RADIKALISME AGAMA
By. IGA LOMBOK
Pendahuluan
Fenomena gerakan radikalisme-fundamental yang mengatasnamakan agama mulai marak dengan segala isu dan pemberitaan yang semakin sering akhir-akhir ini. Kasus-kasus terkait dengan konflik Ahmadiyah, peledakan bom di masjid Polres Cirebon, peledakan bom gereja di Surakarta, bom buku, perekrutan anggota NII dengan cara cuci otak dan lain-lain adalah terkait dengan agama. Sayangnya isu agama yang muncul bukan yang tampak damai, sejuk, toleran sebagaimana misi agama itu sendiri, melainkan justru berwajah keras, memaksa, dan intoleransi. Kasus seperti itu jelas menunjukkan betapa kuatnya arus radikalisme yang dilatarbelakangi oleh agama. Fenomena radikalisme agama memang bukan monopoli satu agama misalnya Islam. Hampir semua agama ada fenomena radikalisme di dalamnya. Meskipun secara kuantitatif kaum radikal ini relatif sedikit, namun gerakannya cukup mengganggu dan mengkhawatirkan.
Kini radikalisme agama berwujud pada aksi terorisme berupa bom bunuh diri, telah mengusik rasa aman masyarakat. Bias radikalisme-fundamentalisme yang melahirkan gerakan-gerakan agama garis keras di negeri ini tentu menjadi catatan sejarah sepanjang perjalanannya . Terbunuhnya tokoh-tokoh teroris seperti Noordin M top dan Dr Azhari serta perburuan dan penangkapan jaringannya tidak menyurutkan gelora semangat dari kaum radikal untuk memperjuangkan keyakinannya. Soft program dari pemerintah berupa deradikalisasi juga tidak signifikan mengurangi kejadian terorisme di Indonesia. Apabila kita membaca jejak pendapat Litbang Kompas edisi Senin 9 Mei 2011 tentang Jalan Memupus Radikalisme terhadap faktor-faktor yang paling mendorong berkembangnya radikal bernuansa agama di Indonesia, terdapat hasil sebagai berikut : Pertama, Lemahnya penegakan hukum mencapai 28,0%; Kedua, Rendahnya tingkat pendidikan dan lapangan kerja mencapai 25,2 %; Ketiga, Lemahnya pemahaman ideologi Pancasila mencapai 14,6%; Keempat, Kurangnya dialog antarumat beragama mencapai 13,9%; Kelima, Kurangnya pemahaman agama mencapai 4,9%; Keenam, Ketidakpuasan terhadap pemerintah mencapai 2,3%; Ketujuh, Kesenjangan ekonomi mencapai 1,6%; Kedelapan, Lainnya mencapai 3,1%; Kesembilan, Tidak tahu/tidak jawab mencapai 6,4%. Angka-angka tersebut menunjukan persepsi masyarakat tentang perkembangan radikalisme agama di Indonesia. Banyak referensi dan pendapat-pendapat yang menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya radikalisme agama di Indonesia ataupun dunia melalui perspektifnya masing-masing seperti halnya menurut pendapat Syamsul Bahri (2004.6) yang menjadi faktor-faktor penyebab munculnya gerakan radikalisme adalah sosial politik, emosi keagamaan, kultural, faktor ideologis anti westernisme, kebijakan pemerintah, dan media massa. Prof. Dr. H. Afif Muhammad, MA menyatakan ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau iri hati atas keberhasilan orang lain. Banyaknya faktor-faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya radikalisme agama berdasarkan berbagai pendapat maupun studi empiris dari peneliti namun dalam tulisan ini akan membatasi pembahasan mengenai gerakan radikalisme sebagai upaya pertahanan melawan kekuatan perubahan global dan modernisasi dunia dengan menggunakan agama sebagai sarananya.
Kerangka Konsepsi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Secara semantik, radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru-Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa radikalisme adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini radikalisme adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim.
Menurut Ermaya Radikalisme adalah paham atau aliran radikal dalam kehidupan politik. Radikal merupakan perubahan secara mendasar dan prinsip. Secara umum dan dalam ilmu politik, radikalisme berarti suatu konsep atau semangat yang berupaya mengadakan perubahan kehidupan politik secara menyeluruh, dan mendasar tanpa memperhitungkan adanya peraturan-peraturan/ketentuan-ketentuan konstitusional, politis, dan sosial yang sedang berlaku.
Pendeta Djaka Sutapa menyatakan bahwa Radikalisme Agama merupakan suatu gerakan dalam agama yang berupaya untuk merombak secara total suatu tatanan sosial /tatanan politis yang ada dengan menggemakan kekerasan. Terminologi radikalisme memang dapat saja beragam, tetapi secara essensial adanya pertentangan yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu.
Pembahasan
Dalam banyak peristiwa radikalisme di berbagai belahan dunia selama ini, agamalah yang tercatat sebagai daya tarik dan daya dorong yang utama . Harus diakui, agama mampu meniupkan semangat dalam praktik-praktik radikalisme dan pergelaran kekerasan yang dibarengi dengan klaim penegakan kebenaran melalui justifikasi moral yang kuat dengan maksud bahwa tidakan yang diambil adalah untuk menegakan kebenaran ilahi menurut versi dan tafsirnya. Tindakan radikalisme bukanlah kesalahan ajaran agama tertentu, melainkan adalah pemahaman yang keliru terhadap agama yang dianutnya. Agama seringkali digunakan sebagai alasan dalam setiap tindakan radikalisme. Radikalisme muncul dari problem keagamaan yang timbul di tengah-tengah masyarakat yang majemuk peradaban dan dan keberagamaan. Radikalisme agama terjadi pada semua agama yang ada. Terbunuhnya Rajiv Gandhi melalui bom bunuh diri yang diduga dari kelompok Tamil Eelam menunjukkan terorisme terjadi juga di kalangan umat Hindu. Kemudian adanya empat aliran radikal kristen di Amerika yaitu Christian Identity, Nordic Christianity, Fundamentalisme Freewheeling dan Kreatorisme yang merupakan agama ektrimis di Amerika yang berdasarkan pada penyalahan terhadap ras lain, agama lain atau kelompok-kelompok kebangsaan yang lain . Selain itu gerakan Tamil di Srilangka, IRA (kelompok bersenjata Irlandia Utara), militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di Jepang yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah yang juga merupakan gerakan radikalisme agama. Demikian pula bentuk radikal yang lebih serius, mereka menganggap bahwa agamanya sendiri yang benar, sedangkan yang lain salah. Bahkan mereka tidak saja berhenti pada saat telah memegangi keyakinannya itu, tetapi juga memaksa orang lain untuk mengikuti jalan pikirannya. Keadaan seperti itu bagi sementara orang menyebutnya sebagai telah muncul radikalisme agama.
Agama memang memiliki motivasi yang luar biasa dalam menggerakkan individu atau pemeluknya. Sehingga apapun yang dilakukan umat beragama, semua didasarkan pada motivasi atas pengamalan ajaran agama. Seseorang yang beragama bisa melaksanakan peperangan maupun perdamaian, semua bisa disandarkan pada ajaran agama. Transisi dari sikap kepercayaan pra-modern ke modern telah menjadi tatangan yang bagi agama-agama di dunia. Marty dan Appleby (1993) mengatakan bahwa gerakan radikal fundamentalisme agama yang intoleransi adalah bagian dari trend internasional dimana gerakan tersebut merupakan pertahanan melawan kekuatan perubahan dan bahwa orang-orang akan mempertahankan diri mereka sendiri dengan memeluk tradisi masa lampau. Dengan serbuan modernitas dan globalisasi, agama-agama harus melepaskan dari doktrin yang sifatnya mengikat secara universal dan harus menerima secara politis agar secara bersama-sama menjalani eksistensi di dalam masyarakat majemuk. Kelompok radikalisme agama biasanya juga merupakan kelompok-kelompok mardjinal di dalam masyarakat dan di tengah komunitas agama mereka sendiri. Itulah sebabnya aksi kekerasan yang mereka lakukan merupakan sebagai upaya untuk menyeimbangkan marjinalitasnya diaman sebagai suatu cara mengukuhkan status sosial mereka didalam masyarakat dan memperkuat identitas mereka ditegah komunitas agama.
Afif Muhammad juga menyatakan bahwa munculnya kelompok-kelompok radikal akibat perkembangan sosio-politik yang membuat termarginalisasi, dan selanjutnya mengalami kekecewaan, tetapi perkembangan sosial-politik tersebut bukan satu-satunya faktor. Di samping faktor tersebut, masih terdapat faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kelompok-kelompok radikal, misalnya kesenjangan ekonomi dan ketidak-mampuan sebagian anggota masyarakat untuk memahami perubahan yang demikian cepat terjadi. Kelompok-kelompok radikal tersebut demi mencapai mempercepat dalam mencapai tujuannya, dengan segera mengidentifikasikan dirinya melalui agama sebagai sarana. Dalam kenyataannya, tidak semua memiliki kemampuan untuk memahami agama lain, yang mengakibatkan sikap tidak toleran terhadap agama lain. Demikian pula halnya dengan fanatisme buta yang hanya didasarkan kepada solidaritas dari suatu komunitas, apalagi ditunjang oleh dogma-dogma kaku yang sengaja diciptakan untuk kepentingan golongan tertentu sehingga akhirnya akan mudah sekali memicu terjadinya gesekan dan benturan kepentingan diantara pandangan-pandangan yang berbeda. Adanya pemaksaan terhadap suatu agama atau konversi agama atau perubahan agama yang dikenal sebagai Suddhi oleh umat Hindu, Tabligh oleh umat Islam atau Konversi oleh umat Kristen, merupakan suatu tindakan yang menunjukan sebagai pandangan yang rapuh tentang superioritas satu agama terhadap agama lain. Hal ini akan menjadi puncak intoleransi, dan intoleransi adalah sejenis kekerasan, jika satu agama superior terhadap agama lain .
Sebuah studi empirik yang dilakukan Sutrisno (Sutrisno.1999) menampilkan keterkaitan antara struktur kelas dengan perilaku keagamaan. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa pada kelas bawah agama dimaknai sebagai fungsi artikulasi psiko-kultural. Agama tidak tampil dalam simbol politik atau instrumen politik. Sementara pada kelas atas agama menjadi fungsi artikulasi kepentingan, dimana ia hadir dalam simbol politik. Studi yang dilakukan tersebut belum menemukan makna hakiki mengenai hubungan kondisi ekonomi dengan perilaku keagamaan sebelum sampai pada analisa kecendrungan psikologik yang bermain pada proses sosial dalam struktur masyarakat. Apabila agama telah dipakai sebagai sarana untuk mencapai kepentingan maka akan terjadi benturan antar agama yang menciptakan gerakan-gerakan radikalisme agama. Konflik antaragama akan makin membesar ketika negara yang diharapkan menjadi payung yang mengayomi semua agama absen. Atau, kalaupun hadir, tidak menempatkan keadilan sebagai panglima. Negara hadir, justru untuk memihak salah satu agama tertentu, atau aliran tertentu. Parahnya, segala potensi konflik seperti dibiarkan berkembang. Dan, ketika perkembang¬an itu meluas benar-benar menjadi konflik, negara terlambat mengatasi, karena tidak maksimal mengantisipasi. Terkadang, malah konflik itu seperti sengaja dirawat demi kepentingan politik tertentu. Negara masuk dalam pusaran konflik tanpa mampu menempatkan dirinya sebagai hakim yang adil bagi semua. Pada akhirnya, kepenting¬an politik selalu mewarnai segala kebijakan penyelesaian konflik agama yang terjadi antarumat beragama.
Tidak dapat dipungkiri bahwa apabila berbicara radikalisme agama, maka main set kita akan tertuju kepada gerakan radikalisme islam. Umat Islam adalah di antara yang paling rentan terhadap godaan radikalisme karena posisi mereka yang masih berada di belakang peradaban. Posisi tertinggal ini dapat mendorong orang untuk menempuh jalan pintas dalam mencapai tujuan, tetapi dalam jangka panjang pasti akan berujung pada penderitaan, penyesalan dan kegagalan, yang paling repot. Kebangkitan islam khususnya di negara-negara Asia yang diwujudkan dengan penerimaan terhadap globalisasi dan teknologi modern berakibat terjadinya clash of civilization (benturan antar peradaban) antara Islam dan Barat. Barat yang sudah kehilangan ‘musuh’ sejak berakhirnya perang dingin mulai mengalihkan konsentrasinya kepada kekuatan islam yang dinilai mulai kekuatan baru yang dapat mengancam eksistensinya. Efek globalisasi yang hampir dialami oleh seluruh masyarakat dunia memungkinkan benturan ini terjadi. Posisi dunia Islam sebagai satunya peradaban yang memiliki potensi paling memungkinkan untuk melakukan resistensi terhadap globalisasi Barat (Amerika). Samuel Huntington (1996) mengatakan bahwa fundamentalisme islam umumnya diidentikkan dengan gerakan politik islam, padahal ia hanyalah salah satu komponen dari kebangkitan islam yang lebih luas dimana kebangkitan itu mencakup ide-ide, praktik-praktik, retorika, dan pengembalian ajaran islam (pada sumber-sumber asasinya, Al-Quran dan Al Sunnah) yang dilakukan oleh umat islam. Berdasarkan pemikiran tersebut demi pengembalian ajaran islam atau yang biasa disebut pemurnian ajaran agama islam ditengah gelombang globalisasi dan teknologi modern yang menimbulkan pemikiran-pemikiran radikalisme. Selama arogansi Barat dan intolenransi Islam yang secara global selalu berbenturan, maka gerakan-gerakan radikalisme akan berkembang pada negara-negara islam. Pendukung radikalisme agama tampaknya tidak mempunyai modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan dalam menghadapi tantangan gelombang demokrasi yang berbalut globalisasi. Napas yang sesak karena berbagai hantaman sejarah yang datang bertubi-tubi telah menempatkan sebagian muslim dalam posisi tragis tetapi tak berdaya. Oleh sebab itu mereka menempuh jalan pintas berupa self-defeanting (menghancurkan diri sendiri) atas nama agama yang dipahami dalam suasana jiwa yang sangat rentan dan tertekan. Kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.
Gerakan radikalisme agama yang dilakukan oleh penganut paham fundamental islam merupakan reaksi defensif melawan ketakutan akan tercerabutnya gaya-gaya hidup tradisional dengan cara-cara kekerasan . Dalam suatu tataran psikologis, reaksi defensif ini adalah untuk menarik kekuatan dari sumber-sumber spiritual yang menggerakkan suatu potensi kekuatan yang dapat mendukungnya. Secara psikologis, agama memberikan justifikasi yang paling meyakinkan untuk dipakai dan mampu menggerakan perjuangan melawan kekuatan-kekuatan yang dianggap sebagai ancaman. Huntington juga mengatakan bahwa dalam praktiknya, komunitas keagamanaan merupakan komunitas yang memiliki domain yang paling luas dimana kelompok lokal yang terlibat dalam konflik akan memberikan dukungannya. Apabila dalam suatu konflik terjadi antara dua kelompok, maka dengan cepat kelompok tersebut mngidentifikasikan dirinya sebagai Islam dan Kristen seperti halnya perang Serbia dan Kroasia di wilayah bekas jajahan Yugoslavia dan perang antara Armenia dan Azerbaijen di Kaukasus. Hal ini dengan maksud agar kelompok yang mengidentifikansikan diri sebagai kelompok Islam mendapat dukungan dana dan persenjataan dari negara-negara Islam di dunia, dan kelompok yang mengidentifikasikan diri sebagai Kristen berharap akan mendapat bantuan dana dari Barat. Kembali lagi terbukti bahwa gerakan radikalisme yang ada memanfaatkan agama sebagai tameng justifikasi untuk mencapai tujuannya. Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi agama dalam melihat fenomena historis.
Pemurnian agama dalam hal ini agama Islam di dunia Islam berarti menggantikan apa yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam agar berlaku secara murni dalam negara Islam agar menghindari dari pengaruh globalisasi Barat. Mereka (penganut paham radikal) memiliki problem yang sama dengan apa yang mereka lihat sebagai meningkatnya pengaruh Barat dimana mereka merasa terancam dengan efek Westernisasi khususnya teknologi dan demokrasi . Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penganut paham radikalisme menginginkan masyarakat Islam pada negara-negara Islam tetap memelihara nilai-nilai keislaman secara murni. Mereka menganggap bahwa nilai-nilai Barat dilihat sebagai ancaman asing yang membahayakan yang sangat berbenturan dengan nilai-nilai tradisional keislaman. Secara logika bahwa kekerasan atau gerakan radikalisme merupakan satu metode untuk melindungi nilai-nilai keislaman. Kembali kita dapat melihat benturan antara arogansi Barat dan intolerasi islam. Didalam bukunya Amerika Perangi Teroris, Bukan Islam, Hilaly Basya dan David Alka mengatakan bahwa kekerasan agama dalam suatu gerakan radikalilisme dipengaruhi secara bersamaan oleh tekanan struktur sosial yang menghimpit mereka dalam kehidpan sehari-hari akibat perlakuan yang tidak adil, tidak jujur serta motivasi dan kepentingan pribadi yang bersangkutan. Penganut radikalisme agama ini frustasi ditegah khidupan sehari-hari disamping ketidakmampuan mengekspresikan emosi secara cerdas dengan membelokan menjadi tindakan kekerasan terhadap sasaran utama demi tercapai tujuan yang dikehendakinya.
Penutup
Seperti halnya pengertian-pengertian mengenai radikalisme diatas, tidak semuanya berkonotasi negatif. Radikalisme yang ditujukan demi kebaikan melalui nilai-nilai kemanusian tentu dapat memberikan arti positif dalam kehidupan umat manusia. Semua agama mengajarkan nilai kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Hindu mengajarkan kedamaian, Budha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh umat. Namun radikalisme yang menggunakan cara-cara pemaksaan dan kekerasan terhadap nilai-nilai kemanusian tentunya merupakan hal negatif yang dapat menghancurkan umat manusia. Harus dipahami betul bahwa kaum radikal itu bukanlah representasi dari agama secara utuh. Banyaknya faktor-faktor yang menyebabkan tumbuh suburnya radikalisme agama berdasarkan berbagai pendapat maupun studi empiris dari peneliti namun yag paling mempengaruhi secara global adalah bahwa gerakan radikalisme agama sebagai upaya pertahanan melawan kekuatan perubahan global dan modernisasi dunia dengan menggunakan agama sebagai sarananya. Pertahanan yang dimaksud adalah mempertahankan dan memurnikan nilai-nilai tradisional agama dari nilai-nilai yang dianggap membahayakan. Pandangan tersebut mengakibatkan mereka menjadi termarjinalkan dalam kelompok global maupun dalam lingkup agamanya sendiri. Tekanan-tekanan yang diterima secara struktur sosial itulah yang menimbulkan terjadinya radikalisme agama.
Daftar Pustaka
Samuel Huntington, 1996, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, Penerbit Qalam, Yogyakarta
White Jonathan, 2006, Akar Teologis Radikalisme Dalam Kristen (artikel dalam Agama dan Terorisme oleh Ahmad Norma Permata), Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Ermaya Suradinata, 2004, Radikalisme dan Masa Depan Bangsa, Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama, Bandung.
Muhammad, Afif. 2004, Radikalisme Agama Abad 21, Makalah Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama, Bandung.
Bilveer Singh & Abdul Munir Mulkham, 2012, Jejaring Radikalisme Islam di Indonesia; jejak Sang Pengantin Bom Bunuh Diri, Jogja Bangkit Publiser, Yogyakarta.
Hilaly Basya dan David Alka, 2004, Amerika Perangi Teroris Bukan Islam, Center For Moderate Moslem (CMM), Jakarta.
Ahmad Norma Permata, 2006, Agama dan Terorisme, Muhamadiyah University Press, Surakarta.
Geovanna Borradori, 2005, Filsafat Dalam Masa Teror, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Dwi Hendro Sunarko, 2006, Idelogi Terorisme Indonesia, Program Pembangunan Sistem Derenbang Kapolri, Jakarta.
Sutrisno.1999, Kelas dan Sosiologi Politik Anak Muda Perkotaan, Tesis S2, Program Sosiologi Univrsitas Indonesia, dalam Jurnal Studi Kepolisian (Terorisme dan Deradikalisasi) berjudul Fundamentalisme : Melacak Radikalisme Berbasis Agama, edisi Desember 2009-Maret 2010.
Victor Silaen, 2009, Terorisme Belum Berakhir, dalam Jurnal Kepolisian berjudul Terorisme dan Deradikalisasi, edisi Desember 2009-Maret 2010.
jadi ingat pesan alm Gusdur…
Jika memeluk agama hindu, bukan berarti meninggalkan budaya indonesia kemudian menjadi orang india,
Jika memeluk agama kristen/nasrani bukan berarti menjadi orang yahudi dan lupa dengan budaya Indonesia,
Jika memeluk agama islam, bukan berarti berperilaku semacam arab, mengatakan kamu berubah antum, ayah menjadi abah, dsb.., beragama islam bukan berarti menjadi radikal dan mengikuti gaya timur tengah, dan meninggalkan budaya indonesia, peninggalan leluhur saling tepo seliro, toleransi, tenggang rasa, hormat menghormati..
para teroris/pendukung teroris susah diubah atau dipaksa menjadi baik, tapi mereka bisa dibuka pikirannya.., kalo ga bisa dibuka pikirannya, diratakan ajaaaa ndaaan..
AMH :
“ISIS hanyalah merek dan kelompok pro radikalisme ingin menggiring opini publik bahwa ISIS adalah sebuah Organisasi Transnasional semata. Tetapi jangan salah kalau ISIS ditumpas akan tumbuh Isis-Isis yang lain dengan nama-nama yang berbeda karena yang terpenting adalah IDEOLOGI RADIKAL WAHABI yang menjadi HAKIKAT dan MESIN penggerak ISIS dan KELOMPOK RADIKAL lainnya yang perlu kita antisipasi adalah menghalau RADIKALISME WAHABI dari hulu sampai hilir dengan SEBUAH GERAKAN NASIONAL di BUMI PERTIWI.
Ideologi radikal Wahabi yang menjadi ruh pergerakan Isis dan kelompok-kelompok radikal lainnya adalah yang patut diwaspadai dan diantisipasi. Walau antar sesama faksi radikal mereka saling mengkhawrijkan dan saling menyesatkan tetapi sejatinya mereka adalah lahir dari induk yang sama yaitu Ideologi Salafi Wahabi.
Jadi bukan Isis semata yang harus menjadi perhatian kita semua tetapi Ideologi Wahabilah yang menjadikan Isis begitu bengis, biadab, dan tak berperikemanusiaan dalam membunuh dan menghancurkan semua lawan-lawannya. Siapa saja yang tak sependapat dengan mereka maka adalah musuh mereka, halal darahnya oleh karena itu wajib diperangi dan dibasmi.
Faksi Salafi Wahabi yang aktif dengan kajian-kajian ilmiyah maupun faksi-faksi Salafi Wahabi Jihadis mereka bisa bermetamorfosa kapan saja diinginkan sesuai dengan situasi dan kondisi.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh ISIS tersebut secara langsung telah mencoreng nama Islam dan berlanjut hingga detik ini. Islam adalah agama yang sempurna dan tidak mengajarkan umatnya untuk berbuat kerusakan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash: 77).
Sebagai Manhaj dan Ideologi Teror Kelompok eksrtrim Wahabi ini selalu melakukan tindakan teror baik secara mental maupun secara fisik, Tindakan teror dan anarkhisme mereka yg paling ringan adalah berupa teror secara halus berupa penyesatan opini dan pemutar-balikan fakta sejarah yakni berupa takfir (pengkafiran), tasyrik (pemusyrikan), tabdi’ (pembid’ahan) dan tasykik (upaya menanamkan keraguan) terhadap para ulama dan umat. Apa yang dipaparkan ini, tentang sejarah tindakan ‘merusak’ yang dilakukan oleh kelompok Salafi Wahabi ini tidak boleh kita lupakan dan mesti kita waspadai.
BAHAYA KELOMPOK RADIKAL SALAFI WAHABI (ISIS) YANG BERKEDOK SEBAGAI AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH…WASPADALAH !
Ideologi Radikal Salafi Wahhabi bukan saja musuh agama tetapi juga musuh kemanusiaan.
Menguatnya peran pasukan jihad Negara Islam Irak dan Levant (ISIS/ISIL) yang telah menguasai setengah wilayah di Irak ternyata tidak luput dari pantauan jutaan para pendukungnya di Indonesia.
SukaSuka