PEMBUNUHAN BERKEDOK SANTET DI CIAMIS
SEBAGAI PELANGGARAN BERAT HAM
Oleh M. BUDI SA’ARIN,
1.Pendahuluan
Gerakan reformasi yang dilancarkan masyarakat Indonesia khususnya para mahasiswa pada bulan Mei tahun 1997 merupakan gerakan monumental yang menandai adanya upaya penyelamatan bangsa dan negara Indonesia dari berbagai penyimpangan, antara lain praktek demokrasi semu, pelanggaran HAM dan penyimpangan hukum.
Penyimpangan-penyimpangan di bidang hukum dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada masa orde baru membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum berkurang. Ditambah lagi dengan euforia reformasi masyarakat saat ini yang menuju ke arah kemerdekaan yang “kebablasan” penyimpangan hukum dan pelanggaran HAM saat ini masih terjadi, bahkan yang dulu dilakukan oleh aparat penegak hukum, sekarang dilakukan juga oleh masyarakat, yaitu dalam bentuk peradilan rakyat / main hakim sendiri. Hal tersebut di atas secara langsung mengakibatkan terhambatnya pengembangan HAM.
Pembunuhan dengan berkedok santet yang terjadi di Banyuwangi, dengan modus operandi peradilan rakyat / main hakim sendiri, juga terjadi di daerah Pangandaran, Ciamis Selatan, Jawa Barat. Seperti di Banyuwangi, di Ciamis, tempat yang indah, tenang dan damai penuh dengan nuansa keagamaan (Islam), seketika berubah menjadi amuk massa dan ladang pembantaian sejumlah orang yang dicurigai sebagai dukun santet.
Sebagai akibat dari peristiwa pelanggaran berat HAM itu, berpuluh orang telah menjadi korban pembantaian secara sia-sia, meninggalkan duka cita yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkannya. Kehidupan sehari-hari tak lagi menyenangkan, sebagian penduduk terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pelosok-pelosok pedesaan masih trauma terhadap ketukan-ketukan di pintu rumah pada malam hari, yang merupakan modus operandi dari para kelompok pembantai.
Peristiwa di Ciamis ini cukup menggemparkan dan menimbulkan keheranan di berbagai kalangan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kehidupan spritual penduduknya yang mayoritas Islam cukup baik dan masyarakatnya terkenal ramah serta tingkat ekonomi rata-rata masyarakat cukup memadai yang ditopang dari sektor pertanian dan pariwisata.
2.Data dan Permasalahan
Pelanggaran HAM berupa pembunuhan dukun santet di Ciamis berawal dari peristiwa pembunuhan dua orang yang dituduh sebagai dukun santet pada bulan Nopember 1998. Pembunuhan yang pertama kali terjadi tersebut, bermotif dendam pribadi, dilakukan oleh seorang pemuda desa Pager Gunung bernama SENTOT terhadap seorang dukun bernama Tarmadji, yang dicurigai telah membunuh anggota keluarganya. Disusul aksi serupa terhadap seseorang yang secara terang-terangan telah melarang para warga yang berniat mengadakan upacara sesajenan di desa Pager Gunung.
Sejak peristiwa itu, pembunuhan bermotif dukun santet meluas ke berbagai kalangan masyarakat, yang ternyata dari hasil identifikasi Polres Ciamis, bukan saja para dukun santet yang menjadi korrbannya, tetapi termasuk warga biasa yang tak berdosa.
Bagi masyarakat Ciamis sebagaimana juga masyarakat Indonesia lainnya, ilmu santet diyakini memang ada. Ilmu ini digunakan untuk menaklukan seseorang agar hilang ingatan, sakit dan bahkan meninggal dunia tergantung “pasien” yang meminta kepada seorang yang ahli santet (dukun santet) untuk melakukan santet. Di daerah Ciamis, ada beberapa desa yang kental dengan tradisi mistik santet ini, misalnya desa Cigugur, Cisalak, Cibanten, Pager Gunung dan desa lainnya. Di desa-desa ini, bila terjadi kematian atau seseorang yang sakit dengan tidak wajar adalah hal yang biasa yaitu karena santet.
Dari hasil penyelidikan Polres Ciamis, modus operandi dari kasus-kasus pembunuhan tersebut cukup profesional. Terdapat 2 kelompok pelaksana yaitu sebagai pelaksana peculikan dan pembunuhan di lapangan. Operasi kelompok-kelompok itu diawali dengan identifikasi calon korban. Setelah diidentifikasi. Kelompok pembunuh memprovokasi massa dan menghasut massa. Massa yang berhasil dihasut lalu dikumpulkan dan bersama-sama menuju kerumah calon korban. kelompok penggerak massa yang digerakkan mencapai 100 atau 200 orang. Dalam perjalanan mereka sering mengajak partisipasi penduduk pria. Biasanya mereka berkata “ayo, ikut ke tempat Bagong”. Bagong artinya orang-orang yang gemar melakukan santet. Ajakan tersebut adakalanya bersifat sukarela, tapi tak jarang setengah memaksa. Para pelaku juga menjanjikan imbalan bagi mereka yang ikut berperan serta dalam kegiatan pembantaian. Dari ratusan massa tersebut, hanya sekitar 4 atau 5 orang saja yang menjemput calon korban dari dalam rumah dengan cara paksa. Sisanya menunggu tak jauh dari rumah korban.
Umumnya para korban dieksekusi di sekitar rumahnya. Sedangkan kejadian ini disaksikan secara langsung oleh anggota keluarganya. Biasanya korban dihabisi dengan cara dijerat tali plastik pada lehernya ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Kerumunan massa yang ratusan jumlahnya turut menyaksikan dan bahkan beramai-ramai ikut berperan dalam pembunuhan tersebut. Dalam situasi demikian, sudah barang tentu tidak ada pembelaan apalagi upaya penyelamatan dari para tetangga. Mereka tentunya berada dalam rasa penuh ketakutan. Merekapun tidak dapat menyaksikan secara jelas karena selain pandangan mereka terhalang oleh kerumunan massa, pembantaian dilakukan dalam keadaan gelapkarena aliran listrik sengaja dipadamkan oleh kelompok tersebut. Mayat korban diangkut massa dengan truck-truck yang telah disiapkan ke sungai Ciwayang Parigi. Dari atas jembatan mayat korban dibuang ke dasar sungai yang konon juga digunakan gerombolan DI/TII membuang mayat-mayat korbannya.
Korban pertama dari rangkaian peristiwa pembunuhan ini adalah Kasna, seorang buruh tani berusia 60 tahun, pembantaian terjadi pada tanggal 24 Nopember 1998. Kasna dihajar dan dibunuh dengan sadis oleh 200 orang tak dikenal di depan anak istrinya. Korban-korban berikutnya terus berjatuhan antara lain Sahrimi, warga dusun Japuh Cirembulan. Ia dijemput dari dalam masjid ketika sedang melaksanakan takbir pada malam Idul Adha 27 Maret 1999. Ia pun diseret dengan terlebih dahulu dijerat lehernya, ke bawah pohon nangka di sekitar masjid, dimana ratusan massa sudah menunggu dan siap membantainya. Kisah pembaiataian serupa dialami Ssaihun, penduduk desa Kawasen, Banjarsari. Ia diseret dari dalam rumahnya pada ranggal 3 April 1999 pukul 22.30 malam oleh segerombolan orang tak dikenal dan ditemukan tewas di bawah pohon sekitar rumahnya. Demikian seterusnya pembantaian demi pembantaian terjadi seolah tiada henti dan menelan korrban yang tidak sedikit jumlahnya , bukan hanya dukun santet tetapi juga meluas ke masyarakat lainnya.
Dari hasil penyelidikan dan penyidikan Polres Ciamis, diketahui bahwa jumlah korban sebanyak 37 orang dan menangkap dan memeriksa untuk diajukan ke kejaksaan negeri Ciamis 47 orang pelaku penculikan-pembunuhan yang terdiri dari beberapa orang warga masyarakat dari beberapa daerah atau kampung di wilayah kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis yang terdiri dari ;
a.Kelompok provokator
Kelompok ini terdiri dari 7 (tujuh) orang yaitu Elang bin Sadro, Sentot, Hendrik, Warno, Sutrisno, Darta dan Jumri.
b.Kelompok Pelaksana pembunuhan di lapangan
Yaitu kelompok masyarakat kampung Ciokong, pembunuh bayaran sebanyak 17 (tujuh belas) orang yang dipimpin oleh Elang bin Sadro, kelompok masyarakat kampung Cikalong, kelompok masyarakat kampung Bojong, kelompok masyarakat kampung Parigi dan kelompok masyarakat kampung Sidamulih yang kesemuanya berada di kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Adapun permasalahan yang hendak kami ungkapkan disini terhadap peristiwa penculikan-pembunuhan di Kabupaten Ciamis diatas adalah ; apakah peristiwa Ciamis di atas merupakan pelanggaran berat HAM ? Apakah bisa dilakukan penuntutan di pengadilan HAM bagi pelaku pembunuhan dan penculikan di atas ? Bagaimana peran Komnas HAM terhadap peristiwa di atas? Bagaimana peran kepolisian khususnya Polres Ciamis dalam mengembangkan HAM ? Hal ini kami anggap penting sehubungan dengan sorotan publik tentang pelaksanaan HAM di Indonesia yang salah satunya adalah peristiwa pelanggaran HAM di Ciamis. Kami berupaya mengupas permasalahan ini dari aspek yuridik-normatif.
3.Pembahasan
a.Pelanggaran Berat HAM
Lingkup pelanggaran HAM yang diklasifikasikan sebagai pelanggaran berat HAM sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi yang menjadi kewenangan pengadilan HAM secara garis besar adalah sebagai berikut :
1)Genocide yaitu ; pemusnahan seluruh atau sebagian rumpun bangsa kelompok bangsa, suku bangsa, kelompok berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, umur atau cacat mental atau fisik.
2)Arbytrary / Extrajudicial killing ; yaitu pembunuhan sewenang-wenang diluar putusan pengadilan.
3)Penghilangan orang secara paksa
4)Perbudakan
5)Diskriminasi yang dilakukan secara sistematis
6)Torture ; penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan, menakut-nakuti atau memaksa dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.
Sedangkan dalam ketentuan pasal 1 RUU Pengadilan HAM disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran berat HAM adalah “pelanggaran hak asasi manusia yang mengakibatkan penderitaan fisik dan atau mental ataupun material atau immaterial serta mengakibakan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat”. Jenis pelanggaran berat HAM secara terinci dijelaskan pada pasal 5 RUU Pengadilan HAM secara garis besar disebutkan sebagai berikut ;
1)Genocide
2)Membunuh orang atau kelompok orang dengan cara sewenang-wenang di luar batas kemanusiaan dan atau di luar putusan pengadilan.
3)Segala bentuk tindakan yang memaksa terjadinya pengungsian atau pemindahan orang atau kelompk orang atas dasar alasan politik.
4)Menculik dan menghilangkan orang secara paksa
5)Melakukan perbudakan
6)Melakukan diskriminasi
7)Melakukan penyiksaan
8)Merusak, membakar dan atau disertai dengan penjarahan pada instansi vital, sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, pusat kegiatan ekonomi dan perdagangan, sarana transportasi atau meracuni obyek-obyek kepentingan umum atau menyebarkan bibit penyakit kepada masyarakat yang dilakukan secara masal
9)Torture ; penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang yang mengakibatkan penderitaan yang berat bagi orang lain baik fisik maupun mental dengan maksud untuk memperoleh keterangan, menakut-nakuti atau memaksa dengan alasan yang bersifat diskriminatif dalam segala bentuknya.
Jenis-jenis pelanggaran HAM tersebut di atas sudah merupakan tindak pidana internasional sebagaimana terdapat pada ; Deklarasi Universal tentang HAM (DUHAM), Konvensi Internasional “Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genoside’, resolusi PBB tanggal 8 Desember 1992 tentang deklarasi tentang Perlindungan setiap orang dari perlindungan secara paksa, Protocal Ammending the Slavery Convention, Convention Against Torture and Other Cruel inhuman of degrading treatment or punishment.
Bagaimana dengan peristiwa di Ciamis ? Berdasarkan fakta-fakta peristiwa sebagaimana disampaikan di atas, jelas akan adanya pelanggaran berat HAM berupa pembunuhan terhadap orang dengan cara sewenang-wenang di luar batas kemanusiaan dan di luar putusan pengadilan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan berkedok dukun santet. Dari hasil identifikasi korban menunjukkan bahwa tidak semua korban adalah dukun santet. Mereka dibunuh oleh massa yang digerakkan oleh kelompok provokator dengan alasan sebagai dukun santet. Hal ini jelas dilakukan bukan di depan sidang pengadilan pada umumnya yang menjunjung asas praduga tak bersalah tapi dilakukan oleh pengadilan rakyat. Pembunuhan itupun dilakukan dengan cara sewenang-wenang tanpa adanya rasa kemanusiaan dengan cara diikat, dibunuh beramai-ramai, mayatnya dibuang ke sungai bahkan ada pembunuhan yang dilakukan di depan keluarga korban.
Selain dari pada hal tersebut di atas, akibat dari peristiwan ini menyebabkan suasana di daerah Ciamis menjadi tidak tenang, masyarakat Ciamis diliputi rasa ketakutan, khususnya bagi masyarakat pedesaan, terutama pada ketukan pintu di malam hari. Hak asasi manusia untuk memperoleh rasa aman dan tenang menjadi terhambat.
b.Pengadilan HAM
Pasal 104 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang HaK Asasi Manusia menyebutkan bahwa untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkup peradilan umum. Adapun lingkup kewenangan dari pengadilan HAM ini sesuai pasal 4 Perpu No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM maupun pada pasal pasal 4 RUU Pengadilan HAM adalah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang berat sebagaimana disebutkan di atas.
Ketentuan pidana tentang HAM sesuai dengan sifat UU HAM yang khusus (tindak pidana khusus) dimana salah satunya yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana disebutkan pasal 1 KUHP (asas legali tas), bahwa terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU HAM dan Pengadilan HAM tetap dapat diberlakukan ketentuan pidana HAM / berlaku surut (pasal 24 Perpu No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, pasal 41 RUU Pengadilan HAM)
Terhadap para pelaku pembunuhan dan penculikan di Ciamis yang telah diajukan ke sidang pengadilan atas perbuatan penculikan- pembunuhan dan telah mendapatkan keputusan yang tetap dari hakim, terhadap hal ini ketentuan pidana HAM tetap menganut asas nebis in idem, sehingga para pelaku tersebut tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan HAM karena telah mendapatkan putusan dari hakim, kecuali bila Komnas HAM dapat melakukan penyelidikan ulang terhadap kasus ini sehingga ditemukan fakta hukum baru tentang pelanggaran berat HAM lainnya yang dilakukan oleh para pelaku tersebut.
Peran Komnas HAM dalam peradilan pidana Hak Asasi Manusia adalah sebagai penyelidik terhadap ada/tidaknya suatu kasus pelanggaran berat HAM (pasal 10 Perpu No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, pasal 8 RUU pengadilan HAM). Berkaitan dengan peran Komnas HAM dalam peradilan pidana HAM ini, khususnya pada kasus Ciamis ini, walaupun telah ada para pelaku yang dipidana, namun masih banyak hal yang belum diungkap, misalnya mengenai apakah ada keterlibatan aparat/pejabat negara dalam peristiwa ini ? Seperti kita ketahui bersama, bahwa pada saat itu isu politik tentang hal ini sangat banyak muncul di berbagai media massa. Pernyataan resmi dari Komnas HAM-pun terhadap peristiwa Ciamis ini belum ada baik pada laporan tahunan maupun pernyataan resmi lainnya. Padahal seperti yang telah kami uraikan di atas bahwa peristiwa Cimis ini adalah pelanggaran berat HAM dan menjadi sorotan publik baik nasional maupun Internasional yang perlu pengungkapan yang lebih transparan.
c.Peran Kepolisian dalam pengembangan HAM
Mayjen Pol (Purn) Drs Koesparmono Irsan, SH, MBA, dalam makalahnya pada Seminar Polri di luar ABRI, di Sespimpol tanggal 24 Mei 1999, menyampaikan bahwa “ Adalah bodoh kalau kia mengira bahwa Polisi dianggap sebagai musuh utama hak asasi manusia. Sebagai insan manusia dan manusia yang berusaha keras, polisi mempunyai kemampuan untuk berbuat baik dan buruk. Seperti halnya negara dan kekuasaan negara, polisi dan kekuasaan kepolisian dapat menjadi pelindung maupun pelanggar hak asasi manusia.” Tentang hal dapat menjadi pelindung dan pelanggar hak asasi manusia ini dapat kita lihat pada pelaksanaan KUHAP berkaitan dengan asas Equal Arm, dimana tersangka memiliki hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh polisi/penyidik Polri tapi bagaimana dengan upaya paksa yang dilakukan oleh Polri sendiri terhadap tersangka dimana jelas-jelas upaya paksa itu mengandung perbuatan melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan hal ini perlu adanya batasan-batasan/limitatif terhadap sejauh mana polisi dapat melanggar HAM seseorang, tentang batasan ini sudah ditentukan / diatur dalam KUHAP.
Pada pasal 2 UU No. 28 tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI bahwa dalam tujuan kepolisian RI disebutkan sebagai berikut : “ menja min tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terselenggaranya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi HAM ”. Dari rumusan tujuan kepolisian RI ini jelas bahwa setiap anggota Polri harus menegakkan HAM dalam setiap tindakan kepolisiannya.
Tindakan kepolisian oleh Polres Ciamis dalam rangka penegakan HAM berupa segera melakukan pengamanan wilayah, pembinaan masyarakat serta penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus yang terjadi adalah sangat tepat walaupun sesuai dengan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM maupun dalam Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM menyebutkan bahwa wewenang penyelidikan pelanggaran berat HAM adan pada Komnas HAM sedang penyidikannya ada pada tim yang dibentuk oleh dan dibawah koordinasi Jaksa Agung (pasal 12 Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM). Namun perlu dilihat kembali bahwa peristiwa penculikan-pembunuhan dan tindakan Polres Ciamis tersebut dilaksanakan pada antara bulam Maret s.d. April 1999, sedangkan Pengadilan HAM sampai saat ini belum dibentuk, Perpu tentang pengadilan HAM baru diundangkan pada tanggal 23 September 1999. Sehingga tindakan Polres Ciamis dari aspek yuridik normatif dalam pengembangan HAM sudahlah tepat. Hal ini juga dapat dilihat pada pasal 104 Perpu No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM ayat (3) ; “Sebelum terbentuk pengadilan Hak Asaso Manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang”, sesuai rumusan pasal ini maka Polri berwenang melakukan penyeldikan dan penyidikan kasus pemculikan dan pembunuhan yang berkedok dukun santet di Ciamis.
4.Penutup
Sehubungan dengan terjadinya peristiwa penculikan dan pembunuhan berkedok dukun santet yang dilakukan secara tidak manusiaw dan biadab terhadap 37 korban di Ciamis pada bulan Maret/April 1999 di atas, dapat kami simpulkan sebagai berikut :
a.Peristiwa penculikan dan pembunuhan berkedok dukun santet yang dilakukan oleh oknum kelompok masyarakat Ciamis dengan cara sewenang-wenang dan biadab dan juga menimbulkan rasa takut bagi warga masyarakat Ciamis pada umumya, dapat dimasukkan sebagai pelanggaran berat HAM berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu pelanggaran hak atas hidup (right to life) berupa extrajudicisal killing/arbytrary.
b.Bahwa aparat penegak hukum telah melakukan proses peradilan umum terhadap para pelaku pelanggaran berat HAM tersebut. Dengan adanya asas nebis in idem maka para pelaku tersebut tidak dapat dikenakan dalam pengadilan HAM nantinya kecuali bila ditemukan bukti baru tentang peristiwa melawan hukum lain dari peristiwa yang telah mendapat putusan hakim peradilan umum tersebut.
c.Guna pengungkapan kasus Ciamis ini lebih transparan, Komnas HAM dapat melakukan penyelidikan kembali khususnya mengenai keterlibatan aparat/pejabat negara saat itu.
d.Dalam pelaksanaan tugasnya, Kepolisian wajib menjunjung tinggi HAM, pelanggaran HAM yang dilakukan dalam tindakan kepolisian harus tetap dalam batas/limitatif yang telah ditetapkan.
e.Polres Ciamis telah mengambil langkah yang tepat dengan segera melakukan proses penanganan pelanggaran HAM berupa penyelidikan dan penyidikan pelanggaran berat HAM. Kedepan, bila Pengadilan HAM telah terbentuk, tugas dan wewenang penyelidikan dan penyidikan pelanggaran berat HAM ada pada Komnas HAM dan tim yang dibentuk dan dikoordinasikan oleh Jaksa Agung.
Demikian tulisan tentang pelanggaran berat HAM di Ciamis medio tahun 1999 kami buat sebagai karya penugasan dalam pelajaran Hukum Pidana Khusus.
DAFTAR PUSTAKA
1.Mayjen Pol (Purn) Drs. Koesparmono Irsan, SH,MBA, Polisi dan Hak Asasi Manusia, makalah pada seminar Polri di Sespim Polri tanggal24 Mei 1999.
2.Mayjen Pol (Purn) Drs. Koesparmono Irsan, SH,MBA, Hak Asasi Manusia, Ubhara Press.
3.Declaration of Human Rights.
4.UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
5.Perpu No 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
6.RUU Pengadilan HAM
7.Pernyataan-pernyataan dan Laporan Tahunan Komnas HAM
8.Berbagai informasi di media massa dan kliping tentang pelanggaran HAM di perpusatakaan PTIK
Tinggalkan Balasan