam kaitannya dengan tingkat aksesibilitas dan juga conflicting traffic (konflik pergerakan arus lalu lintas). Sebagai contoh KDB dapat mencerminkan ruang gerak pada dasar bangunan di permukaan tanah (satu level) dengan jalan. KLB dapat mencerminkan besaran volume pergerakan, over design dan kemampuan objek pengembangan didalam menampung pergerakan lalu lintas di dalam objek pengembangan. GFA merupakan satuan ukuran terhadap luas lantai kotor yang dapat digunakan untuk menghitung trip rate (rasio tingkat pergerakan). Biasanya, trip rate dinyatakan sebagai jumlah pergerakan (kendaraan/orang) per 100 meter persegi. Contoh untuk ukuran shopping mall yang besar seperti Plaza Senayan , Plaza Semangi, Plaza Indonesia, Mega Mall Pluit, Pondok Indah Mall dsb. dapat mencapai 3 kendaraan per 100 meter persegi luas bangunan kotor (3 kend/100m2 GFA). Untuk super market besar seperti Carefour dapat mencapai 2 kendaraan per 100 meter persegi (2 kend/100 m2 GFA).

 

Kriteria pengembangan ini semuanya berada di bawah Pemda. yang antara lain Dinas Tata Kota mengatur semua karakteristik pengembangan. Dinas Tata Bangunan (Sebelumnnya bernama Dinas Pengawasan Pembangunan Kota/P2K) mengatur tata laksana pembangunan dan arsitektur bangunan, dan juga mencegah terjadinya pelanggaran selama pembangunan. Biro Sarana Kota mengatur sarana yang diperlukan dalam kaitannya dengan objek pengembangan, dst.

 

 

  1. 5.    Lokasi Pengembangan

 

Lokasi mempunyai peranan sangat penting dalam kaitannya dengan aksesibiltas dan tingkat mobilitas pengunjung baik yang datang maupun yang pergi. Tentunya pada kawasan utama CBD harus lebih cermat didalam menganalisa dampak yang akan timbul termasuk sarana, prasarana dan fasilitas yang di butuhkan. Biasanya, jaringan jalan di kawasan utama CBD sudah padat lalu lintas khususnya pada jam-jam sibuk. Dalam hal ini sangat perlu untuk di lihat lebih jauh dalam kaitannya dengan pelaksanaan manajemen lalu lintas yang lebih komprihensif. Dampak yang timbul pada kawasan ini dapat berpengaruh sangat luas terhadap pergerakan arus lalu lintas dan jaringan jalannya.

 

Tingkat kedalaman  melakukan kajian terhadap lokasi akan berbeda beda. Daerah padat dan ramai seperti CBD harus di lakukan kajian yang lebih mendalam di bandingkan dengan sub-urban atau rural areas.

 

Pada intinya, lokasi dan karakteristik pengembangan mempunyai peranan yang sama, dimana kedua factor tersebut mempunyai hubungan satu sama lainnya.

 

 

  1. 6.    Jaringan Jalan Dan Lalu Lintas

 

Peranan terpenting didalam kajian dampak lalu lintas pengembangan lahan dan juga tentunya dalam kaitannya dengan pemberian izin bangunan (IMB) adalah kondisi jaringan jalan dan lalu lintas di sekitar lahan yang menjadi objek pengembangan. Seandainya kondisi tersebut walaupun tanpa adanya pengembangan baru sudah cukup parah terutama dalam kaitannya dengan tingkat kemacetan, maka perlu suatu kajian yang lebih khusus dan lebih luas.

 

Dalam hal jaringan jalan, harus diperhatikan bahwa objek pengembangan berada pada kelas jalan yang mempunyai fungsi dan perananannya sebagai distributor primer, distributor sekunder atau distributor lokal termasuk didalamnya jalan-jalan penghubung lainnya yang ikut berperan sebagai akses pergerakan yang ditimbulkan maupun ditarik oleh objek pengembangan tersebut.

 

Tentunya jalan-jalan yang ada akan membentuk suatu jaringan yang dapat mencerminkan tingkat kemampuan jalan untuk mendistribusikan pergerakan arus lalu lintas baik yang sudah ada maupun arus lalu lintas baru yang ditimbulkan atau ditarik oleh objek pengembangan.

 

Pendistribusian yang makin luas akan mengurangi kemungkinan pergerakan arus lalu lintas tersebut terkonsentrasi pada suatu titik. Oleh karena itu, disamping kajian terhadap jalan yang dapat meliputi ruas jalan  (geometrik, kapasitas, bottleneck, kondisi lingkungan dsb.)  dan persimpangan (geometrik layout, arus jenuh, pengaturan lampu lalu lintas, dsb.). Disamping itu juga harus mengkaji karakteristik arus lalu lintas nya yang dapat meliputi volume jam sibuk, komposisi arus lalu lintas kendaraan, pejalan kaki, pelayanan angkutan umum, dll.)

 

Didalam menilai tingkat kerawanan terhadap kemacetan, dapat di lakukan kajian terhadap tingkat kecepatan rata-rata yang ada dengan berbagai hambatan yang dapat mempengaruhi penurunan kecepatan tersebut.

 

Pada intinya didalam menganalisa jalan dan lalu lintas adalah menghitung supply (jalan/jaringan jalan) dan permintaan (pergerakan arus lalu lintas). Jadi kalau demand vs. supply berimbang tentunya tidak akan terjadi masalah.

 

Yang dinamakan demand yaitu meliputi pergerakan yang sudah  ada ditambah dengan pergerakan baru akibat adanya objek pengembangan. Demand ini bentuk dan sifatnya bervariasi seperti telah di jelaskan pada bab 2.  Selajutnya, supply adalah berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang pergerakan demand sehingga tidak terjadi kemacetan. Rincian daripada supply dapat dilihat pada bab 2 diatas.

 

Kalau seandainya dengan adanya pengembangan lahan yang mengakibatkan demand > supply maka harus di kaji dengan mencari solusi penyelesaian agar demand dapat di imbangi oleh supply. Biasanya perlu di lakukan kajian sehingga aksesibilitas tidak terkonsentrasi pada suatu jalan dan bertumpu pada satu titik persimpangan. Dalam hal ini tentunya perlu dikaji secara jaringan jika pengembangan lahan di maksud merupakan objek pengembangan yang dapat menimbulkan maupun menarik pergerakan arus lalu lintas yang sangat tinggi yang dapat menurunkan tingkat pelayanan jalan.

HACKER, HACKING DAN KEGALAUAN POLRI DI TIMBUKTU

HACKER, HACKING DAN KEGALAUAN POLRI DI TIMBUKTU
Perkembangan teknologi informasi tidak ubahnya seperti pedang bermata dua, disatu sisi kecangguhan teknologi informasi telah berhasil menghapuskan sekat sekat geografis antar wilayah bahkan negara, seseorang cukup duduk didepan sebuah laptop yang tekoneksi melalui jaringan internet untuk melakukan pembicaraan tatap muka langsung secara real time dengan lawan bicara yang berada ribuan mil jauhnya, namun demikian kemungkinan yang sama terjadi manakala pembicaaraan via layanan komunikasi internet tersebut ternyata digunakan untuk melakukan kejahatan lintas negara yang memiliki kedaulatan dan yuridiksi berbeda.
Sejarah kejahatan dalam dunia maya merupakan salah satu isu penting dalam hukum dunia maya ( cyber law), sehingga dalam sudut pandang praktis terhadap cakupan kejahatan dunia maya terhadap sistem komputer tentunya berkisar dari masalah akses tanpa ijin, perusakkan data atau program komputer, penyisipan data tanpa ijin terhadap, dari atau dalam sistem atau jaringan termasuk didalamnya kegiatan spionase komputer, sedikit berbeda tentunya manakala kejahatan dunia maya difokuskan kepada sebagai suatu definisi kejahatan apapun yang dilakukan melalui internet dan sistem komputer sebagai suatu kejahatan yanglebihluas termasuk sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi kejahatan Dunia maya : Penipuan yang berkaitan dengan komputer, Pelanggaran hak cipta, pornografi anak, dan keamanan jaringan .
INTERNET SEBAGAI PUBLIC DAN GLOBAL GOOD
Kemanfaatan jaringan Internet untuk kehidupan manusia perlu mendapat perhatian yang serius , hal ini disebabkan karakteristik Internet itu sendiri sebagai suatu jaringan yang sifatnya Publik dan Global pada dasarnya adalah tidak aman , perencanaan dan implementasi perlindungan berupa sistem keamanan Internet senantiasa diperlukan dan dikembangkan , Internet sebagai sarana untuk memudahkan kehidupan manusia memerlukkan manusia itu sendiri untuk mengelola jaringan, tinggal bagaimana niat dan tujuan penggunaan , apakah untuk hal positif atau untuk kejahatan yang kerap kemudian disebut Hacker Hitam / Cracker.
Makna harafiah Hacker,Hacking dan Cracker adalah merujuk kepada orang , atau sekelompok orang dengan kemampuan tertentu dibantu jaringan dan peralatan Komputer melakukan penyusupan dan kemudian melakukan perusakkan dengan maksud untuk sekedar mengetahui kelemahan suatu sistem keamanan lantas berkeinginan untuk memberikan rekomendasi perbaikan dan penyempurnaan maupun memang bertujuan untuk mengambil keuntungan secara tidak sah. Bila Hacker merujuk kepada pelaku dan Hacking merujuk kepada perbuatan maka Cracker merujuk kepada pelaku “Hacker” yang melakukan perbuatan dengan motivasi kejahatan.
Pemikiran terhadap upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh hacker yang berkembang menjadi Cracker sebagai suatu keharusan negara sebagai pemegang otoritas kedaulatan. Manakala bentuk serangan hacker yang berkembang menjadi kejahatan serius, telah berkembang lebih dari sekedar kegiatan kreatif untuk menguji level dan ketahanan suatu sistem keamanan Komputer, menjadi suatu kejahatan yang merugikan kepentingan dan hak individu-individu maupun masyarakat dan eksistensi kedaulatan suatu negara, sebagai sebuah karakteristik jaringan Internet adalah sebuah Public dan Global Good mensyaratkan kerjasama lintas negara, lintas penegak hukum dan pengampu kepentingan dan kesamaan persepsi sesama pemangku kepentingan (penegak hukum) terhadap landasan dan kewenangan hukum yang melingkupi kejahatan dunia maya sebagai ulah Hacker, Hacking dan Cracker.
Fenomena kebutuhan kerjasama dan persamaan persepsi hukum, didukung oleh pendapat Niniek Suparni yang menyebutkan bahwa Problematika dan permasalahan yang muncul seiring penggunaan Internet dan tindakan Hacking yang dilakukan Hacker dan atau Cracker menimbulkan implikasi sebagai berikut : pertama Problematika Substansif, yakni permasalahan yangterkait dengan keaslian data masage, Keabsahan ( Validity), kerahasiaan ( Confidentality/ Privacy), keamanan ( Security), dan ketersediaan ( Availibility) kedua , terkait problematika Prosedural yaitu pengakuan dan daya mengikat putusan hakim suatu negara lain untuk diberlakukan dan dilaksanakan di negara lawan, sekalipun terdapat instrumen –instrumen Internasional .
Polri selaku alat negara penegak hukum diberikan tanggung jawab untuk melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat melalui upaya pemeliharaan kamtibmas dan penegakkan hukum di Indonesia,tercatat beberapa prestasi Polri terkait upaya penegakkan hukum terhadap kejahatan Dunia maya baik dalam konsepsi praktis maupun kejahatan dunia maya dalam konteks segala kejahatan yang dilakukan melalui internet dan sistem komputer namun bagaimana ketika Polri sebagai suatu organisasi dalam mengelola jumlah dan kemampuan Sumber daya Manusia yang ada dan bervariatif, Sumber Anggaran yang harus akuntabel dan bentang Geografi Nusantara, akankah mampu mewujudkan suatu Kepastian Hukum melalui upaya penegakkan hukum yang profesional dan berkeadilan terhadap kejahatan dunia maya yang dilakukan oleh hacker maupun Cracker.
PROBLEMATIKA PENYIDIKAN KEJAHATAN DUNIA MAYA
Yuridiksi !, setiap Penyidik Polri yang kebetulan mengahdapi atau menerima laporan kejahatan dunia maya setidaknya harus memperhatikan 3( tiga) pertimbangan utama dalam penegakkan hukum terhadap kejahatan dunia maya: pertama ,Yuridiksi Prosedural , kedua : Yuridiksi Substantif , aturan mana yang akan di terapkan, ketiga: Yuridiksi penegakkan, bagaimana menerapkan kepusan pengadilan terhadap sebuah penyidikan kejahatan dunia maya.
Pengadilan atau negara manakah yang mempunyai kewenangan yang tepat untuk melakukan tindakan berdasar hukum, Produk Hukum apakah yang tepat digunakan dalam kriminalisasi kejahatan dunia maya dan siapa yang berwenangt untu7k melakukan proses penyidikan , bagaimana prosedur dan apa yang bisa dilakukan terhadap eksekusi keputusan hukum yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, sebagai gambaran bilamana kejahatan yang dilakukan oleh Hacker/ Cracker dilakukan antar wilayah yang memiliki kewenangan berdasar locus delicti apakah dapat dikembangkan pengertiannya menjadi tempat dimana kejahatan dilakukan, tempat dimana akibat kejahatan tersebut dirasakan atau tempat dimana kejahatan tersebut digagas dan dipersiapkan.
Ketika locus delicti sedemikian penting menjadi pertimbangan apakah penyidik Polri di Polres atau Polsek Timbuktu dapat serta merta menerima kemudian melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut terkait laporan masyarakat, dan untuk mencegah Penyidik Polri menolak Laporan Masyarakat dengan alasan bukan dalam lingkup yuridiksi tugas dan kewenangannya maka pertimbangan sebagai berikut dapat menjadi pedoman untuk menyikapi peliknya permasalahan untuk menetukan siapa yang paling berhak menerima dan melakukan peyidikan.
Kejahatan Dunia Maya sebagai kejahatan yang terjadi secara lintas negara ( wilayah ) memerlukan pemahaman yang mendalam bagi setiap otoritas penegak hukum untuk setidaknya memahami beberapa asas yang dapat dipergunakan , yaitu : pertama ; Subjective territoriality dimana menekankan bahwa berlakunya hukum pidana adalah didasarkan kepada dimana perbuatan pidana dilakukan walaupun akibat yang ditimbulkan berada di wilayah lain, kedua; adalah Obyective Territoriality yang menyatakan hukum yang berlaku adalah dimana akibat utama perbuatan kejahatan dirasakan, ketiga ; nationality adalah yuridiksi didasarkan kepada kewarganegaraan pelaku tindak pidana dunia maya, Keempat ; adalah passive nationality , adalah yuridiksi diberlakukan menurut kewarganegaraan korban kejahatan , kelima; Protective principle yang menyatakan bahwa berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, keenam; asas universality sebagai asas universal interest juridisdiction maknanya memperoleh perluasan bahwa setiapnegara berhak menangkap dan menghukum pelaku lintas negara khususnya kejahatan dunia maya seperti terhadap pelaku kejahatan pembajakan, kejahatan genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Bukti dan Pembuktian dalam Kejahatan Dunia Maya
Bayangan pertama dalam benak penyidik Polri manakala menerima laporan terkait Kejahatan Dunia maya , seperti ketika seseorang yang dengan sengaja mengambil keuntungan dari sebuah kegiatan transaksi online , sebagai seorang hacker/ Cracker anonimitas identitas merupakan kesulitan tersendiri sebelum penyidik Polri dapat dengan melakukan suatu penyidikan atas laporan masyarakat.
Penyidikan yang mengacu kepada KUHAP tidak mengatur tentang bukti bukti elektronik adalah bukan merupakan suatu dalih yang lantas bisa membebaskan Hacker/ Cracker untuk melenggang dari jeratan Hukum.upaya upaya penelusuaran bukti yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya dapat dikenakan delik- delik Konvensional agar lebih tegas , artinya Penyidik Polri tidak perlu ragu-ragu menggunakan dan menggupayakan mencari keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk dan keterangan terdakwa, walaupun secara praktek adalah sangat sulit menemukan seorang yang berkualifikasi ahli dibidang Komputer dan jaringan Internet yang dapat secara sah memberikan keterangan , apalagi bagi penyidik Polri di pedalaman.
Penggunaan pasal 184 KUHAP mampu diterapkan dalam kasus kejahatan dunia maya untuk sistem pembuktian dan alat alat bukti, demikian halnya dengan surat elektronik ( e-mail) juga dapat dijadikan sebagai alat bukti surat berdasarkan pasal 187 huruf d KUHAP, pergeseran bentuk surat dari paper based menjadi elektronic based apalagi yang didukung dengan oleh alat bukti lain maka kedudukannya akan lebih meyakinkan kedudukannya sebagai alat bukti dalam perkara cyber crime, walaupun secara eksplisit belum diatur dalam KUHAP.
Dilihat dari perkembangan teknologi saat ini, alat bukti menurut KUHAP yang dapat digunakan dalam mengadili Cybercrime terhadap komputer dan program komputer adalah keterangan ahli, Surat dan Petunjuk, ketiga alat bukti ini adalah alat-alat bukti yang paling esensiil memberi pembuktian yang maksimal dibandingkan keterangan saksi( korban maupun saksi lain ) dan keterangan terdakwa.

SANKSI PIDANA SEBAGAI ULTIMUM REMIDIUM
Ketika penegakkan hukum berupa upaya penyidikan dan penjatuhan Sanksi pidana berhadapan dengan dinamika Struktur , Substansi dan Budaya hukum yang demikian relative , sehingga bagi sebagian masyarakat keinginan melapor adanya suatu kejahatan dunia maya , maupun inisiatif Polri melakukan penyidikan sering terkendala. Kesulitan menghadirkan saksi ahli, biaya penyidikan yang relatif belum mencukupi maupun dugaan kerugian yang bisa saja demikian kecil secara material merupakan suatu keuntungan bagi Hacker dan Cracker untuk terus melakukan aktifitasnya, sehingga terobosan upaya penegakkan hukum sebagai ultimum remidium (pilihan terakhir ) perlu disikapi oleh masyarakat dan pengelola jaringan internet untuk pandai pandai melakukan pencegahan secara aktif maupun pasif agar terhindar menjadi korban kejahatan dunia maya, pun demikian kepada pengelola jasa layanan Internet untuk sedapatnya memeberikan perlindungan kepada konsumen pemakai jasa Internet untuk melakukan blokir ataupun memberikan peringatan atas konten yang diduga digunakan secara ileggal maupun melanggar huku yang berpotensi merugikan masyarakat sebagai konsumen, layan laporan penyalah gunaan dan komplain terhadap jasa jaringan Internet menjadi kewajiban semua pihak.

Daftar Pustaka
1. Niniek Suparni,S.H.,M.H. Cyberspace; Problematika dan Antisipasi pengaturannya, Sinar Grafika, 2009.
2. Agus Raharjo,S.H.,M.Hum. Cybercrime; Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi,Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2002.
3. Jovan Kurbalija, Sebuah Pengatar Tentang Tata Kelola Internet, Diterjemahkan oleh Andreas Adianto dan Swastika Nohara, APJII, 2010.
4. Drs.H.Sutarman,M.H., Cyber Crime; Modus Operandi dan Penaggulangannya, LaksBang PRESSindo, Jogjakarta,2007.