VIKTIMISASI DAN
WANITA SEBAGAI KORBAN VIKTIMISASI
Pandangan mengenai wanita yang menjadi korban telah mengalamii perubahan dalam beberapa tahun belakangan ini. Sampai pada tahun 1970 – an, korban wanita dianggap sebagai suatu hal yang tak nyata. Walaupun sekitar 2 juta wanita dipukuli tiap tahunnya di Amerika, istilah “battered woman” (wanita yang dipukuli) baru muncul di tahun 1974. Demikian juga pelecehan seksuall baru dianggap sebagai penyimpangan perilaku di tahun 1975 dan pemerkosaan saat kencan (date rape) baru dikenali sebagai suatu masalah diawal 1980-an walaupun masih banyak orang percaya dengan stereotype yang ada pada viktimisasi wanita, frekuensi dan fakta mengenai viktimisasi seksual dan fisik terhadap wanita dan perempuan telah meningkat. Tulisan ini mencoba menggambarkan bagaimana wanita yang menjadi korban kekerasan pria ditangani selama ini dan bagaimana kesadaran akan viktimisasi yang mereka alami mengalami perubahan.
Fokus dari tulisan ini adalah mengenai viktimisasi yang sering kalii berhubungan dengan wanita dan perempuan: viktimisasi seksual dan pemukulan. Pemerkosaan dan pemukulan adalah kejahatan yang paling sering tidak dilaporkan oleh korbannya. Terdapat bukti-bukti penting tidak hanya mengenai legal dan ilegalnya aborsi, tetapi juga pemaksaan sterilisasi terhadap wanita dari ras minoritas.
Viktimisasi fisik dan seksual yang dialami oleh wanita dan perempuan dianggap sebagai suatu kejadian yang jarang terjadi, kesalahan dari korban dan suatu hal yang memalukan korban. Pengertian akan viktimisasi seksual menjadi kabur karena adanya anggapan kaum puritan bahwa pemerkosaan adalah kejahatan yang tdak dapat dikatakan/diceritakan (Sanders, 1980). Selama ini, wanita yang dipukuli dianggap sebagai korban yang pantas menerimanya dsb. Walauoun stereotipe mengenai korban pemerkosaan yang sesungguhnya biasanya mengasumsikan korban berasal dari anglo dan kelas menengah/atas, stereotipe mengenai wanita yang dipukuli adalah wanita yang berasal dari keluarga yang bermasalah di kelas pekerja atau masyarakat miskin. Penelitian menunjukkan bahwa stereotipe tersebut hanyalah mitos : semua wanita dan perempuan memiliki resiko yang sama dalam menghadapi kekerasan yang dilakukan kaum pria, tanpa memandang ras, kasta ataupun etnik.
Walaupun kekerasan yang dilakukan pria terhadap wanita dan perempuan telah berlangsung lama, akan tetapi pengakuan atas adanya kejahatan tersebut belum begitu lama. Russel (1984) menemukan bahwa pengakuan atas kejahatan tersebut dikenal sebagai “ masalah social “. Masalah social adalah fenomena yang sering terjadi sejak dulu, akan tetapi baru diakui sebagai suatu masalah setelah data mengenai hal itu terkumpul dan adanya kritikan dari masyarakat. Russel mengidentifikasikan, berdasarkan kemunculannya dari tahun 1960-an sampai awal 1980-an, beberapa masalah social yang menjadi perhatian masyarakat : (1) kekerasan non seksual terhadap anak, (2) pemerkosaan terhadap wanita oleh orang asing, (3) kekerasan non-seksual terhadap istri, (4) kekerasan seksual terhadap anak (khususnya incest). Pengenalan terhadap masing-masing dari masalah social tersebut membantu untuk menggolongkan kejahatan lainnya. Sejak adanya publikasi buku karangan Russel, kekerasan fisik dan seksual; pemerkosaan dirumah tangga, pelecehan seksual dan viktimisasi wanita dan perempuan untuk acara persembahan setan mengalami peningkatan dalam jumlah dokumentasi.
Kekerasan seksual dan pemukulan tidak selalu hanya viktimisasi itu saja. Rumah dimana terjadi pemukulan wanita mungkin juga rumah dimana anak-anak mengalami kekerasan fisik dan seksual. Sebagai tambahan serangan fisik dan seksual diwaktu kencan atau dalam hubungan intim seringkali terjadi bersamaan. Banyak pria yang memukuli istri/pacar mereka juga sekaligus melakukan serangan seksual terhadap mereka.
Menentukan Frekuensi dan Sifat Dari Viktimisasi Wanita
Sejumlah peneliti (pria) meng-klaim bahwa pria yang paling sering menjadi korban kejahatan secara keseluruhan dibandingkan wanita. Penelitian lainnya secara konsisten menunjukkan bahwa wanita memiliki :ketakutan atas “kejahatan” yang lebih tinggi dibanding pria. Penelitian terkini menunjukkan bahwa wanita merasa dirinya yang paling mungkin (dibanding pria) menjadii korban dari suatu kejahatan. Berdasarkan pada rendahnya angka viktimisasii wanita di sebagian besar data statistik membuat beberapa kriminolog memandang bahwa tingginya ketakutan atas kejahatan yang dirasakan oleh wanita adalah hal yang tidak rasional. Masalah utama dari pemikiran ini adalah : (1) kesadaran atas perkembangan dan frekuensi dimana wanita menjadi korban seringkali diabaikan, (2) sifat dari viktimisasi tersebut berbeda untuk kejahatan yang berhubungan dengan korban wanita (pemerkosan dan pemukulan). Berdasarkan hal tersebut, perkembangan dan frekuensi dari viktimisasi seksuall dan pemukulan sangat jarang dilaporkan ke polisi. Penelitian yang paling komprehensif dan valid mengenai viktimisasi pemerkosaan menemukan bahwa 44 % dari wanita dilaporkan menjadi korban pemerkosaan atau percobaan pemrkosaan setidaknya sekali dan hanya 8 % dari mereka yang melaporkannya ke polisi. Peneliti lain memperkirakan sekitar 40 – 50 % dari jumlah wanita di Amerika mengalami pemukulan oleh pasangan prianya.
Jika kejahatan seperti pemerkosaan dan pemukulan dilaporkan kepolisii (atau bahkan survey kejahatan nasional) seperti halnya kejahatan yang sering dialami pria, statistik akan menunjukkan bahwa wanita memiliki resiko yang lebih dibandingkan pria atas suatu kekerasan. Tingginya rasa takut atas kejahatan yang dirasakan oleh wanita dan rendahnya pelaporan suatu viktimisasi disebabkan oleh keengganan para peneliti untuk menerima tingkat ketakutan sebagai salah satu realita atas resiko yang mereka hadapi. Penelitian lain menemukan bahwa sebagian besar waita sangat jarang memberitahu orang lain mengenai perlakuan fisik dan seksual yang mereka alami karena rasa takut, malu, dan menyalahkan diri sendiri. Lebih dari itu ketika mereka memberitahu kepada orang lain, maka biasanya mereka diminta untuk merahasiakannya juga. Sejumlah alas an mengapa wanita tidak melaporkan kekerasan fisik dan seksual kepada para peneliti/polisi, yaitu : terlalu pribadi untuk dibicarakan, rasa malu, takut atas pembalasan dari pelaku atau represi karena trauma.
Walaupun perbaikan statistik menunjukkan tingginya resiko dari viktimisasi pria jumlahnya tidak cukup untuk menggambarkan adanya masalah gender pada kejahatan semacam itu. Sangat penting untuk dapat menunjukkan sifat dari kejahatan yang seringkali dihadapi wanita. Dengan pengecualian pada kasus pembunuhan, pemerkosaan adalah jenis kejahatan yang paling ditakuti. Kekejaman dan ancaman dari pemerkosaan tidak dapat ditekan. Mirip dengan itu, pemukulan tidak saja merupakan kekerasan, tetapi juga sangat mengganggu korban yang mengalami kekerasan dari orang yang seharusnya mencintai dan menyayangi mereka.
Stanko (1990) melihat ketakutan atas bahaya menjadi hal yang biasa dalam kehidupan wanita dan mereka belajar untuk dapat mengatasinya. Bahkan ketakutan itu rutin terjadi sehingga hampir tidak dapat dikendalikan. Ancaman terhadap suatu viktimisassi juga membatasi dan mengendalikan kebebasan para wanita dan perempuan. Tetapi sebelum menunjukkan batasan dari ancaman kekerasan pria terhadap wanita dan perempuan akan didiskusikan dahulu dampak budaya terhadap peranan gender dan perbedaan kekuatan gender.
Dampak dari Budaya Terhadap Peranan Gender
Stereotipe mengenai peranan jenis kelamin dimulai jauh sebelum kita lahir. Tidak saja nama yang diberikan oleh orang tua berbeda untuk setiap jenis kelamin anak-anak mereka, tetapi juga harapan orang tua terhadap anak tergantung dari jenis kelamin anaknya. Pandangan masyarakat mengenai wanita sebagai mahluk yang lemah, kurang pintar dan kurang berharga akan mempengaruhi kecenderungan akan viktimisasi. Wanita dan perempuan sering kali dianggap sebagai manusia pasif tidak memiliki pertimbangan dan keputusan. Selama ini, pria dipandang sebagai orang, sedangkan wanita dipandang sebagai property. Dahulu hukum mengganggap pemerkosaan sebagai kasus pencurian dan hukum perkosaan dibuat untuk melindungi pria anglo dari kelas menegah dan atas dari kehilangan atas property mereka (anak dan istrinya).
Hal itu menyebabkan banyak wanita dan perempuan telah terbiasa untuk menjadi korban dari kekerasan pria. Anak perempuan diberi penghargaan atas sikap pasif dan feminim mereka, sedangkan anak laki-laki diberi penghargaan atas sikap agresif dan maskulin mereka. Stereotipe seperti itu seringkalii dimunculkan dimedia, dimana jarang terdapat karakter wanita yang kuat, dan independen. Lebih dari itu, pandangan tersebut mempengaruhi persepsi pria dan wanita mengenai dominasi pria dan kemampuan (atau ketidakmampuan) wanita dalam menghadapi dominasi pria.
Kebudayaan kita seringkali mengarahkan bahwa wanita membutuhkan pria untuk memberikan perlindungan dan keamanan secara finansial. Sebagaii contoh perkiraan social bahwa wanita yang sedang berkencan biasanya mengira bahwa teman kencan mereka akan melindungi mereka. Perkiraan inii menyebabkan wanita menjadi lemah terhadap para pemerkosa yang seringkalii memanfaatkan situasi itu. Untuk memperjelas hal ini, pria yang melakukan kekerasan fisik dan seksual terhadap wanita yang dikenalnya atau bahkan yang berhubungan intim dengan mereka seringkali menerima dukungan dari teman-teman mereka untuk melakukan kekerasan itu.
Terdapat kecenderungan untuk melihat bahwa agresifitas pria (kekerasan) terhadap wanita dan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang alami. Penjelasan mengenai pengalaman wanita dalam mengahadapi kekerasan pria seringkali terpusat pada apakah agresi pria itu sesuatu yang “alami” dalam hubungannya dengan perilaku wanita. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pola-pola perilaku tertentu yang dapat menyebabkan dan membenarkan suatu viktimisasi wanita oleh pria. Lebih jauh lagi, hal ini juga menunjukkan bahwa wanita adalah penyebab dari timbulnya kekerasan pria dan dalam beberapa kasus pria dibenarkan atas perilaku kekerasan mereka tersebut. Penelitian terkini menemukan bahwa wanita tidak begitu mempercayai mitos yang melekat mengenai pemerkosaan. Mereka yang percaya akan mitos pemerkosaan (umumnya pria) seringkali menyalahkan korban dan mendukung peranan gender yang konservatif.
Stereotipe gender menyebabkan persepsi mistis atas pelaku dan korban dari serangan seksual menjadi tambah subur. Terdapat kecenderungan untuk berpikir bahwa haknya wanita dan perempuan tertentu yang menjadi korban kejahatan seksual dan pemukulan, dan hanya pria tertentu yang menjadi pemukul dan pemerkosa. Wanita yang diperkosa seringkali memiliki stigma bahwa mereka telah “terprovokasi” dan tidak dapat mengendalikan nafsu seksual mereka. Stereotipe seperti ini seringkali dihubungkan dengan asumsi ras dan kelas. Persepsi semacam ini tidak berdasarkan pada kenyataan dan menghalangi kemampuan kita untuk memahami dan melindungi diri mereka dari viktimisasi seksual. Di Amerika, sebagiam besar pemerkosa adalah pria anglo, dan 90 % dari kasus pemerkosaan adalah intra-rasial.
Perbedaan Gender dalam Kekuasaan
Gambaran yang lebih akurat mengenai masalah ini adalah bahwa viktimisasi wanita dan perbedaan kekuasaan gender saling berhubungan satu sama lain. Lebih khusus lagi, viktimisasi dan ancaman viktimisasi terhadap wanita berakibat pada menurunnya kekuatan yang dimiliki oleh wanita dan perempuan. Secara simultan, perbedaan kekuasaan antara pria dan wanita membuat wanita cenderung menjadi korban dan pria cenderung menjadi pelaku/penyerang. Terdapat banyak hal di masyarakat, budaya, dan sistem hukum yang turut berperan dalam putaran viktimisasi wanita dan perbedaan kekuasaan gender, seperti pandangan bahwa wanita itu pasif, dan sikap polisii yang menyalahkan korban. Sehingga kita harus secara simultan memberdayakan wanita dan perempuan agar seimbang kedudukannya dengan pria dan laki-laki, didalam pemikiran wanita dan pria.
Perbedaan kekuasaan ini tidak hanya terbatas pada kekuatan fisik, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan kita – pria cenderung memiliki status ekonomi, politik, dan social yang lebih tinggi dari yang dimiliki wanita. Penelitian di 55 kota di Amerika menemukan bahwa seiring dengan menurunnya status ekonomi, politik, dan social kaum wanita, maka angka pemerkosaan pun akan meningkat. Perbedaan kekuasaan ini berakibat pada perbedaan kekuasaan social dan psikologis antara pria dan wanita. Perbedaan status gender sama jelasnya di tingkatan individu.
Kekuasaan itu ditunjukkan dalam banyak bentuk: secara fisik (pemukulan), secara seksual, ekonomi, dan verbal. Kekuasaan pria, yang nyata dan tidak nyata, membatasi kebebasan dan hak yang dimiliki oleh wanita dan perempuan.
Viktimisasi seksual, seperti pemukulan wanita, adalah perwujudan dari kekuasaan pria. Pelaku penyerangan termotivasi oleh keinginan untuk mendominasi, tidak hanya sekedar memuaskan nafsu seksual mereka. Pemaksaan seksual jelas merupakan bentuk pengendalian terhadap diri korban dan membuat malu korban; korban merasa tidak berdaya karena tidak memilikii kontrol atas tubuhnya sendiri, sedangkan pemerkosa memiliki kontrol penuh atas diri korban.
Ancaman atas Kekerasan
Walaupun anak laki-laki dan perempuan hidupnya dibatasi karena mereka lemah dan membutuhkan perlindungan, pembatasan seperti itu akan terus dialami oleh wanita seumur hidupnya. Wanita terus diingatkan akan kelemahan mereka oleh teman, keluarga, dan media. “Ketakutan seperti itu menyebabkan stress pada wanita dan membuat mereka mengambil tindakan preventif yang pada akhirnya membatasi kebebasan wanita, seperti tidak keluar rumah sendirian di malam hari. Pesan mengenai kelemahan wanita dan perempuan itu begitu mendalam: wanita harus membatasi perilaku, tindakan dan cara berpakaian mereka, jika tidak maka akan berakibat pada terjadinya sesuatu pada diri mereka. Wanita diingatkan akan kelemahan mereka dan mengenai kekerasan yang dilakukan oleh pria setiap kali mereka membaca atau mendengar kasus pemerkosaan. Lebih dari itu, wanita jarang dapat memprediksi kapan suatu ancaman atau intimidasi berubah menjadi suatu kekerasan. Akibatnya, banyak wanita yang dijaga dari kemungkinan kekerasan oleh pria, khususnya jika mereka pernah menjadi korban.
Pemukulan wanita oleh suami atau pacar mereka, hampir sama dengan viktimisasi seksual, membuat wanita berada dalam kendali pria. Banyak yang masih percaya bahwa pria adalah “raja di kerajaannya sendiri”. Pemukulan, dalam bentuk nyata atau ancaman, membuat korban kehilangan kendali atas hidupnya. Sama seperti serangan seksual cenderung terjadi di tengah masyarakat yang memiliki perbedaan kekuasaan yang besar diantara gender, hal yang sama terjadi pada kasus pemukulan wanita. Semakin banyak pria yang memiliki kendali atas wanita, maka semakin sering kasus pemukulan terjadi.
Ancaman dan perlakuan viktimisasi terhadap wanita dan pria (secara seksual, fisik, atau verbal) berperan dalam menempatkan posisi wanita dalam suatu budaya. Hal itu membatasi kebebasan dan kualitas hidup wanita dan perempuan. Brownmiller menambahkan bahwa keuntungan yang dimiliki oleh semua pria dari kasus pemerkosaan dapat lebih dimengerti ketika seseorang mengakui bahwa tidak perlu bagi semua pria untuk melakukan viktimisasi terhadap semua wanita agar semua wanita merasa takut terhadap ancaman kekerasan pria. Terdapat bukti bahwa beberapa pria melakukan viktimisasi terhadap wanita untuk mengendalikan hidup mereka melalui rasa takut.
Sikap Menyalahkan Korban
Wanita dan perempuan yang tidak mematuhi peraturan tak tertulis yang berlaku di masyarakat seringkali disalahkan ketika mereka mengalamii perkosaan. Orang yang percaya bahwa wanita dan perempuan seharusnya membatasi hidup mereka juga cenderung untuk percaya bahwa wanita dan perempuan yang melanggar aturan tak tertulis tersebut turut bertanggung jawab ketika merek menjadi korban. Dampak dari rasa takut yang besar atas kejahatan berakibat pada timbulnya paksaan social terhadap mereka; wanita yang tidak mematuhi paksaan tersebut dapat dihukum tidak hanya berupa viktimisasii secara langsung, tetapi juga disalahkan atas viktimisasi yang mereka alami. Survey nasional menemukan bahwa korban pemerkosaan sangat memikirkan mengenai perasaan keluarga dan teman mereka yang mengetahui bahwa mereka telah diperkosa, mengenai pikiran orang yang menyalahkan mereka, dan hal-hal lainnya.
Korban dari suatu pemerkosaan dan pemukulan seringkali disalahkan atas kejadian tersebut dibandingkan korban dari bentuk kejahatan yang lain. Korban pemukulan dan kekerasan seksual seringkali dituduh telah memprovokasi perilaku kekerasan tersebut. Bahkan seringkali mereka dituduh “meminta”, “pantas menerima”, atau “menikmati” viktimisasi yang terjadi.
Korban pemerkosaan disalahkan karena mengenakan pakaian tertentu, lalai mengunci pintu atau jendela, meminum alcohol, menunggu bis di tengah malam, atau menumpang mobil. Penting bagi calon korban untuk mengetahui situasi apa saja yang dapat meningkatkan resiko atas viktimisasi, tetapi penting juga diingat bahwa tidak semua wanita memiliki kendaraan sendiri, dan pelaku kejahatan itu, bukan korban kejahatan, yang bertanggung jawab atas terjadinya kekerasan itu. Lebih dari itu, walaupun data statistik menunjukkan bahwa wanita memiliki resiko terbesar untuk diperkosa oleh suami dan pacar mereka, hanya sedikit orang yang memberitahu wanita dan perempuan untuk tidak berkencan dan menikah.
Tidak hanya orang-orang yang berada di jalanan yang memiliki pemikiran mengenai jenis-jenis orang tertentu yang dapat menjadi korban. Orang yang bertanggung jawab atas perawatan korban dan orang yang memberikan hukuman kepada pelaku, seringkali memiliki informasi dan persepsi yang salah. Satu penelitian mengenai persepsi reputasi korban penyerangan seksual di pengadilan menemukan bahwa wanita yang bercerai, wanita dari ras lain, dan wanita yang keluar sendirian di malam hari adalah jenis-jenis wanita tertentu yang “pantas” untuk menjadi korban suatu tindakan seksual, sehingga mereka tidak dapat disebut sebagai korban dari pemerkosaan.
Sama seperti wanita yang menjadi korban serangan seksual, wanita yang dipukuli seringkali disalahkan atas kekerasan yang mereka alami. Terdapat mitos bahwa kekerasan adalah “gaya hidup” dari sekelompok orang; maka, wanita yang merupakan anggota dari kelompok masyarakat itu tidak akan mengalamii trauma akibat perkosaan atau pemukulan, tidak seperti wanita lainnya. Jelas bahwa hal ini tidak benar. Dalam analisa atas pertanyaan mengapa pria menjadii jahat, masalah yang umum ditemui adalah klaim bahwa mereka menjadi jahat karena mereka pernah mengalami kejahatan itu sendiri (menjadi korban). Tetapii mengapa wanita tidak menjadi jahat, padahal mereka telah mengalami begitu banyak viktimisasi?
Mengapa beberapa korban disalahkan atas viktimisasi yang mereka alami? Hipotesa “Just World” Lerner mencoba menjelaskan hal ini, yaitu bahwa sebagian besar orang ingin untuk percaya bahwa mereka mendapatkan apa yang mereka pantas dapatkan (Karmen 1984). Oleh karena itu, ketika kita mendengar kejadian buruk yang menimpa seseorang, seringkali kita mempertanyakan perilaku orang tersebut. Kita mengabaikan kenyataan bahwa kekerasan terjadi secara acak dan sulit untuk di prediksi.
Pendekatan “just world” tidak hanya menghasilkan asumsi bahwa hanya beberapa orang tertentu yang dapat menjadi korban, tetapi juga menipu orang karena mereka menganggap diri mereka bebas dari viktimisasi karena mereka melihat siapa diri mereka dan bagaimana perilaku mereka. Sayangnya pemikiran seperti itu salah – setiap orang dapat menjadi korban. Penelitian mengenaii korban pemukulan dan perkosaan menemui kesulitan untuk menentukan siapa yang paling beresiko karena focus penelitian seringkali tertuju pada korban bukannya pada pelaku.
Seiring dengan diterimanya kenyataan bahwa kekerasan terjadi secara acak, perlu juga diketahui bahwa viktimisasi seksual dan pemukulan pada sebagian besar wanita dan perempuan dilakukan oleh orang yang mereka kenal. Isu mengenai penyalahan terhadap korban dicontohkan Wolfgang melalui penggunaan istilah “presipitasi korban” , yang terfokus pada peranan yang dimainkan oleh korban ketika mengalami viktimisasi. Pendekatan inii menganggap bahwa korban turut bertanggung jawab.
Penyalahan terhadap korban pada kasus pemukulan biasanya berupa pertanyaan “Mengapa dia tinggal bersama pria itu?”. Implikasi dari pertanyaan itu adalah jika wanita tidak ingin dipukuli, dia harus meninggalkan pasangannya tersebut. Pandangan ini mengabaikan ketergantungan ekonomi dan psikologis dan ketakutan yang dirasakan oleh wanita itu.
Kesimpulan
Dahulu wanita yang menjadi korban dianggap tidak nyata. Pemukulan dan viktimisasi seksual adalah kejahatan yang paling sering tidak dilaporkan. Informasi mengenai viktimisasi wanita telah menyebar luas, termasuk pengetahuan bahwa hal itu terjadi lebih sering dari yang kita perkirakan, dan sifat dari viktimisasi itu lebih mengancam dan membahayakan dari yang diperkirakan sebelumnya. Lebih dari itu, budaya dan masyarakat cenderung untuk mendukung peranan gender yang mendorong timbulnya kekerasan pria terhadap wanita. Wanita dan perempuan didorong untuk berlaku pasif dan penurut, sedangkan pria dan laki-laki didorong untuk berlaku agresif.
Penentuan mengenai penyebab terjadinya viktimisasi wanita berdasarkan pada perbedaan kekuasaan oleh gender. Viktimisasi wanita adalah hasil dari dan penguatan dari adanya perbedaan kekuasaan gender. Yaitu bahwa ancaman dan keberadaan viktimisasi wanita menurunkan kekuasaan yang dimiliki oleh wanita dan perempuan; secara simultan, perbedaan kekuasaan inii menyebabkan timbulnya viktimisasi. Lebih jauh lagi, ancaman kekerasan terhadap wanita telah membatasi kebebasan yang dimiliki oleh wanita dan perempuan. Ketakutan akan viktimisasi seksual mempengaruhi dimana, kapan, dan bagaimana wanita akan bekerja, bersosialisasi, dan hidup. Wanita belajar bahwa mereka tidak aman sendirian, dimalam hari, di tempat-tempat tertentu, dan dengan orang-orang tertentu. Penggabungan dari batasan-batasan tersebut adalah berupa pengetahuan mengenai viktimisasi seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang dikenal korban.
Pandangan stereotype di masyarakat yang menganggap bahwa beberapa wanita “meminta” untuk diperkosa melalui cara mereka berpakaian, perilaku, dan bahkan ras atau kelas social mereka. Pandangan itu mengakibatkan timbulnya mitos bahwa korban pemerkosaan yang sesungguhnya adalah wanita dari ras Anglo yang kaya dan perawan. Penyalahan atas korban tidak hanya menganggap bahwa korban bertanggung jawab atas kekerasan dan eksploitasi yang mereka alami, tetapi juga membuat orang salah mengira bahwa kekerasan tidak terjadi secara acak.
Wanita berkulit hitam, secara khusus, sangat menderita akibat adanya stereotype mengenai diri mereka. Semua stereotype itu bersifat negatif, dan sekali menjadi korban, maka wanita berkulit hitam akan menghadapi masalah yang lebih besar lagi. Sebagai tambahan, mereka dikecewakan oleh kaum feminis yang gagal menemukan hubungan antara eksploitasi terhadap wanita dan eksploitasi terhadap masyarakat dari ras berwarna.
Tulisan diatas menjelaskan pandangan masyarakat mengenai wanita dan perempuan dan bagaimana pandangan itu berdampak pada viktimisasi wanita. Juga mengenai bagaimana korban-korban tersebut di perlakukan oleh masyarakat dan sistem hukum. Penyingkapan atas viktimisasi wanita mendorong tumbuhnya pengertian pada dampak dan sifat dari viktimisasi yang dialami oleh wanita dan perempuan. Pandangan dan respon negatif ini khususnya menyangkut wanita dari ras berwarna. Untuk menghadapi viktimisasi terhadap wanita dan perempuan, perlu untuk menghilangkan masalah perbedaan gender, melakukan perbaikan sistem hukum, dan melawan rasisme, klasisme, dan seksisme.
Terima kasih atas tulisan “VIKTIMISASI DAN WANITA SEBAGAI KORBAN VIKTIMISASI”, mau tanya sumber acuan penulisan ini dari buku apa ya? Kebetulan saya sedang penelitian tentang wacana KDRT terhadap perempuan dalam media massa.
SukaSuka
tulisan ya mbak baca sebenarya merupakan tugas -tugas dari mata kuliah Kriminologi dan Viktimologi kebetulan salah seorang dosen kami senang memberikan selembar kertas fotokopian untuk diterjemahkan oleh mahasiswanya kemudian dibuat rangkuman sebagai tes tambahan menjelang ujian semester , saya sudah upayakan mencari lembaran fotokopian tadi namun belum beruntung menemukan kembali di tumpukan arsip arsip yang ada, seingat saya waktu itu membahas tentang viktimisasi secara struktural terhadap wanita dalam bentuk studi kasus di indonesia
SukaSuka