FENOMENA TAWURAN PELAJAR BERDASARKAN PERSPEKTIF DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY

FENOMENA TAWURAN PELAJAR BERDASARKAN PERSPEKTIF
DIFFERENTIAL ASSOCIATION THEORY
dvdvdsz

I. PENDAHULUAN
Tawuran pelajar merupakan salah satu fenomena kenakalan remaja yang sudah dianggap lazim terjadi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Pemandangan beberapa kelompok pelajar saling ejek, saling kejar dan saling serang dengan menggunakan batu, kayu, senjata tajam dan alat-alat lainnya sudah menjadi pemandangan yang “akrab” di mata masyarakat. Pemandangan tersebut mudah ditemui di beberapa tempat tertentu dan dapat beberapa kali terjadi dalam sehari terutama pada jam-jam “bubaran” sekolah.
Berita Kompas edisi 29 Juni 1968 telah memuat artikel mengenai tawuran pelajar di Jakarta dengan judul “Bentrokan Peladjar Berdarah” . Meskipun tidak diketahui sejak kapan dimulainya, berdasarkan data yang berhasil dihimpun penulis tersebut, nampak bahwa sejak tahun 1968, fenomena tawuran pelajar sudah terjadi di Indonesia terutama di Jakarta. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait untuk mencegah, mengantisipasi dan menghilangkannya, namun fenomena tersebut nampaknya terus berlangsung hingga saat ini.
Sampai saat ini belum ada data kuantitatif yang jelas tentang jumlah tawuran pelajar. Dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas, sebagian besar responden, sekitar 55,9 persen, secara nasional menyatakan bahwa tawuran pelajar makin berkurang, kecuali di Jakarta dan Medan yang mengindikasikan jumlah tawuran pelajar tetap sama bahkan cenderung bertambah . Data Polda Metro Jaya mengklasifikasikan kasus tawuran pelajar sebagai kejadian tawuran warga dan tercatat pada dua tahun terakhir di Jakarta telah terjadi 67 kali tawuran warga. Tahun 2010 telah terjadi 28 kasus dan tahun 2011 dari bulan Januari sampai Agustus telah terjadi 39 kasus .
Kejadian tawuran pelajar terakhir yang sempat menggugah kembali positioning khalayak tentang tawuran pelajar adalah bentrokan antara pelajar SMAN 6 Jakarta dengan insan pers. Bentrokan tersebut terjadi pada tanggal 19 September 2011 sebanyak tiga kali di beberapa area di wilayah Jakarta Selatan, diawali di halaman SMAN 6 Jakarta di Jalan Mahakam I Kebayoran Baru Jakarta Selatan dan meluas ke dekat Terminal Blok M dan di depan Kantor Kejaksaan Agung Jakarta. Bentrokan dipicu peristiwa perampasan kaset dan pemukulan terhadap juru kamera Trans7 oleh siswa SMAN 6 Jakarta saat meliput tawuran antara sekelompok pelajar dari SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan tawuran pelajar di Jakarta. Upaya-upaya tersebut antara lain: dengan menggabungkan sekolah yang sering tawuran menjadi satu atau memindahkan letak sekolah ke lokasi lainnya untuk memutus permusuhan, namun upaya-upaya tersebut belum menunjukkan dampak sesuai dengan harapan. Kejadian tawuran pelajar SMAN 6 Jakarta dan SMAN 70 Jakarta yang berkembang menjadi bentrokan antara pelajar SMAN 6 dengan insan pers mengindikasikan bahwa konflik tersebut belum sepenuhnya reda. Tawuran pelajar seolah-olah telah menjadi “tradisi” yang tetap lestari, bahkan meluas tidak hanya melawan “sesama” pelajar SMA, tetapi semakin berani mengarah ke pihak-pihak lain.
Pada umumnya, tawuran pelajar diamati para peneliti sebagai kenakalan remaja . Para peneliti menyimpulkan bahwa terdapat lima faktor yang menyebabkan terjadinya tawuran pelajar , yaitu: (1) Siswa yang terlibat tawuran pelajar berasal dari keluarga yang tidak harmonis; (2) Siswa yang terlibat tawuran berasal dari sekolah yang berkualitas buruk dan berdisiplin rendah; (3) Siswa yang terlibat tawuran adalah siswa yang tingkat kecerdasan dan prestasi belajarnya rendah; (4) Siswa yang terlibat tawuran adalah pecandu narkoba; dan (5) Siswa yang terlibat tawuran berasal dari keluarga yang tidak mampu.
Teori tentang kelima faktor sebagai penyebab tawuran pelajar tersebut telah dipatahkan dengan penelitian oleh pakar kriminologi Muhammad Mustofa dan pakar psikologi Mansoer. Keduanya menyatakan bahwa ketidakberhasilan argumentasi teoritis para peneliti atau pakar sebelumnya karena penelaahannya tidak memperhitungkan tawuran sebagai gejala tingkah laku kelompok yang berbeda dinamika penyimpangannya dengan tingkah laku individu . Menurut mereka, rasa permusuhan yang mendominasi situasi tawuran harus dipahami dalam kerangka dinamika kelompok yang sangat kecil kaitannya dengan karakteristik indiividual anggota kelompok tawuran .
Mansoer (1998) membuktikan bahwa siswa yang terlibat tawuran mempunyai hubungan erat dengan orang tuanya, sehingga teori yang menyatakan bahwa siswa yang berasal dari keluarga yang tidak harmonis menjadi mitos yang salah . Pendapat yang menyatakan sekolah yang berkualitas buruk dan berdisiplin rendah sering terlibat tawuran ternyata juga tidak sepenuhnya benar, sebab kenyataannya ada sekolah yang secara akademis tergolong papan atas keterlibatannya dalam tawuran cukup tinggi .
Tawuran pelajar juga tidak dapat dinilai dari berkaitan dengan tingkat kecerdasan dan prestasi belajar. Faktanya, banyak siswa yang cerdas dan berprestasi yang terlibat tawuran, bahkan mereka mempunyai konstribusi dalam mengatur strategi penyerangan maupun penyelamatan diri bagi teman-temannya . Selain itu, tidak terdapat bukti yang kuat bahwa siswa yang terlibat tawuran adalah pecandu narkoba, bahkan untuk melakukan penyerangan dan menyelamatkan diri, seorang siswa harus memiliki kesadaran dan kewaspadaan tinggi serta kondisi fisik yang prima .
Selain itu, hasil penelitian Litbang Kompas menunjukkan bahwa tawuran dilakukan sebagai wujud solidaritas pertemanan yang diturunkan oleh senior-seniornya kepada angkatan yang lebih muda . Sebanyak 63,4 persen responden berpendapat bahwa tawuran pelajar diturunkan dari kakak kelas kepada adik-adik kelasnya. Para kakak kelas mengajak, bahkan setengah mengancam adik kelas, agar terlibat tawuran untuk mendukung sekolah. Bukan hanya siswa laki-laki, siswa perempuan pun dilibatkan untuk menyembunyikan berbagai benda untuk tawuran.
Hasil penelitian kedua pakar dan Litbang Kompas tersebut sangat menarik. Fenomena tawuran yang selama ini terjadi perlu dipandang bukan sebagai perilaku individual, tetapi harus dipandang sebagai permasalahan unit kolektif yang terlibat. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis menganggap perlu melakukan penelaahan terhadap tawuran pelajar sebagai perilaku kolektif yang seolah-olah telah menjadi tradisi di kalangan pelajar yang melakukan tawuran.
Penulis, dalam tulisan ini, bermaksud menganalisa fenomena tawuran pelajar yang marak terjadi di Indonesia khususnya di Jakarta. Analisa tersebut dilakukan dengan menggunakan Differential Association Theory dari Edwin H. Sutherland. Tujuannya adalah agar dapat diketahui faktor-faktor apa yang sebenarnya menyebabkan “tradisi” tawuran di kalangan pelajar tetap terpelihara sampai saat ini sehingga dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait dalam upayanya mencegah, mengantisipasi dan menghilangkan tradisi tawuran pelajar. Untuk itu, permasalahan yang penulis angkat dalam tulisan ini adalah bagaimanakah fenomena tawuran pelajar dilihat dari perspektif Differential Association Theory?

II. PEMBAHASAN
Teori Differential Association menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin H. Sutherland kemudian menjelaskan proses terjadinya kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi sebagai berikut :
“(1) Criminal behaviour is learned. Negatively, this means that criminal behaviour is not inherited; (2) Criminal behaviour is learned in interaction with other persons in a process of communication. This commu¬nication is verbal in many respects but includes also “the communication of gesture”; (3) The principle part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal groups. Negatively, this means that the interpersonal agencies of communication, such as movies, and newspaper, plays a relatively unimportant part in the genesis of criminal behaviour; (4) When criminal behaviour is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple. (b) the specific direction of motives, drives, rationalization and attitudes; (5) The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable on unfavorable. In some societies and individual is surrounded by persons who inveriably define the legal codes as rules to be observed while in other he is surrounded by person whose definitions are favorable to the violation of legal codes; (6) A person becomes delinquent because of an excess of defini¬tion favorable to violation of law over definitions unfavor¬able to violation of law; (7) Differention Association may vary in frequency, duration, priority and intensity; (8) The process of learning criminal behaviour by association with criminal and anticriminal patterns incloves all of the mechanism that are involved in any other learning; dan (9) While criminal is an expressions of general need and values, it is not explained by those general needs and values since non-criminal behaviour is an expression of the same needs and values.”

Tawuran pelajar yang terjadi antara SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta sebenarnya sudah berlangsung lama. Tawuran menjadi hal lumrah antara SMA 70 dengan SMA 6, Bulungan, Jakarta Selatan. Padahal, kedua sekolah itu saling berdekatan, hanya berjarak sekitar 200 meter. Apabila Differential Association Theory dikaitkan dengan fenomena lestarinya “tradisi” tawuran di kalangan pelajar yang marak terjadi, dapat diketahui sebagai berikut:
Preposisi I
Criminal behaviour is learned. Negatively, this means that criminal behaviour is not inherited.
Perilaku tawuran pelajar yang dilakukan oleh seorang siswa merupakan perilaku yang bukan diwariskan atau diturunkan oleh kedua orang tuanya atau sebagai turunan dari gen (seperti teori Lambroso). Perilaku tawuran pelajar merupakan perilaku yang dipelajari (Learning Theory) seperti halnya dikatakan oleh Robert Havighurt bahwa kehidupan adalah belajar begitu pula dengan kejahatan .
Belajar tidak hanya sebatas akademis, perilaku merupakan hal yang dipelajari juga baik secara sengaja maupun secara alami. Pelajar yang secara usia merupakan masa pencarian jati diri akan mempelajari semua informasi yang masuk kedalam pikirannya. Apabila pada lingkungannya (sekolah) terdapat suatu tradisi tawuran pelajar, maka hal ini juga merupakan sesuatu yang dapat dipelajarinya baik secara sengaja maupun alamiah karena ia berada pada lingkungan tersebut. Pada lingkungan tersebut, pelajar akan belajar hidup dalam kebersamaan, setia kawan, maupun keorganisasian nonformal (kelompok tawuran).
Para pelajar yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam tawuran akan mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang tawuran. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut meliputi: tahu siapa yang menjadi lawan dan kawan; tahu dan trampil bagaimana cara melakukan tawuran, antara lain: alat yang digunakan, strategi penyerangan, cara penyelamatan diri, cara membantu kawan, dan lain sebagainya; tahu apa yang akan diperolehnya di mata teman-teman di sekolahnya, seperti: ditakuti, disegani, dianggap setia kawan, dianggap “jagoan”, dan dihargai oleh senior-senior dan teman-temannya; tahu konsekuensi yang akan diterima bila tertangkap polisi; tahu cara menyembunyikan atau menghilangkan barang bukti, dan lain sebagainya.
Preposisi 2
Criminal behaviour is learned in interaction with other persons in a process of communication. This commu¬nication is verbal in many respects but includes also “the communication of gesture”.
Seluruh pengetahuan mengenai tawuran pelajar dipelajari melalui proses komunikasi dalam interaksinya dengan teman-teman dan senior-senior yang telah memiliki pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan tawuran. Dalam proses komunikasi tersebut terjadi transfer informasi dari pelajar yang senior atau yang sudah berpengalaman kepada pelajar yunior atau yang belum berpengalaman. Komunikasi mereka terjadi dengan intensif di sekolah maupun di luar sekolah. Dalam seminggu, mereka bersekolah selama 6 hari selama rata-rata 5-6 jam per hari, selain itu, kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan juga menambah frekuensi komunikasi yang dilakukan. Jadi, tingginya frekuensi pertemuan mereka mendorong komunikasi mereka menjadi semakin intensif.
Preposisi 3
The principle part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal groups. Negatively, this means that the interpersonal agencies of communication, such as movies, and newspaper, plays a relatively unimportant part in the genesis of criminal behaviour.
Tingginya frekuensi pertemuan, intensifnya komunikasi dan tumbuhnya rasa kekeluargaan mendorong timbulnya hubungan personal yang intim diantara pelajar-pelajar di sekolah tersebut. Hubungan pertemanan berkembang menjadi solidaritas kelompok yang kuat dimana mereka merasa senasib sepenanggungan. Mereka akan semakin dekat seperti keluarga dan siap melakukan apa saja untuk membela keluarganya melawan sekolah lainnya sehingga mereka terdorong untuk belajar cara-cara membela diri dan keluarganya apabila menghadapi kelompok lainnya.
Hubungan personal yang intim tersebut mempercepat proses transfer informasi di antara pelajar-pelajar dalam kelompok tersebut. Transfer informasi berjalan dengan lancar dan berkembang dengan cepat seiring dengan semakin intimnya hubungan personal mereka sehingga mempercepat dan memperkuat proses pembelajaran yang terjadi dalam kelompok tersebut. Hal ini sangat mendukung terpeliharanya tradisi tawuran di kalangan pelajar tersebut.
Preposisi 4
When criminal behaviour is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple. (b) the specific direction of motives, drives, rationalization and attitudes.
Apabila kita melihat siaran televisi yang menyiarkan tawuran pelajar yang terjadi antara SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta, terlihat bahwa tawuran yang terjadi bukan secara spontan. Jelas terlihat bahwa tawuran terjadi secara terencana dengan menggunakan strategi, teknik dan pola-pola yang sudah disusun sebelumnya.
Dalam tawuran tersebut, ada seorang pimpinan yang mengatur ritme serangan, kapan saatnya maju dan kapan saatnya mundur serta mengatur pasukannya agar tidak terpecah-pecah pada saat menyerang ataupun bertahan. Kemudian terlihat susunan pasukan yang tertata dimana pasukan yang menggunakan kayu panjang dan rantai berada di posisi depan, sedangkan pasukan yang melempar batu berada di belakang.
Walaupun dengan menggunakan strategi sederhana dan tradisional, namun dapat dilihat bahwa tradisi tawuran pelajar ini merupakan suatu perilaku yang perlu dipelajari baik secara teknik, strategi dan pola-pola yang secara tradisi diturunkan maupun disempurnakan melalui proses komunikasi yang intensif dalam hubungan personal yang intim antara anggota kelompok pelajar tersebut. Keberanian dan sikap nekat para pelajar dalam terlibat dalam tawuran pelajar tersebut menunjukan bahwa terdapat suatu motivasi dan dorongan yang tinggi mengalahkan logika yang ada. Motivasi dan dorongan yang ada dalam suatu kelompok terjadi melalui doktrin-doktrin harga diri menjaga wibawa sekolah, setia kawan antar antar anggota kelompok dan kebersamaan dalam lingkungan kelompok.
Agar menjadi terorganisir seperti tayangan tersebut, mereka perlu mempelajari pengetahuan dan ketrampilan baik teknis maupun taktis meliputi: siapa yang menjadi lawan dan kawan; cara melakukan tawuran, antara lain: alat dan sarana yang diperlukan dan digunakan, strategi penyerangan, cara penyelamatan diri, cara membantu kawan, pemahaman peran masing-masing dalam strategi kelompok, dan lain sebagainya; tahu apa yang akan diperolehnya di mata teman-teman di sekolahnya, seperti: ditakuti, disegani, dianggap setia kawan, dianggap “jagoan”, dan dihargai oleh senior-senior dan teman-temannya; konsekuensi yang akan diterima bila tertangkap polisi; tahu cara menyembunyikan atau menghilangkan barang bukti, dan lain sebagainya.
Preposisi 5
The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable on unfavorable. In some societies and individual is surrounded by persons who inveriably define the legal codes as rules to be observed while in other he is surrounded by person whose definitions are favorable to the violation of legal codes.
Pelajar dalam usianya dibawah 16 tahun tergolong ke dalam kategori anak, yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Pengadilan Anak . Perlakukan yuridis terhadap anak berbeda dengan perlakukan yuridis terhadap orang dewasa. Hal ini mengakibatkan aparat penegak hukum lebih mengedepankan pendekatan persuasif dibanding pendekatan yuridis dalam menyelesaikan perkara-perkara tawuran pelajar.
Secara umum penyelesaian perkara tawuran pelajar diselesaikan secara mediasi antar sekolah atau kelompok yang terlibat atau pembinaan terhadap pelajar yang terlibat. Sangat jarang pelaku tawuran pelajar yang diproses secara hukum, kecuali ada korban meninggal dunia dalam tawuran tersebut. Selain itu, polisi akan lebih intensif memproses para pelajar apabila terdapat barang bukti antara lain sajam atau senjata api dengan UU Darurat, namun apabila pada diri pelajar tidak ditemukan barang bukti, polisi akan lebih mengedepankan pembinaan terhadap mereka.
Lemahnya sanksi hukum sebagai konsekuensi apabila pelajar yang tawuran tertangkap polisi dan adanya peluang tidak diproses apabila tidak ditemukan barang bukti semakin mendorong mereka untuk yakin dan semangat dalam melakukan tawuran. Hal ini mereka pelajari dari kawan-kawannya yang pernah tertangkap atau diproses oleh polisi pada saat atau setelah tawuran. Para pelajar yang pernah tertangkap dan diproses segera membagi informasi dan pengalaman tersebut kepada pelajar-pelajar lainnya sehingga mereka bisa bersama-sama mengantisipasi jeratan-jeratan hukum yang dapat menjeratnya, misalnya: mempergunakan kayu dan gir besi dalam tawuran yang berdasarkan aturan bukan merupakan golongan senjata tajam.
Peluang ini yang dimanfaatkan oleh pelajar untuk lebih membesarkan motivasi dan semangat rekan-rekannya. Mereka cenderung tetap menjaga dan mempertahankan tradisi tawuran pelajar tersebut karena mereka beranggapan bahwa tindakan mereka masih dalam toleransi pelanggaran hukum dan mudah menghindar dengan menghilangkan atau menyamarkan barang bukti bila ditemukan sehingga rasa ketakutan terhadap sangsi hukum yang akan diterima akibat perilaku tawuran pelajar ini tidak ada atau lemah.
Preposisi 6
A person becomes delinquent because of an excess of defini¬tion favorable to violation of law over definitions unfavor¬able to violation of law.
Toleransi yuridis terhadap perkara tawuran pelajar menyebabkan pelajar perpandangan bahwa hukum tidak mudah menyentuh mereka. Bahkan pola pembinaan (wajib lapor, membuat surat pernyataan, jalan jongkok, push up dan lainnya) yang dilakukan oleh polisi terhadap pelaku tawuran akan meningkatkan prestisius seorang pelajar di mata pelajar lain karena ada anggapan bahwa apabila seorang pelajar pernah berurusan dengan polisi, ia dianggap lebih jantan, jagoan, berani, semakin berwibawa dan disegani di mata rekan-rekannya.
Besarnya dampak yang diperoleh saat melanggar hukum (dipandang jagoan, disegani, dihormati dan berwibawa oleh rekan-rekannya) mengakibatkan pelajar akan cenderung melibatkan diri terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hukum agar semakin diakui dalam kelompok tersebut. Hukum dan sangsinya akan semakin dipandang sebagai sesuatu yang harus dilanggar dibanding harus ditaati karena akan berakibat positif terhadap dirinya dalam komunitas dimana ia berada.
Preposisi 7
Differention Association may vary in frequency, duration, priority and intensity.
Proses pembelajaran yang berlangsung dalam kelompok pelajar pelaku tawuran bukan merupakan proses yang sederhana, namun merupakan proses yang bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas. Frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas dalam komunikasi antarpersonal dalam hubungan yang intim antar pelajar tersebut mempengaruhi berapa banyak transfer informasi yang terjadi dan berapa cepat proses belajar dilakukan.
Semakin besar frekuensi, semakin lama durasi, semakin fokus prioritas (melakukan tawuran) yang dituju, dan semakin besar intensitas (kepentingan untuk melakukan tawuran) komunikasi, maka semakin intensif komunikasi dan semakin banyak informasi yang dapat ditranfer dan semakin cepat proses belajar terjadi, demikian pula sebaliknya.
Preposisi 8
The process of learning criminal behaviour by association with criminal and anticriminal patterns incloves all of the mechanism that are involved in any other learning.
Proses belajar mengenai tawuran pelajar berlangsung selama pelajar berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan pelajar senior atau yang telah memiliki pengalaman, pengetahuan dan ketrampilan dalam melakukan tawuran pelajar. Proses tersebut berlangsung secara terus-menerus secara intensif sehingga pelajar tersebut dapat belajar dengan baik, serta informasi yang dapat diperoleh, diterima dan dimengerti dengan baik oleh pelajar tersebut.
Preposisi 9
While criminal is an expressions of general need and values, it is not explained by those general needs and values since non-criminal behaviour is an expression of the same needs and values.
Selama proses belajar, pelajar menemukan bahwa tawuran pelajar merupakan cara yang tepat untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Ia menghendaki suatu kondisi dimana teman-temannya dapat menghargai, menghormati, segan dan tunduk kepadanya. Dengan melakukan tawuran, ia dapat memperoleh penghargaan, penghormatan, disegani dan ditakuti oleh teman-temannya tersebut. Dorongan itu menimbulkan hasrat yang besar dari pelajar tersebut untuk memilih melakukan tawuran sehingga angan-angannya tercapai.
Ia tidak melihat cara lain untuk mencapai keinginannya, terutama cara-cara yang legal atau tidak melanggar hukum, misalnya berprestasi dalam belajar atau olah raga. Interaksinya dengan para pelaku tawuran menyebabkan tawuran menjadi pilihan yang lebih menjanjikan dan menggiurkan daripada cara-cara lain tersebut. Oleh karena itu, ia lebih memilih tawuran sebagai sarana mencapai tujuan meskipun resiko dan konsekuensi yang mungkin diterimanya cukup besar dan dapat membahayakan dirinya.
Berdasarkan pembahasan di atas, selama terjadinya proses belajar dalam interaksi antara pelajar dengan pelajar-pelajar lain telah terjadi suatu transfer budaya dari generasi ke generasi di kalangan pelajar pelaku tawuran. Budaya yang ditransfer adalah budaya tawuran yang merupakan budaya yang berlaku secara umum di lingkungan sekolah tersebut sehingga budaya tersebut dapat tetap lestari dan terjaga dari generasi ke generasi. Hal ini sesuai dengan Teori Cultural Transmission dari penelitian yang dilakukan oleh Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay.
Dalam penelitian tersebut, mereka menemukan bahwa ada korelasi antara tingkat kejahatan di suatu area dengan kecenderungan orang yang tinggal di area tersebut untuk ikut melakukan kejahatan. Semakin tinggi tingkat kejahatan di suatu area, maka semakin besar kecenderungan orang yang tinggal di lingkungan tersebut untuk melakukan kejahatan. Dan sebaliknya, semakin rendah tingkat kejahatan di suatu area, semakin kecil kecenderungan orang yang tinggal di lingkungan tersebut untuk melakukan kejahatan .
Cultural transmission dalam penelitian Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay berlaku pula dalam proses belajar mengenai tawuran. Pelajar yang belajar di sekolah yang sering terlibat tawuran akan cenderung lebih mudah untuk terlibat tawuran daripada pelajar yang belajar di sekolah yang tidak terlibat tawuran. Hal ini terjadi karena dalam lingkungan sekolah yang sering terlibat tawuran banyak faktor yang dapat mempengaruhi pelajar untuk memilih tawuran daripada tidak melakukan tawuran. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Mudahnya mereka mengakses pengetahuan mengenai tawuran melalui hubungan antarpersonal dengan teman-teman di sekolahnya;
b. Mereka langsung disajikan suatu fakta bahwa dampak melakukan tawuran lebih menguntungkan daripada tidak melakukan tawuran. Mereka dapat lebih dihargai, ditakuti dan disegani oleh teman-teman yang lain sebagaimana teman-teman yang telah melakukan tawuran sebelumnya;
c. Mereka dapat mengetahui bahwa resiko melakukan tawuran lebih kecil karena sistem hukum banyak memiliki toleransi dalam menangani tawuran, misalnya: pelaku tawuran tidak akan diproses bila tidak ada korban maupun barang bukti yang diperoleh; dan
d. Mereka lebih memilih melakukan tawuran karena merasa bahwa keuntungan yang diterimanya (penghargaan, penghormatan dan pengakuan dari kawan-kawannya) melebihi keuntungan apabila ia menempuh cara lain (berprestasi dalam belajar atau olah raga).

III. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa fenomena tawuran pelajar dilihat dari perspektif Differential Association Theory terjadi melalui proses belajar dalam interaksi dengan lingkungan sekolah di mana pelajar tersebut berada. Proses belajar berlangsung secara intensif melalui proses komunikasi yang intensif antar anggota kelompok tersebut sehingga transfer budaya terjadi dan budaya tersebut dapat tetap dijaga dan dilestarikan dari generasi ke generasi.
Oleh karena itu, disarankan bagi pihak terkait perlunya upaya memutuskan mata rantai transfer budaya tawuran dalam lingkungan sekolah sehingga proses tersebut tidak berjalan dengan baik dan tradisi tawuran dapat hilang dengan sendirinya. Pemutusan mata rantai tersebut dapat dilakukan dengan mengurangi intensitas, durasi, prioritas dan intensitas dalam hubungan interaksi antar individu di sekolah tersebut, misalnya dengan mengatur jadwal masuk kelas antara kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 dengan jadwal masuk pagi dan masuk siang sehingga proses interaksi dan komunikasi tidak berjalan dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Anwar, Yasmin dan Adang, Kriminologi, PT Refika Aditama, Bandung, 2010.
Nitibaskara, TB. Ronny, Catatan Kriminalitas, cet.1, Jayabaya University Press, Jakarta, 1999.
Nitibaskara, TB. Ronny, Bahan Perkuliahan Perkembangan Sosial dan Kepolisian, disampaikan dalam perkuliahan bagi Mahasiswa Angkatan I Magister Ilmu Kepolisian STIK PTIK Jakarta pada Hari Selasa tanggal 29 November 2011.
Santoso, Topo dan Zulfa, Eva Achjani, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Wofgang, Marvin, Savitz, Leonard and Johnston, Norman, The Sociology Of Crime And Delinquency, John Wiley and SMS Inc, New York, 1970.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 3668 Tahun 1997.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2002.

INTERNET
Kulsum, Kendar Umi, Tawuran Pelajar Tak Kunjung Surut, Litbang Kompas, tanggal 21 Oktober 2011, diakses melalui http://m.kompas.com/news/read/2011/10/21/02385365/Tawuran.Pelajar.Tak.Kunjung pada Hari Minggu, tanggal 4 Desember 2011.
Suhendi, Adi, Polda Metro Imbau Sekolah Bentuk Sistem Anti Tawuran, Tribunnews.com, 22 September 2011, diakses melalui http://jakarta.tribunnews.com/mobile/index.php//2011/09/22/polda-metro-imbau-sekolah-bentuk-sistem-anti-tawuran pada Hari Minggu, tanggal 4 Desember 2011.

Tinggalkan Balasan

Situs Web WordPress.com.

Atas ↑

%d