nkp polri

STRATEGI OPTIMALISASI PENANGANAN KONFLIK KOMUNAL GUNA EFEKTIFITAS PENEGAKKAN HUKUM DALAM RANGKA TERPELIHARANYA STABILITAS KAMDAGRI.

STRATEGI OPTIMALISASI PENANGANAN KONFLIK KOMUNAL GUNA EFEKTIFITAS PENEGAKKAN HUKUM DALAM RANGKA TERPELIHARANYA STABILITAS KAMDAGRI.

BAB I PENDAHULUAN
Selama berabad-abad, suku-suku bangsa di Indonesia umumnya hidup rukun tanpa benturan yang berarti. Tiba-tiba pada masa reformasi, konflik kesukubangsaan, agama, pelapisan masyarakat sepertinya ikut mengusik kedamaian, seolah-olah menyimbolkan kemerdekaan dari depresi yang mendalam. Semacam muncul stimulus perubah kepribadian pelbagai pihak dalam waktu sekejap. Kondisi tersebut, setidak-tidaknya menjadikan situasi semakin rentan bagi lintas kepentingan para pihak yang berseteru kekuasaan, aset dan pengaruh.
Secara Nasional semakin lazim terjadi, seperti pemboman rumah-rumah ibadah, lembaga pendidikan hingga hotel-hotel dan perusakkan dan penutupan paksa tempat-tempat hiburan malam, fenomena yang kerap terjadi di wilayah rawan Konflik Komunal seperti di wilayah Jawa Timur ( konflik syiah dan Sunni di Sampang ); Kalimantan Barat dan Tengah ( Konflik Komunal antara etnis Dayak dan Madura); Sulawesi Tengah; Maluku Utara dan Ambon (Konflik komunal bernuansa SARA) ; Papua ( konflik Komunal dengan muatan politis kemerdekaan ).
Demikian halnya dengan provinsi Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia, serta cermin barometer keamanan bagi propinsi-propinsi lain di Indonesia,tidak luput dari gejolak konflik semacam itu,konflik komunal berupa tawuran antar warga desa adat tercatat pernah terjadi di beberapa Kabupaten seperti ; Buleleng; Gianyar: Karang Asem dan Kabupaten Badung, termasuk didalamnya perusakkan Kantor Polsek dan Kantor Pemerintahan ( Pemda ) dan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Konflik dalam suatu masyarakat sejatinya merupakan konsekuensi alami dari proses-proses perbedaan: sosio kultural , sosio structural dan proses social dalam dalam masyarakat yang menghasilkan sebuah perjuangan untuk mempertahankan identitas super ordinat dan sub ordinat serta kepentingan kelompok pribadi , pribadi dalam kelompok serta kepentingan komunal dari suatu kelompok sosial tanpa batas waktu yang didefenisikan dalam situasi kehidupan, diinterpretasikan dalam hubungan sosial, dengan potensi untuk selalu bersinggungan dengan nilai-nilai sosial kelompok lain.
Perbedaan dalam cara hidup dan nilai-nilai sosial yang dikembangkan oleh kelompok, membuat mereka terpisah dari kelompok lain dalam banyak hal. Konflik komunal memang akan tidak terhindarkan ketika norma-norma satu wilayah budaya dalam suatu Komunal atau sub-budaya tertentu lantas berimigrasi atau bersentuhan dengan norma-norma wilayah budaya lain. Konflik antara norma-norma aturan budaya yang berbeda dalam suatu Komunal bisa terjadi: ketika aturan-aturan dalam suatu masyarakat saling berbenturan di perbatasan wilayah budaya yang bersebelahan/ berdampingan; ketika, sebagaimana dengan norma hukum, hukum satu kelompok budaya akan diperluas untuk mencakup wilayah kelompok budaya lain, atau ketika anggota salah satu kelompok budaya bermigrasi ke kelompok budaya lain.
1. PERMASALAHAN PENULISAN
Bagaimana strategi optimalisasi penanganan konflik komunal dapat dilakukan oleh Polda Bali guna efektifitas penegakkan hukum dalam rangka terpeliharanya stabilitas kamdagri di Pulau Bali ?
2. RUMUSAN MASALAH :
1) Bagaimanakah tahapan konflik, peta konflik dan pergeseran Konflik dalam konsepsi Konflik Komunal di pulau Bali terjadi ?
2) Faktor apakah yang memberikan pengaruh dalam penanganan konflik komunal di Pulau Bali.
3) Bagaimanakah strategi optimalisasi penanganan konflik komunal dapat dilakukan oleh Polda Bali dan jajaran dalam rangka terpeliharanya stabilitas Kamdagri ?

BAB II PEMBAHASAN
1. PETA KONFLIK KOMUNAL DI BALI
Peta konflik komunal di Bali dapat diidentifikasi dengan konsep : Source , Issue, Parties, Attitude, Behavior, Intervention, Outcome ( SIPABIO) (Arm Abdalla dalam Sosiologi Konflik;2002) , secara rinci pemetaan konflik komunal dapat dijelaskan sebagai hasil interaksi antara pertama ; komposisi Demografi penduduk Bali yang mayoritas dari suku Bali ditambah beberapa suku lain yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia sebagai hal yang wajar dimana Bali merupakan pusat industry pariwisata dunia sehingga kedatangan masyarakat berlatar belakang suku, agama , dan aliran kepercayaan sangatumum terjadi di Bali, kedua ; Faktor Geografi pulau Bali yang sangat ideal sebagai daerah tujuan wisata dan tempat bekerja mencari nafkah dan ketiga ; bahwa pulau Bali tidak memiliki sumber daya alam berupa tambang mineral maupun migas, namun dengan keindahan alam dan kekayaan budaya menyebabkan Bali menjadi salah satu provinsi dengan pendapatan perkapita tertinggi di Indonesia.
Peta Konflik Komunal di Pulau Bali dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Source / Sumber Konflik : adanya konflik kepentingan baik individu maupun kelompok serta adanya konflik akibat pertarungan dan upayapertahanan terhadap posisi dalam kedudukan masyarakat berupa kedudukan dominasi dan sub ordinasi antar komunitas sebagai konsekuensi pertemuan berbagai budaya di satu kawasan. Secara umum di Bali rentan dengan isyu SARA, dan dinamika Astra Gatra di pulau Bali sendiri maupun akibat pengaruh lingkungan Regional , Nasional dan Global.
2) Issue / Titik Masalah : adanya dinamika Politik lokal berupa permasalahan DPT dalam Pemilu Kada , masalah konflik antara warga pribumi dan pendatang,konflik antar dan inter lembaga Adat , masalah penggunaan lahan dalam Rancangan Umum Tata Ruang ( RUTR) dan konflik agraria antara lahan milik masyarakat maupun tanah Negara dan tanah adat ( ulayat ).
3) Parties / Pihak yang Terlibat : actor yang terlibat dalam konflik komunal di Bali adalah antara masyarak dengan masyarakat baik secara individu maupun dengan representasi lembaga masyarakat, sebagai contoh adalah masalah tanah pemakaman milik suatu desa Adat yang dilarang dimanfaatkan oleh warga desa yang sama dengan alasan pelanggaran atau sanksi adat sebelumnya,actor lain yang ikut meramaikan konflik komunal di Bali adalah peran LSM dan Media Massa dengan pemberitaan content provokatif ,pihak Swasta ( pemodal asing dan dalam negeri ) serta otoritas Negara ( aparat Negara ) turut andil dalam konflik komunal di Indonesia , umumnya terjadi akibat konflik ganti rugi pemanfaatan lahan maupun tindakan pribadi oknum aparat Negara ( kasus pembakaran dan perusakkan Markas Polsek Rendang di Polres Karangasem ).
4) Attitude / Sikap masing-masing actor : seperti diketahui bersama bahwa masyarakat di Bali adalah masyarakat transisi dari masyarakat agraris tradisional menjadi masyarakat idustri pariwisata yang tetap lekat dengan struktur social kebudayaan Hindu Bali ( lembaga desa adat, Banjar adat dan atribut budaya lainnya ; pecalang ) berpola patrilinial dan terbuka terhadap perubahan.
5) Behaviour / perilaku perubahan konflik : umumnya ekspresi konflik yang muncul tergantung peran tokoh dalam suatu komunal , apa yang disampaikan oleh para pemimpin masyarakat lokal akan didengar dan dilaksanakan oleh masyarakat ,konflik laten jarang berkembang menajdi konflik terbuka apabila terdapat penyaluran ekspresi yang memadai bagi masyarakat dan peran pemimpin masyarakat untuk meredam.
6) Intervention/ peran actor dalam tahapan konflik : masing masing actor konflik komunal di Bali sangat berperan dalam terjadinya konflik komunal , masyarakat, LSM, Media massa dan otoritas pemerintah memiliki karakter masing masing dalam intervensi/ mempengaruhi pergeseran konflik komunal.
7) Outcome / pencapaian dari suatu konflik : setiap komponen konflik di Bali memiliki pengahrapan tersendiri yang pada umumnya terkait dengan bagaimaana kepentingan diperjuangkan dan bagaimana Posisi dipertahankan.

  1. FAKTOR– FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM PERGESERAN KONFLIK KOMUNAL DI BALI
    Pergeseran Konflik Komunal di Bali dapat diketahui dengan melihat apakah suatu konflik yang sifatnya latent dalam masyarakat memiliki atau memenuhi setidaknya 3 ( tiga ) persyaratan teknis (Ralf Dahrendorf;1957) sebelum menjelma menjadi konflik terbuka , antara lain :
    1) SYARAT TEKNIS : jumlah massa yang cukup dengan kepemimpinan yang solid dalam suatu kelompok dengan tujuan untuk memperjuangkan keunggulan kepentingan yang dimiliki, suatu studi kasus adalah saat terjadi perusakkan dan pembakaran Markas Polsek Rendang Polres Karangasem adalah ketika masyarakat desa Rendang mendengar Kentongan dan ajakan tokoh pemuda dan masyarakat setempat yang menuntut keadilan dengan menolak penahanan terhadap pelaku sabung ayam yang ditangkat beberapa saat sebelumnya, jumlah massa dan pimpinan serta issue penangkapan berhasil mendorong masyarakat desa Rendang melakukan penyerangan dan pembakaran Markas Polsek rending.
    2) SYARAT SOSIOLOGIS : adalah bagaimana pola interaksi social dan komunikasi antar masyarakat dan actor lainnya dalam suatu konflik , umumnya masyarakat di Bali memberikan penghargaan kepada aparat keamanan , apalagi aparat keamanan tersebut merupakan putra daerah , asalkan track record dan perilaku sehari hari memberikan kesan baik bagi masyarakat disekitarnya, namun dalam kasus pembakaran Polsek rending adalah masyarakat di desa Rendang memiliki pengalaman trauma terhadap tindakan oknum polisi disana yang kerap menyalahgunakan wewenang dan hukum dengan melakukan penangkapan terhadap pemain judi Sabung Ayam namun kemudian meminta sejumlah uang untuk membebaskan pelaku judi sabung ayam yang tertangkap.
    3) SYARAT POLITIS : bahwa hukum sebagai produk politis perundang- undangan kadang kala tidak memberikan kemanfaatan , paradigm hukum Positivistik yang berlaku di Indonesia seolah olah menegasikan kewenangan hukum adat yang hidup sebagai fakta pluralism hukum di Indonesia, hukum yang Positivistik akhirnya membelenggu aparat nagara penegak hukum dalam mewujudkan hukum yang memeberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian dalam masyarakat.
  2. STRATEGI PENEGAKKAN HUKUM DALAM PENANGANAN KONFLIK KOMUNAL DI BALI
    Identifikasi terhadap peta konflik komunal dan informasi prasyarat terjadinya pergeseran konflik sebagi factor yang berpengaruh terhadap eksistensi Konflik Komunal di Bali memberikan pemahaman bahwa perlu suatu strategi efektif dan efisien bagi Polri untuk mengoptimalkan upaya penaganan Konflik komunal yang salah satuanya adalah dengan pendekatan Penegakkan Hukum .
    Pendekatan penegakkan hukum mengadung pemahaman bahwa Hukum dapat ditegakkan secara efektif dengan mempelajari dan memahami lebih dahulu aspek Hukum dalam kajian Substansi Hukum , Struktur Hukum dan Budaya Hukum ( L.Friedman dalam Community Policing ; 29005 ) di dalam suatu masyarakat.
    Pertimbangan yang utama dalam pendekatan penegakkan Hukum dalam penanganan konflik Komunal di Bali adalah adanya Pluralisme hukum yang sangat kuat di Bali , eksistensi lembaga adat seperti perangkat Kelihan ( ketua ) Desa Adat dan banjar Adat mengakar dan terstruktur sampai ke tingkat provinsi yang diakui dengan penerbitan Perda dan studi akademis beberapa perguruan tinggi , sehingga Adat masyarakat Bali memiliki kelengkapan organisasi lengkap berdasar tugas dan peran, memiliki legitimasi kuat dan mengakar, dengan sumber daya keuangan, tanah , materi kuat.
    Sehingga dengan pertimbangan pluralisme hukum yang sedemikian kuat , Polda bali dan jajaran harus secara bijak menerapkan pendekatan penegakkan hukum dalam penanggulangan Konflik Komunal , jembatan penghubung anatara konsep penegakkan hukum ( Positive ) dengan keberadaaan hukum Adat adalah dengan strategi Pemolisian Masyarakat ( Polmas ) dalam bentuk kemitaraan Polisi dan Masyarakat ( lembaga Adat ).
    Pilihan strategi optimalisasi penanganan konflik komunal guna efektifitas penegakkan hukum dalam rangka terpeliharanya stabilitas kamdagri di Bali adalah dilaksanakan dengan :
    1) Pemberdayaan perangkat desa Adat yang berperan dalam tanggung jawab Keamanan warga ( Pecalang ) untuk memberikan lebih banyak kontribusi peran dalam menjaga keamanan sehari hari, Polri memberikan pendampingan dan sekaligus Mitra dengan mengedepankan masyarakat secara mandiri mengidentifikasi akar pemasalahan yang mungkin berkembang menjadi konflik komunal di lingkungannya.
    2) Pemberdayaan lembaga Adat dan perangkat Adat di Bali adalah termasuk kebutuhan perumusan pemetaan Konflik Komunal di masing masing lingkungan yang selanjutnya peta konflik komunal global Provinsi Bali tersebut dikompulir oleh Polda Bali sebagai database Peta potensi Konflik komunal yang diharapkan dapat memberikan peringatan awal perumusan kebijakan pemerintah .
    3) Peningkatan kemampuan Bhabinkamtibmas sebagai pendamping Pecalang dengan mengembangkan kemapuan negosiasi, pengetahuan hukum pidana secara umum, resolusi konflik, strategi pencegahan kejahatan dan kemampuan Intel dasar berupa deteksi dan peringatan dini / early warning dan early detection.
    4) Merintis pengembangan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat ( FKPM ) anatara Polda Bali dengan potensi masyarakat ( Dewan Desa Adat bali ) sebagai semacam lembaga Pusat Studi Polmas dengan memperhatikan aspek Local genius masyarakat Bali dalam memelihara keamananguna mencari resolusi Konflik secara dini yang terjadi dilingkungannya.
    5) Membuat terobosan hukum dengan menggandeng lembaga penegak hukum lain ( Jaksa, Hakim dan pengacara ) untuk merumuskan pendekatan hukum yang retributive terhadap beberapa perbuatan melawan hukum yang kerap terjadi di Masyarakat dengan mengedepankan kemanfaatan dan keadilan hukum daripada sekedar kepastian hukum terhadap tindak pidana yang tidak menimbulkan kerugian besar, berpeluang untuk diperbaiki namun masyarakat tetap mendapat pengayoman dari Negara.

BAB III PENUTUP
1. KESIMPULAN.
1) Dengan melakukan analisa terhadap peta konflik dapat diidentifikasi berbagai peran otoritas didalam masyarakat, bagaimana pergeseran konflik terjadi dan apa akar permasalahan konflik yang terjadi sehingga peran para pemegang otoritas yang terkait dengan masalah tersebut dapat optimal mencegah konflik latent bergeser menjadi konflik aktual berupa konflik Komunal di Indonesia
2) Faktor instrumen dan enviromental yang bersumber dari Struktur , Substansi dan Budaya Hukum yang berlaku dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap peta konflik komunal yang dapat ditanggulangi oleh Kepolisian.
3) Pola pemolisian reaktif yang lebih berorientasi kepada bagaimana menghentikan konflik komunal dengan upaya penegakkan hukum Positive tidak efektif bila tidak diikuti dengan strategi pemolisian masyarakat yang menggunakan pendekatan hukum retributive dalam bentuk pemberdayaan dan kemitraan antara Polri dan Potensi masyarakat dalam mencari solusi dan penanganan konflik komunal secara tuntas .
2. SARAN.
1) Sinkronisasi kebijakan antar pemangku kepentingan terkait, termasuk Pemerintah daerah dalam mengeluarkan kebijakan pembangunan agar tidak terjadi tumpang tindih pada pelaksanaannya.
2) Mengikut sertakan stake holder terkait perumusan kebijakan sebagai masukan dan langkah antisipasi atas kemungkinan timbulnya permasalahan-permasalahan di kemudian hari termasuk pemuliaan peran Media Massa agar kembali menjadi sarana penyebaran informasi yang professional dan mendidik bagi publik, tanpa konflik kepentingan pihak-pihak tertentu.
3) Peningkatan fungsi “early Warning” terhadap anggota Kepolisian, khususnya fungsi Intelijen dan Bhabinkamtibmas di sertai peningkatan kualitas kinerja seluruh aparat Kepolisian.
4) Melakukan penindakan hukum dan upaya antisipasi terhadap pihak-pihak yang mencari keuntungan dari konflik yang terjadi, dengan mengatasnamakan korban ataupun kelompok yang tertindas/ terintimidasi, namun tetap perlu juga mewaspadai bahwa upaya penegakkan hukum juga dapat memperkeruh suasana dan membuat masalah semakin meluas.

contoh membuat Rencana penelitian tentang :Peran Babinkamtibmas Sebagai Bentuk Implementasi Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Keamanan dan Ketertiban Di Polres Langkat

Peran Babinkamtibmas Sebagai Bentuk Implementasi Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Keamanan dan Ketertiban
Di Polres Langkat

beberapa referensi berikut dapat dijadikan acuan dalam penulisan naskah karya perorangan
akuntabilitas dan pemolisian masyarakat

anton tabah reformasi polri

perkap 07 thn 2008 tentang polmas

rekomendasi arah kebijakan polri

KEARIFAN LOKAL

OPTIMALISASI KINERJA PENYIDIK

I. Latar Belakang
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang mempunyai tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, yang terdapat dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Seiring dengan tugas pokoknya, Polri dihadapkan dengan tantangan berbagai kasus kejahatan yang menggangu keamanan dan ketertiban masyarakat seperti kasus perampokan, aksi bom bunuh diri yang dilakukan oleh teroris, kasus jaringan narkoba, perdagangan manusia dan lain-lain. Selain itu, ada juga konflik di berbagai daerah yang menimbulkan SARA seperti daerah yang ingin merdeka, unjuk rasa yang anarkis, perkelahian antar suku, pengrusakan tempat ibadah dan lain-lain. Seluruh kejahatan ini muncul akibat tidak diketahuinya akar permasalahan yang ada pada pranata-pranata sosial di masyarakat. Karena Polri cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai pemegang otoritas dan institusi Kepolisian dipandang oleh masyarakat semata-mata sebagai alat negara, sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian.
Proses reformasi yang telah bergulir sejak tahun 1998 hingga saat ini untuk menuju masyarakat sipil yang demokratis, terdapat kecenderungan bahwa masyarakat lebih menginginkan pendekatan-pendekatan yang personal dan menekankan pemecahan masalah daripada sekedar terpaku pada formalitas hukum yang kaku. Polri yang saat ini telah melaksanakan proses reformasi untuk menjadi Kepolisian sipil, harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara merubah paradigma yang semula menitikberatkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan) atau masyarakat sebagai obyek pelaksanaan tugasnya, berubah menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-masalah sosial. Sehingga perubahan ini melahirkan model-model penyelenggaraan fungsi kepolisian yang dikenal dengan berbagai nama seperti Community Oriented Policing, Community Based Policing dan Naighbourhood Policing dan akhirnya popular dengan sebutan Community Policing (Perpolisian Masyarakat).
Perpolisian Masyarakat yang juga dikenal dengan sebutan Polmas telah diadopsi oleh Polri pada tanggal 13 Oktober 2005 dengan Surat Keputusan Kapolri Nomor : 737/X/2005. Seluruh anggota Polri diharapkan dapat mendukung penerapan Polmas, dengan cara membangun serta membina kemitraan antara polisi dan masyarakat dengan mengedepankan sikap proaktif dan berorientasi pada pemecahan masalah yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat. Menurut Farouk Muhammad, kemitraan tidak hanya melalui kerjasama antara polisi dan masyarakat tetapi mencakup tiga pilar utama yaitu Polri, Masyarakat dan Pemerintah Daerah. Polri direpresentasikan oleh petugas Polmas, sedangkan masyarakat dicerminkan melalui mekanisme FKPM. Selanjutnya unsur Pemerintah Daerah direpresentasikan oleh perangkat pemerintah desa khususnya kepala desa atau lurah. Masing-masing komponen tersebut mempunyai peran dalam mengoperasikan Polmas.
Perpolisian Masyarakat pada dasarnya dilaksanakan oleh seluruh anggota Polri mulai dari yang bawah sampai pucuk pimpinan tertinggi Polri, dengan bentuk kegiatan disesuaikan dengan tugas dan kewenangannya masing-masing serta disesuaikan dengan kearifan lokal masing-masing komunitas. Salah satunya seperti pembinaan yang dilakukan oleh fungsi teknis kepolisian yang diterapkan oleh petugas Babinkamtibmas. Dalam hal ini, Babinkamtibmas harus berperan sebagai fasilitator dalam mengimplementasikan Perpolisian Masyarakat. Sehingga dengan uraian tersebut diatas, penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian tentang peran Babinkamtibmas sebagai implementasi Perpolisian Masyarakat dalam penyelenggaraan tugas keamanan dan ketertiban di Polres Langkat.

II. Permasalahan Penelitian
Salah satu tantangan utama Polri ke depan adalah menciptakan polisi masa depan yang mampu secara terus menerus beradaptasi dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat. Polisi harus dapat menjadi mitra masyarakat. Memahami atau cocok dengan masyarakat, membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat. Sehingga Polri melalui peran Babinkamtibmas sebagai bentuk implementasi perpolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas keamanan dan ketertiban khususnya di wilayah hukum Polres Langkat, mampu membangun interaksi sosial yang signifikan dengan masyarakat baik dalam tataran manajemen maupun operasional.
Peran Babinkamtibmas dalam tataran manajemen harus mampu memahami bidang manajerial meliputi perencanaan, pengorganisasian, mengarahkan dan mengontrol pelaksanaan perpolisian masyarakat. Sedangkan dalam tataran operasional, peran Babinkamtibmas harus mampu memberikan masukan setiap keputusan dalam persoalan yang terjadi di masyarakat untuk menemukan solusi sebagai bentuk pelayanan terbaik yang efektif dan efisien.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis menentukan permasalahan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana peran Babinkamtibmas sebagai implementasi perpolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas keamanan dan ketertiban di Polres Langkat ?
2. Bagaimana implementasi perpolisian masyarakat yang dilaksanakan oleh Babinkamtibmas pada tataran manajemen maupun operasional dalam penyelenggaraan tugas keamanan dan ketertiban di Polres Langkat ?
3. Strategi apa yang harus dilakukan dalam menghadapi kendala implementasi perpolisian masyarakat di Polres Langkat ?

III. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang peran Babinkamtibmas sebagai bentuk implementasi Perpolisian Masyarakat dalam melaksanakan tugas keamanan dan ketertiban di wilayah hukum Polres Langkat. Selain itu, penelitian ini bertujuan memberikan gambaran tentang implementasi Perpolisian Masyarakat yang dilaksanakan oleh Babinkamtibmas pada tataran manajemen maupun operasional. Kemudian penelitian ini juga menggambarkan suatu strategi yang harus dilakukan dalam menghadapi kendala implementasi perpolisian masyarakat di Polres Langkat.
Sedangkan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara praktis terhadap pimpinan satuan wilayah sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan berkaitan peran Babinkamtibmas sebagai bentuk implementasi Perpolisian Masyarakat dalam melaksanakan tugas keamanan dan ketertiban di wilayah hukum Polres Langkat. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat memberikan manfaat secara teoritis yaitu sebagai bahan kajian dan evaluasi terhadap pengembangan Ilmu Kepolisian dalam mengimplementasikan Perpolisian Masyarakat.
IV. Kajian Kepustakaan Konseptual
Menurut Cooper sebagaimana dikutip John W. Creswell, tinjauan pustaka memiliki beberapa tujuan utama yaitu : menginformasikan kepada pembaca hasil-hasil penelitian lain yang berkaitan erat dengan penelitian yang dilakukan saat itu, menghubungkan penelitian dengan literatur-literatur yang ada, dan mengisi celah-celah dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Sedangkan dalam penelitian ini, penulis memperoleh referensi yang relevan dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Febriyanto Siagian, mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Indonesia Kajian Ilmu Kepolisian tahun 2010 dengan judul tesis “Kemampuan Petugas Polmas Dalam Melaksanakan Tugas Pemolisian Di Polres Simalungun”.
Kemudian untuk memahami masalah penelitian dan mengoperasionalkan serta pengumpulan data di lapangan dalam memperoleh literatur-literatur yang ada, penulis menggunakan teori-teori dan konsep-konsep yang ada kaitannya dengan sebagai berikut :
a. Teori
1) Peran dan status.
Menurut Paul B. Horton, peran adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status tertentu dan status adalah kedudukan seseorang dalam sekelompok atau kedudukan kelompok dalam kaitannya dengan kelompok lain. Kaitannya dengan tugas Polri khususnya Babinkamtibmas yaitu dalam memahami tokoh masyarakat perlu diketahui peran dan statusnya dalam masyarakat dalam rangka pemberdayaan tokoh masyarakat untuk membantu tugas-tugas kepolisian.
2) Interaksi sosial
Menurut Soerjono Soekanto, interaksi sosial merupakan inti dari proses sosial yang merupakan hubungan timbal balik antara berbagai bidang kehidupan yang mencakup bidang ekonomi, sosial, hukum dan Hankam. Interaksi sosial secara sederhana berarti proses hubungan timbal balik antara manusia sebagai individu, antara kelompok dengan masyarakat maupun hubungan individu dengan kelompok. Bila dikaitkan dengan tugas polisi, terkadang cukup sulit menggabungkan dengan pola interaksi yang nyata terhadap pola interaksi yang dikehendaki oleh norma-norma yang terkandung didalam peraturan. Bila telah terjadi interaksi tersebut, petugas dihadapkan pada suatu pilihan pola interaksi yang sering bertentangan dengan yang diharapkan.
3) Kerjasama
Menurut Roucek dan Warren sebagaimana dikutip Abdul Syani, kerjasama berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama dan merupakan suatu proses yang paling dasar. Kerjasama merupakan suatu bentuk proses sosial, dimana didalamnya terdapat aktifitas tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami terhadap aktifitas masing-masing. Anggota polisi tidak dapat bekerja sendiri tanpa bantuan atau partisipasi masyarakat. Sehingga dibutuhkan suatu bentuk kerjasama antara polisi dan masyarakat, karena masing-masing pihak saling bertukar jasa yaitu informasi melalui koordinasi dan mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama berusaha mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.
4) Komunikasi
Menurut Harold Laswell sebagaimana dikutip Onong Uchyana, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melaui media yang menimbulkan efek tertentu. Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain. Berkaitan dengan tugas polisi, kemampuan komunikasi sangat penting terutama dikaitkan dengan tugas Babinkamtibmas yang bertugas melakukan pembinaan dan membangun kemitraan dengan para tokoh, masyarakat sekitar dan instansi lainnya. Keberhasilan tugas sangat ditentukan kemampuan dalam membangun komunikasi. Tidak kalah pentingnya dalam organisasi sendiri. Komunikasi yang baik antara pimpinan dan bawahan serta antar anggota sangat menentukan dalam keberhasilan tujuan organisasi.

b. Konsep
1) Implementasi
Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab, Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu) (Webster dalam Wahab, 2004:64).
Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan. Menurut penulis, implementasi adalah suatu proses untuk memastikan apakah suatu kebijakan atau program sudah terlaksana/tercapai sesuai dengan kebijakan atau program yang telah direncanakan.
2) Perpolisian Masyarakat
Dalam Peraturan Kapolri No. 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, Perpolisian Masyarakat diterjemahkan sebagai community policing. Dalam Pasal 1 angka 7, perpolisian masyarakat adalah penyelenggara tugas kepolisian yang mendasari kepada pemahaman bahwa untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin dilakukan oleh Polri sepihak sebagai subjek dan masyarakat sebagai objek, melainkan harus dilakukan bersama oleh polisi dan masyarakat dengan cara memberdayakan masyarakat melalui kemitraan polisi dan warga masyarakat, sehingga secara bersama-sama mampu mendeteksi gejala yang dapoat menimbulkan permasalahan di masyarakat, mampu mendapatkan solusi untuk mengantisipasi permasalahannya dan mampu memelihara keamanan serta ketertiban masyarakat.
Perpolisian Masyarakat merupakan konsep yang menekankan kemitraan yang sejajar antara polisi dan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk permasalahan yang muncul di masyarakat. Babinkamtibmas selaku pengemban tugas Perpolisian Masyarakat harus mampu menerima dan memberikan solusi terhadap segala keluhan masyarakat yang berpotensi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.

3) Diskresi Kepolisian
Menurut Thomas J. Aaron sebagaimana dikutip DPM. Sitompul, diskresi kepolisian adalah suatu wewenang yang diberikan kepada polisi untuk mengambil keputusan dalam situasi tertentu yang membutuhkan pertimbangan tersendiri dan menyangkut masalah moral serta terletak dalam garis batas antara hukum dan moral. Diskresi sangat dibutuhkan oleh petugas kepolisian, khususnya Babinkamtibmas yang bertugas di lapangan dalam menghadapi masyarakat yang banyak permasalahan kompleks. Faktor-faktor yang mempengaruhi diskresi adalah pendidikan petugas, pengalaman bertugas, mental petugas, kelelahan petugas dan sikap perilaku dari si pelanggar hukum.
Diskresi merupakan pilihan tindakan bagi seorang petugas polisi dalam menghadapi suatu situasi yang menghendakinya melakukan suatu tindakan. Diskresi merupakan suatu keputusan atau tindakan kepolisian yang dengan sadar dilakukan oleh petugas kepolisian untuk melakukan atau tidak melakukan kewajiban/tugasnya selaku penegak hukum berdasarkan alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hukum itu sendiri. Oleh karenanya diskresi selau berkaitan denganpengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan untuk pengambilan keputusan, kekuasaan atau kewenangan untuk mengambil tindakan apapun yang dianggap paling bijaksana olehnya dan dapat dipertangungjawabkan. Sehingga tindakan diskresi bagi anggota Babinkamtibmas sangat penting dilaksanakan dan harus didasari dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
4) Keamanan dan ketertiban
Dalam pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa keamanan dan ketertiban adalah kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman yang mengdung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat yang menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

V. Metode Penelitian
Untuk mendekati pada objek yang diteliti, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara mendalam terhadap peran Babinkamtibmas sebagai implementasi Perpolisian Masyarakat dalam penyelenggaraan tugas keamanan dan ketertiban di Polres Langkat.
Penelitian kualitatif adalah penelitian eksploratif yang mempunyai proses yang lain daripada penelitian kuantitatif. Jika metode kuantitatif dapat memberikan gambaran tentang populasi secara umum, maka metode kualitatif dapat memberikan gambaran khusus terhadap suatu kasus secara mendalam yang jelas tidak diberikan oleh hasil penelian dengan metode kuantitatif. Sehingga penulis melakukan penelitian yang bersifat deskriptif yang berisikan laporan penelitian yang mendalam dan lengkap mengenai objek penelitian tentang implementasi Perpolisian Masyarakat yang dilaksanakan oleh Babinkamtibmas di wilayah hukum Polres Langkat.

VI. Sumber Data, Tehnik Pengumpulan Data, dan Tehnik Analisa Data
Dalam penelitian kualitatif, data merupakan sumber teori atau teori berdasarkan data. Kategori-kategori dan konsep-konsep dikembangkan oleh peneliti di lapangan. Data lapangan dapat dimanfaatkan untuk verifikasi teori yang timbul di lapangan dan terus menerus disempurnakan selama proses penelitian berlangsung yang dilakukan secara berulang-ulang. Sumber data dari penelitian ini diperoleh secara langsung dari hasil wawancara terhadap petugas Babinkamtibmas dan masyarakat yang dikategorikan sebagai data primer. Sedangkan data sekunder diperoleh dengan mempelajari buku-buku/literatur, majalah, dokumen, artikel, internet dan tulisan para sarjana yang berkaitan dengan penelitian ini.
Adapun yang dijadikan sebagai obyek penelitian atau yang disebut unit analisis sebagai berikut :
a. Kapolres Langkat.
b. Wakapolres Langkat.
c. Kabagops Polres Langkat.
d. Kasat Binmas Polres Langkat dan para Perwira Binmas Polres Langkat.
e. Para Kapolsek Sejajaran Polres Langkat
f. Para Personel Babinkamtibmas.
g. Pejabat pemerintah daerah.
h. Tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan masyarakat lainnya.

Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan melakukan pengamatan terlibat, wawancara, dan pemeriksaan dokumen. Pengamatan terlibat yang akan dilakukan penulis dengan cara melakukan pengamatan terhadap petugas Babinkamtibmas yang melakukan interaksi dengan individu atau kelompok masyarakat. Selain itu, penulis melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan petugas Babinkamtibmas bersama masyarakat, sehingga diketahui peran petugas Babinkamtibmas dan diketahui partisipasi masyarakat dalam implementasi perpolisian masyarakat.
Wawancara yang akan dilakukan penulis terhadap unit analisis sebagaimana yang telah diuraikan di atas untuk mengetahui kebijakan dan pemahaman yang diberikan oleh pimpinan Polres kepada jajarannya terkait pelaksanaan Perpolisian Masyarakat, sehingga akan diketahui sejauh mana kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki khususnya petugas Babinkamtibmas. Sedangkan wawancara terhadap pejabat pemerintah daerah dan para tokoh masyarakat diharapkan akan diketahui pemahaman, partisipasi dan penilaian masyarakat atas implementasi Perpolisian Masyarakat.
Pemeriksaan dokumen yang dilakukan penulis adalah dengan mengumpulkan dokumen-dokumen berupa produk-produk aturan dan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pimpinan Mabes Polri terhadap jajarannya berkaitan dengan implementasi Perpolisian Masyarakat. Kemudian dokumen tersebut dipelajari untuk mengetahui apakah aturan dan kebijakan yang telah dikeluarkan telah diimplementasikan pada tingkat satuan dibawahnya, khususnya Polres Langkat dan jajarannya.
Tehnik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan manganalisis hasil wawancara para narasumber melalui reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.

Daftar Pustaka

Buku :
Abdul Syani, Sosiologi : Skema, Teori dan Terapan, Bumi Aksara, Jakarta, 2002.
DPM. Sitompul, Beberapa Tugas dan Wewenang Polri, Cetakan kedua, Divisi Binkum Polri, Jakarta, 2004.
Farouk Muhammad dan Djaali, Metodologi Penelitian Sosial, PTIK Press, Jakarta, 2005.
John W. Creswell, Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Edisi Ketiga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1990.
Onong Uchyana, Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek, Rosda Karya, Bandung, 1998.
Paul B. Horton, Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 1987.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Cetakan kedua, Rajawali Pers, Jakarta, 1982.

Bahan Perkuliahan :
Farouk Muhammad, Menjawab Perkembangan Situasi Keamanan Dengan Mengefektifkan Polmas, Bahan Materi Kuliah Yang Disampaikan Kepada Mahasiswa Pasca Sarjana (S2) STIK-PTIK Angkatan I, tanggal 10 Januari 2012.

Internet :
Forumkami.net, Pengertian Implemantasi Menurut Para Ahli, diakses dalam http://www.forumkami.net/pendidikan/215357-pengertian-implementasi-menurut-para-ahli.html, pada tanggal 24 April 2012.