“PERAN PENYIDIK POLWAN (SUB UNIT PPA) DI POLSEK UNTUK MENCEGAH TERJADINYA VIKTIMISASI TERHADAP PEREMPUAN (PENJAJA SEKS KOMERSIAL/PSK) KORBAN HUMAN TRAFFICKING PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN”

“PERAN PENYIDIK POLWAN (SUB UNIT PPA) DI POLSEK
UNTUK MENCEGAH TERJADINYA VIKTIMISASI TERHADAP
PEREMPUAN (PENJAJA SEKS KOMERSIAL/PSK) KORBAN HUMAN TRAFFICKING
PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN”

oleh : REKAN UNTUNG
Pendahuluan
Pada kenyataannya, karena pada hakikatnya setiap manusia adalah memiliki kehendak bebas (free will) dan dorongan hawa nafsu birahi yang besar untuk berhubungan seks, maka banyak sekali praktek-praktek seks yang terjadi dengan melanggar aturan maupun norma-norma yang ada. Adanya demand atau permintaan yang besar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang menghendaki hubungan seks bebas tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah, telah memunculkan praktek prostitusi di mana-mana. Kondisi ini akan mendorong tersedianya supply untuk memenuhi permintaan tersebut yaitu berupa wanita-wanita pemuas nafsu laki-laki yang dalam istilah di Indonesia adalah penjaja seks komersial (PSK).
Pada awalnya para wanita tersebut melakukan hal ini dengan kesadaran sendiri dikarenakan berbagai alasan seperti contoh kondisi ekonomi mereka yang serba pas-pasan, tidak memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, hubungan rumah tangga yang rusak, atau pelarian dari kondisi yang broken home. Hal tersebut pada akhirnya mendorong munculnya berbagai lokalisasi prostitusi legal dengan alasan untuk membantu mereka-mereka yang memilih mata pencaharian ini dan agar kegiatan prostitusi ini dapat lebih mudah dikontrol oleh pemerintah guna menghindari penyebaran penyakit kelamin serta tidak mengganggu kehidupan masyarakat lainnya.
Akan tetapi dengan berkembangnya dunia hiburan malam di dunia dan khususnya di Indonesia, maka dunia prostitusi menjadi semakin beragam. Praktek prostitusi tidak lagi dominan dilakukan dilokalisasi-lokalisasi melainkan menjelma menjadi lebih beragam lagi dalam berbagai macam bentuk. Sebagai contoh nyata keberagaman tersebut antara lain yaitu, munculnya wanita-wanita pendamping ditempat-tempat karaoke, penari-penari telanjang di hiburan-hiburan malam, sexy dancer, pendamping permainan bilyard yang merangkap sebagai penjaja seks, hingga menjadi pemijit plus-plus di panti-panti pijit mesum.

Fenomena Maraknya Praktek Prostitusi Menjadi Salah Satu Faktor Penyebab Human Trafficking
Dengan kebutuhan akan wanita-wanita penghibur sekaligus penjaja seks ini semakin banyak, maka semakin besar juga supply yang harus disediakan oleh para mucikari dan penyedia wanita-wanita penjaja seks tersebut. Kondisi inilah yang kemudian mendorong munculnya berbagai macam kasus human trafficking dengan korban-korbannya adalah para wanita. Pada akhir-akhir ini, korban tindak pidana human trafficking tersebut semakin mengkhawatirkan, karena telah melibatkan anak-anak perempuan dibawah umur, baik yang masih berstatus pelajar maupun mereka yang telah putus sekolah.
“ Perempuan belasan tahun diambil dari rumahnya dengan tipuan atau penculikan, dibawa bermigrasi jauh dari kampung halamannya, kerumah-rumah bordil dengan kondisi yang tidak layak huni, untuk seterusnya diberi pekerjaan yang merendahkan, yaitu melayani nafsu para laki-laki. Mereka tidak saja hidung belang yang kere, tetapi juga laki-laki terhormat, berkantung tebal, dan terpandang dalam masyarakat. Kemiskinan dan kelaparan yang membelit, merupakan penyebab utama dibawanya anak-anak perempuan sejak umur sangat muda, 11 tahun, dari desanya. Tidak sedikit dari mereka yang mati dan sekarat sebelum mencapai umur 20 tahun karena menderita penyakit kelamin atau TBC. Sejak mereka diambil dari rumahnya, mereka sudah dinyatakan terlibat hutang, yang harus dilunasi sepanjang hidup mereka dengan menjajakan tubuhnya. ”
Kasus human trafficking dengan korban gadis-gadis remaja ini pada umumnya menimpa mereka yang berasal dari desa-desa. Dorongan hasrat untuk merubah peruntungan hidup secara instan, telah mendorong para remaja ini untuk meninggalkan desanya menuju Ibu Kota Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Sayang sekali bekal ilmu pengetahuan secara formal yang dimiliki sangat terbatas, karena sebagian besar hanya lulusan SMU atau bahkan hanya lulusan SLTP. Kondisi ini jelas membuat kesempatan yang mereka miliki untuk mendapatkan pekerjaan formal yang layak dan legal di perkantoran swasta maupun pemerintah, sangat terbatas. Hal tersebut masih di tambah dengan kerasnya persaingan mendapatkan pekerjaan, sehingga tak banyak diantara mereka yang tidak kunjung mendapat pekerjaan.
Biaya kehidupan di kota untuk makan sehari-hari, transport kesana kemari mencari pekerjaan dan bayar uang kos untuk tempat tinggal sementara, jelas menguras habis seluruh modal uang yang dibawa dari desa. Dari sini cerita hidup mereka kemudian mulai mengalami perubahan. Tuntutan kehidupan lahiriyah sehari-hari telah membawa mereka kedalam lubang-lubang hutang piutang. Rasa malu untuk minta uang ke orang tua atau bahkan kembali pulang ke desa, pada akhirnya telah memaksa mereka untuk melakukan segala cara untuk membayar hutang-hutang tersebut.
Dalam situasi yang serba sulit, mereka akan menjadi sasaran empuk bagi para calo dan mucikari yang sengaja mencari buruan baru dengan tujuan untuk di terjunkan dalam dunia prostitusi dan eksploitasi seks. Para calo dan mucikari ini kebanyakan adalah mereka yang berada dalam lingkungan dunia prostitusi di lokalisasi-lokalisasi dan bisnis seks yang berbalut gemerlapnya dunia hiburan malam. Mereka memanfaatkan kondisi para korbannya yang sedang kesulitan ekonomi, labilnya kondisi psikologis korban yang masih remaja, serta kesamaan kesukuan atau kedaerahan antara para mucikari dan korban.
Perkembangan globalisasi dunia yang diikuti dengan berkembangnya kelompok-kelompok sindikat pelaku kejahatan transnasional (transnational organized crime) semakin menambah maraknya praktek human trafficking. Pada umumnya sindikat ini bergerak dibidang bisnis pelacuran dan perdagangan narkoba. Sebagai contoh yaitu Yakuza yang merupakan kelompok pelaku kejahatan transnasional yang berpusat di Jepang dan Triad di Cina. Kedua kelompok sindikat ini bergerak aktif dalam bisnis pelacuran di negara masing-masing dan di dunia .
Pergerakan kelompok-kelompok sindikat pelaku kejahatan transnasional yang bergerak di bisnis prostitusi, membutuhkan supply wanita-wanita muda untuk memenuhi kebutuhan pangsa pasar seks di dunia yang cukup besar. Kondisi inilah yang mendorong mereka melakukan berbagai cara untuk mendapatkan target buruannya melalui para calo di berbagai negara termasuk Indonesia. Kegiatan dari para calo-calo tersebut membawa dampak yang cukup signifikan dalam mendorong terjadinya praktek human trafficking dengan korban para wanita muda dan anak-anak yang akan dipekerjakan dalam bisnis prostitusi di negara-negara tujuan.
Di Indonesia, para calo ini banyak yang tumbuh subur dengan berkedok sebagai penyalur jasa tenaga kerja keluar negeri. Kegiatan mereka sulit di deteksi oleh petugas keamanan maupun masyarakat umum karena dalam merekrut calon korban yang nantinya akan dipekerjakan dalam bisnis prostitusi di luar negeri, mereka mengemasnya secara rapi dalam bingkai bisnis pengiriman tenaga kerja wanita yang legal. Bahkan terkadang para korbannya pun juga tidak menyadari bahwa mereka akan di eksploitasi sebagai pelacur diluar negeri, karena terbuai oleh berbagai bujuk rayu dan tipu muslihat yang di lakukan oleh para calo ini.
Fenomena ini semakin tidak dapat dihindari oleh korban ketika terdapat beberapa faktor yang melingkupi kehidupan keseharian dari calon korban antara lain : kondisi ekonomi lingkungan di sekitar tempat tinggal korban yang berada pada golongan menengah ke bawah; kehidupan korban dan keluarganya yang miskin; budaya masyarakat sekitar yang menganggap bahwa anak adalah sebagai asset dari keluarga yang dapat berguna untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya nanti, terutama anak perempuan yang di harapkan bisa bekerja sebagai tenaga kerja diluar negeri dan akan dapat menghasilkan banyak uang; budaya sukses faktor yaitu melihat tetangga sekitarnya yang anak perempuannya sukses ketika bekerja diluar negeri sehingga dapat meningkatkan kehidupan keluarganya di kampung; pendidikan masyarakat yang pada umumnya rendah; serta budaya kawin muda yang menyebabkan banyak pasangan yang cerai muda sehingga para wanitanya membutuhkan pekerjaan yang mudah dan dapat menghasilkan uang banyak untuk menghidupi diri sendiri maupun anak hasil perkawinan tersebut .
Praktek human trafficking yang berkedok pengiriman tenaga kerja ke luar negeri ini sepintas memiliki kemiripan dengan praktek people smuggling atau penyelundupan orang. Akan tetapi apabila dicermati maka terdapat beberapa perbedaan antara lain yaitu : dalam human trafficking, tidak ada persetujuan dari koban sedangkan dalam people smuggling, migran sadar dan setuju untuk diselundupkan ke luar negeri; hubungan antara trafficker dalam human trafficking dan korban terus berlanjut dan menghasilkan keuntungan bagi trafficker, sedangkan dalam people smuggling, hubungan antara smuggler dan migran berakhir setelah migran memasuki wilayah tujuan; human trafficking tidak selalu berupaya melintasi batas negara (bisa juga terjadi di dalam negeri), sedangkan people smuggling selalu berupaya melintasi batas negara secara ilegal; keuntungan trafficker dalam human trafficking bersumber dari eksploitasi atas korban, sedangkan keuntungan smuggler dalam people smuggling berasal dari pembayaran migran untuk mengantarkan mereka .
Trend global human trafficking ini mencapai aset dan omset miliaran dolar, dengan kisaran perkiraan setinggi 10 miliaran dolar setiap tahun yang melibatkan sekitar 700,000 – 2 juta perempuan dan anak-anak di seluruh dunia. Tahun 2005 ILO Global Report on Forced Labour memperkirakan hampir 2.5 juta orang dieksploitasi melalui perdagangan menjadi buruh di seluruh dunia, dan lebih dari setengahnya berada di wilayah Asia dan Pacific dimana 40%nya adalah anak-anak .

Berbagai Modus Operandi dalam Human Trafficking
Proses terjadinya human trafficking terhadap korban perempuan dan anak dapat dilihat dari mulai perekrutan, pemindahan, pemindahtanganan, penampungan sementara atau di tempat tujuan, dengan cara menggunakan ancaman, kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan ilegal, yang hal tersebut dilakukan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk paedophili), buruh migran ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, penjualan organ tubuh, atau untuk tujuan lain yang sejenis dengan untuk maksud memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dan atau kelompok orang tertentu .
Barry dalam sebuah teorinya menunjukkan bahwa secara empiris perempuan telah dipaksa masuk kedalam dunia prostitusi melalui praktek-praktek penipuan. Praktek tersebut dapat berupa janji-janji pekerjaan, perkawinan atau perbudakan terselubung melalui cinta dan kesetiaan, peculikan atau bahkan pemenjaraan. Selanjutnya menurut Barry, perbudakan seks dapat terjadi di semua situasi ketika perempuan dan anak-anak perempuan tidak mampu mengubah kondisi mereka seketika : manakala mereka tidak mampu keluar dari situasi mereka dan mereka menjadi subyek kekerasan seksual serta eksploitasi.
Berbagai macam bentuk cara atau modus operandi dalam human trafficking ini, dilakukan oleh para mucikari atau para penyedia wanita-wanita penjaja seks tersebut untuk mendapatkan buruannya demi memenuhi target yang mereka. Modus operandi yang mereka pakai adalah dengan mengiming-imingi mereka untuk bekerja sebagai pelayan toko, pekerja rumah tangga, bekerja dipabrik dengan upah yang besar, bahkan ada juga calo yang berkedok sebagai duta pertukaran kebudayaan antar bangsa. Modus operandi yang terakhir ini biasanya mencari perempuan muda yang tertarik dibidang kesenian, seperti menari dan menyanyi. Mereka menjanjikan kepada calon korbannya untuk tampil dibeberapa negara sebagai duta kesenian. Untuk kasus-kasus seperti ini, seringkali mereka akan berakhir ditempat-tempat prostitusi.
Sarana yang di gunakan oleh para pelaku human trafficking antara lain yaitu menggunakan jalur udara dengan pesawat, jalur laut dengan menggunakan kapal laut, jalur darat dengan kereta api, mobil, bus, truk, sampai ada yang berjalan kaki. Sedangkan metode dalam melakukan aksinya tersebut, mereka menggunakan metode secara terang-terangan (Overt) dan sembunyi-sembunyi (covert). Metode Covert yaitu menggunakan sarana kendaraan, kereta, perbatasan tanpa penjagaan (melalui jalan-jalan tikus, pelabuhan kecil dll). Metode Overt yaitu menggunakan sarana identitas atau dokumen perjalanan asli atau dipalsukan (visa palsu) .
Rute pergerakan human trafficking dari Indonesia adalah berasal dari daerah-daerah di Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Tanjung Balai Karimun, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan (Makassar), Sulawesi Utara (Manado). Selanjutnya para calon korban di transitkan sementara di daerah Medan, Batam, Tanjung Pinang, Lampung, Jakarta, Pontianak dan Makassar, sebelum mereka dikirim ke negara tujuan seperti Australia, Singapore, Malaysia, Brunai, Thailand, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea, Kuwait, Iraq, Saudi Arabia, & Eropa. Selain dikirim ke luar negeri, banyak juga diantara para korban yang di kirim ke daerah-daerah tujuan trafficking yang berada di dalam negeri seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan .

Karakteristik dan Traumatis Korban Human Trafficking
Karakteristik perempuan yang paling utama adalah posisinya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang meliputi : Pada umumnya para pekerja seks berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah, yaitu masyarakat yang tidak memiliki lahan untuk digarap atau modal untuk bekerja sehingga kebanyakan dari mereka adalah pengangguran; Pernah mengalami luka emosional seperti sakit hati karena dikhianati laki-laki. Hal ini merupakan imbas dari kebiasaan berselingkuh diantara anggota masyarakat, sehingga tidak sedikit yang telah melakukan hubungan dengan pasangan yang telah memiliki keluarga atau mengalami trauma akibat pemerkosaan dan hamil diluar nikah; Pernikahan diusia dini yang mengakibatkan banyaknya perceraian. Tingginya angka perceraian merupakan kesempatan besar bagi para germo untuk mengajak dan menawarkan jasa perantara kepada para perempuan ini untuk menjadi seorang pekerja seks.
Selain itu, karakter individual yang juga turut mendorong timbulnya prostitusi meliputi : Rendahnya tingkat pendidikan; Bagi perempuan yang sudah menikah mereka memiliki keinginan untuk patuh dan takut pada suami yang meminta mereka untuk menjadi pekerja seks serta keinginan untuk membahagiakan keluarga; Sikap tidak kontrol dalam berinteraksi dengan lawan jenis; Kemolekan fisik sebagai satu-satunya modal dasar; Keinginan tinggi untuk dihargai masyarakat.
Trauma yang dirasakan korban perdagangan perempuan yaitu pada saat perekrutan : Sebagian korban telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga akibat pemukulan yang dilakukan oleh suami atau anggota keluarga yang lainnya. Korban juga mungkin terguncang ketika mengetahui suami atau pacarnya mengkhianati dirinya. Kekerasan-kekerasan inilah yang menjadi penyebab perempuan lari dari rumah; Perempuan korban tiba-tiba harus dibawa jauh pada suatu tempat yang tidak ia ketahui, dikelilingi oleh orang-orang yang tidak mereka kenali, dan disekap dalam sebuah tempat yang terisolasi; Mereka mengalami kekecewaan yang luar biasa setelah calo atau agen yang biasanya adalah orang dekat bahkan keluarganya sendiri, ternyata menelantarkan dan menjerumuskan dirinya.
Pada saat pemindahan atau pengiriman : Biasanya mereka diangkut oleh alat transportasi yang jauh dari nyaman. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi, pada waktu yang tidak lazim (tengah malam atau menjelang fajar), dan melalui perjalanan (darat atau laut) yang sangat berat; Seringkali selama perjalanan mereka tidak diberikan makanan, obat atau kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya, apalagi yang menyangkut dengan kepentingan reproduksi perempuan; Selama perjalanan mereka biasanya dilarang berkomunikasi satu sama lain. Diantara mereka diciptakan suasana saling curiga dan tidak percaya. Mereka juga dilarang berkomunikasi dengan orang luar yang tidak mereka kenali.
Pada saat penempatan/bekerja : Mereka kehilangan harga dirinya karena harus menjalani perkosaan demi perkosaan; Tidak jarang mereka harus berhadapan dengan tamu yang gemar memukuli, memiliki gangguan kejiwaan seksual, atau memiliki penyakit-penyakit kelamin (HIV atau sifilis) yang dapat menulari bahkan membahayakan hidup dirinya; Mereka menemukan dirinya dalam keadaan terjerat hutang yang sangat banyak. Mereka terpaksa harus mengorbankan tubuhnya dieksploitasi untuk membayar hutang; Mereka juga harus berhadapan dengan tukang pukul atau centeng yang tak segan menyiksa jika diketahui memiliki niat untuk melarikan diri; Tak ada lagi orang yang dapat mereka percaya. Terutama ketika mereka mengetahui aparat negara atau penegak hukum yang seharusnya melindungi dirinya ternyata telah menjadi bagian dari kejahatan.
Pada saat pemulangan : Mereka mengalami ketidakpastian nasib. Mereka sangat khawatir dengan keselamatan dirinya. Bahkan pada saat pemulangan akibat ketidaktahuan, mereka kembali terjebak oleh calo-calo dan menjadi korban untuk kesekian kalinya. Jika hal ini terjadi maka trauma yang dirasakan korban akan semakin berat; Jika pun mereka sampai di tempat asalnya, mereka menghadapi stigma masyarakat sebagai pelacur atau manusia kotor. Tak jarang masyarakat sering mengusir korban perdagangan perempuan yang telah terkena stigma ini karena dinilai hanya akan mencoreng nama baik desa atau kampung.

Aturan Hukum Untuk Mencegah dan Memberantas Human Trafficking terhadap Perempuan Dalam Bisnis Seks
Untuk mencegah dan memberantas perdagangan manusia (human trafficking) PBB telah membuat sebuah protokol yaitu United Nation Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children, supplemented the UN Convention Against Transnational Organized Crime disebut UN Trafficking Protocol (Protokol Palermo) yang ditanda-tangani oleh Pemerintah Indonesia tanggal 12 Desember 2000. Protokol ini untuk mencegah, memberantas dan menghukum tindak pidana perdagangan orang terutama terhadap wanita dan anak-anak, yang merupakan bagian dari konvensi pemberantasan kejahatan transnasional yang diselenggarakan di Palermo Itali tahun 2000.
United Nation Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children, supplemented the UN Convention Against Transnational Organized Crime disebut UN Trafficking Protocol (Protokol Palermo) yang ditanda-tangani oleh Pemerintah Indonesia tanggal 12 Desember 2000, Pasal 3 huruf (a) Protokol Palermo mendefinisikan perdagangan orang sebagai : “Human trafficking is the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs” (Perdagangan orang pada manusia berarti perekrutan, pengiriman ke suatu tempat, pemindahan, penampungan atau penerimaan melalui ancaman, atau pemaksaan dengan kekerasan atau dengan cara-cara kekerasan lain, penculikan, penipuan, penganiayaan, penjualan, atau tindakan penyewaan untuk mendapatkan keuntungan atau pembayaran tertentu untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi, setidaknya, mencakup eksploitasi melalui pelacuran, melalui bentuk lain eksploitasi seksual, melalui kerja paksa atau memberikan layanan paksa, melalui perbudakan, melalui praktek-praktek serupa perbudakan, melalui penghambaan atau melalui pemindahan organ tubuhnya).
Pemerintah Indonesia menindaklanjuti Protokol Palermo tersebut dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mengatur tentang perdagangan orang antara lain dalam Pasal 1 butir (1) : “Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Pasal 1 butir (7) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu : “Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.”

Perbedaan Perlakuan Hukum antara Korban dan Tersangka dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Dalam pengaturan hukum di Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Berbagai perundang-undangan yang ada lebih fokus kepada tersangka, karena titik ujung penegakan hukum dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah lebih kepada kepastian hukum. Tentu saja tolok ukur dari sebuah kepastian hukum adalah dihukumnya seorang tersangka sebagai pertanggungjawaban hukum atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Kondisi ini berimbas pada pengaturan hak-hak tersangka selama dalam proses peradilan yang lebih dominan diatur daripada hak-hak koban.
Perlakuan aturan hukum yang lebih istimewa terhadap tersangka dapat kita lihat sejak suatu kasus baru masuk pada tahapan penyidikan baik di penyidik kepolisian maupun di Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Seorang tersangka yang sedang diperiksa dalam perkara tindak pidana yang diancam hukuman 5 (lima) tahun atau lebih, sesuai dengan yang di atur dalam Pasal 56 KUHAP , maka apabila ia tidak memiliki penasehat hukum, negara wajib memberikan pendampingan hukum dengan menunjuk penasehat hukum untuknya.
Hal ini jelas sangat berbeda dengan perlakuan hukum terhadap korban. Pada saat korban melaporkan suatu tindak pidana yang terjadi kepadanya, dan selanjutnya korban dimintai keterangan oleh penyidik, seringkali korban hanya sendirian tanpa didampingi oleh penasehat hukum. Kondisi ini terjadi selain karena kemungkinan korban tidak memiliki penasehat hukum sendiri, juga karena undang-undang tidak memerintahkan kepada negara untuk menyediakan bantuan hukum bagi korban tindak pidana, sebagaimana yang diberikan kepada tersangka.
Sistem hukum yang berlaku di Indonesia memperlihatkan bahwa peran korban hanya sebatas sebagai pelapor dan saksi. Ketika suatu perbuatan dirumuskan sebagai perbuatan pidana, maka segala reaksi formal yang perlu dilakukan terhadap perbuatan itu menjadi hak monopoli aparat penegak hukum. Hak korban dalam menuntut pertanggung jawaban hukum terhadap tersangka, secara otomatis telah berpindah kepada aparat penegak hukum yang berada dalam sistem peradilan pidana. Pada tingkat pemeriksaan, hak korban telah diwakili oleh penyidik (Polri, PPNS, dll) , pada tingkat penuntutan, hak tersebut telah di wakili oleh Penuntut Umum (Jaksa) dan pada tingkat persidangan, hak korban telah diwakili oleh pengadilan (Hakim).

Bentuk Viktimisasi yang dilakukan oleh Penyidik Polri terhadap Perempuan Korban Human Trafficking dalam Proses Penyidikan di Kepolisian
Perempuan korban human trafficking adalah sosok yang rentan untuk kembali terviktimisasi. Kasus pidana yang menimpa mereka yang pada umumnya adalah untuk kepentingan bisnis seks, telah melemahkan mental, psikologis dan juga fisik. Kondisi seperti ini jelas sangat tidak mendukung bagi mereka untuk dapat menuntut haknya terhadap para tersangka, melalui mekanisme dalam sistem peradilan pidana yang berlaku.
Sistem peradilan pidana di Indonesia yang masih fokus pada tersangka dan kurang memperhatikan hak-hak korban, menjadi momok yang seringkali justru menjadikan para korban human trafficking ini mengalami viktimisasi yang kedua kalinya. Proses peradilan yang panjang dan berbelit mengikuti jalur birokrasi yang ada, telah menempatkan korban pada situasi yang sulit. Pada satu sisi, korban sudah terlanjur melaporkan tindak pidana yang telah menimpanya demi memperjuangkan hak-haknya terhadap tersangka, tetapi di sisi lain, korban harus kembali bergulat dengan permasalahan yang pernah menimpanya tersebut. Proses ini harus dijalani oleh korban sejak tahap penyidikan, penuntutan hingga peradilan.
Pada tahap penyidikan di kepolisian, mekanisme yang harus di lalui oleh korban yaitu setelah korban melaporkan tindak pidana human trafficking yang menimpanya, mereka harus berhadapan dengan penyidik Polri untuk memberikan keterangan dalam berita acara pemeriksaan saksi korban. Pada kondisi ini, terdapat beberapa hal yang menjadikan para perempuan korban human trafficking ini mengalami viktimisasi oleh penyidik.
Bentuk viktimisasi yang dilakukan oleh penyidik terhadap korban human trafficking ini yang pertama yaitu seringkali korban dipaksa oleh penyidik untuk mengingat kembali dan menceritakan dengan detail kronologis yang telah membawanya hingga menjadi budak dalam bisnis seks, serta peristiwa-peristiwa yang telah mereka alami selama menjalani profesi tersebut. Pada sisi penyidik, hal ini adalah wajar demi mendapatkan fakta-fakta hukum dan alat bukti untuk menjerat tersangkanya. Hanya saja, bagi korban, hal ini secara tidak langsung akan menjadi beban psikologis yang justru akan membuatnya menjadi labil dan depresi.
Yang kedua yaitu pada umumnya kasus-kasus human trafficking ini adalah ditangani oleh penyidik Polri dari tingkat Mabes Polri, Polda, Polres hingga satuan setingkat Polsek sedangkan penyidik Polisi Wanita (Polwan) pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) hanya terdapat pada satuan Mabes Polri, Polda dan Polres. Untuk satuan setingkat Polsek, tidak memiliki penyidik Polisi Wanita (Polwan) dan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), sehingga yang menangani perkara ini di tingkat Polsek adalah polisi laki-laki.
Kondisi tersebut jelas tidak menguntungkan bagi para perempuan korban human trafficking dalam bisnis seks ini, karena kesan dan perlakuan seorang penyidik polisi laki-laki di bandingkan dengan penyidik polisi wanita akan memiliki perbedaan yang sangat mencolok terhadap korban yang adalah perempuan. Seorang penyidik polisi wanita akan cenderung lebih halus dan berperasaan dalam berkomunikasi dan memperlakukan korban, sehingga korban akan lebih nyaman, relaks dan mudah terbuka dalam memberikan keterangan terkait peristiwa yang menimpanya. Berbeda dengan penyidik polisi laki-laki yang cenderung kasar, keras nada bicaranya, dan tegas sehingga membuat korban cenderung takut, malu dan sulit terbuka.
Yang ketiga yaitu proses penyidikan yang memakan waktu cukup lama dan memakan biaya sendiri. Pada masa ini, aktivitas keseharian korban akan sangat bergantung pada penyidik. Korban menjadi tidak terlalu bebas untuk bepergian terutama keluar kota dalam waktu yang lama atau mencari pekerjaan keluar kota, karena merasa khawatir apabila sewaktu-waktu dipanggil kembali oleh penyidik untuk menjalani rangkaian pemeriksaan seperti pembuatan berita acara pemeriksaan lanjutan, konfrontasi, dan lain sebagainya. Selain waktu yang tersita, korban juga harus mengeluarkan biaya sendiri untuk ongkos mereka pulang dan pergi ke kantor polisi, atau untuk biaya makan selama menjalani pemeriksaan. Pendapatan mereka juga berkurang karena selama menjalani pemeriksaan di penyidik Polri, mereka tidak dapat bekerja sehingga tidak mendapatkan uang.
Yang keempat yaitu pada proses penyidikan dikepolisian, seringkali penyidik Polri mempersilahkan wartawan untuk mewawancarai atau mengambil foto korban. Hal ini sering di keluhkan korban karena pada hakekatnya korban tidak menghendaki dirinya di ekspos oleh media apalagi sampai foto dan identitas lengkap mereka di tampilkan secara gamblang oleh media. Para perempuan korban human trafficking menganggap bahwa peristiwa tindak pidana yang terjadi pada mereka adalah sebagai sebuah aib bagi mereka dan keluarganya, sehingga mereka cenderung menutupinya dari publik. Sangsi sosial yang begitu keras terhadap para perempuan yang berada dalam bisnis seks dan keluarganya, sangat ditakuti oleh para korban human trafficking ini. Sebenarnya korban berhak menolak untuk diwawancarai maupun diambil fotonya oleh wartawan, tetapi karena hal tersebut terjadi di kantor polisi dan pada saat mereka di periksa oleh penyidik, maka para korban ini tidak dapat melawan hal tersebut terjadi.

Peran Penyidik Polwan (Sub Unit PPA) Di Polsek dalam Mencegah Terjadinya Viktimisasi Terhadap Perempuan (Penjaja Seks Komersial/PSK) Korban Human Trafficking
Untuk mecegah terjadinya viktimisasi terhadap para perempuan korban human trafficking dalam bisnis seks oleh penyidik Polri pada tahap penyidikan di Polsek, maka perlu di bentuk Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek. Sub Unit ini beranggotakan penyidik-penyidik yang kesemuanya adalah polisi wanita (Polwan), dan secara struktural berada di dalam Unit Reserse kriminal yang ada di Polsek. Sub Unit PPA ini di awaki setidaknya oleh 3 (tiga) orang penyidik polisi wanita (Polwan) ditambah 1 (satu) orang Polwan selaku Kasubnit.
Sub Unit PPA ini memiliki tugas dan peran yang pertama adalah melakukan penyidikan tindak pidana human trafficking dan tindak pidana lainnya, yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak. Pada tahap ini, para penyidik harus dapat berkomunikasi dan memperlakukan korban dengan menggunakan sentuhan kewanitaan, sehingga korban akan lebih nyaman, relaks dan mudah terbuka dalam memberikan keterangan terkait peristiwa yang menimpanya. Selain itu penyidik juga harus aktif dan terampil dalam mengumpulkan alat bukti melalui pendekatan dengan korban sehingga dapat di tentukan tersangkanya hingga Berkas Perkara selesai dan dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum.
Tugas dan peran yang kedua yaitu memberikan bantuan psikologis kepada korban berupa pendampingan selama korban dalam proses penyidikan di Polsek. Untuk ini para penyidik polisi wanita (Polwan) tersebut harus dibekali dengan pengetahuan tentang ilmu psikologi. Harapannya adalah, dengan bekal pengetahuan tentang ilmu psikologi tersebut, maka para penyidik ini dapat menguatkan mental dan psikologis korban serta membantunya dalam memecahkan permasalahan yang dialami korban terkait dengan tindak pidana yang menimpanya.
Tugas dan peran yang ketiga yaitu menampilkan sosok penyidik Polri yang humanis, sehingga para perempuan dan anak-anak yang menjadi korban tindak pidana, khususnya tindak pidana human trafficking dalam bisnis seks, mau dan berani melaporkan tindak pidana yang menimpa mereka. Kesan humanis ini dapat dimunculkan dari para penyidik polisi wanita tersebut melalui cara berpakaian, cara bertegur sapa, cara berkomunikasi, cara melakukan investigasi dan lain sebagainya. Hal ini juga sangat berguna dalam melakukan koordinasi dengan stake holders yang ada seperti para wartawan, instansi pemerintah, swasta dan lain-lainnya, sehingga dapat berguna dalam mencegah tindak pidana terhadap perempuan dan anak serta meminimalkan viktimisasi terhadap para perempuan korban human trafficking dalam proses penyidikan di Polsek.

Perlunya Rekruitment Polisi Wanita Khusus Untuk Menjadi Penyidik Pada Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Tingkat Polsek
Berdasarkan data Subbag Polwan Mabes Polri, jumlah polwan hingga saat ini mencapai 10.067 orang atau sekitar 3,3% dari total anggota Polri.
Prosentasi Kenaikan jumlah Polwan dan kenaikan jumlah anggota Polri
2003 2004 2005 2006 2007
Polwan 8.189 8.989 9.789 10.589 11.389
Jumlah anggota Polri 264.666 289.666 314.666 339.666 364.666
Prosentase Jumlah Polwan 3,094% 3,103% 3,110% 3,117% 3,123%
Sumber: Makalah Irawati Harsono Gender Dalam Kepolisian
Fakta dilapangan, ketika penulis bertugas sebagai Kapolsek di Polresta Pekanbaru Polda Riau, Polsek tidak memiliki seorangpun polisi wanita (Polwan). Beberapa Polsek yang lain di jajaran kota Pekanbaru ada yang memiliki polisi wanita tetapi jumlahnya paling banyak hanya 2 (dua) orang. Untuk polsek-polsek yang berada di Kabupaten-kabupaten, bisa dipastikan sebagian besar tidak memiliki polisi wanita. Keberadaan Polwan lebih banyak dijumpai di Polres, Polda dan Mabes Polri. Itupun sebagian besar bertugas pada satuan fungsi lalu-lintas dan staf di beberapa satuan fungsi, direktorat atau biro. Begitu juga dengan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), yang secara struktural hanya ada di tingkat Polres, Polda dan Mabes Polri.
Kenyataan ini menuntut Polri untuk segera menambah jumlah personel polisi wanitanya terutama guna memenuhi kebutuhan sebagai penyidik di Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek. Sudah seharusnya Polsek di seluruh Indonesia terutama di wilayah perkotaan untuk memiliki penyidik-penyidik polisi wanita yang mengawaki Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tingkat Polsek. Hal ini untuk melindungi kepentingan para korban tindak pidana yang adalah kaum perempuan dan anak-anak sehingga dapat diminimalisir terjadinya viktimisasi terhadap mereka oleh para penyidik, karena semua Polsek juga berwenang untuk menangani tindak pidana yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak.
Upaya yang seharusnya dilakukan oleh Polri dalam memenuhi kebutuhan penyidik polisi wanita tersebut adalah dengan merekrut polisi wanita yang akan khusus dididik sebagai calon-calon penyidik pada Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tingkat Polsek. Pendidikan secara khusus ini diharapkan dapat langsung menghasilkan calon-calon penyidik polisi wanita yang sudah siap untuk melaksanakan tugas. Dengan upaya ini diharapkan, Polri kedepan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik lagi kepada masyarakat.

Kesimpulan
Maraknya praktek prostitusi pada saat ini telah mendorong munculnya berbagai macam kasus human trafficking dalam bisnis seks dengan korban-korbannya adalah para wanita. Akibat dari tindak pidana ini, para korban mengalami kondisi yang terviktimisasi dalam jangka waktu yang panjang yaitu selama menjalani profesi sebagai PSK atau pekerjaan lain yang serupa. Seringkali para korban yang melaporkan tindak pidana ini ke penyidik Polri terutama di tingkat Polsek, justru mendapat perlakuan dari penyidik yang secara tidak langsung telah membuat mereka kembali mengalami viktimisasi, selama proses penyidikan berlangsung. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu: penyidik di Polsek yang menangani perkara mereka adalah polisi laki-laki, cara penyidik berkomunikasi dan melakukan investigasi kurang selaras dengan perasaan korban yang adalah perempuan, proses penyidikan yang lama dan memakan biaya sendiri, serta penyidik seringkali memperbolehkan wartawan untuk mewawancarai, mengambil identitas lengkap dan mengambil foto korban pada saat pemeriksaan berlangsung.
Untuk mecegah terjadinya viktimisasi terhadap para perempuan korban human trafficking dalam bisnis seks oleh penyidik Polri pada tahap penyidikan di Polsek, maka perlu di bentuk Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek. Sub Unit PPA ini memiliki tugas dan peran melakukan penyidikan tindak pidana human trafficking dan tindak pidana lainnya, yang korbannya adalah perempuan dan anak-anak; memberikan bantuan psikologis kepada korban berupa pendampingan selama korban dalam proses penyidikan di Polsek; dan menampilkan sosok penyidik Polri yang humanis. Untuk itu Polri dituntut segera menambah jumlah personel polisi wanitanya terutama guna memenuhi kebutuhan sebagai penyidik di Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di tingkat Polsek, dengan cara merekrut polisi wanita yang akan khusus dididik sebagai calon-calon penyidik pada Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) tingkat Polsek.

Daftar Pustaka

• Golose, Petrus Reinhard. 2012. Trafficking In Person, Materi perkuliahan dalam Mata Kuliah Transnational Crime dan Radikalisme untuk Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Kepolisian STIK-PTIK Angkatan I, Jakarta, Februari (sumber: UNODC, 2008:3).

• Harsono, Irawati. 2012. LBPP DERAP Warapsari, Perdagangan Orang, Gambaran Umum Perdagangan Orang di Tingkat Global dan Indonesia, Materi perkuliahan dalam Mata Kuliah Trafficking in Person untuk Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Kepolisian STIK-PTIK Angkatan I, Jakarta, Juni.

• Hardani, Syafira. 2004. Pentingnya Peran Negara Dalam Proses Pemulihan Korban, Jurnal Perempuan Edisi 36, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, Juli.

• Irianto, Sulistyowati. 2005. Kata Pengantar dalam buku Sex Slaves, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

• Iswarini, Sri Endras. 2004. Kelompok Survivor: Belajar Dari Pengalaman Perempuan Korban Traficking, Jurnal Perempuan Edisi 36, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, Juli.

• Lutan, Ahwil. 1997. Kejahatan Terorganisasi Dunia ( di sadur dari buku Crime Zoom) yang di terbitkan oleh Kantor Berita Italia “Agenzia Ansa”, Jakarta : Sekretariat NCB-Interpol Indonesia.

• Mansur, Didik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, “Antara Norma dan Realita”, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

• Rahmani, Ima Sri. 2004. Pendampingan Komunitas Penghasil Pekerja Seks : Upaya Menekan Angka Korban Traficking, Jurnal Perempuan Edisi 36, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, Juli.

• Redaksi. 2004. Kata dan Makna, Jurnal Perempuan Edisi 36, Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan, Juli.

• Sentika, Rachmat. 2012. Fenomena di balik Tindak Pidana Perdagangan Orang, Materi perkuliahan dalam Mata Kuliah Trafficking in Person untuk Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Kepolisian STIK-PTIK Angkatan I, Jakarta, 21 Juni.

• Soerodibroto, Soenarto. 2001. KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa.

• IOM. 2008. Pedoman Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta, IOM Misi di Indonesia.

• UNODC. 2008: 3. Tujuan trafficking in person.

• Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.

• Widiartana, G. 2009. Viktimologi dan Perspektif Korban dalam Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta : Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

• RZK,”Hasrat Polri Memahami Gender”, dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20540/hasrat-polri-memahami-gender, 21 November 2008.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Situs Web WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: