SEBAGAI

FENOMENA TENAGA KERJA WANITA SEBAGAI OBYEK PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)

FENOMENA TENAGA KERJA WANITA
SEBAGAI OBYEK PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
oleh :
depri

Pendahuluan
Perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi perhatian luas di Indonesia bahkan seluruh dunia yang sering dilansir melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik. Maraknya issue perdagangan orang diawali dengan semakin meningkatnya pencari kerja baik laki-laki maupun wanita bahkan anak-anak yang tidak luput berkeinginan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Kejahatan ini dilakukan oleh berbagai kelompok besar dan kecil (terorganisir), baik yang terjadi di dalam suatu negara maupun yang melintasi batas negara. Hal ini disebabkan perdagangan orang kini merupakan industri paling menguntungkan diantara berbagai kejahatan transnasional lainnya, yaitu trafficking of drugs and arms. Sehingga PBB melakukan pembentukan instrumen Internasional pada tanggal 15 November 2000 di Palermo yang menghasilkan protokol PBB untuk melawan kejahatan terorganisir tersebut.
Perdagangan Orang adalah kejahatan yang memangsa mereka yang lemah secara fisik, emosional atau ekonomi, dan mengeksploitasi aspirasi dari mimpi-mimpi mereka yang tidak berdosa, maka tidak akan terjadi kekurangan calon korban, terutama dari kelompok masyarakat marjinal dan sedang berkembang. Kondisi seperti ini dimamfaatkan oleh sindikat kejahatan perdagangan orang menjadi suatu bisnis yang illegal karena adanya anggapan, bahwa korban tidak seperti halnya barang yg habis sekali dipakai seperti narkoba. Korban layaknya merupakan komoditi manusia yang dapat dijual, dibeli dan diperlakukan secara kejam berulang kali untuk meningkatkan marjin keuntungan.
Fenomena korban perdagangan orang di Indonesia adalah TKI yang umumnya adalah kaum wanita tidak memiliki keterampilan, berasal dari pedesaan dengan tingkat pendidikan yang rendah dan tidak banyak memiliki pilihan selain menjadi tenaga kerja di luar negeri. Berbagai penyebab yang mendorong terjadinya hal tersebut, diantaranya yang dominan adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan. Dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Namun para tenaga kerja ini tidak dilindungi peraturan tenaga kerja di Indonesia maupun negara tujuan. Karena para tenaga kerja wanita ini bekerja di rumah pribadi para majikan mereka, tersembunyi dari pengamatan masyarakat, maka keadaan mereka seperti ini menjadikan posisi rentan berupa kekerasan dan eksploitasi.
Sejumlah studi menemukan bahwa dibandingkan dengan tenaga kerja dari negara lain, jumlah tenaga kerja Indonesia yang mengalami praktek perbudakan dan perdagangan orang mencapai intensitas lebih tinggi. Tenaga kerja Indonesia umumnya dikenakan biaya yang sangat tinggi oleh badan penyalur tenaga kerja swasta maupun pemerintah, yang mencapai 30%-50% dari total pendapatan dengan masa kontrak selama dua tahun. Tingginya biaya ini menyebabkan rendahnya upah yang diterima oleh tenaga kerja Indonesia karena harus melunasi hutang yang terhitung sejak penerimaan hingga pengiriman. Lebih lanjut karena para tenaga kerja tidak mendapatkan informasi yang cukup, tidak mendapatkan pelayanan dan pelatihan dalam tugas mereka ke luar negeri, walaupun hal tersebut disertakan dalam biaya yang harus mereka bayar. Sehingga tahun 2005, ILO Global Report on Forced labour memperkirakan hampir 2,5 juta orang dieksploitasi melalui perdagangan orang menjadi buruh di seluruh dunia, dan lebih disetengahnya berada di wilayah Asia dan Pasifik.
Perdagangan orang menjadi salah satu persoalan yang dihadapi oleh Indonesia. Untuk mengatasi tindak pidana perdagangan orang, pemerintah meratifikasi protokol PBB tersebut dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTTPO). Lahirnya Undang-undang PTPPO ini diharapkan membawa harapan baru dan tantangan bagi aparatur penegak hukum dan pemerhati terjadinya tindak pidana perdagangan orang, untuk kembali memperhatikan dan mempelajari unsur-unsur dan system perlindungan hukum (terutama bagi saksi korban) dalam tindak pidana perdagangan orang.
Akibat dari karakteristik tindak pidana perdagangan orang tersebut yang didukung dengan produk undang-undang, faktanya bahwa kasus-kasus seperti ini bagaikan fenomena gunung es dan sulit ditegakkan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, pertama UU PTPPO memiliki konsekuensi yuridis yang luas (terikat banyak undang-undang), seperti UU Perlindungan Anak, UU Imigrasi, KUHP, UU TKI, UU Tenaga Kerja, UU Sistem Administrasi dan Kependudukan, UU Penempatan TKI di Luar Negeri dan lain-lain. Kedua, pemahaman yang kurang dan tidak seragam diantara aparat penegak hukum. Ketika kejadian antar wilayah, persoalan lokus kejadiannya yang menjadi hambatan. Dan ketika peristiwa dalam satu wilayah dianggap tidak ada perpindahan, padahal ada jelas perpindahan dan transportasi. Sehingga pelaku tidak terlibat dalam seluruh proses perdagangan yaitu merekrut, memindahkan, menampung dan menerima. Akibatnya agenda penanganan sangat ditujukan kepada para penegak hukum dan instansi terkait secara komperhensif dan integral dalam mencegah dan melindungi kejahatan perdagangan orang. Sehingga tulisan ini mencoba menguraikan tentang bagaimana fenomena tenaga keja Indonesia sebagai obyek perdagangan orang dengan merujuk pada munculnya berbagai fenomena diatas dan upaya pencegahan yang dilakukan aparat penegak hukum khususnya Polri.
Instrumen Hukum Yang Berhubungan Dengan Perdagangan Orang
Sebelum undang-undang tindak pidana disahkan beberapa waktu lalu, pengertian tindak pidana orang yang paling umum dan paling banyak digunakan adalah pengertian dari protokol PBB untuk mencegah, menekan dan menghukum pelaku perdagangan orang. Pengertian perdagangan orang menurut protokol PBB pada Convention Against Transnational Organized Crime yang diselenggarakan di Palermo Italy tahun 2000 adalah “the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payment or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purpose of exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.”
Sedangkan dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Pidana Perdagangan Orang tidak jauh berbeda dengan rumusan dari protocol PBB dan lebih rinci atau mencakup ruang lingkup tindak pidana perdagangan dari rumusan KUHP. Dalam pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa perdagangan orang adalah “Tindakan perekrutan, pengankutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau member bayaran atau memfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar Negara, untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Pengertian diatas tidak hanya menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang, tetapi juga kondisi eksploitasi terkait ke dalam orang yang diperdagangkan. Dari pengertian tersebut ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan, yaitu ;
a. Proses tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang.
b. Cara, yaitu menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang-orang.
c. Tujuan atau maksud, yaitu tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup setidaknya ekspolitasi pelacuran dari orang lain atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan pengambilan organ tubuh.

Penjelasan unsur-unsur perdagangan orang yang dimaksud adalah 1). Proses, apakah seorang yang menjadi korban perdagangan orang melalui direkrut, ditransportasi, dipindahkan, ditampung, atau diterimakan ditujuan. 2). Cara, apakah seorang korban tersebut mengalami tindakan diancam, dipaksa, diculik, korban pemalsuan, ditipu atau menjadi Korban penyalahgunaan kekuasaan. 3). Tujuan (eksploitasi), apakah korban tereksploitasi seperti pelacuran, bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, praktek-praktek lain dari perbudakan, atau Pengambilan organ-organ tubuh. Sehingga berdasarkan uraian pada unsur-unsur diatas, jika salah satu faktor dari ketiga unsur diatas terpenuhi, maka terjadilah perbuatan perdagangan orang. Persetujuan dari korban berkenaan dengan eksploitasi yang menjadi tujuan dari perdagangan orang tersebut dikesampingkan (diabaikan) dan tidak berarti, bilamana cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam pengertian diatas telah digunakan.
Dalam Pasal 1 butir (7) UU No. 21 tahun 2007, eksplotasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Makna tujuan untuk mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi masih membingungkan dikalangan para ahli hukum pidana karena tidak relevan lagi dengan dengan cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam definisi diatas. Kemudian sering terjadi alasan bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang bahwa para korban telah setuju atau adanya persetujuan dari korban atau korban mau dan sepakat untuk ikut. Sehingga dipertegas dalam pasal 26 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTTPO bahwa persetujuan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana tersebut. Unsur tujuan ini juga menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang sudah dirumuskan dan tidak harus menimbulkan akibat.
Inti dari tindak pidana perdagangan orang ini, hampir sering disalahartikan dengan penyelundupan manusia. Padahal secara substansi maupun perbuatan memiliki karakter yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari persetujuan, eksploitasi, lintas batas negara dan keuntungan komersial yang diperoleh. Perbedaan perdagangan orang (Human Trafficking) dan penyelundupan orang (People Smuggling), yaitu :
Perbedaan Perdagangan orang Penyelundupan orang
Persetujuan Tidak adanya persetujuan korban. Migran sadar dan setuju untuk diselundupkan ke luar negeri.
Eksploitasi Hubungan antara trafficker dan korban terus berlanjut dan menghasilkan keuntungan bagi trafficker. Hubungan antara smuggler dan migran berakhir setelah mogran memasuki wilayah tujuan.
Lintas Batas Negara Tidak selalu berupa upaya melintasi batas negara (bisa juga terjadi di dalam negeri). Selalu berupa upaya melintasi batas negara secara illegal.

Keuntungan Komersial Keuntungan trafficker bersumber dari eksploitasi atas korban. Keuntungan smuggler berasal dari pembayaran migran untuk mengantarkan mereka.

Fenomena terjadinya perdagangan orang
Perdagangan orang merupakan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) berupa penderitaan fisik dan mental korban, tertular penyakit menular dan menghilangkan masa depan. Perdagangan orang merupakan tindakan tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah atau antar Negara, pemindahan tangan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara, dengan acara ancaman atau penggunaan kekerasan verbal atau fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan, memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran, eksploitasi seksual, buruh migran, legal maupun illegal, adopsi anak, pekerja jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, industri pornografi, pengedar obat terlarang, pemindahan organ tubuh serta eksploitasi lainnya, atau untuk tujuan lain yang sejenis dengan untuk maksud memperoleh keuntungan bagi diri sendiri dan atau kelompok orang tertentu.
Maka beberapa akar masalah diatas menjadi fenomena dari tindak pidana perdagangan orang di Indonesia dikategorikan sebagai perbuatan illegal. Tetapi para pelaku karena hanya mementingkan perolehan keuntungan yang sangat besar dan adanya pemikiran pelaku bahwa korban tidak pernah kadaluarsa (mengenal habis pakai), telah membuka celah merebaknya kejahatan perdagangan orang. Faktor kemiskinan dan tidak tersedianya lapangan kerja di pedesaan telah mendorong kaum perempuan bahkan anak-anak untuk mencari pekerjaan di kota bahkan sampai ke luar negeri. Kurangnya pendidikan dan terbatasnya informasi yang dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang.
Faktor-faktor yang membawa terjadinya perdagangan orang sangat berkaitan antara satu sama lainnya sesuai dengan adanya permintaan akan tenaga kerja yang dapat dieksploitasi. Namun penyebab dari perdagangan orang tersebut berdasarkan teori ekonomi klasik yaitu adanya permintaan dan penawaran, dimana penawaran tersebut merupakan penyedia korban. Adapun faktor-faktor terjadinya perdagangan orang tersebut sebagai berikut :
a. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi menjadi penyebab terjadinya perdagangan orang yang dilatarbelakangi kemiskinan dan lapangan pekerjaan yangtidak ada atau tidak memadai dengan banyaknya jumlah penduduk, sehingga kedua hal ini yang menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan meskipun harus ke luar daerah asalnya atau bahkan ke luar negeri dengan resiko yang tidak pernah dibayangkan oleh seorang korban perdagangan orang.
Namun kemiskinan bukan satu-satunya indikator penyebab kerentanan seseorang terhadap perdagangan orang. Karena masih ada jutaan penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan tidak menjadi korban perdagangan orang. Bahkan sebaliknya, ada juga penduduk Indonesia yang relatif lebih baik dan tidak hidup dalam kemiskinan malah menjadi korban perdagangan orang. Hal ini disebabkan penduduk tersebut ingin mencari pekerjaan bukan semata karena tidak mempunyai uang, tetapi ingin memperbaiki keadaan dan menambah kekayaan secara materiil yang membentuk pola hidup materialistis dan konsumtif. Biasanya para orang tua yang tergolong materialistis, maka terhadap anak perempuannya yang telah dibesarkan merupakan cara yang ditempuh sebagai balas jasa atau dianggap suatu bentuk pengabdian kepada orang tuanya. Ketika dianggap lazim, maka anak tersebut akan menjadi korban perdagangan orang.
Persoalan ekonomi menjadi alasan utama terjadinya perdagangan perempuan. Seperti yang dikutip Sulistyowati Irianto terhadap yang diungkapkan oleh Datu Tumenggung (dalam wieringa) bahwa “kondisi ekonomi, perceraian sepihak dan poligami telah mendorong perempuan jatuh ke pelukan tangan-tangan orang-orang yang mencari penghidupan dengan membujuk gadis-gadis yang lugu.”

b. Faktor ekologis
Karakteristik kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban perdagangan orang adalah keluarga miskin dari daerah pedesaan atau kawasan kumuh di perkotaan yang memaksakan diri ke luar daerah hingga ke luar negeri untuk bekerja walaupun berbekal kemampuan yang sangat terbatas dan informasi yang terbatas.
Kepadatan penduduk di Indonesia yang sangat bervariasi, terdapat daerah-daerah yang jarang dihuni dan kurang berkembang seperti di daerah pulau Kalimantan, Papua (Irian Jaya), Sulawesi dan lain-lain dimana penduduknya masih mencari nafkah sebagai petani, berladang dan nelayan. Kemudian didukung letak Indonesia yang sangat strategis dan mendukung dalam kegiatan perdagangan orang karena banyak terdapat pelabuhan kapal laut dan pelabuhan udara serta berbatasan dengan negara lain. Sehingga keinginan mencari pekerjaan dengan hasil yang lebih baik menyebabkan para penduduknya rela mencari pekerjaan dengan bentuk apapun.
c. Faktor Sosial Budaya
Keragaman budaya dimanifestasikan dalam banyak macam suku bangsa, tradisi, dan pola pemukiman yang kemudian menghasilkan keragaman gugus budaya dan sosial. Secara keseluruhan, pola keturunan paling umum di Indonesia adalah pola bilateral, dengan patrilineal sebagai pola keturunan kedua paling lazim, tetapi ada banyak variasi. Dalam masyarakat terdapat sedikit kesepakatan dan lebih banyak menimbulkan konflik kebudayaan yaitu menjelaskan kaitan antara konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat dengan kejahatan yang timbul. Norma yang dipelajari oleh setiap individu, diatur oleh budaya dimana individu itu berada. Dalam suatu masyarakat yang homogenyang sehat, hal tersebut dilakukan dalam jalur hokum dan ditegakkan oleh anggota masyarakat, mereka menerima norma itu sebagai suatu hal yang benar. Bila hal ini tidak terjadi, maka akan timbul konflik budaya.
Tidak saja konflik budaya, kejahatan juga akan muncul yang disebabkan oleh faktor sosial. Seperti konflik sosial yang terjadi di daerah Papua antara masyarakat dengan pemerintah pusat akibat adanya kebijakan transmigrasi yang mengakibatkan ketegangan antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain. Maka konflik tersebut mengakibatkan kekerasan dan terusirnya penduduk transmigran dari tempat mereka. Oleh karena itu, penduduk transmigran yang tadinya mempunyai harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan kekuasaan yang kecil, mungkin lebih rentan terhadap perdagangan orang. Karena dalam praktiknya, proses migran ini dilakukan dalam berbagai bentuk modus penipuan yang selanjutnya dibawa ke Negara lain dengan tujuan diperdagangkan secara paksa dan biasanya disertai dengan ancaman kekerasan.

d. Ketidakadaan keseteraan gender
Banyak penelitian yang dilakukan bahwa banyak wanita yang menjadi korban perdagangan orang, hal ini disebabkan wanita dalam masyarakat terjadi perkawinan dalam usia muda yang dijadikan cara oleh orang tua untuk keluar dari kemiskinan.perkawinan di usia muda tersebut mendorong wanita memasuki eksploitasi seksual komersial, karena pertama, tingkat kegagalan pernikahan seperti ini sangat tinggi yang akibatkan perceraian, sehingga harus mencukupi kebutuhan sendiri dengan tidak berbekal pendidikan dan keterampilan, akhirnya cenderung memasuki dunia pelacuran sebagai salah satu cara yang potensial untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibatnya rentan terhadap perdagangan orang yang akan menimpa wanita tersebut. Kedua, pernikahan usia muda mengakibatkan ketidaksiapan seorang wanita menjadi orang tua, sehingga anak yang dilahirkan rentan tidak mendapat perhatian karena sang ibu telah tereksploitasi guna mencukupi kebutuhan si anak tersebut. Akibatnya sang anak yang telah beranjak remaja, juga rentan terhadap eksploitasi seks komersial. Ketiga, adanya ketidaksetaraan antara laki-laki dan wanita yang membuat wanita terpojok dan terjebak pada persoalan perdagangan orang. Contohnya, wanita yang mengalami perkosaan maka sikap dan respon masyarakat umumnya tidak berpihak kepada wanita tersebut. Perlakuan seperti ini membuat wanita terdorong memasuki dunia eksploitasi seks komersil.
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang baik bagi wanita hanya dirasakan oleh golongan menengah ke atas, sementara golongan bawah yang berada di pedesaan atau pemukiman kumuh masih terbatas. Kondisi ini ditambah dengan masih adanya pemahaman di masyarakat kalau wanita tidak udah sekolah yang tinggi karena pada akhirnya harus mengurus suami dan anak, bekerja di dapur, bahakan juga bekerja sampingan sebagai tukang cuci atau pembantu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhannya.

e. Faktor Penegakan Hukum
Penegakan hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hokum dalam mengatur dan memaksa masyarakat untuk taat kepada hokum. Penegakan hokum tidak terjadi dalam masyarakat karena ketidakserasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku. Sehingga permasalahan dalam penegakan hokum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagai berikut :
1) Faktor hukumnya sendiri, yaitu pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO belum ada mengatur tentang perlindungan korban yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak korban sebagai akibat dari perdagangan orang. Sehingga terjadi keberpihakan hokum terhadap korban yang terkesan timpang jika dibandingkan dengan tersangka.
2) Faktor penegak hukum, penegak hukum lebih sering memperlakukan korban sebagai pelaku tindak pidana dan terdapat kecenderungan yang menunjukkan bahwa korban tidak yakin akan reaksi penegak hukum terhadap yang dialami korban. Ini tidak terlepas dari kekhawatiran tidak percayanya para korban oleh penegak hukum. Hal ini terjadi karena perbedaan interpretasi dan lemahnya koordinasi antar penegak hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas, kurangnya pelatihan para penegak hukum mengenai perdagangan orang, ketiadaan prosedur baku yang khusus dalam menangani tindak pidana ini, sehingga tergantung pada persepsi dan kemampuan individu penegak hukum.
4) Faktor masyarakat, sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hokum dan aparat penegak hokum. Karena pemahaman masyarakat tentang tindak pidana perdagangan orang masih sangat rendah. Sehingga masyarakat tidak mengetahui bahwa terdapat sindikat yang sedang melakukan tindak pidana perdagangan orang dan masyarakat tidak melaporkannya kepada pihak berwajib.

Faktor-faktor yang telah diuraikan diatas merupakan penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Jika dilihat dari kenyataan yang ada bahwa faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri. Dengan kata lain, faktor-faktor tersebut berhubungan satu sama lainnya hingga menghasilkan kejahatan.
Para pelaku perdagangan orang melakukan berbagai bentuk modus operandi dalam melakukan aksinya, yang pada akhirnya secara tidak sadar korban telah dikenakan tipu muslihat dari pelaku yang mencari keuntungan demi memenuhi target yang mereka. Modus operandi yang mereka pakai adalah dengan mengiming-imingi mereka untuk bekerja sebagai pelayan toko, pekerja rumah tangga, bekerja dipabrik dengan upah yang besar, bahkan ada juga calo yang berkedok sebagai duta pertukaran kebudayaan antar bangsa. Modus operandi yang terakhir ini biasanya mencari perempuan muda yang tertarik dibidang kesenian, seperti menari dan menyanyi. Mereka menjanjikan kepada calon korbannya untuk tampil dibeberapa negara sebagai duta kesenian. Untuk kasus-kasus seperti ini, seringkali mereka akan berakhir ditempat-tempat prostitusi.
Kemudian sarana yang di gunakan oleh para pelaku perdagangan orang antara lain : menggunakan jalur udara dengan pesawat, jalur laut dengan menggunakan kapal laut, jalur darat dengan kereta api, mobil, bus, truk, sampai ada yang berjalan kaki. Sedangkan metode dalam melakukan aksinya tersebut, mereka menggunakan metode secara terang-terangan (Overt) dan sembunyi-sembunyi (covert). Metode Covert yaitu menggunakan sarana kendaraan, kereta, perbatasan tanpa penjagaan (melalui jalan-jalan tikus, pelabuhan kecil dll). Metode Overt yaitu menggunakan sarana identitas atau dokumen perjalanan asli atau dipalsukan (visa palsu). Selain itu terdapat rute perjalanan tindak pidana perdagangan orang yang telah berhasil dipetakan mulai dari tempat (sumber asal korban), jalur transit dan jalur pemberangkatan, seperti yang dapat dilihat pada peta perdagangan orang berikut ini :

Sumber : Dr. Tubagus Rachmat Sentika, Spa, MARS.
Dari Rute diatas, diketahui tentang pergerakan perdagangan orang yang berasal Indonesia adalah dari daerah-daerah Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Tanjung Balai Karimun, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan (Makassar), Sulawesi Utara (Manado). Selanjutnya para calon korban di transitkan sementara di daerah Medan, Batam, Lampung, Jakarta, Pontianak dan Makassar, sebelum mereka dikirim ke negara tujuan seperti Australia, Singapore, Malaysia, Brunai, Thailand, Taiwan, Hongkong, Jepang, Korea, Kuwait, Iraq, Saudi Arabia, & Eropa. Selain dikirim ke luar negeri, banyak juga diantara para korban yang di kirim ke daerah-daerah tujuan yang berada di dalam negeri seperti DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan .

Jenis-jenis trauma perempuan korban perdagangan
Korban-korban perdagangan perempuan biasanya mengalami trauma akibat kejadian-kejadian yang telah mereka hadapi. Berbagai tindakan seperti pemaksaan, penyekapan dan penyiksaan yang selama ini mereka hadapi tentu saja menimbulkan dampak yang luar biasa terhadap perkembangan psikologi mereka. Trauma lebih dari sekedar perasaan stress atau tertekan yang dialami pada serangkaian peristiwa yang sangat menekan, terjadi secara tiba-tiba, diluar kendali korban, menghina martabat dan harkat diri korban, dan sekaligus mengancam jiwa atau kehidupan dirinya. Beberapa peristiwa traumatis yang dialami korban perdagangan perempuan sebagai berikut :

a. Pada saat perekrutan :
1) Sebagian korban telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga akibat pemukulan yang dilakukan oleh suami atau anggota keluarga lainnya. Korban juga mungkin terguncang ketika mengetahui suami, atau pacarnya mengkhianati dirinya. Kekerasan inilah yang menyebabkan perempuan lari dari rumah.
2) Perempuan sebagai korban tiba-tiba harus dibawa jauh pada suatu tempat yang tidak ia ketahui, dikelilingi oleh orang-orang yang tidak mereka kenali, dan disekap dalam sebuah tempat yang terisolasi.
3) Mereka mengalami kekecewaan yang luar biasa setelah calo atau agen yang biasanya adalah orang-orang dekat bahkan keluarganya sendiri, ternyata menelantarkan dan menjerumuskan dirinya.

b. Pada saat pemindahan atau pengiriman :
1) Biasanya mereka diangkut dengan alat transportasi yang jauh dari nyaman. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi, pada waktu yang tidak lazim (tengah malam atau menjelang fajar), dan melalui perjalanan yang sangat berat.
2) Selama perjalanan mereka tidak diberi makanan, obat, atau kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya, apalagi yang menyangkut dengan kepentingan reproduksi perempuan.
3) Selama perjalanan mereka dilarang berkomunikasi satu sama lain. Diantara mereka diciptakan suasana saling curiga dan tidak percaya. Mereka dilarang berkomunikasi dengan orang luar yang tidak mereka kenali.

c. Pada saat penempatan/bekerja :
1) Mereka kehilangan harga dirinya karena harus menjalani perkosaan demi perkosaan.
2) Tidak jarang mereka harus berhadapan dengan tamu yang gemar memukuli, memiliki gangguan kejiwaan seksual, atau memiliki penyakit-penyakit kelamin yang dapat menulari bahkan membahayakan hidup dirinya.
3) Mereka menemukan dirinya dalam keadaan terjerat hutang yang sangat banyak. Mereka terpaksa harus mengorbankan tubuhnya dieksploitasi untuk membayar hutang.
4) Mereka juga harus berhadapan dengan tukang pukul atau centeng yang tak segan menyiksa jika diketahui memiliki niat untuk melarikan diri.
5) Tak ada lagi orang yang dapat mereka percaya. Terutama ketika mereka mengetahui aparat negara atau penegak hukum yang seharusnya melindungi dirinya ternyata telah menjadi bagian dari kejahatan.

d. Pada saat pemulangan :
1) Saat pemulangan sebagai akibat dari ketidaktahuan mereka, mereka kembali terjebak oleh calo-calo. Sehingga trauma yang dirasakan oleh korban akan semakin berat.
2) Sampai di tempat asalnya, mereka menghadapi stigma yang diberikan oleh masyarakat sebagi pelacur atau orang kotor. Sehingga tak jarang mereka diusir dari tempat asal tersebut karena dianggap telah mencemari nama baik desa.

Upaya Penanggulangan TPPO Oleh Polri Melalui Pemberdayaan Polwan
Awalnya sistem peradilan pidana diperuntukkan untuk mempertahankan kontrol sosial terhadap kejahatan, memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar hukum pidana dan menetapkan keteraturan karena kejahatan dipandang sebagai pelanggaran bagi ketertiban sosial dalam ketentuan undang-undang yang berlaku. Namun setelah era 1960an, hal ini mengalami pergeseran paradigma, dimana kejahatan tidak hanya memandang terhadap konteks pelakunya tetapi berorientasi pada korban dari suatu peristiwa kejahatan tersebut. Sehingga kebutuhan untuk menyediakan perlindungan bagi korban mendapat perhatian khusus.
Dukungan dan proteksi merupakan hal yang penting bagi korban kejahatan manapun, khususnya korban perdagangan manusia. Namun dengan memandang bahwa korban perdagangan manusia lebih rentan, maka dukungan dan proteksi tersebut menjadi utama. Manusia yang diperdagangkan adalah korban sekaligus saksi yang dianggap sebagai sumber terpenting bagi proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh polisi. Tanpa adanya korban tersebut, mustahil bukti-bukti kejahatan akan terdukung bahkan sulit didapat.
Penanganan kasus perdagangan orang atau trafficking selama ini oleh polisi tampaknya tidak cukup hanya sebatas terbongkarnya sindikat perdagangan tersebut. Justru penanganan kasus trafficking ini dibutuhkan pada pasca terbongkarnya sindikat perdagangan orang, yaitu khususnya perempuan dan anak yang menjadi korban. Bagi perempuan dan anak korban trafficking, hal ini berdampak pada trauma psikologi yang tinggi. Tentu dalam hal ini, penanganan korban juga tidak mudah, karena yang dihadapi adalah masalah psikologis yang membutuhkan waktu dan ketrampilan penanganan yang baik.
Penanganan korban perdagangan orang baik perempuan dan anak sebagai korban, bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, tetapi merupakan proses yang panjang dan berkelanjutan. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Polri dalam mendukung upaya pencegahan, masih berjatuhan dan meningkat jumlahnya. Dari data Bareskrim Mabes Polri tahun 2009, kasus TPPO dari tahun 2004 hingga 2009 mengalami kenaikan secara terus menerus.
REKAPITULASI DATA PENANGANAN TPPO TAHUN 2004-2009
No Tahun Jumlah Korban
Dewasa Jumlah Korban
Anak %
Korban Anak Jumlah
Kasus Proses
1. 2004 103 10 9% 76 45 : P21
2. 2205 125 18 13% 71 40 : P21
3. 2006 486 129 21% 84 57 : P21
4. 2007 334 240 42% 177 88 : P21
5. 2008 519 88 15% 199 107 : P21
6. 2009 145 53 27% 102 41 : P21
Sumber : Bareskrim Mabes Polri.
Lahirnya UUPTPPO hingga saat ini, berdasarkan sepengetahuan penulis belum mampu menanggulangi terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Beberapa hal yang menyebabkan tidak maksimalnya penanganan oleh Polri adalah 1). Karakteristik tindak pidana perdagangan orang melintasi batas-batas negara dilakukan oleh organisasi tertutup. Sehingga kondisi ini menyulitkan polisi melakukan pengawasan baik dalam proses perekrutan hingga jalur lalulintasnya. 2). Penyidik yang belum memiliki SDM yang cukup profesional dan berlandaskan pada UUPTPPO, sehingga trafficker terhindar dari tuntutan dan jeratan hukum. 3). Kurangnya kesadaran masyarakat atau korban untuk mau melaporkan ke pihak yang berwajib atas peristiwa yang dialaminya akibat minimnya pengetahuan tentang perdagangan orang. 4). Adanya oknum aparat baik Polri maupun instansi lain yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memperlancar terjadinya tindak pidana tersebut, sehingga kondisi ini akan mendukung kesempatan para pelaku dan memunculkan pelaku baru untuk melakukan aksinya. 5). Masih tidak adanya satu persepsi diantara penegak hukum berkaitan dengan pasal demi pasal yang termuat dalam UUPTPPO.
Polri telah mengakomodir dalam penanganan korban trafficking yaitu dengan dibuatnya Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 10 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perempuan dan anak dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Satuan Reserse Kriminal yang umumnya diawaki oleh Polisi Wanita (Polwan) yang bertugas khusus dalam hal penanganan para korban, saksi atau tersangka yang melibatkan perempuan dan anak. Keberadaan Polwan disini sangat dibutuhkan karena kecenderungan psikologis perempuan dan anak korban perdagangan bisa lebih dekat untuk menceritakan kasus yang menimpa dirinya. Namun pada Perkap ini tidak mengatur secara khusus tentang penanganan korban berkaitan dengan kondisi psikologisnya. Sehingga penyidik Polwan masih secara kaku dalam melakukan interogasi terhadap korban kejahatan khususnya korban perdagangan perempuan dan anak. Pemberdayaan Polwan melalui unit PPA ini perlu dilakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait, khususnya bekerjasama dengan Bagian Psikologi Polda yang dapat membantu kinerja Polwan di Unit PPA dalam menangani korban perdagangan perempuan dan anak.
Pemberdayaan Polwan melalui Unit PPA dalam mengurai persoalan psikologi dan benang kusut di jaringan perdagangan perempuan dan anak merupakan hal yang berbeda dengan peranan sebelumnya. Kondisi di unit PPA saat ini, dengan banyaknya kasus-kasus dan pengaduan-pengaduan yang masuk setiap harinya, ketika proses penyidikan yang dilakukan menghadapi kendala, maka diselingi intimidasi dengan suara gertakan-gertakan. Sedangkan para penyidik yang juga sedang memeriksa tidak mengetahui keberadaan dan kondisi korban. Karena cara berpikirnya adalah bagaimana mengejar penyelesaian perkara, yaitu proses penyidikan tidak ada hambatan, bukti-bukti dengan mudah didapat, pemberkasan selesai kemudian diserahkan ke JPU.
Di sini terlihat betapa berbedanya pendekatan yang dilakukan oleh penyidik, sehingga diperlukan peran psikolog dalam mengetahui kondisi psikologi korban. Pengetahuan ini sangat diperlukan karena hal ini seringkali membuat penyidik salah tingkah dan tidak tahu seperti apa yang harus dihadapi korban yang saat itu sedang diinterogasi. Di satu sisi, penyidik harus tetap menjaga kesejahteraan psikologis klien yang sedang diperiksa dengan tetap menghormati dan bersikap sopan terhadapnya serta senantiasa mempraktekkan kemampuan empati yang memang senantiasa diinginkan oleh penyidik. Namun di sisi lain, kegunaan pengetahuan psikologis bagi penyidik juga dapat diketahui apakah kronologi peristiwa yang diceritakan korban bisa saja dibuat-buat dan diceritakan dengan cara yang sangat manipulatif. Sehingga dengan mengetahui kondisi psikologis korban perdagangan perempuan dan anak tersebut, selain dapat memperlancar dan mengantisipasi proses penyidikan, juga dapat membantu dan mengetahui hak-hak korban dalam pemulihan kondisi traumatisnya.

Kesimpulan
Pada tataran politis pemerintah telah menunjukkan keseriusan untuk menghapus perdagangan orang melalui telah diratifikasinya protokol PBB dan menuangkannya ke dalam peraturan nasional yaitu dengan lahirnya Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun dalam tataran praktis masih memberikan celah kepada para pelaku perdagangan orang. Celah tersebut berasal dari peraturan perundang-undangan yang secara substansi masih belum jelas dan tegas tentang upaya perlindungan terhadap korban perdagangan orang tersebut. Belum lagi penegakan hukumnya yang masih dilakukan secara partial/sektoral, sehingga dibutuhkan kerjasama aparat penegak hukum dan instansi terkait dalam penanggulangannya.
Pemerintah dipandang perlu untuk memperikan pengetahuan tentang perdagangan orang yang dimulai dari bidang pendidikan pada setiap tingkatan sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan sebagai bekal saat menempuh dunia pekerjaan. Sehingga perempuan yang umumnya saat ini menjadi obyek perdagangan orang dapat diminimalisir dari segi kuantitasnya.

Daftar Pustaka

Departeman Kehakiman AS, Kantor Pengembangan, Asisten dan Pelatihan kerja Sama Luar Negeri (OPDAT) dan kantor kejaksaan RI (Pusdiklat), Perdagangan orang dan undang-undang Ketenagakerjaan : Strategi Penuntutan yang Efektif, 2008.
Dr. Irawati Harsono, LBPP DERAP Warapsari, Perdagangan Orang, Gambaran Umum Perdagangan Orang di Tingkat Global dan Indonesia, Materi perkuliahan dalam Mata Kuliah Trafficking in Person untuk Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Kepolisian STIK-PTIK Angkatan I,
Dr. Tubagus Rachmat Sentika, Spa, MARS, Materi perkuliahan dalam Mata Kuliah Trafficking in Person kepada Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Ilmu Kepolisian STIK-PTIK Angkatan I, Jakarta, Juni 2012.
Dr. Petrus Reinhard Golose, bahan materi kuliah Transnational crime dan Radikalisme pada Mahasiswa S2 STIK Angkatan I, Rabu tanggal 25 januari 2012
Emmy LS, 2010, Implementasi UU Pembaerantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bagi Anak Korban Perdagangan, Jakarta, Jurnal Perempuan 68 (Trafficking dan Kebijakan).
Farhana, 2010, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika.
Rachmat Syafaat, 2003, Dagang orang, Cetakan 1, Jakarta : Lappera Pustaka Utama,.
Sulistyowati Irianto dkk, 2005, Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia,.
Syafira Hardani, 2004, Pentingnya Peran Negara Dalam Proses Pemulihan Korban, Jurnal Perempuan Edisi 36, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), 2008, Toolkit to Combat Trafficking in Persons, New York, USA : United Nations.

HAKIM KOMISARIS SEBAGAI PENGGANTI LEMBAGA PERADILAN. ( FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT )

HAKIM KOMISARIS SEBAGAI PENGGANTI LEMBAGA PERADILAN.
( FAKTOR PENDUKUNG DAN FAKTOR PENGHAMBAT )

PENDAHULUAN
Pra pradilan sebenarnya adalah hal yang baru bagi dunia peradilan Indonesia. Pra peradilan adalah salah satu lembaga yang diatur dalam KUHAP yang bertujuan sebagai lembaga kontrol dalam proses penegakan hukum di Indonesia khususnya hukum pidana.
Praktisi dan juga pakar hukum DR. Adnan Buyung Nasution lah yang mengusulkan dimasukan lembaga prapradilan dalam KUHAP. Hal ini dimaksudkan agar terlindunjgi hak-hak asasi tersangka dalam suatu proses penegakan hukum di Indonesia. Ide ini sebenarnya diilhami dari kelembagaan hakim komisaris dalam dunua hukum barat.Dalam perddailan Barat dan Amerika polisi sebelum melakukan upaya paksa haruslah menerima pengesahan dari hakim komisaris atau yang bisasa disebut “Warrant”.Jadi lembaga yudikatif sudah mengontrol jalanya proses penegakakan hukum sejak awal untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum yang merugikan tersangka atau orang lain.
Namun dalam prakteknya banyak terjadi ketidak puasan terhadap lembaga prapradilan ini. Ketidak puadan ini sering dilontarkan para pengacara yang merasa kliennya dirugikan. Lembaga ini dianggap tidak profesional dan berpihak pada aparat penegak hukum. Sehingga timbullah pemikiran para praktisi hukum dalam hal ini para pengacara untuk menggunakan lembaga hakim komisaraios sebagai pengganti lembaga praperadilan.
Bagaimana dalam perealisasian kelembagaan ini memerlukan pertimbangan dan pemikiran serta penelitian terlebih dahulu.

I.PRAPRADILAN SEBAGAI LEMBAGA KONTROL WEWENANG , TUJUAN, MEKANISME KELEMAHANANYA.
1.Wewenang dan tujuannya.

Sebelum kita membahas lebih lanjut perlulah kita
Memamaparkan secara singkat tentanng keberadaan lembaga prapradilan saat ini baik Funsi, tujuan dan mekanisme pelaksanaanya.Lembaga Praperadilan bukanlah lembaga peradilan tersendiri tetapi merupakan pemberian wewenang tambahan oleh KUHAP kepada pengadilan negri dari wewenang dan tugas yangh sudah ada. Jadi Praperadiulan bukanlah lembaga yang memberikan keputusan akhir pada suatu perkara. Berdasarkan struktur dan susunan peradilan maka prapradilan :
1.Kesatuan yang melekekatpada Pengadilan negri dan hanya merupkan satuan tugas.
2.Merupakan divisi dari Pengadilan Negri
3.Administrasi yustisil, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan pengadilan Negeri dan dibawah Ketua Pengadilan Negri.
4.Tata laksana fungsi yustisilnya merupakan bagian fungsi yustisial pengadilan Negri itu sendiri.

Dari gambaran tersebut di atas, eksistensi dan dan kehadiran prapradilan adalah penambahan tugas dan wewenang dari Pengadilan negri saja. Wewenang tersebut adalah memeriksa dan memutus :

Sah atau tidaknya suatu pengangkapan atau penahanan.
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
Permintaanganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Dari wewenang yang diberikan KUHAP sebenarnya Prapradilan meliliki tujuan agar upaya paksa yang merupakan kewenagnang dari aparat penegak hukum baik penyidik maupun penuntut umum dapat dilakasanakan secara bertangguing jawab menurut ketentuan hukum dan Undang-Undang yang berlaku ( due process of law ). Sehingga tidak terjadi perkosaan terhadap hak asasi tersangka.

2.Mekanisme
Tata cara proses mengajukan prapradilan diatur dalam Bab X bagian kesatu, mulai pasal 79 sampai 83. Baik saipa yang berhak. Dalam pembahasan ini hanya menitik beratkan pada tata cara pengajuan sampai keputusan dikeluarkan. Karena hal inilah yang menjadi perbedaan mendasar dengan lembaga hakim komisaris.
Tata caranya adalah sebagai berikut :
a.Permohonan ditujukan pada Ketua Pengadilan Negri.
b.Permohonan diregister dalam perkara prapradilan
c.Ketua Pengadilan segera menunjuk Hakim dan Panitera.
d.Pemeriksaaan dilakukan dengan hakim tunggal
e.Tata cara pemeriksaan Praperadilan :
1.Penetapan hari sidang 3 hari setelah diregister.
2.Pada penetapan hari sidang hakim sudah menyampaikan panggilan.Dalam waktu tujuh hari hakim harus sudah membuat keputusan Dalam peradilannya mirip peradilan perdata dimana pemohon sebagai penggugat dan termohon sebagai tergugat. Secara formal tidaklah demikian termohon /pejabat ini hanya dimintai keterangan dan hakim mempertimbangkan untuk mengambil keputusan.
3.Hakim harus mengambil keutusan dalam waktu 7 hari. Hal ini tidaklah ada batasan yang jelas mengingat di KUHAP dinyatakan tidak tegas. Jadi ada 2 alternatif :
i.Tujuh hari setelah tanggal penetapan hari sidang atau,
ii.Tujuh hari setelah hari pencatatan.
II.HAKIM KOMISARIS wewenang , TUJUAN DAN KEBERADAANNYA.

Hakim komisaris memiliki tujuan yang sama dengan lembaga praperadilan yaitu menjamin terlaksananya kewenangan penyidik dan penuntut umum dalam melaksanakan penegakan hukum sesuai undang-undang yang berlaku dan tetap memperhatikan dan menjamin hak-hak asasi daripada tersangka atau orang lain.

Namun disini keberadaan hakim komisaris yang diusulkan adalah hakim yang menetap di kantor polisi. Hakim komisaris melakukan pengesahan terlebih dahulu surat perrintah / menerbitkan surat perintah kepada penyidik sebelum melakukan upaya paksa. Dengan tujuan agar terjadi pengontrolan terhadap materil dan formil dari surat perintah dan alasan-alasannya.

III.Kendala – kendala yang timbul dengan perubahqaan dari lembaga praperadilan ke Hakim Komisaris.
Untuk mengetahui kendala dan menhindari ethnocentrisme seharusnya diadakan penelitian terlebih dahulu, namun dari pengalaman empiris kami sebagai perwira Polri yang telah berdinas kurang lebih 8 ( delapan ) tahun dapat lah ditarik beberapa kesimpulan faktor penghambat (kendala )sebagai berikut :
1.faktor Populasi dan demografi
Jumlah penduduk yang cukup banyak dan tersebar si seluruh wilayah Indonesia dan perkembangan organisasi Polri, sebagai dasar berkembangnya jumlah kesatuan Polri. Saat Ini di Indonesia :
Korserse Mabes Polri :
Polda :
Polwil / Poltabes :
Polres :
Polsek :
Semua kesatuan tersebut diatas ini memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dalam rangka penegakkan hukum. Dan dalm prosesnya sehari – hari surat perintah selama ini dapat diterbitkan tanpa mempertimbangkan waktu. Artinya Perwira atau Bintara Polri yang karena jabatannya telah diberi wewenang oleh Undang – Undang dan Peraturan Pelaksanaan untuk menerbitkan Surat – perintah dapat melakukannya kapan saja demi kepentingan penyidikan setelah mempelajari alasan diterbitkannya Surat Perintah tersebut.
2.Angka kejahatan yang cukup tinggi.
Faktor ini juga akan menjadi kendala untuk penggunaan lembaga hakim komisaris. Angka kejahatan yang cukup tinggi dan terjadinya kejahatan secara mendadak mengharuskan Polri selalu siaga selam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Perwira dan bintara Polri yang memiliki hak untuk menerbitkan surat perintah tidak perna boleh meninggalkan wilayah hukumnya. Dalam situasi bagaimanapun mereka harus siap untuk menerbitkan surat perintah. Dalam realitanya bukanlah tidak mungkin dalam situasi berduka ataupun merayakan sesuatu Perwira atau Bintara ini menanda tangani surat perintah. Apabila lembaga hakim komisaris ini dibentuk maka hakim yang ditunjuk terikat dengan situasi ini. Berarti harus ada beberapa Hakim komisaris dalam suatu kesatua Polri tersebut atau hakim subtitusi. Namun apakah seorang hakim subtitusi ini akan langsung saja mengesahkan surat perintah dari kasus yang belum diketahui sebelumnya ? Berbeda dengan Perwira Polri atau Bintara tersebut karena seluruh laporan perkembangan kasus akan bermuara kepada mereka dan lampiran laporan pelaksanaan perkembangan penyidikan kepada wakilnya atau atasannya. Sehinggaa apabila benar-benar berhalangan otomatis wewenang tersebut turun ke wakil atau naik ke atasannya.

3.Faktor sosial – Budaya

Pelayanan kepada masyarakat yang baik sampai saat ini di Indonesia masihlah jauh dari yang diharapkan. Sebagi contoh pengurusan surat tanah di BPN, KTP di kelurahan, pemasangan telepon, penerbitan SKKB dan laporan di kantor polisi, pelayanan askes di Rumah sakit dan lain-lain. Hampir diseluruh instansi pemerintah di bidang pelayanan belum bisa dikatakan baik. Selain sarana dan prasarana dalm pelayanan tersebut, faktor manusianyalah yang juga cukup berperan. Budaya merasa dibutuhkan menyebakan sense of service luntur atau bahkan hilang yang timbul adalah rasa memiliki kewenangan.

Hal inipun akan mungkin munmcul pada pribadi-pribadi para hakim yang duduk di kelembagaan hakim komisaris. Hakim komisaris ini akan melihatnya secara subjektif terhadap materil apakah cukup atau tidaknya alasan diterbitkannya surat perintah selain persyaratan formil.Budaya merasa dibutuhkan akan mempengaruhi daripada para hakim komisaris ini.Karena tanggung-jawab moral dari hakim komisaris ini akan berbeda dengan perwira atau bintara yang seorang polisi dalam hal pengungkapan suatu perkara. Sebagai contoh dalam pengesahan penyitaan dan permohonan ijin anggota polri harus mengeluarkan sedikit uang dari kantong pribadinya dan itupun membutuhkan waktu yang cukup lama.
4.Tidak ada kontrol terhadap penyalahgunaan surat perintah yang sudah disahkan.
Dalm perealisasian kelembagaan hakim komisaris maka setiap surat perintah dalam rangka upaya paksa harus mendapat pengesahan dari hakim komisaris. Namun apabila terjadi penyalah gunaan dari anggota polri baik senganja atau tidak, lembaga mana yang akan mengontrol karena konsekwensinya setelah lembaga hakim komisaris berlaku maka lembaga praperadilan harus dihapus.
Sebagai contoh : apabila surat perintah penangkapan yang diterbitkan atau yang disahkan hakim komisaris untuk tersangka “A” namun pada ekseskusi surat perintah tersebut terjadi kesalahan baik secara materiil atau formil lembaga mana yang akan mengontrol apakah hakim komisaris ini akan memperbaiki ?Apabila ini berulang-ulang maka kelembagaan hakim komisaris ini menjadi tidak terhormat.
5.SDM hakim yang memadai

Untuk duduk menjadi hakim komisaris haruslah hakim yang berpengalaman artinya dalam waktu relatif singkat seorang hakim tersebut haruslah dapat segera memutuskan untuk mengesahkan atau tidak suatu surat perintah. Ini disebakan karena angka kejahatan yang cukup tinggi dan penungkapan suatu perkara harus cepat. Institusi Polti akan menuntut ini karena desakan dari masyarakat. Masyarakat akan mempertanyakan kinerja Polri dalam pengungkapan / penyidikan suatu perkara bukan kinerja hakim komisaris.

Apabila seluruh hakim senior harus duduk dalam hakim komisaris yang berkantor di Kantor polisi maka lembaga kehakiman akan menghadapi masalah yang cukup besar dalam melaksanakan tugas pokoknya.

6.Menghambat teknis penyidikan (diperlukan Surat perintah yang cepat )

Dalam suatu penindakan tidak selalu dilaksanakan dalam suatu wilayah hukum. Sering terjadi setelah melakukan penangkapan dan di periksa di kantor polisi terdekat ternyata terjadi pengembangan jumlah tersangka atau barang bukti berkembang. Untuk penindakan ini diperlukan surat perintah, sedangkan keberadaan hakim komisaris jauh. Apakah Hakim komisaris setempat mau menerbitkan/mengesahkan surat perintah baru. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mempelajari kasus tersebut untuk memberikan alasan bagi terbitnya surata perintah ? Pada saat ini untuk pengesahan suatu surat perintah penyitaan saja membutuhkan waktu beberapa hari apakah ini tidak akan menhambat proses penyidikan. Lain halnya dengan perwira atau bintara Polri dalam suatu kasus tertentu mereka akan ikut dalam upaya paksa tersebut dan melengkapi diri dengan administrasi yang diperlukan dalam keadaan yang urgensi dengan sudah mengetahui perkara tersebut sebelumnya akan segera menerbitkan surat perintah.

7.Law as a tool of crime
Yang seharusnya adalah “ Law as a tool of justice “ namun pada kenyataanya dalam hukum modern yang memiliki tehnik yang tinggi hanya dapat dimengerti oleh orang – orang yang berprofesi dan berpendidikan hukum. Para pengacara seharusnya membantu tegaknya suatu keadilan namun tidak sedikit pengacara yang hanya bertujuan memenangkan perkara dan membebaskan kliennya dari tuntutan saja. Kelemahan-kelemahan dalam hukum dijadikan sarana untuk mencapai tujuannya teresebut. Kelemahan yang timbul dari keberadaan hakim komisaris dalam proses penegakan hukum akan menambah pemanjaan kepada pengacara. Sistem hukum dan situasi – kondisi negara Indonesia yang saat ini sudah sedemikian beratnya bagi aparat penegak hukum khususnya polisi akan menjadi semakin komlpleks dengan keberadaan hakim komisaris. Kondisi – kondisi ini akan dimanfaatkan bagi para pengacara yang tidak bisa menempatkan dirinya dalam menegakkan keadilan. Banyak contoh karena tingginya tehnik hukum modern dan terampilnya seorang pengacara, seorang tersangka terbebas dari tuntutan padahal dalam logika sederhana saja sebenarnya tersngka tersebut harus terjerat hukuman. Banyak perikatan-perikatan yang dibuat oleh pengacara yang menggunakan hukum untuk menguntungkan kliennya saja tanpa mendasari pada rasa keadilan.

IV.ALTERNATIF JALAN KELUAR.

Berdasarkan pembahasan diatas ada beberapa alternatif yang kami tawarkan dalam menyelsaikan polemik yang timbul dalam pemberlakuan lembaga praperadilan atau hakim komisaris, sebagai berikut :

1.Bagi Penyidik Polri setelah melakukan upaya paksa penangkapan dan akan melanjutkan dengan penahanan atau tidak wajib mendapat pengesahan dari Ketua Pengadilan Negri terhadap tindakannya seperti halnya surat perintah penyitaan.Dengan ketentuan selama proses pengesahan terangka yang ditahan tetap dalam tahanan Polri. Sejak saat itu kontrol lembaga peradilan sudah berjalan termasuk hari penahanan.Tidak perlu melalui proses sidang jadi kemampaun hakimlah utnuk melihat hasil pemeriksaan ( resume singkat ) dan keterangan dari pihak keluarga tersamgka, pengacara atau pihak ketiga. Terhadap kesalahan dari upaya paksa dalam penegakkan hukum maka perintah dilanjutkan atau dihentikan proses upaya paksa, rehabilitasi dan ganti rugi ditentukan oleh hakim menurut ketentuan yang berlaku secara bersamaan dengan hasil dari proses pengesahan tersebut.

2. Pada hari yang telah disepakati setiap minggu Pengadilan Negri melakukan inspeksi terhadap upaya paksa yang sudah dilakukan penyidik Polri guna mendapat pengesahan. Keterangan dari keluarga tersangka, pengacara atau pihak ketiga diserahkan 3 (tiga ) hari setelah diketahui secara resmi adanya upaya paksa tersebut

V.PENUTUP
Lembaga kontrol adalah sangat diperlukan dalam penegakkan hukum. Namun lembaga kontrol tersebut hendaknya tidak menghambat suatu proses penyidikan yang sebenarnya. Dalam semangat reformasi Polri sendiri sudah dengan bersusah payah dalam menjalankan tugas-tugasnya selain proses penegakkan hukum. Namun ini semua kembali kepada moral para penegak hukum dan para pengacara apakah akan menempatkan keadilan atau pengetahuan hukum saja sebagai dasar dalam melaksanakan tugasnya

POLA DASAR PEMBENAHAN POLRI SEBAGAI SALAH SATU KEBIJAKAN KAPOLRI JENDERAL POL PROF. DR. AWALOEDIN DJAMIN MPA

POLA DASAR PEMBENAHAN POLRI
SEBAGAI SALAH SATU KEBIJAKAN KAPOLRI
JENDERAL POL PROF. DR. AWALOEDIN DJAMIN MPA

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah lahir, tumbuh dan berkembang menjadi organisasi kenegaraan seiring dengan sejarah perjalanan negara Republik Indonesia.
Dalam perjalanan sejarahnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia telah melalu berbagai macam peristiwa, yang tidak hanya menjadi bagian dari sejarah perjalanan organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia, namun juga menjadi bagian dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Salah satu bagian dari perjalanan sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut adalah pergantian pucuk pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kapolri, yang disertai dengan berbagai macam gaya kepemimpinan dan kebijakan-kebijakan yang dikemukakan oleh para pemimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut.
Jenderal Polisi Prof Dr. Awaloedin Djamin, MPA, menjabat sebagai Kapolri pada tahun 1978 sampai dengan tahun 1982, sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia ke 8 (delapan). Dalam masa kepemimpinannya, Jenderal Polisi Prof Dr Awaloedin Djamin MPA telah mengemukakan berbagai kebijakan, diantaranya kebijakan mengenai Pola Dasar Pembenahan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kebijakan mengenai Pola Dasar Pembenahan Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut lahir sebagai wujud atas hikmah disadari dan diakui adanya kekurangan dan kelemahan dalam organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga dirasakan perlu adanya upaya perbaikan dan pembenahan. Upaya tersebut, oleh Jenderal Polisi Prof Dr Awaloedin Djamin MPA dikemukakan dalam kebijakan mengenai Pola Dasar Pembenahan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dikeluarkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, No. Pol Skep/02/1/1980, tanggal 31 Januari 1980.
Kekurangan dan kelemahan tersebut menjadi titik awal dalam menentukan langkah-langkah pembenahan, yang bertujuan untuk mencapai keberhasilan dalam mewariskan organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lebih baik kepada generasi selanjutnya.

2.Maksud dan Tujuan
Makalah ini disusun dengan maksud untuk memberikan gambaran mengenai salah satu kebijakan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam masa jabatan Jenderal Polisi Prof Dr Awaloedin Djamin, yakni mengenai Pola Dasar Pembenahan Polri, sebagai bagian dari perjalanan sejarah organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sedangkan tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai bentuk pelaksanaan tugas mata kuliah Sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam rangka mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

II. PEMBAHASAN

Pola Dasar Pembenahan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dikeluarkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, No. Pol Skep/02/1/1980, tanggal 31 Januari 1980.

Hal-hal yang melatar belakangi dikeluarkannya kebijakan mengenai Pola Dasar Pembenahan Polri tersebut adalah sebagai berikut :
1.Latar belakang, Maksud dan Tujuan serta Ruang Lingkup Pola Dasar Pembenahan Polri.
Latar belakang dikeluarkannya Pola Dasar Pembenahan Polri adalah, bahwa citra dan wibawa Polri dirasakan menurun, sehingga kurang dirasakan peranan Polri sebagai pengabdi dan pengayom masyarakat, yangdisebabkan karena menurunnya kemampuan teknis operasional khas kepolisian dan menurunnya pemberian pelayanan terhadap masyarakat yang membutuhkan.
Maksud dilkeluarkannya Pola Dasar Pembenahan Polri adalah untuk mengadakan pembenahan Polri secara menyeluruh (overall reform). Sedangkan tujuannya adalah :
a.Untuk menjadi dasar dan kebijaksanaan serta pedoman pokok dalam seluruh usaha penyempurnaan Polri yang diperlukan secara bertahap dan berkesinambungan.
b.Sebagai dasar pokok kesatuan bahasa dalam rangka kelanjutan penyempurnaan yang lebih terperinci baik yang menyangkut bidang operasional maupun pembinaan.
c.Menjadi warisan bagi generasi Polri selanjutnya.
Ruang Lingkup Pola Dasar Pembenahan Polri, antara lain meliputi :
a.Menyangkut pengarahan dan pembenahan seluruh tugas pokok, fungsi dan peranan Polri, organisasi Polri, Personil Polri, terutama dibidang diklat, hubungan dan tata cara kerja, bidang materil/logistik, bidang keuangan, pengawasan, administrasi umum, dan lain sebagainya.
b.Tugas Pokok Polri yang pada pokoknya ditetakan dengan berbagai Undang-Undang serta peraturan perundang-undangan lainnya mencakup bidang Represif, Preventif, Binmas, dan sebagai salah satu unsur ABRI, juga dibidang pertahanan serta sebagai kekuatan sosial.

2.Landasan pembenahan Polri
a.Landasan Idiil : Pancasila
b.Landasan Spirituil : Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Tribrata, Catur Prasetya, dan Catur Dharma Eka Karma.
c.Landasan Konstitusionil :
1). UUD 1945
2). Tap MPRS RI No XX/MPRS/66, tentang Memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum RI dan Tata urutan peraturan perundangan RI.
3). TAP MPRI RI No. II/MPR/1978 tentang P4 (Eka Prasetya Panca Karsa)
4). TAP MPR RI No. IV/MPR/1978 tentang GBHN
5). TAP MPR RI No. VIII/MPR/1978 tentang Pelimpahan tugas dan wewenang kepada Presiden/Mandataris MPR dalam rangka pensuksesan dan pengamanan Pembangunan Nasional.
d.Landasan Opresaional :
1). UU No. 13/1961 tentang ketentuan pokok Polri.
2). UU No. 3/PNPS/1965 tentang memperlakukan hukum pidana tentara, hukum acara pidana tentara, dan hukum disiplin bagi anggota Angkatan Kepolisian RI, dengan dirubah dan ditambah dengan UU No. 23/PNPS/1965.s/1965.
3). UU No. 9 /1978 tentang Narkotika
4). Reglement Indonesia yang diperbaharui
5). Keputusan Perdana Menteri RI No. 245/PM/1945 tentang Penunjukan Polri sebagai National Central Bureau untuk mewakili pemerintah RI dalam hubungan dengan International Police Comission.
6). Keppres RI No. 372/1962 tentang Koordinasi Kepolisian Khusus
7). Keppres RI No. 52/1969 tentang kedudukan organik dan tanggung jawab Kepolisian Negara sebagi unsur ABRI dalam Dephankam.
8). Keppres RI No. 80/1969 tentang ABRI sebagai bagian organik Dephankam beserta tugas dan tanggung jawabnya.
9). Keppres RI No. 7/1974 tentang penyempurnaan Keppres RINo. 79/1969.
10) Skep Mnhankam/Pangab No. Kep/B/17/VI/1974 tentang penyidik dn pembantu penyidik.
11) Peraturan perundangan lain sepanjang menyangkut Polri.

3.Permasalahan yang dihadapi Polri
Permasalahan yang sangat mendasar yang dihadapi Polri sehingga mendorong dikeluarkannya kebijaksanaan Pola Dasar Pembenahan Polri adalah :
a.Bahwa kemampuan teknis profesional Polri yang bersifat khas kepolisian nampak menurun, oleh karena itu maka pelaksanaan tugas pokok juga terasa menurun.
b.Sikap kurang peka dan tanggap atau responsif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat itulah sebenarnya letak kelemahan Polri yang paling mendasar.
c.Keadaan personil (terutama pendidikan dan latihan), hubungan dan tata cara kerja, keadaan materiil/logistik, dan sarana-sarana pendukung lainnya yang harus ditelitidan disempurnakan agar peningkatannya dapat dilakukan dengan lebih mantap (secara serasi dan tepat).

Kebijaksanaan mengenai Pola Dasar Pembenahan Polri diperinci sesuai dengan lingkup sasaran pembenahan dalam bidang bidang :

1. Tugas Pokok, Fungsi dan peranan Polri
Rumusan Tugas Pokok, fungsi dan peranan Polri berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, tercantum dalam :
a. UU No. 13/1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian. (Pasal 1, 2, 3, 8, 11, dan pasal 13)
b. Keputusan Menhankam/Pangab No. Kep/A/385/VIII/1970 tentang Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Kepolisian Negara Republik Indonesia. (pasal 3)
c. Keppres No. 372/1962, tentang Koordinasi Kepolisian Khusus (Pasal 1,2,3, 4).
d. Keputusan Perdana Menteri RI No. 245/PM/1945 tentang Penunjukan Polri sebagai National Central Bureau untuk mewakili pemerintah RI dalam hubungan dengan International Police Comission.
Sesuai dengan rumusan Tugas Pokok dan wewenang Polri sebagaimana diaur dalam undang-undang dan peraturan perundang-undangan tersebut, maka terlihatlah bahwa :
a.Ruang Lingkup Tugas Pokok Polri meliputi tugas-tugas di bidang :
1). Tugas Pembinaan Masyarakat
Segala usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat dalam rangka usaha ikut serta aktif menciptakan terwujudnya situasi dan kondisi yang mampu menangkal dan mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, terutama dalam mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan-peraturan negara.
2). Tugas Kepolisian Preventif
Segala usaha dan kegiatan dibidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan, khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
3). Tugas Kepolisian Represif
a). Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikanmenurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang.
b). Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang dan peraturan lain yang berlaku, untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti, yang dengan bukti-bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
4). Tugas Bantuan Pertahanan
Segala usaha dan kegiatan di bidang bantuan pertahanan dalam rangka upaya penyelenggaraan pertahanan negara berdasarkan azas Hankamrata.
5). Tugas Kekaryaan dan Bhakti ABRI
Semua kegiatan ABRI sebagai kekuatan sosial diluar bidang Hankam, dalam rangka ikut serta aktif dalam perjuangan nasional guna mencapai tujuan nasional.
Tugas pokok dalam butir 1) s/d 3), merupakan tugas pokok yang bersifat khas kepolisian, yang dalam pelaksanaannya lebih mengutamakan preventif daripada represif.
b.Dari rumusan tugas pokok Polri yang khas kepolisian tersebut, maka fungsi-fungsi kepolisian tercermin dalam kemampuan teknis kepolisian dan kemampuan pembinaan yang mendukungnya.
Penjabaran dari kemampuan teknis profesional yang khas kepolisian meliputi fungsi-fungsi antara lain, Intelpol dan Pam, Reserse, Sabhara, Lalu Lintas, Perairan dan Udara, Binmas, Brimob, Binpolsus, Binkamra, Satwa, dan lain-lain.
Sedangkan penjabaran dari kemampuan teknis pembinaan antara lain meliputi bidang personil termasuk diklat, logistik, keuangan, pengawasan, hubungan dan tata cara kerja, administrasi umum, dan lain-lain.
c.Dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok tersebut, Polri berperan sebagai :
1). Aparatur Penyidik
2). Aparatur yang mempunyai wewenang kepolisian umum
3). Polsus di daerah dimana tidak terdapat Polsus
4). Pembina teknis Kepolisian Khusus
5). Inti Pembinaan Kamtibmas khususnya Satpam dan Kamra
6). NCB Interpol Indonesia
7). Pusat Informasi Kriminal Nasional
8). Kekuatan Bantuan Keamanan
9). Alat kekuatan Sosial
10)Dan lain-lain
d.Dalam pelaksanaan tugas pokoknya di bidang represif, preventif danBinmas, Polri dalam peraturan perundangandiberikan kewenangan mengeluarkan perijinan dan surat-surat keterangan, antara lain :
1). Izin pemasukan, pengeluaran, penguasaan dan penggunaan senjata api dan amunisi, perusakan senjata api dan amunisi serta perusakan senapan angin.
2). Ijin pemasukan, pembelian, pemilikan, penggunaan, penyimpanan, pengangkutan dan pemusnahan bahan peledak.
3). Surat ijin pesta, keramaian, pertemuan, rapat, pawai dan rapat politik.
4). Surat-surat keterangan yang mengenai orang asing meliputi Surat Tanda Melaporkan Diri, Surat Keterangan Pindah, Surat Tanda Melapor bagi setiap orang yang ketempatan orang asing, Surat Keterangan Berpergian/Surat Keterangan Jalan.
5). Surat Keterangan mengenai orang asing sehubungan dengan permohonan kewarganegaraan RI.

2. Organisasi
a. Prinsip-prinsip dasar organisasi
1). Prinsip pembagian tugas dibagi habis
Tugas pokok dan fungsi serta peranan Polri terbagi habis dalam komando dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah.
2). Prinsip perumusan tugas pokok dan fungsi serta peranan yang jelas.
Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi serta peranan Polri terjamin secra jelas, sehingga tidak terjadi duplikasi dan overlapping.
3). Prinsip fungsionalisasi.
Ada unit yang secara fungsional bertanggung jawab atas suatu vidang substansif kepolisian.

4). Prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi.
Tiap unsur organisasi Polri baik secara vertikal maupun horisontal merupakan suatu keseluruhan.
5). Prinsip kontinuitas dan konsistensi.
Terdapat kontinuitas dan konsistensi dalam perumusan kebijaksanaan, perencanaan, program dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan operasional.
6). Prinsip staf umum dan prinsip jalur dan staf (directory type)
Terdapat deliniasi tugas dan fungsi antara unit-unit organisasi yang bertanggung jawab melaksanakan tugas pokok organisasi.
7). Prinsip kesederhanaan.
a). Bentuknya sederhana, disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi serta peranan yang menimbulkan beban kerja yang berlanjut.
b). Beban kerja yang berlanjut menjadi ukuran utama menentukan struktur organisasi.
c). Sedapat mungkin dicegah timblnya unit organisasi yang bersifat ekstra strukturil.
8). Prinsip Fleksibilitas.
Mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
9). Prinsip Pendelegasian wewenang yang jelas.
Mengingat luas wilayah dan sifat georafis Indonesia, perlu adanya pendelegasian wewenang kepada pejabat tingkat bawah secara efektif, kecualli terhadap hal yang pinsip.
10) Prinsip pengelompokkan tugas yang homogen.
Pengelompokkan tugas pokok Polri yang sangat luas lingkupnya, agar lebih mudah dilaksanakan dan di manage.

b. Pola Dasar dan susunan organisasi Polri :
1). Titik berat pengorganisasian secara kewilayahan.
Wilayah Republik Indonesia dibagi habis dalam kewilayahan kepolisian, tidak perlu sama dengan wilayah administrasi pemerintahan.
2). Organisasi Vertikal.
Polri diorganisasikan secara vertikal, utuh dan terintegrasi dari tingkat atas sampai ke tingkat bawah.
3). Pengorganisasian fungsi-fungsi teknis.
a). Jalur pembinaan fungsi teknis disusun secara jelas.
b). Organ-organ pengemban fungsi teknis secara berjenjang memiliki kualifikasi yang berbeda.
c). Eselon tingkat atas wajib memberikan Back-up operation terhadap jajaran dibawahnya.
4). Struktur organisasi Polri
a). Secara horisontal, diusahakan pengelompokkan fungsi yang sehomogen mungkin agar prinsip-prnsip fungsionalisasi, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dapat berjalan baik.
b). Secara vertikal, secara utuh dan terintegrasi dari tingkat atas sampai tingkat bawah, yaitu : Mabes Polri, Kodak-Kodak, Kowil-Kowil, Kores-Kores, Sektor-Sektor, Pos-Pos Polisi terdepan.
5). Bentuk organisasi Polri.
Polri merupakan suatu kesatuan yang utuh vertikal dan nasional, yang diorganisasikan dalam type staf direktur, yang tercermin dalam garis komando yang jelas.

3. Personil
a. Pokok-pokok pembinaan personil diarahkan kepada tercapainya kuantitas dan kualitas yang tepat, yang sangat erat hubungannya dengan sistem pendidikan dan latihan. Dalam Renstra II diharapkan menjadi 142.000 orang.
b. Pokok-pokok pembinaan personil Polri :
1). Ciri-ciri pembinaan personil yang khas kepolisian ditandai dengan hal-hal sebagai berikut :
a). Sistem pengangkatan/pemasukan anggota Polri pada dasarnya berlaku prinsip kompetitif dengan tujuan untuk mendapatkan calon terbaik sesuai persyaratan jabatan atau kepangkatan yang dibutuhkan.
b). Sistem pendidikan profesional kepolisian dengan prinsip siap pakai (ready for use), dengan jangka waktu pendidikan yang disesuaikan, agar setelah keluar dari penidikan sudah harus dapat terjun langsung melaksanakan tugas.
c). Sistem penugasan, penempatan atau mutasi dilakukan dengan prinsip Carrier Service with Merit System dan kebijaksanaan dalam penyesuaian Rang Promotie dan Fungsionale Promotie, sehingga dituntut adanya penugasan yang berdasarkan The rightman of the right place at the right time.
2). Hal-hal prinsip yang menyangkut hasil akhir (out put) dari pada pembinaan personil, khususnya pendidikan:
a). Personil dengan kemampuan teknis profeional kepolisian. (Sabhara, Lalu Lintas, Perairan, Udara, Brigade Mobil, Reserse kriminil/ekonomi/narkotik).

b). Personil dengan kemampuan teknis pembinaan.
(Teknik pembinaan personil dan tenaga manusia, Teknik pembinaan materil/logistik, Teknik pembinaan keuangan, dsb).

4. Hubungan dan Tata Cara Kerja
a. Tata Cara Kerja (Intern)
Keseluruhan organisasi Polri dari tingkat Mabes sampai tingkat terendah, berlaku garis-garis hubungan dan tata cara kerja secara horisontal, vertikal, dan diagonal baik di bidang operasional maupun pembinaan yang bersifat teknis fungsional sebagai berikut :
1). Antar organ yang setingkat dan sejajar, berlaku garis hubungan koordinasi dan fungsional horisontal.
2). Antara organ tingkat pusat sampai tingkat terendah secra vertikal, berlaku garis-garis sebagai berikut:
a). Garis hubungan vertikal dalam bentuk garis komando dari Mabes Polri sampai ke tingkat terendah.
b). Garis hubungan vertikal dalam bentuk pembinaanteknis fungsional.
c). Garis hubungan vertikal dari yang terbawah sapai tingkat pusat, berlaku garis pelaporan dalam rangka sistem pelaporan.
b. Hubungan Kerja (Ekstern)
Sesuai dengan UU No. 13/1961 tentang Pokok-Pokok Kepolisian Negara.
1). Hubungan kerjasama fungsional horisontal terutama dalam penegakkan hukum, untuk mewujudkan koordinasi integrasi dan sinkronisasi pelaksanaan tugas, fungsi dan peranan dengan instansi pemerintah lainnya, baik dalam fungsi represif, preventif, dan binmas.
2). Instansi atau Lembaga yang terlibat dalam kerjasamafungsional hoisontal dalam penegakkan hukum antara lain :
a). Dalam proses penyidikan, sebagai bagian dari keseluruhan fungsi represif, perlu ditingkatkan pengawasan dan koordinasi dengan Pejabat Bea Cukai, Pejabat Imigrasi, Pejabat Polisi Kehutanan, dsb.
b). Pejabat atau petugas tertentu yang dibei wewenang penyidik dan pembantu penyidik dalam rangka koordinasi dan pengawasan.
c). Dalam Proses acara pidana, peningktan hubungan kerja dengan Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan organisasi penasehat hukum.
3). Hubungan kerjasama kepolisian antar negara baik dalam wadah ICPO, Interpol, maupun kerjasama internasional kepolisian lainnya dalam bentuk kerjasama teknis kepolisian berupa Trainning, Expert, Equipment.
4). Integrasi Kamtibmas dalam Hankamnas.
a). Keseluruhan usaha dan kegiatan kamtibmas merupakan bagian integra dari usaha Hankamnas.
b). Polri sebagai bagian integral dari Hankamnas merupakan inti dari keseluruhan kekeuatan Hankamnas, yang ikut berpartisipasi aktif dibidang usaha pertahanan nasional melalui fungsi bantun pertahanan (Banhan), dan fungsi kekuatan sospol ABRI.
5). Hubungan fungsional antara Polri dengan ABRI dalam rangka pembinaan Kamtibmas.

5. Logistik
a. Pembinaan logistik dilandasi azas-azas pembinaan logistik yang berlaku universal, menyangkut materil, peralatan, fasilitas dan pelayanan yang diselenggarakan melalui siklus pembinaan logistik, melalui kegiata-kegiatan :
1). Penentuan Kebutuhan, identifikasi kebutuhan yang diperlukan guna pelaksanaan dukungan logistik dalam pelaksanaan tugas.
2). Pengadaan, dimulai dari tiadanya materiiil sampai kepada adanya materiil berbentuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
3). Penyimpanan, kegiatan penerimaan, penyimpanan dan pemeliharaan materiil dengan memperhatikan sifatnya.
4). Penyaluran, kegiatan pengeluaran materiil dari titik penyimpanan ke titik pemakai guna pemebuhan kebutuhan.
5). Pemakaian, kegiatan pemanfaatan materiil baik oleh personil secara perorangan maupun kesatuan.
6). Pemeliharaan, kegiatan mempertahankan materiil dalam suatu kondisi siap pakai.
7). Penghapusan, kegiatan pengeluaran dari daftar inventaris terhadap materiil yang tidak dapat dimanfaatkan lagi.
b. Obyek pembinaan logistik akan berupa materiil dan peralatan yang bersifat khas kepolisian, disamping obyek-obyek lain yang bersifat umum dalam bentuk fasilitas maupun pelayanan.
c. Dalam pembinaan logistik Polri perlu dipegang prinsip :
1). Ketepatan jenis, untuk menghindari materiil yang tidak sesuai dengan tugas yang dibebankan.
2). Ketepatan kualitas, untuk menghasilkan usia guna materiil yang semaksimal mungkin.
3). Ketepatan waktu, untuk menjamin terlaksananya tugas dengan baik.
4). Ketepatan tempat, untuk menjamin agar materiil dapat berfungsi sebgaimana mestinya.
5). Ketepatan jumlah, untuk menghindari pemborosan.
6). Ketepatan harga, untuk menghindari penyimpangan.
7). Ketepatan pemakaian, untuk mendapatkan manfaat materiil secara semaksimal mungkin.

6. Keuangan
a. Pembinaan keuangan Polri didasarkan kepada Jukbinku Hankam, sesuai Skep Menhankam/Pangab No. Skep/B/782/X/1971.
b. Pembinaan keuangan Polri berpedoman pada azas-azas, landasn, dan sistem yang berlaku di lingkungan Dephankam.
c. Siklus pembinaan keuangan Polri dilaksanakan melalui mekanisme kegiatan yang mempunyai keterkaitan dan ketergantungan satu dengan lainnya secara menyeluruh.
d. Mekanisme kegiatan tersebut terdiri dari Perencanaan anggaran, Penetapan anggaran, Pembiayaan, Pengendalian/Pengawasan, dan Evaluasi.
e. Mekanisme tersebut meliputi pokok-pokok kegiatan :
1). Kegiatan perencanan meliputi : Perencanaan strategis, Penyususnan program/proyek, Penyusunan usulan kegiatan/proyek.
2). Kegiatan penetapan anggaran meliputi : Penyesuaian usulan kegiatan dengan jumlah anggaran yang tersedia, menetapkan isian kegiatan/proyek, Petunjuk pelaksanaan program dan anggaran.
3). Kegiatan pelaksanaan meliputi : Otorisasi, Perintah pelaksanaan, Pembiayaan/transfer.
4). Kegiatan pengendalian meliputi : Penilaian dari segi Rechmatig, Wetmatig, dan Doelmatig. Pertanggungan jawab keuanagn dan laporan keuangan didasarkan pada pencapaian sasaran. Tinglat pencapaian sasaran pada setiap tahap waktu didasarkan pada biaya yang tersedia.
5). Kegiatan evaluasi meliputi : Analisa laporan kemajuan kegiatan/proyek, Sumbangan perhitungan anggaran Polri pada Dephankam pada setiap akhir tahun anggaran, Evaluasi hasil-hasil secara menyeluruh.

7. Pengawasan
a. Fungsi kontrol merupakan bagian integral dari keseluruhan fungsi dalam proses manajemen.
b. Fungsi kontrol membantu untuk mengetahui dengan pasti bagaimana pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan peranan Polri.
c. Pengawasan dapat diwujudkan dalam berbagai penampilan, antara lain :
1). Pengawasan intern, oleh komandan/pimpinan sebagai salah satu fungsi manajemen terhadap bawahannya, oleh aparatur pengawasan yakni Irjen Hankam, Irjen Polri dan Inspektur Daerah Kepolisian.
2). Pengawasan ekstern, secara horisontal dan diagonal, misalnya dalam penyelenggaraan fungsi yang dilakukan oleh aparatur kamtibmas sesuai peraturan yang berlaku, seperti wewenang perpanjangan penahanan oleh kejaksaan, di bidang keuangan pengawasan olehBPK.
3). Secara sosial (Social Control) dalam wujud berbagai penampilan seperti Kontrol sosial oleh masyarakat secara langsung, Kontrol sosial lewat surat kabar dan mass media, Kontrol lewat lembaga Legislatif (DPR), Kontrol sosial oleh lembaga bantuan hukum, dan lain-lain.

III. PENUTUP

Pola Pembenahan Polri merupakan dasar kebijaksanaan bagi Polri di segala bidang baik bidang operasional maupun pembinaan, dan juga bidang strategi dan implementasi yang semuanyanya diarahkan kepada sasaran pembenahan, dalam masa kepemimpinan Jenderal Polisi Prof. Dr Awaloedin Djamin, MPA.
Dari pola dasar pembenahan ini diadakan penjabaran dalam bentuk produk-produk yang bersifat implementatif, baik di bidang operasional yang memerlukan kemampuan teknis profesional khas Kepolisian maupun di bidang kemampuan teknis pembinaan, yang harus diwujudkan dalam bentuk buku etunjuk pelaksanaan dan buku petunjuk teknis yang berlaku bagi seluruh anggota Polri.
Penjabaran kebijaksanaan Pola Dasar Pembenahan Polri telah menjadi bagian sejarah perjalanan organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang secara bertahap membangun pola pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan peranan Kepolisian Negara Republik Indonesia sampai saat ini.
Dengan dasar pemikiran bahwa perbaikan atau pembenahan organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut tidak akan pernah berhenti, akan secara terus menerus dilakukan upaya pembenahan sesuai perkembangan situasi dan kebutuhan organisasi, maka kebijaksanaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia akan menjadi bagian dari upaya tersebut, dan menjadi bagian yang mewarnai sejarah perjalanan organisasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Daftar Pustaka

1. Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
No. Pol : Skep/02/1/1980 tanggal 31 Januari 1980
Tentang Pola Dasar Pembenahan Polri.

2. Bunga Rampai Polri Mandiri Menengok Ke Belakang Menatap Masa Depan,
Editor J.Kristiadi, Panitia Workshop Wartawan Polri, 2001

3. Majalah Jagra Tara, Edisi Khusus 1 Juli 2005

4. Menuju Polisi Masa Depan, Mitra Bintibmas, 2002.

PEMBUNUHAN BERKEDOK SANTET DI CIAMIS SEBAGAI PELANGGARAN BERAT HAM

PEMBUNUHAN BERKEDOK SANTET DI CIAMIS
SEBAGAI PELANGGARAN BERAT HAM

Oleh M. BUDI SA’ARIN,

1.Pendahuluan

Gerakan reformasi yang dilancarkan masyarakat Indonesia khususnya para mahasiswa pada bulan Mei tahun 1997 merupakan gerakan monumental yang menandai adanya upaya penyelamatan bangsa dan negara Indonesia dari berbagai penyimpangan, antara lain praktek demokrasi semu, pelanggaran HAM dan penyimpangan hukum.
Penyimpangan-penyimpangan di bidang hukum dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada masa orde baru membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum berkurang. Ditambah lagi dengan euforia reformasi masyarakat saat ini yang menuju ke arah kemerdekaan yang “kebablasan” penyimpangan hukum dan pelanggaran HAM saat ini masih terjadi, bahkan yang dulu dilakukan oleh aparat penegak hukum, sekarang dilakukan juga oleh masyarakat, yaitu dalam bentuk peradilan rakyat / main hakim sendiri. Hal tersebut di atas secara langsung mengakibatkan terhambatnya pengembangan HAM.
Pembunuhan dengan berkedok santet yang terjadi di Banyuwangi, dengan modus operandi peradilan rakyat / main hakim sendiri, juga terjadi di daerah Pangandaran, Ciamis Selatan, Jawa Barat. Seperti di Banyuwangi, di Ciamis, tempat yang indah, tenang dan damai penuh dengan nuansa keagamaan (Islam), seketika berubah menjadi amuk massa dan ladang pembantaian sejumlah orang yang dicurigai sebagai dukun santet.
Sebagai akibat dari peristiwa pelanggaran berat HAM itu, berpuluh orang telah menjadi korban pembantaian secara sia-sia, meninggalkan duka cita yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkannya. Kehidupan sehari-hari tak lagi menyenangkan, sebagian penduduk terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pelosok-pelosok pedesaan masih trauma terhadap ketukan-ketukan di pintu rumah pada malam hari, yang merupakan modus operandi dari para kelompok pembantai.
Peristiwa di Ciamis ini cukup menggemparkan dan menimbulkan keheranan di berbagai kalangan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kehidupan spritual penduduknya yang mayoritas Islam cukup baik dan masyarakatnya terkenal ramah serta tingkat ekonomi rata-rata masyarakat cukup memadai yang ditopang dari sektor pertanian dan pariwisata.

2.Data dan Permasalahan

Pelanggaran HAM berupa pembunuhan dukun santet di Ciamis berawal dari peristiwa pembunuhan dua orang yang dituduh sebagai dukun santet pada bulan Nopember 1998. Pembunuhan yang pertama kali terjadi tersebut, bermotif dendam pribadi, dilakukan oleh seorang pemuda desa Pager Gunung bernama SENTOT terhadap seorang dukun bernama Tarmadji, yang dicurigai telah membunuh anggota keluarganya. Disusul aksi serupa terhadap seseorang yang secara terang-terangan telah melarang para warga yang berniat mengadakan upacara sesajenan di desa Pager Gunung.
Sejak peristiwa itu, pembunuhan bermotif dukun santet meluas ke berbagai kalangan masyarakat, yang ternyata dari hasil identifikasi Polres Ciamis, bukan saja para dukun santet yang menjadi korrbannya, tetapi termasuk warga biasa yang tak berdosa.
Bagi masyarakat Ciamis sebagaimana juga masyarakat Indonesia lainnya, ilmu santet diyakini memang ada. Ilmu ini digunakan untuk menaklukan seseorang agar hilang ingatan, sakit dan bahkan meninggal dunia tergantung “pasien” yang meminta kepada seorang yang ahli santet (dukun santet) untuk melakukan santet. Di daerah Ciamis, ada beberapa desa yang kental dengan tradisi mistik santet ini, misalnya desa Cigugur, Cisalak, Cibanten, Pager Gunung dan desa lainnya. Di desa-desa ini, bila terjadi kematian atau seseorang yang sakit dengan tidak wajar adalah hal yang biasa yaitu karena santet.
Dari hasil penyelidikan Polres Ciamis, modus operandi dari kasus-kasus pembunuhan tersebut cukup profesional. Terdapat 2 kelompok pelaksana yaitu sebagai pelaksana peculikan dan pembunuhan di lapangan. Operasi kelompok-kelompok itu diawali dengan identifikasi calon korban. Setelah diidentifikasi. Kelompok pembunuh memprovokasi massa dan menghasut massa. Massa yang berhasil dihasut lalu dikumpulkan dan bersama-sama menuju kerumah calon korban. kelompok penggerak massa yang digerakkan mencapai 100 atau 200 orang. Dalam perjalanan mereka sering mengajak partisipasi penduduk pria. Biasanya mereka berkata “ayo, ikut ke tempat Bagong”. Bagong artinya orang-orang yang gemar melakukan santet. Ajakan tersebut adakalanya bersifat sukarela, tapi tak jarang setengah memaksa. Para pelaku juga menjanjikan imbalan bagi mereka yang ikut berperan serta dalam kegiatan pembantaian. Dari ratusan massa tersebut, hanya sekitar 4 atau 5 orang saja yang menjemput calon korban dari dalam rumah dengan cara paksa. Sisanya menunggu tak jauh dari rumah korban.
Umumnya para korban dieksekusi di sekitar rumahnya. Sedangkan kejadian ini disaksikan secara langsung oleh anggota keluarganya. Biasanya korban dihabisi dengan cara dijerat tali plastik pada lehernya ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Kerumunan massa yang ratusan jumlahnya turut menyaksikan dan bahkan beramai-ramai ikut berperan dalam pembunuhan tersebut. Dalam situasi demikian, sudah barang tentu tidak ada pembelaan apalagi upaya penyelamatan dari para tetangga. Mereka tentunya berada dalam rasa penuh ketakutan. Merekapun tidak dapat menyaksikan secara jelas karena selain pandangan mereka terhalang oleh kerumunan massa, pembantaian dilakukan dalam keadaan gelapkarena aliran listrik sengaja dipadamkan oleh kelompok tersebut. Mayat korban diangkut massa dengan truck-truck yang telah disiapkan ke sungai Ciwayang Parigi. Dari atas jembatan mayat korban dibuang ke dasar sungai yang konon juga digunakan gerombolan DI/TII membuang mayat-mayat korbannya.
Korban pertama dari rangkaian peristiwa pembunuhan ini adalah Kasna, seorang buruh tani berusia 60 tahun, pembantaian terjadi pada tanggal 24 Nopember 1998. Kasna dihajar dan dibunuh dengan sadis oleh 200 orang tak dikenal di depan anak istrinya. Korban-korban berikutnya terus berjatuhan antara lain Sahrimi, warga dusun Japuh Cirembulan. Ia dijemput dari dalam masjid ketika sedang melaksanakan takbir pada malam Idul Adha 27 Maret 1999. Ia pun diseret dengan terlebih dahulu dijerat lehernya, ke bawah pohon nangka di sekitar masjid, dimana ratusan massa sudah menunggu dan siap membantainya. Kisah pembaiataian serupa dialami Ssaihun, penduduk desa Kawasen, Banjarsari. Ia diseret dari dalam rumahnya pada ranggal 3 April 1999 pukul 22.30 malam oleh segerombolan orang tak dikenal dan ditemukan tewas di bawah pohon sekitar rumahnya. Demikian seterusnya pembantaian demi pembantaian terjadi seolah tiada henti dan menelan korrban yang tidak sedikit jumlahnya , bukan hanya dukun santet tetapi juga meluas ke masyarakat lainnya.
Dari hasil penyelidikan dan penyidikan Polres Ciamis, diketahui bahwa jumlah korban sebanyak 37 orang dan menangkap dan memeriksa untuk diajukan ke kejaksaan negeri Ciamis 47 orang pelaku penculikan-pembunuhan yang terdiri dari beberapa orang warga masyarakat dari beberapa daerah atau kampung di wilayah kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis yang terdiri dari ;
a.Kelompok provokator
Kelompok ini terdiri dari 7 (tujuh) orang yaitu Elang bin Sadro, Sentot, Hendrik, Warno, Sutrisno, Darta dan Jumri.
b.Kelompok Pelaksana pembunuhan di lapangan
Yaitu kelompok masyarakat kampung Ciokong, pembunuh bayaran sebanyak 17 (tujuh belas) orang yang dipimpin oleh Elang bin Sadro, kelompok masyarakat kampung Cikalong, kelompok masyarakat kampung Bojong, kelompok masyarakat kampung Parigi dan kelompok masyarakat kampung Sidamulih yang kesemuanya berada di kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.

Adapun permasalahan yang hendak kami ungkapkan disini terhadap peristiwa penculikan-pembunuhan di Kabupaten Ciamis diatas adalah ; apakah peristiwa Ciamis di atas merupakan pelanggaran berat HAM ? Apakah bisa dilakukan penuntutan di pengadilan HAM bagi pelaku pembunuhan dan penculikan di atas ? Bagaimana peran Komnas HAM terhadap peristiwa di atas? Bagaimana peran kepolisian khususnya Polres Ciamis dalam mengembangkan HAM ? Hal ini kami anggap penting sehubungan dengan sorotan publik tentang pelaksanaan HAM di Indonesia yang salah satunya adalah peristiwa pelanggaran HAM di Ciamis. Kami berupaya mengupas permasalahan ini dari aspek yuridik-normatif.

3.Pembahasan

a.Pelanggaran Berat HAM
Lingkup pelanggaran HAM yang diklasifikasikan sebagai pelanggaran berat HAM sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi yang menjadi kewenangan pengadilan HAM secara garis besar adalah sebagai berikut :
1)Genocide yaitu ; pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur atau cacat mental atau fisik.
2)Arbytrary / Extrajudicial killing ; yaitu pembunuhan sewenang-wenang diluar putusan pengadilan.
3)Penghilangan orang secara paksa
4)Perbudakan
5)Diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
6)Torture ; penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan, menakut-nakuti atau memaksa dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.

Sedangkan dalam ketentuan pasal 1 RUU Pengadilan HAM disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran berat HAM adalah “pelanggaran hak asasi manusia yang mengakibatkan penderitaan fisik dan atau mental ataupun material atau immaterial serta mengakibakan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat”. Jenis pelanggaran berat HAM secara terinci dijelaskan pada pasal 5 RUU Pengadilan HAM secara garis besar disebutkan sebagai berikut ;
1)Genocide
2)Membunuh orang atau kelompok orang dengan cara sewenang-wenang di luar batas kemanusiaan dan atau di luar putusan pengadilan.
3)Segala bentuk tindakan yang memaksa terjadinya pengungsian atau pemindahan orang atau kelompk orang atas dasar alasan politik.
4)Menculik dan menghilangkan orang secara paksa
5)Melakukan perbudakan
6)Melakukan diskriminasi
7)Melakukan penyiksaan
8)Merusak, membakar dan atau disertai dengan penjarahan pada instansi vital, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan, sarana transportasi atau meracuni obyek-obyek kepentingan umum atau menyebarkan bibit penyakit kepada masyarakat yang dilakukan secara masal
9)Torture ; penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan, menakut-nakuti atau memaksa dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.

Jenis-jenis pelanggaran HAM tersebut di atas sudah merupakan tindak pidana internasional sebagaimana terdapat pada ; Deklarasi Universal tentang HAM (DUHAM), Konvensi Internasional “Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genoside’, resolusi PBB tanggal 8 Desember 1992 tentang deklarasi tentang Perlindungan setiap orang dari perlindungan secara paksa, Protocal Ammending the Slavery Convention, Convention Against Torture and Other Cruel inhuman of degrading treatment or punishment.
Bagaimana dengan peristiwa di Ciamis ? Berdasarkan fakta-fakta peristiwa sebagaimana disampaikan di atas, jelas akan adanya pelanggaran berat HAM berupa pembunuhan terhadap orang dengan cara sewenang-wenang di luar batas kemanusiaan dan di luar putusan pengadilan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan berkedok dukun santet. Dari hasil identifikasi korban menunjukkan bahwa tidak semua korban adalah dukun santet. Mereka dibunuh oleh massa yang digerakkan oleh kelompok provokator dengan alasan sebagai dukun santet. Hal ini jelas dilakukan bukan di depan sidang pengadilan pada umumnya yang menjunjung asas praduga tak bersalah tapi dilakukan oleh pengadilan rakyat. Pembunuhan itupun dilakukan dengan cara sewenang-wenang tanpa adanya rasa kemanusiaan dengan cara diikat, dibunuh beramai-ramai, mayatnya dibuang ke sungai bahkan ada pembunuhan yang dilakukan di depan keluarga korban.
Selain dari pada hal tersebut di atas, akibat dari peristiwan ini menyebabkan suasana di daerah Ciamis menjadi tidak tenang, masyarakat Ciamis diliputi rasa ketakutan, khususnya bagi masyarakat pedesaan, terutama pada ketukan pintu di malam hari. Hak asasi manusia untuk memperoleh rasa aman dan tenang menjadi terhambat.

b.Pengadilan HAM

Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HaK Asasi Manusia menyebutkan bahwa untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkup peradilan umum. Adapun lingkup kewenangan dari pengadilan HAM ini sesuai pasal 4 Perpu No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM maupun pada pasal pasal 4 RUU Pengadilan HAM adalah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang berat sebagaimana disebutkan di atas.
Ketentuan pidana tentang HAM sesuai dengan sifat UU HAM yang khusus (tindak pidana khusus) dimana salah satunya yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana disebutkan pasal 1 KUHP (asas legali tas), bahwa terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU HAM dan Pengadilan HAM tetap dapat diberlakukan ketentuan pidana HAM / berlaku surut (pasal 24 Perpu No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, pasal 41 RUU Pengadilan HAM)
Terhadap para pelaku pembunuhan dan penculikan di Ciamis yang telah diajukan ke sidang pengadilan atas perbuatan penculikan- pembunuhan dan telah mendapatkan keputusan yang tetap dari hakim, terhadap hal ini ketentuan pidana HAM tetap menganut asas nebis in idem, sehingga para pelaku tersebut tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan HAM karena telah mendapatkan putusan dari hakim, kecuali bila Komnas HAM dapat melakukan penyelidikan ulang terhadap kasus ini sehingga ditemukan fakta hukum baru tentang pelanggaran berat HAM lainnya yang dilakukan oleh para pelaku tersebut.

Peran Komnas HAM dalam peradilan pidana Hak Asasi Manusia adalah sebagai penyelidik terhadap ada/tidaknya suatu kasus pelanggaran berat HAM (pasal 10 Perpu No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, pasal 8 RUU pengadilan HAM). Berkaitan dengan peran Komnas HAM dalam peradilan pidana HAM ini, khususnya pada kasus Ciamis ini, walaupun telah ada para pelaku yang dipidana, namun masih banyak hal yang belum diungkap, misalnya mengenai apakah ada keterlibatan aparat/pejabat negara dalam peristiwa ini ? Seperti kita ketahui bersama, bahwa pada saat itu isu politik tentang hal ini sangat banyak muncul di berbagai media massa. Pernyataan resmi dari Komnas HAM-pun terhadap peristiwa Ciamis ini belum ada baik pada laporan tahunan maupun pernyataan resmi lainnya. Padahal seperti yang telah kami uraikan di atas bahwa peristiwa Cimis ini adalah pelanggaran berat HAM dan menjadi sorotan publik baik nasional maupun Internasional yang perlu pengungkapan yang lebih transparan.

c.Peran Kepolisian dalam pengembangan HAM

Mayjen Pol (Purn) Drs Koesparmono Irsan, SH, MBA, dalam makalahnya pada Seminar Polri di luar ABRI, di Sespimpol tanggal 24 Mei 1999, menyampaikan bahwa “ Adalah bodoh kalau kia mengira bahwa Polisi dianggap sebagai musuh utama hak asasi manusia. Sebagai insan manusia dan manusia yang berusaha keras, polisi mempunyai kemampuan untuk berbuat baik dan buruk. Seperti halnya negara dan kekuasaan negara, polisi dan kekuasaan kepolisian dapat menjadi pelindung maupun pelanggar hak asasi manusia.” Tentang hal dapat menjadi pelindung dan pelanggar hak asasi manusia ini dapat kita lihat pada pelaksanaan KUHAP berkaitan dengan asas Equal Arm, dimana tersangka memiliki hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh polisi/penyidik Polri tapi bagaimana dengan upaya paksa yang dilakukan oleh Polri sendiri terhadap tersangka dimana jelas-jelas upaya paksa itu mengandung perbuatan melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan hal ini perlu adanya batasan-batasan/limitatif terhadap sejauh mana polisi dapat melanggar HAM seseorang, tentang batasan ini sudah ditentukan / diatur dalam KUHAP.
Pada pasal 2 UU No. 28 tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI bahwa dalam tujuan kepolisian RI disebutkan sebagai berikut : “ menja min tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terselenggaranya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi HAM ”. Dari rumusan tujuan kepolisian RI ini jelas bahwa setiap anggota Polri harus menegakkan HAM dalam setiap tindakan kepolisiannya.
Tindakan kepolisian oleh Polres Ciamis dalam rangka penegakan HAM berupa segera melakukan pengamanan wilayah, pembinaan masyarakat serta penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus yang terjadi adalah sangat tepat walaupun sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM maupun dalam Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM menyebutkan bahwa wewenang penyelidikan pelanggaran berat HAM adan pada Komnas HAM sedang penyidikannya ada pada tim yang dibentuk oleh dan dibawah koordinasi Jaksa Agung (pasal 12 Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM). Namun perlu dilihat kembali bahwa peristiwa penculikan-pembunuhan dan tindakan Polres Ciamis tersebut dilaksanakan pada antara bulam Maret s.d. April 1999, sedangkan Pengadilan HAM sampai saat ini belum dibentuk, Perpu tentang pengadilan HAM baru diundangkan pada tanggal 23 September 1999. Sehingga tindakan Polres Ciamis dari aspek yuridik normatif dalam pengembangan HAM sudahlah tepat. Hal ini juga dapat dilihat pada pasal 104 Perpu No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM ayat (3) ; “Sebelum terbentuk pengadilan Hak Asaso Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang”, sesuai rumusan pasal ini maka Polri berwenang melakukan penyeldikan dan penyidikan kasus pemculikan dan pembunuhan yang berkedok dukun santet di Ciamis.

4.Penutup
Sehubungan dengan terjadinya peristiwa penculikan dan pembunuhan berkedok dukun santet yang dilakukan secara tidak manusiaw dan biadab terhadap 37 korban di Ciamis pada bulan Maret/April 1999 di atas, dapat kami simpulkan sebagai berikut :
a.Peristiwa penculikan dan pembunuhan berkedok dukun santet yang dilakukan oleh oknum kelompok masyarakat Ciamis dengan cara sewenang-wenang dan biadab dan juga menimbulkan rasa takut bagi warga masyarakat Ciamis pada umumya, dapat dimasukkan sebagai pelanggaran berat HAM berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu pelanggaran hak atas hidup (right to life) berupa extrajudicisal killing/arbytrary.
b.Bahwa aparat penegak hukum telah melakukan proses peradilan umum terhadap para pelaku pelanggaran berat HAM tersebut. Dengan adanya asas nebis in idem maka para pelaku tersebut tidak dapat dikenakan dalam pengadilan HAM nantinya kecuali bila ditemukan bukti baru tentang peristiwa melawan hukum lain dari peristiwa yang telah mendapat putusan hakim peradilan umum tersebut.
c.Guna pengungkapan kasus Ciamis ini lebih transparan, Komnas HAM dapat melakukan penyelidikan kembali khususnya mengenai keterlibatan aparat/pejabat negara saat itu.
d.Dalam pelaksanaan tugasnya, Kepolisian wajib menjunjung tinggi HAM, pelanggaran HAM yang dilakukan dalam tindakan kepolisian harus tetap dalam batas/limitatif yang telah ditetapkan.
e.Polres Ciamis telah mengambil langkah yang tepat dengan segera melakukan proses penanganan pelanggaran HAM berupa penyelidikan dan penyidikan pelanggaran berat HAM. Kedepan, bila Pengadilan HAM telah terbentuk, tugas dan wewenang penyelidikan dan penyidikan pelanggaran berat HAM ada pada Komnas HAM dan tim yang dibentuk dan dikoordinasikan oleh Jaksa Agung.
Demikian tulisan tentang pelanggaran berat HAM di Ciamis medio tahun 1999 kami buat sebagai karya penugasan dalam pelajaran Hukum Pidana Khusus.

DAFTAR PUSTAKA

1.Mayjen Pol (Purn) Drs. Koesparmono Irsan, SH,MBA, Polisi dan Hak Asasi Manusia, makalah pada seminar Polri di Sespim Polri tanggal24 Mei 1999.
2.Mayjen Pol (Purn) Drs. Koesparmono Irsan, SH,MBA, Hak Asasi Manusia, Ubhara Press.
3.Declaration of Human Rights.
4.UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
5.Perpu No 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
6.RUU Pengadilan HAM
7.Pernyataan-pernyataan dan Laporan Tahunan Komnas HAM
8.Berbagai informasi di media massa dan kliping tentang pelanggaran HAM di perpusatakaan PTIK

VIKTIMISASI DAN WANITA SEBAGAI KORBAN VIKTIMISASI

VIKTIMISASI DAN
WANITA SEBAGAI KORBAN VIKTIMISASI

Pandangan mengenai wanita yang menjadi korban telah mengalamii perubahan dalam beberapa tahun belakangan ini. Sampai pada tahun 1970 – an, korban wanita dianggap sebagai suatu hal yang tak nyata. Walaupun sekitar 2 juta wanita dipukuli tiap tahunnya di Amerika, istilah “battered woman” (wanita yang dipukuli) baru muncul di tahun 1974. Demikian juga pelecehan seksuall baru dianggap sebagai penyimpangan perilaku di tahun 1975 dan pemerkosaan saat kencan (date rape) baru dikenali sebagai suatu masalah diawal 1980-an walaupun masih banyak orang percaya dengan stereotype yang ada pada viktimisasi wanita, frekuensi dan fakta mengenai viktimisasi seksual dan fisik terhadap wanita dan perempuan telah meningkat. Tulisan ini mencoba menggambarkan bagaimana wanita yang menjadi korban kekerasan pria ditangani selama ini dan bagaimana kesadaran akan viktimisasi yang mereka alami mengalami perubahan.
Fokus dari tulisan ini adalah mengenai viktimisasi yang sering kalii berhubungan dengan wanita dan perempuan: viktimisasi seksual dan pemukulan. Pemerkosaan dan pemukulan adalah kejahatan yang paling sering tidak dilaporkan oleh korbannya. Terdapat bukti-bukti penting tidak hanya mengenai legal dan ilegalnya aborsi, tetapi juga pemaksaan sterilisasi terhadap wanita dari ras minoritas.
Viktimisasi fisik dan seksual yang dialami oleh wanita dan perempuan dianggap sebagai suatu kejadian yang jarang terjadi, kesalahan dari korban dan suatu hal yang memalukan korban. Pengertian akan viktimisasi seksual menjadi kabur karena adanya anggapan kaum puritan bahwa pemerkosaan adalah kejahatan yang tdak dapat dikatakan/diceritakan (Sanders, 1980). Selama ini, wanita yang dipukuli dianggap sebagai korban yang pantas menerimanya dsb. Walauoun stereotipe mengenai korban pemerkosaan yang sesungguhnya biasanya mengasumsikan korban berasal dari anglo dan kelas menengah/atas, stereotipe mengenai wanita yang dipukuli adalah wanita yang berasal dari keluarga yang bermasalah di kelas pekerja atau masyarakat miskin. Penelitian menunjukkan bahwa stereotipe tersebut hanyalah mitos : semua wanita dan perempuan memiliki resiko yang sama dalam menghadapi kekerasan yang dilakukan kaum pria, tanpa memandang ras, kasta ataupun etnik.
Walaupun kekerasan yang dilakukan pria terhadap wanita dan perempuan telah berlangsung lama, akan tetapi pengakuan atas adanya kejahatan tersebut belum begitu lama. Russel (1984) menemukan bahwa pengakuan atas kejahatan tersebut dikenal sebagai “ masalah social “. Masalah social adalah fenomena yang sering terjadi sejak dulu, akan tetapi baru diakui sebagai suatu masalah setelah data mengenai hal itu terkumpul dan adanya kritikan dari masyarakat. Russel mengidentifikasikan, berdasarkan kemunculannya dari tahun 1960-an sampai awal 1980-an, beberapa masalah social yang menjadi perhatian masyarakat : (1) kekerasan non seksual terhadap anak, (2) pemerkosaan terhadap wanita oleh orang asing, (3) kekerasan non-seksual terhadap istri, (4) kekerasan seksual terhadap anak (khususnya incest). Pengenalan terhadap masing-masing dari masalah social tersebut membantu untuk menggolongkan kejahatan lainnya. Sejak adanya publikasi buku karangan Russel, kekerasan fisik dan seksual; pemerkosaan dirumah tangga, pelecehan seksual dan viktimisasi wanita dan perempuan untuk acara persembahan setan mengalami peningkatan dalam jumlah dokumentasi.
Kekerasan seksual dan pemukulan tidak selalu hanya viktimisasi itu saja. Rumah dimana terjadi pemukulan wanita mungkin juga rumah dimana anak-anak mengalami kekerasan fisik dan seksual. Sebagai tambahan serangan fisik dan seksual diwaktu kencan atau dalam hubungan intim seringkali terjadi bersamaan. Banyak pria yang memukuli istri/pacar mereka juga sekaligus melakukan serangan seksual terhadap mereka.

Menentukan Frekuensi dan Sifat Dari Viktimisasi Wanita

Sejumlah peneliti (pria) meng-klaim bahwa pria yang paling sering menjadi korban kejahatan secara keseluruhan dibandingkan wanita. Penelitian lainnya secara konsisten menunjukkan bahwa wanita memiliki :ketakutan atas “kejahatan” yang lebih tinggi dibanding pria. Penelitian terkini menunjukkan bahwa wanita merasa dirinya yang paling mungkin (dibanding pria) menjadii korban dari suatu kejahatan. Berdasarkan pada rendahnya angka viktimisasii wanita di sebagian besar data statistik membuat beberapa kriminolog memandang bahwa tingginya ketakutan atas kejahatan yang dirasakan oleh wanita adalah hal yang tidak rasional. Masalah utama dari pemikiran ini adalah : (1) kesadaran atas perkembangan dan frekuensi dimana wanita menjadi korban seringkali diabaikan, (2) sifat dari viktimisasi tersebut berbeda untuk kejahatan yang berhubungan dengan korban wanita (pemerkosan dan pemukulan). Berdasarkan hal tersebut, perkembangan dan frekuensi dari viktimisasi seksuall dan pemukulan sangat jarang dilaporkan ke polisi. Penelitian yang paling komprehensif dan valid mengenai viktimisasi pemerkosaan menemukan bahwa 44 % dari wanita dilaporkan menjadi korban pemerkosaan atau percobaan pemrkosaan setidaknya sekali dan hanya 8 % dari mereka yang melaporkannya ke polisi. Peneliti lain memperkirakan sekitar 40 – 50 % dari jumlah wanita di Amerika mengalami pemukulan oleh pasangan prianya.
Jika kejahatan seperti pemerkosaan dan pemukulan dilaporkan kepolisii (atau bahkan survey kejahatan nasional) seperti halnya kejahatan yang sering dialami pria, statistik akan menunjukkan bahwa wanita memiliki resiko yang lebih dibandingkan pria atas suatu kekerasan. Tingginya rasa takut atas kejahatan yang dirasakan oleh wanita dan rendahnya pelaporan suatu viktimisasi disebabkan oleh keengganan para peneliti untuk menerima tingkat ketakutan sebagai salah satu realita atas resiko yang mereka hadapi. Penelitian lain menemukan bahwa sebagian besar waita sangat jarang memberitahu orang lain mengenai perlakuan fisik dan seksual yang mereka alami karena rasa takut, malu, dan menyalahkan diri sendiri. Lebih dari itu ketika mereka memberitahu kepada orang lain, maka biasanya mereka diminta untuk merahasiakannya juga. Sejumlah alas an mengapa wanita tidak melaporkan kekerasan fisik dan seksual kepada para peneliti/polisi, yaitu : terlalu pribadi untuk dibicarakan, rasa malu, takut atas pembalasan dari pelaku atau represi karena trauma.
Walaupun perbaikan statistik menunjukkan tingginya resiko dari viktimisasi pria jumlahnya tidak cukup untuk menggambarkan adanya masalah gender pada kejahatan semacam itu. Sangat penting untuk dapat menunjukkan sifat dari kejahatan yang seringkali dihadapi wanita. Dengan pengecualian pada kasus pembunuhan, pemerkosaan adalah jenis kejahatan yang paling ditakuti. Kekejaman dan ancaman dari pemerkosaan tidak dapat ditekan. Mirip dengan itu, pemukulan tidak saja merupakan kekerasan, tetapi juga sangat mengganggu korban yang mengalami kekerasan dari orang yang seharusnya mencintai dan menyayangi mereka.
Stanko (1990) melihat ketakutan atas bahaya menjadi hal yang biasa dalam kehidupan wanita dan mereka belajar untuk dapat mengatasinya. Bahkan ketakutan itu rutin terjadi sehingga hampir tidak dapat dikendalikan. Ancaman terhadap suatu viktimisassi juga membatasi dan mengendalikan kebebasan para wanita dan perempuan. Tetapi sebelum menunjukkan batasan dari ancaman kekerasan pria terhadap wanita dan perempuan akan didiskusikan dahulu dampak budaya terhadap peranan gender dan perbedaan kekuatan gender.

Dampak dari Budaya Terhadap Peranan Gender

Stereotipe mengenai peranan jenis kelamin dimulai jauh sebelum kita lahir. Tidak saja nama yang diberikan oleh orang tua berbeda untuk setiap jenis kelamin anak-anak mereka, tetapi juga harapan orang tua terhadap anak tergantung dari jenis kelamin anaknya. Pandangan masyarakat mengenai wanita sebagai mahluk yang lemah, kurang pintar dan kurang berharga akan mempengaruhi kecenderungan akan viktimisasi. Wanita dan perempuan sering kali dianggap sebagai manusia pasif tidak memiliki pertimbangan dan keputusan. Selama ini, pria dipandang sebagai orang, sedangkan wanita dipandang sebagai property. Dahulu hukum mengganggap pemerkosaan sebagai kasus pencurian dan hukum perkosaan dibuat untuk melindungi pria anglo dari kelas menegah dan atas dari kehilangan atas property mereka (anak dan istrinya).
Hal itu menyebabkan banyak wanita dan perempuan telah terbiasa untuk menjadi korban dari kekerasan pria. Anak perempuan diberi penghargaan atas sikap pasif dan feminim mereka, sedangkan anak laki-laki diberi penghargaan atas sikap agresif dan maskulin mereka. Stereotipe seperti itu seringkalii dimunculkan dimedia, dimana jarang terdapat karakter wanita yang kuat, dan independen. Lebih dari itu, pandangan tersebut mempengaruhi persepsi pria dan wanita mengenai dominasi pria dan kemampuan (atau ketidakmampuan) wanita dalam menghadapi dominasi pria.
Kebudayaan kita seringkali mengarahkan bahwa wanita membutuhkan pria untuk memberikan perlindungan dan keamanan secara finansial. Sebagaii contoh perkiraan social bahwa wanita yang sedang berkencan biasanya mengira bahwa teman kencan mereka akan melindungi mereka. Perkiraan inii menyebabkan wanita menjadi lemah terhadap para pemerkosa yang seringkalii memanfaatkan situasi itu. Untuk memperjelas hal ini, pria yang melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap wanita yang dikenalnya atau bahkan yang berhubungan intim dengan mereka seringkali menerima dukungan dari teman-teman mereka untuk melakukan kekerasan itu.
Terdapat kecenderungan untuk melihat bahwa agresifitas pria (kekerasan) terhadap wanita dan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang alami. Penjelasan mengenai pengalaman wanita dalam mengahadapi kekerasan pria seringkali terpusat pada apakah agresi pria itu sesuatu yang “alami” dalam hubungannya dengan perilaku wanita. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pola-pola perilaku tertentu yang dapat menyebabkan dan membenarkan suatu viktimisasi wanita oleh pria. Lebih jauh lagi, hal ini juga menunjukkan bahwa wanita adalah penyebab dari timbulnya kekerasan pria dan dalam beberapa kasus pria dibenarkan atas perilaku kekerasan mereka tersebut. Penelitian terkini menemukan bahwa wanita tidak begitu mempercayai mitos yang melekat mengenai pemerkosaan. Mereka yang percaya akan mitos pemerkosaan (umumnya pria) seringkali menyalahkan korban dan mendukung peranan gender yang konservatif.
Stereotipe gender menyebabkan persepsi mistis atas pelaku dan korban dari serangan seksual menjadi tambah subur. Terdapat kecenderungan untuk berpikir bahwa haknya wanita dan perempuan tertentu yang menjadi korban kejahatan seksual dan pemukulan, dan hanya pria tertentu yang menjadi pemukul dan pemerkosa. Wanita yang diperkosa seringkali memiliki stigma bahwa mereka telah “terprovokasi” dan tidak dapat mengendalikan nafsu seksual mereka. Stereotipe seperti ini seringkali dihubungkan dengan asumsi ras dan kelas. Persepsi semacam ini tidak berdasarkan pada kenyataan dan menghalangi kemampuan kita untuk memahami dan melindungi diri mereka dari viktimisasi seksual. Di Amerika, sebagiam besar pemerkosa adalah pria anglo, dan 90 % dari kasus pemerkosaan adalah intra-rasial.

Perbedaan Gender dalam Kekuasaan

Gambaran yang lebih akurat mengenai masalah ini adalah bahwa viktimisasi wanita dan perbedaan kekuasaan gender saling berhubungan satu sama lain. Lebih khusus lagi, viktimisasi dan ancaman viktimisasi terhadap wanita berakibat pada menurunnya kekuatan yang dimiliki oleh wanita dan perempuan. Secara simultan, perbedaan kekuasaan antara pria dan wanita membuat wanita cenderung menjadi korban dan pria cenderung menjadi pelaku/penyerang. Terdapat banyak hal di masyarakat, budaya, dan sistem hukum yang turut berperan dalam putaran viktimisasi wanita dan perbedaan kekuasaan gender, seperti pandangan bahwa wanita itu pasif, dan sikap polisii yang menyalahkan korban. Sehingga kita harus secara simultan memberdayakan wanita dan perempuan agar seimbang kedudukannya dengan pria dan laki-laki, didalam pemikiran wanita dan pria.
Perbedaan kekuasaan ini tidak hanya terbatas pada kekuatan fisik, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan kita – pria cenderung memiliki status ekonomi, politik, dan social yang lebih tinggi dari yang dimiliki wanita. Penelitian di 55 kota di Amerika menemukan bahwa seiring dengan menurunnya status ekonomi, politik, dan social kaum wanita, maka angka pemerkosaan pun akan meningkat. Perbedaan kekuasaan ini berakibat pada perbedaan kekuasaan social dan psikologis antara pria dan wanita. Perbedaan status gender sama jelasnya di tingkatan individu.
Kekuasaan itu ditunjukkan dalam banyak bentuk: secara fisik (pemukulan), secara seksual, ekonomi, dan verbal. Kekuasaan pria, yang nyata dan tidak nyata, membatasi kebebasan dan hak yang dimiliki oleh wanita dan perempuan.
Viktimisasi seksual, seperti pemukulan wanita, adalah perwujudan dari kekuasaan pria. Pelaku penyerangan termotivasi oleh keinginan untuk mendominasi, tidak hanya sekedar memuaskan nafsu seksual mereka. Pemaksaan seksual jelas merupakan bentuk pengendalian terhadap diri korban dan membuat malu korban; korban merasa tidak berdaya karena tidak memilikii kontrol atas tubuhnya sendiri, sedangkan pemerkosa memiliki kontrol penuh atas diri korban.

Ancaman atas Kekerasan

Walaupun anak laki-laki dan perempuan hidupnya dibatasi karena mereka lemah dan membutuhkan perlindungan, pembatasan seperti itu akan terus dialami oleh wanita seumur hidupnya. Wanita terus diingatkan akan kelemahan mereka oleh teman, keluarga, dan media. “Ketakutan seperti itu menyebabkan stress pada wanita dan membuat mereka mengambil tindakan preventif yang pada akhirnya membatasi kebebasan wanita, seperti tidak keluar rumah sendirian di malam hari. Pesan mengenai kelemahan wanita dan perempuan itu begitu mendalam: wanita harus membatasi perilaku, tindakan dan cara berpakaian mereka, jika tidak maka akan berakibat pada terjadinya sesuatu pada diri mereka. Wanita diingatkan akan kelemahan mereka dan mengenai kekerasan yang dilakukan oleh pria setiap kali mereka membaca atau mendengar kasus pemerkosaan. Lebih dari itu, wanita jarang dapat memprediksi kapan suatu ancaman atau intimidasi berubah menjadi suatu kekerasan. Akibatnya, banyak wanita yang dijaga dari kemungkinan kekerasan oleh pria, khususnya jika mereka pernah menjadi korban.
Pemukulan wanita oleh suami atau pacar mereka, hampir sama dengan viktimisasi seksual, membuat wanita berada dalam kendali pria. Banyak yang masih percaya bahwa pria adalah “raja di kerajaannya sendiri”. Pemukulan, dalam bentuk nyata atau ancaman, membuat korban kehilangan kendali atas hidupnya. Sama seperti serangan seksual cenderung terjadi di tengah masyarakat yang memiliki perbedaan kekuasaan yang besar diantara gender, hal yang sama terjadi pada kasus pemukulan wanita. Semakin banyak pria yang memiliki kendali atas wanita, maka semakin sering kasus pemukulan terjadi.
Ancaman dan perlakuan viktimisasi terhadap wanita dan pria (secara seksual, fisik, atau verbal) berperan dalam menempatkan posisi wanita dalam suatu budaya. Hal itu membatasi kebebasan dan kualitas hidup wanita dan perempuan. Brownmiller menambahkan bahwa keuntungan yang dimiliki oleh semua pria dari kasus pemerkosaan dapat lebih dimengerti ketika seseorang mengakui bahwa tidak perlu bagi semua pria untuk melakukan viktimisasi terhadap semua wanita agar semua wanita merasa takut terhadap ancaman kekerasan pria. Terdapat bukti bahwa beberapa pria melakukan viktimisasi terhadap wanita untuk mengendalikan hidup mereka melalui rasa takut.

Sikap Menyalahkan Korban

Wanita dan perempuan yang tidak mematuhi peraturan tak tertulis yang berlaku di masyarakat seringkali disalahkan ketika mereka mengalamii perkosaan. Orang yang percaya bahwa wanita dan perempuan seharusnya membatasi hidup mereka juga cenderung untuk percaya bahwa wanita dan perempuan yang melanggar aturan tak tertulis tersebut turut bertanggung jawab ketika merek menjadi korban. Dampak dari rasa takut yang besar atas kejahatan berakibat pada timbulnya paksaan social terhadap mereka; wanita yang tidak mematuhi paksaan tersebut dapat dihukum tidak hanya berupa viktimisasii secara langsung, tetapi juga disalahkan atas viktimisasi yang mereka alami. Survey nasional menemukan bahwa korban pemerkosaan sangat memikirkan mengenai perasaan keluarga dan teman mereka yang mengetahui bahwa mereka telah diperkosa, mengenai pikiran orang yang menyalahkan mereka, dan hal-hal lainnya.
Korban dari suatu pemerkosaan dan pemukulan seringkali disalahkan atas kejadian tersebut dibandingkan korban dari bentuk kejahatan yang lain. Korban pemukulan dan kekerasan seksual seringkali dituduh telah memprovokasi perilaku kekerasan tersebut. Bahkan seringkali mereka dituduh “meminta”, “pantas menerima”, atau “menikmati” viktimisasi yang terjadi.
Korban pemerkosaan disalahkan karena mengenakan pakaian tertentu, lalai mengunci pintu atau jendela, meminum alcohol, menunggu bis di tengah malam, atau menumpang mobil. Penting bagi calon korban untuk mengetahui situasi apa saja yang dapat meningkatkan resiko atas viktimisasi, tetapi penting juga diingat bahwa tidak semua wanita memiliki kendaraan sendiri, dan pelaku kejahatan itu, bukan korban kejahatan, yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan itu. Lebih dari itu, walaupun data statistik menunjukkan bahwa wanita memiliki resiko terbesar untuk diperkosa oleh suami dan pacar mereka, hanya sedikit orang yang memberitahu wanita dan perempuan untuk tidak berkencan dan menikah.
Tidak hanya orang-orang yang berada di jalanan yang memiliki pemikiran mengenai jenis-jenis orang tertentu yang dapat menjadi korban. Orang yang bertanggung jawab atas perawatan korban dan orang yang memberikan hukuman kepada pelaku, seringkali memiliki informasi dan persepsi yang salah. Satu penelitian mengenai persepsi reputasi korban penyerangan seksual di pengadilan menemukan bahwa wanita yang bercerai, wanita dari ras lain, dan wanita yang keluar sendirian di malam hari adalah jenis-jenis wanita tertentu yang “pantas” untuk menjadi korban suatu tindakan seksual, sehingga mereka tidak dapat disebut sebagai korban dari pemerkosaan.
Sama seperti wanita yang menjadi korban serangan seksual, wanita yang dipukuli seringkali disalahkan atas kekerasan yang mereka alami. Terdapat mitos bahwa kekerasan adalah “gaya hidup” dari sekelompok orang; maka, wanita yang merupakan anggota dari kelompok masyarakat itu tidak akan mengalamii trauma akibat perkosaan atau pemukulan, tidak seperti wanita lainnya. Jelas bahwa hal ini tidak benar. Dalam analisa atas pertanyaan mengapa pria menjadii jahat, masalah yang umum ditemui adalah klaim bahwa mereka menjadi jahat karena mereka pernah mengalami kejahatan itu sendiri (menjadi korban). Tetapii mengapa wanita tidak menjadi jahat, padahal mereka telah mengalami begitu banyak viktimisasi?
Mengapa beberapa korban disalahkan atas viktimisasi yang mereka alami? Hipotesa “Just World” Lerner mencoba menjelaskan hal ini, yaitu bahwa sebagian besar orang ingin untuk percaya bahwa mereka mendapatkan apa yang mereka pantas dapatkan (Karmen 1984). Oleh karena itu, ketika kita mendengar kejadian buruk yang menimpa seseorang, seringkali kita mempertanyakan perilaku orang tersebut. Kita mengabaikan kenyataan bahwa kekerasan terjadi secara acak dan sulit untuk di prediksi.
Pendekatan “just world” tidak hanya menghasilkan asumsi bahwa hanya beberapa orang tertentu yang dapat menjadi korban, tetapi juga menipu orang karena mereka menganggap diri mereka bebas dari viktimisasi karena mereka melihat siapa diri mereka dan bagaimana perilaku mereka. Sayangnya pemikiran seperti itu salah – setiap orang dapat menjadi korban. Penelitian mengenaii korban pemukulan dan perkosaan menemui kesulitan untuk menentukan siapa yang paling beresiko karena focus penelitian seringkali tertuju pada korban bukannya pada pelaku.
Seiring dengan diterimanya kenyataan bahwa kekerasan terjadi secara acak, perlu juga diketahui bahwa viktimisasi seksual dan pemukulan pada sebagian besar wanita dan perempuan dilakukan oleh orang yang mereka kenal. Isu mengenai penyalahan terhadap korban dicontohkan Wolfgang melalui penggunaan istilah “presipitasi korban” , yang terfokus pada peranan yang dimainkan oleh korban ketika mengalami viktimisasi. Pendekatan inii menganggap bahwa korban turut bertanggung jawab.
Penyalahan terhadap korban pada kasus pemukulan biasanya berupa pertanyaan “Mengapa dia tinggal bersama pria itu?”. Implikasi dari pertanyaan itu adalah jika wanita tidak ingin dipukuli, dia harus meninggalkan pasangannya tersebut. Pandangan ini mengabaikan ketergantungan ekonomi dan psikologis dan ketakutan yang dirasakan oleh wanita itu.

Kesimpulan

Dahulu wanita yang menjadi korban dianggap tidak nyata. Pemukulan dan viktimisasi seksual adalah kejahatan yang paling sering tidak dilaporkan. Informasi mengenai viktimisasi wanita telah menyebar luas, termasuk pengetahuan bahwa hal itu terjadi lebih sering dari yang kita perkirakan, dan sifat dari viktimisasi itu lebih mengancam dan membahayakan dari yang diperkirakan sebelumnya. Lebih dari itu, budaya dan masyarakat cenderung untuk mendukung peranan gender yang mendorong timbulnya kekerasan pria terhadap wanita. Wanita dan perempuan didorong untuk berlaku pasif dan penurut, sedangkan pria dan laki-laki didorong untuk berlaku agresif.
Penentuan mengenai penyebab terjadinya viktimisasi wanita berdasarkan pada perbedaan kekuasaan oleh gender. Viktimisasi wanita adalah hasil dari dan penguatan dari adanya perbedaan kekuasaan gender. Yaitu bahwa ancaman dan keberadaan viktimisasi wanita menurunkan kekuasaan yang dimiliki oleh wanita dan perempuan; secara simultan, perbedaan kekuasaan inii menyebabkan timbulnya viktimisasi. Lebih jauh lagi, ancaman kekerasan terhadap wanita telah membatasi kebebasan yang dimiliki oleh wanita dan perempuan. Ketakutan akan viktimisasi seksual mempengaruhi dimana, kapan, dan bagaimana wanita akan bekerja, bersosialisasi, dan hidup. Wanita belajar bahwa mereka tidak aman sendirian, dimalam hari, di tempat-tempat tertentu, dan dengan orang-orang tertentu. Penggabungan dari batasan-batasan tersebut adalah berupa pengetahuan mengenai viktimisasi seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal korban.
Pandangan stereotype di masyarakat yang menganggap bahwa beberapa wanita “meminta” untuk diperkosa melalui cara mereka berpakaian, perilaku, dan bahkan ras atau kelas social mereka. Pandangan itu mengakibatkan timbulnya mitos bahwa korban pemerkosaan yang sesungguhnya adalah wanita dari ras Anglo yang kaya dan perawan. Penyalahan atas korban tidak hanya menganggap bahwa korban bertanggung jawab atas kekerasan dan eksploitasi yang mereka alami, tetapi juga membuat orang salah mengira bahwa kekerasan tidak terjadi secara acak.
Wanita berkulit hitam, secara khusus, sangat menderita akibat adanya stereotype mengenai diri mereka. Semua stereotype itu bersifat negatif, dan sekali menjadi korban, maka wanita berkulit hitam akan menghadapi masalah yang lebih besar lagi. Sebagai tambahan, mereka dikecewakan oleh kaum feminis yang gagal menemukan hubungan antara eksploitasi terhadap wanita dan eksploitasi terhadap masyarakat dari ras berwarna.
Tulisan diatas menjelaskan pandangan masyarakat mengenai wanita dan perempuan dan bagaimana pandangan itu berdampak pada viktimisasi wanita. Juga mengenai bagaimana korban-korban tersebut di perlakukan oleh masyarakat dan sistem hukum. Penyingkapan atas viktimisasi wanita mendorong tumbuhnya pengertian pada dampak dan sifat dari viktimisasi yang dialami oleh wanita dan perempuan. Pandangan dan respon negatif ini khususnya menyangkut wanita dari ras berwarna. Untuk menghadapi viktimisasi terhadap wanita dan perempuan, perlu untuk menghilangkan masalah perbedaan gender, melakukan perbaikan sistem hukum, dan melawan rasisme, klasisme, dan seksisme.

CONTOH PENANGANAN KASUS SEBAGAI PANDUAN DALAM UPAYA LIDIK DAN SIDIK ANGGOTA POLRI (ANALISA KASUS : PEMALSUAN MERK “SONNY” SEBAGAIMANA DIATUR DALAM UU NO.14 TAHUN 1997)

CONTOH PENANGANAN KASUS SEBAGAI PANDUAN DALAM UPAYA LIDIK DAN SIDIK ANGGOTA POLRI
(ANALISA KASUS : PEMALSUAN MERK “SONNY” SEBAGAIMANA DIATUR DALAM UU NO.14 TAHUN 1997)

I. PENDAHULUAN.

1. Umum.
Dalam perkembangan situasi dan kemajuan ilmu dan teknologi pada saat sekarang ini, juga ditandai dengan semakin berkembangnya jenis kejahatan yang terjadi sehingga perlu penanganan yang lebih khusus dan ditangani dengan kemampuan khusus sehingga untuk menuju kearah penanganan tersebut maka dibuat pembagian tugas terhadap penanganan tindak pidana tersebut.
Tindak Pidana Pemalsuan Merk merupakan salah satu bentuk kejahatan yang menjadi momok bagi para pengusaha dan juga menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi aparat penegak hukum terutama Kepolisian.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas dengan adanya keberhasilan Polres Metro Jakarta Utara dalam mengungkap salah satu Tindak Pidana Pemalsuan Merk “SONNY” yang menjadi awal bagi kepolisian dalam mengungkap perkara-perkara lainnya yang kita yakini masih banyak yang belum tersentuh hukum maka perlu adanya diadakan analisa terhadap pengungkapan perkara tersebut.

2.Dasar.
Dasar daripada penulisan ini adalah perintah lisan dari Asisten Dosen Tindak Pidana Khusus untuk menambah pengetahuan tentang Tindak Pidana Kusus, bagaimana permasalahannya dan bagaimana penanganannya.

3. Maksud Dan Tujuan.
(i) Maksud.
Maksud daripada penulisan ini adalah untuk dapat menganalisa kasus-kasus yang terjadi yang merupakan sub bagian dari Tindak Pidana Khusus.

(ii) Tujuan.
Tujuan daripada penulisan ini adalah :
(a)Untuk melaksanakan penugasan yang diberikan oleh Asisten Dosen mata kuliah Tindak Pidana Khusus.
(b)Untuk lebih meningkatkan pemahaman tentang materi Tindak Pidana Khusus terutama Tindak Pidana Pemalsuan Merk.
(c)Memperoleh gambaran tentang cara mengatasi kasus-kasus serupa sehingga diperoleh methode yang tepat sehingga dapat dikembangkan untuk mengungkap kasus-kasus lain yang belum tersentuh dalam rangka meningkatkan keamanan berusaha dinegara kita sebagai jaminan dalam mengembangkan perekonomian negara.

II. PEMBAHASAN
1.Contoh Kasus.
Pada hari Jumat, tanggal 16 April 1998 sekitar pukul 04.00 Bbwi telah berahsil diungkap salah satu kejahatan di bidang Merk di Perumahan Sunter Garden Blok B.7/12 G Kel.Sunter Agung Kec.Tanjung Priok Jakarta Utara yang dilakukan oleh Saudara AKING dan dibantu oleh salah seorang karyawannya An. Zaenudin Al.Zeni dengan cara membeli VCD Player Merk KCL dari Sdr.YOU HO, kemudian merubah Merk pada VCD Player tersebut dengan Merk SONNY dan dikemas dengan kemasan baru ber-Merk SONNY sehingga sama pada keseluruhannya dan atau sama pada pokoknya dengan merk terdaftar SONNY yang selanjutnya barang tersebut di jual kepada beberapa toko/konsumen dengan harga yang lebih murah dari harga SONNY yang sebenarnya dan dari penjualan tersebut Sdr.AKING memperoleh keuntungan dari hasil penjualan tersebut namun menimbulkan kerugian bagi pemilik Hak Atas Merk SONNY
2.Analisa Kasus
Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh yang berasal dari keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan tersangka dan barang bukti maka dapat diduga :
Bahwa pada hari Jumat tanggal 16 April 1999 sekitar pukul 04.00 Wib atau setidak-tidaknya pada hari, tanggal dan waktu lain yang masih termasuk bulan April 1999 bertempat dirumah tersangka AKING di Perumahan Sunter Garden Blok B.7/12 G Kel.Sunter Agung Kec.Tanjung Priok Jakarta Utara telah terjadi tindak pidana Pemalsuan Merk yang mengakibatkan kerugian bagi pihak SONNY sebagai pemegang Hak Atas Merk SONNY.
Bahwa tindak pidana tersebut dapat diketahui berawal dari tertangkapnya Sdr.ZAEUNUDIN pada saat Polres Metro Jakarta Utara sedang melaksanakan Operasi Kilat Jaya yang hendak mengantar pesanan barang berupa VCD Player Merk SONNY yang dipalsukan kepada pemesan Sdr.HENDRA yang memiliki toko di pasar Glodok Jakarta Barat.
Bahwa Tindak Pidana tersebut dilakukan dengan cara memesan Vcd Player Merk KCL dari Sdr.YOU HO yang bertempat tinggal di Jl.Parang Teriritis Kel.Ancol Jakarta Utara yang menurut keterangan saksi Sdr.YUO HO barng tersebut di import dari RRC selanjutnya barang yang telah dibeli dari Sdr.YOU HO dibawa kerumah Sdr.AKING dengan menggunakan Mobil BOX dan selanjutnya dengan dibantu Sdr.Zaenudin Merk KCL dilepas dan diganti dengan Merk SONNY termasuk kemasan VCD Player KCL dirubah menjadi VCD Player SONNY.
Bahwa barang tersebut dijual dengan harga lebih murah dari harga Merk SONNY sebenarnya yakni Rp.900.000.-(sembilan ratus ribu rupiah) menjadi Rp.520.000.-(lima ratus dua puluh ribu rupiah) sehingga tersangka AKING me peroleh keuntungan dari hasil penjualan tersebut.
Dari keterangan tersangka AKING dan tersangka Zaenudin mengakui telah melakukan kejahatan tersebut untuk mendapat keuntungan pribadi.
3.Analisa Yuridis.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas didapat petunjuk bahwa telah terjadi tindak pidana Pemalsuan Merk yang dapat dikenakan pasal primer pasal 81, 82 UU No.14 Tahun 1997 jo UU No.9 Tahun 1999 tentang Merk Subsider pasal 84 UU No.14 Tahun 1997 jo UU No.9 Tahun 1999 tentang Merk.
Unsur-unsur tindak pidana pemalsuan merk dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.Pasal 81 UU No.14 Tahun 1997 tentang Merk.
Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
(i)Barang siapa.
(ii)Menggunakan Merk yang sama pada keseluruhannya pada merk yang terdaftar.
(iii)Milik orang lain atau badan hukum.
(iv)Diperoduksi dan atau diperdagangkan.
b.Pasal 82 UU No.14 Tahun 1997 tentang Merk.
Unsur-unsurnya adalah sebagi berikut :
(i)Barang siapa.
(ii)Menggunakan Merk yang sama pada pokoknya pada merk yang terdaftar.
(iii)Milik orang lain atau badan hukum.
(iv)Diproduksi dan atau diperdagangkan.
c.Pasal 84 UU No.14 tahun 1997 tentang Merk.
Unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
Ayat (1) (i) Barang siapa.
(ii) Memperdagangkan barang dan atau jasa.
(iii) Diketahui atau patut dikatahui merupakan hasil paelanggaran sebagai mana dimaksud dalam pasal 81 dan pasal 82B.
Ayat (2) (i) Tindak pidana tersebut ayat (i) adalah pelanggaran.
Pembahasan unsur-unsur adalah sebagai berikut :
(i)Saksi-saksi menjelaskan bahwa mereka membeli barang berupa VCD Player merk SONNY dari Tersangka (1) AKING yang selalu diantar ketempat oleh tersangka (2) Zaenudin.
(ii)Tersangka (1) AKING menjelaskan bahwa benar dia telah menjual VCD Player Merk SONNY kepada para saksi dengan dibantu oleh Tersangka (2) ZAENUDIN.
(iii)Tersangka (1) AKING mengakui bahwa VCD Player yang dijual kepada para saksi tersebut adalah sebenarnya VCD Player Merk KCL yang dirubah Merk dan Kemasannya sehingga menyerupai Merk SONNY.
(iv)Saksi ahli membenarkan bahwa telah terjadi Pelanggaran Hak Atas Merk SONNY yang dilakukan oleh Tersangka (1) AKING dengan dibantu oleh Tersangk (2) ZAENUDIN.
(v)Tersangka (1) AKING dan Tersangka (2) ZAENUDIN mengakui bahwa barang tersebut dijual untuk mendapat keuntungan dan dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya.

III. PERMASALAHAN
Dari uraian kasus dan analisa kasus tersebut diatas dapat ditentukan dengan jelas bagaimana tindak pidan terjadi dan siapa yang menjadi tersangka namun bagi penyidik ditemukan beberapa kendala dan permasalahan yang timbul dalam proses penyidikan sampai perkara tersebut diputuskan disidang pengadilan antara lain :
1.Terhadap tersangka (2) ZAENUDIN memang secara formil dan materil memenuhi unsur untuk dikatakan sebagai tersangka dan patut dihukum atas perbuatannya namun jika ditilik statusnya yang hanya sebagai karyawan dengan gaji sebagai seorang karyawan, dari sudut kemanusiaan apakah hukuman tersebut layak atau tidak ?
2.Terhadap barang-barang yang telah terjual dan digunakan oleh para konsumen tentu secara tidak sadar telah tertipu dengan menggunakan CD Player SONNY yang sebenarnya adalah VCD Player Merk KCL. Bagaimana proses hukum yang pantas bagi terlindungnya para Konsumen dari Tindak Pidana serupa ?
3.Bagaimana proses hukum bagi para saksi yang semuanya adalah pedagang Elektronik sebagai orang yang patut diketahui mengetahui atau minimal dapat membedakan barang yang asli atau bukan ?

KESIMPULAN

1.Bahwa benar telah terjadi tindak pidana Pemalsuan Merk yang dilakukan oleh Tersangka (1) AKING dengan dibantu Oleh Tersangka (2) ZAENUDIN di rumah tersangka (1) AKING di Perumahan Sunter Garden Blok B.7/12 G Kel.Sunter Agung Kec.Tanjung Priok Jakarta Utara.
2.Terhadap kedua tersangka dapat dikenakan pasal primer pasal 81, 82 UU No.14 Tahun 1997 jo UU No.9 Tahun 1999 tentang Merk Subsider pasal 84 UU No.14 Tahun 1997 jo UU No.9 Tahun 1999 tentang Merk.