IDENTIFIKASI POTENSI KONFLIK YANG BERSUMBER DARI SARA, INDUSTRI, ECONOMY GAP, MASALAH KETENAGAKERJAAN DAN DAMPAK INDUSTRI PERKEBUNAN SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA SECARA EFEKTIF
disampaikan oleh : KELOMPOK III Rapim Polri
Jakarta, 30 Januari 2013
IDENTIFIKASI POTENSI KONFLIK
YANG BERSUMBER DARI SARA, INDUSTRI, ECONOMY GAP, MASALAH KETENAGAKERJAAN DAN DAMPAK INDUSTRI PERKEBUNAN
SERTA UPAYA PENANGGULANGANNYA SECARA EFEKTIF
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini tengah menghadapi ancaman serius berkaitan dengan merebaknya konflik-konflik dalam masyarakat, baik yang bersifat vertikal maupun horisontal. Sumber konflik tersebut bisa berasal dari perbedaan nilai-nilai ideologi, maupun intervensi kepentingan luar negeri yang bahkan dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Konflik tersebut apabila didukung oleh kekuatan nyata yang terorganisir tentunya akan menjadi musuh yang potensial bagi NKRI. Contoh nyata dari konflik sosial yang sering terjadi adalah konflik yang timbul dalam pergaulan umat beragama baik intern maupun antar umat beragama seperti munculnya kekerasan, perusakan rumah ibadah dan kekerasan agama lainnya yang dilakukan oleh masyarakat sipil.
Keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, pada satu sisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesajahteraan masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi tersebut dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional, apabila terdapat kondisi ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, kemiskinan serta dinamika kehidupan politik yang tidak terkendali.
Di samping itu, transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang semakin terbuka mengakibatkan semakin cepatnya dinamika sosial, termasuk faktor intervensi asing. Kondisi-kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan konflik, baik konflik horisontal maupun vertikal. Konflik tersebut, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa aman, menciptakan rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis (dendam, kebencian dan perasaan permusuhan), sehingga menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.
Konflik mengandung spektrum pengertian yang sangat luas, mulai dari konflik kecil antar perorangan, konflik antar keluarga sampai dengan konflik antar kampung dan bahkan sampai dengan konflik masal yang melibatkan beberapa kelompok besar, baik dalam ikatan wilayah ataupun ikatan primordial. Pada dasarnya, konflik dapat dibedakan antara konflik yang bersifat horisontal dan vertikal, dimana keduanya sama-sama besarnya berpengaruh terhadap upaya pemeliharaan kedamaian di negara ini.
Konflik horisontal yang dimaksudkan adalah konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti ideologi politik, ekonomi dan faktor primordial. Sedangkan konflik vertikal maksudnya adalah konflik antara pemerintah/penguasa dengan warga masyarakat. Konflik masal tidak akan terjadi secara serta merta, melainkan selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap di dalam masyarakat, yang kemudian dapat berkembang memanas menjadi ketegangan dan akhirnya memuncak pecah menjadi konflik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik.
Beberapa contoh konkrit masalah konflik yang cukup serius baik yang bersifat vertikal ataupun horisontal yang terjadi pada akhir-akhir ini antara lain:
a) Konflik yang bernuansa separatis di NAD, Maluku, dan Papua;
b) Konflik yang bernuansa etnis di Kalbar, Kalteng, dan Ambon;
c) Konflik yang bernuansa ideologis isu faham komunis, faham radikal;
d) Konflik yang benuansa politis akibat isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan pengrusakan;
e) Konflik yang bernuansa ekonomi konflik perkebunan di Mesuji– ;
f) Konflik bernuansa solidaritas liar tawuran antar wilayah, antar suporter sepak bola;
g) Konflik isu agama atau aliran kepercayaan isu berkaitan dengan SARA di Kecamatan Cikeusik Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten, isu aliran sesat; dan
h) Konflik isu kebijakan pemerintah: BBM, BOS, LPG, dan lain-lain.
Dari beberapa konflik tersebut di atas, SARA dan Dampak Industri; perkebunAN, Ketenagakerjaan, dan ketenagakerjaan merupakan konflik yang sering terjadi dan sangat berpengaruh terhadap situasi keamanan dan ketertiban masyarakat, khususnya menjelang Pemilihan Umum 2014. Oleh karenanya dalam rangka penanggulangan konflik, yang perlu diwaspadai bukan hanya faktor-faktor yang dapat memicu konflik, namun juga yang tidak kalah pentingnya adalah faktor-faktor yang dapat menjadi potensi atau sumber-sumber timbulnya konflik.
B. LANDASAN TEORI
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif. Fungsional secara positif apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok, sebaliknya bersifat negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan sistem nilai yang ada dalam masyarakat, konflik bersifat fungsional negatif apabila menyerang suatu nilai inti. Dalam hal konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain, konflik dapat bersifat fungsional positif karena akan membantu pemantapan batas-batas struktural dan mempertinggi integrasi dalam kelompok.
Terlepas dari teori konflik yang menganggap konflik memiliki nilai positif, sejarah jaman maupun kenyataan hingga kini membuktikan bahwa konflik sosial secara langsung selalu menimbulkan akibat negatif. Bentrokan, kekejaman maupun kerusuhan yang terjadi antara individu dengan individu, suku dengan suku, bangsa dengan bangsa, golongan penganut agamayang satu dengan golongan penganut agama yang lain. Kesemuanya itu secara langsung mengakibatkan korban jiwa, materiil, dan juga spiritual, serta berkobarnya rasa kebencian dan dendam kesumat. Misalnya Konflik Etnis (Kerusuhan Sosial) di Kalimantan Barat.
Fakta menunjukkan bahwa konflik berbasis kekerasan di Indonesia bisa menjadi bencana kemanusiaan yang cenderung berkembang dan meluas baik dari segi issu maupun para pelakunya. Hal ini yang menjadikan proses penanganan konflik membutuhkan waktu yang lama dengan kerugian sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa.
Sementara itu, upaya penanganan konflik (prevention, resolution, and post conflict action) yang dilakukan selama ini pada beberapa daerah konflik seperti: di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Maluku Utara, dan terakhir konflik yang berbasis SARA seperti terjadi terhadap warga SARA di Cikeusik Banten serta konflik berbasis Sumber Daya Alam seperti terjadi di Mesuji yang mengakibatkan korban jiwa masih belum menunjukkan hasil penyelesaian yang optimal, karena Penanganan konflik belum sampai menyentuh pada akar permasalahan konflik.
Secara teoritis terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu kekerasan tersebut. Akan tetapi seringkali kekerasan merupakan muara dari terjadinya konflik yang tertangani secara keliru. Menurut Galtung dalam Sutanto (2005), konflik merupakan penyebab niscaya bagi kekerasan, karena di bawah atau di balik setiap bentuk kekerasan terdapat konflik yang belum terselesaikan.
Jika konflik dianggab sebagai penyebab niscaya bagi kekerasan, sesungguhnya potensi kekerasan ada di setiap individu. Hal ini karena, konflik sedang dan akan dialami oleh hampir setiap orang. Seperti Kai Fitthjof & Brand Jacobsen (dalam Sutanto, 2005) menyatakan bahwa, konflik berada dalam semua tataran, di dalam diri individu, diantara individu-individu, di dalam dan diantara masyarakat, negeri, dan budaya. Konflik adalah suatu yang alamiah. Ia dialami orang-orang dengan latar belakang, budaya, kelas, kebangsaan, usia, jender apapun, di tengah kehidupan sehari-hari. Kenyataan menggarisbawahi bahwa konflik sejatinya omnipresent, ada di mana saja. Ia melekat pada tiap aktivitas hidup bermasyarakat dan mustahil dapat dihilangkan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, yang dimaksud dengan Konflik Sosial adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional. Konflik sosial sendiri dapat bersumber dari:
a) permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya;
b) perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis;
c) sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;
d) sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau
e) distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.
Menurut Suyanto, terdapat dua aspek penting dan krusial yang perlu dikembangkan dalam upaya pencegahan dan penanganan konflik. Pertama adalah, aspek kapasitas untuk menangani konflik yang meliputi keterampilan dan pengetahuan yang adekuat untuk penyelesaian konflik sekaligus pencegahan konflik. Kedua adalah kesadaran kritis masyarakat maupun pemerintah untuk menyelesaikan konflik maupun pencegahan konflik. Ternyata, kedua aspek ini kurang sekali dimiliki oleh lembaga masyarakat sipil maupun pemerintah termasuk Polri. Padahal kedua aspek itu, baik secara teoritik maupun empiris merupakan syarat mutlak untuk penyelesaian dan pencegahan konflik bagi terwujudnya perdamaian
C. TINJAUAN KONDISI SOSIAL BUDAYA
SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. SARA dapat digolongkan dalam tiga kategori atau karakteristik:
1) Individual : merupakan tindakan SARA yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan.
2) Institusional : merupakan tindakan SARA yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya.
3) Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.
Multi krisis yang terjadi meliputi krisis ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum, akhirnya mengkristal menjadi suatu krisis kepercayaan yang secara langsung maupun tidak langsung telah menyentuh ke sektor perkebunan. Konflik yang terjadi di perkebunan khususnya adalah berkaitan dengan permasalahan tanah yang mengarah kepada konflik horisontal antara perkebunan dengan masyarakat penggarap dan telah mengakibatkan tindak kekerasan berbentuk pengrusakan lahan (tanah) dan tanaman perkebunan, kemudian bentrok fisik karyawan perkebunan dengan para petani yang menduduki lahan perkebunan, dengan kata lain lingkungan perkebunan telah mengalami kerusakan.
Pengertian ‘tanah’ menurut Pasal 4 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 adalah permukaan bumi. Dari ketentuan pasal inilah istilah ‘tanah’ dalam hukum tanah yang asas-asas pokoknya diatur dalam UUPA mengundang pengertian ruang, yang memberi wewenang untuk mempergunakan bumi, juga ruang yang ada di atasnya dan tubuh bumi yang ada dibawahnya alam batas-batas kewajaran (Budi Harsono,..:57; Kusbianto, 2002:52). Pengertian ‘penguasaan’ dapat dipakai dalam beberapa arti, dalam arti yuridis yaitu yang menunjuk pada adanya suatu hubungan hukum antara suatu subyek dengan tanah tertentu. Penguasaan dalam arti biasa disebut hak yang berisikan wewenang dan kewajiban-kewajiban tertentu bersangkutan dengan tanah yang di hak-i itu. Hubungan hukum yang merupakan hak itu, ada pengaturannya dalam bidang hukum publik (hukum tanah publik), misalnya apa yang disebut hak penguasaan dari pada Negara yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA No. 5 Tahun 1960. Ada pula yang pengaturannya dalam bidang hukum privat (hukum tanah privat), yaitu apa yang disebut hak-hak atas tanah dan hak jaminan atas tanah, misalnya hak milik, hak guna bangunan, hak gadai dan hak pengelolaan, selanjutnya mempunyai wewenang untuk mempergunakan tanah yang di hak-i (Pasal 4 UUPA No.5 Tahun 1960). Istilah penguasaan dapat juga dipakai dalam arti yang menunjuk adanya suatu hubungan fisik antara tanah tertentu dengan pihak yang menguasainya (Kusbianto, 2002:52-53).
Secara fundamental pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah memberikan landasan normative bahwa kebijakan pertanahan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil. Hak menguasai dari negara yang dimaksud Pasal 33 ayat (1) UUD 45 bukan berarti bahwa seluruh tanah dalam wilayah Indonesia dimiliki oleh negara, melainkan memberi wewenang kepada negara untuk:
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3) Menentukan dan mengatur hubungan antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa (Pasal 2 ayat 2 UUPA No.5 Tahun 1960).
Pemahaman atau persepsi yang keliru terhadap arti pentingnya tanah dalam kehidupan masyarakat dengan memanfaatkan tanah sebagai komoditi ekonomi semata, telah memicu letupan konflik sosial yang mengganggu jalannya pelaksanaan pembangunan. Salah satu permasalahan di bidang pertanahan yang menonjol dalam beberapa tahun terakhir ini adalah konflik sosial di atas tanah perkebunan. Apalagi manakala penguasaan atas tanah secara kolektif dikaitkan dengan hak ulayat, sebagai bentuk hak adat yang penguasaannya secara sosial.
Hak ini timbul dan telah ada semenjak berbagai ketentuan hukum masa penjajahan dan kemudian setelah era kemerdekaan terbentuk. Sengketa atau kasus di perkebunan pada umumnya adalah sengketa antara masyarakat di satu sisi dan perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) di sisi lain, dalam bentuk penjarahan hasil perkebunan dan pendudukan tanah perkebunan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup akibat dari desakan krisis ekonomi, sementara tanah-tanah HGU tersebut dalam keadaan tidak ditanami atau memang disediakan untuk replantasi/peremajaan tanaman. Penjarahan atau pendudukan tanah perkebunan selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, juga yang terjadi dalam bentuk reclaiming action yaitu tuntutan pengembalian hak atas tanah leluhur atau tanah ulayat yang dianggap telah diambil untuk perkebunan dengan cara paksa, tanpa izin atau tanpa ganti rugi yang layak pada puluhan tahun yang lalu atau ada dugaan bahwa luas hasil ukur yang diterbitkan HGU berbeda dengan kenyataan di lapangan, sehingga tanah-tanah masyarakat masuk pada areal perkebunan. Pada umumnya tanah-tanah perkebunan di Sumatera berasal dari tanah-tanah bekas erfpacht, kemudian diperoleh dari bekas kawasan hutan yang telah dilepaskan atau dari tanah ulayat yang telah diberikan recognisi dan merupakan tanah perkebunan baru. Dalam hal terjadi sengketa tanah antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan pemegang HGU, pemerintah berusaha mencari solusi penyelesaian yang terbaik berdasarkan perundang-undangan dan peraturan yang berlaku dan rasa keadilan dengan menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Terhadap tanah-tanah perkebunan (HGU) yang diduduki rakyat karena tidak diusahakannya baik sebagai akibat kelalaian pemilik perkebunan, maka tanah yang diduduki rakyat dapat dikeluarkan dari areal HGU yang kemudian ditata kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanahnya dengan memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), keadaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, keadaan kebun dan penduduk yang menguasai tanah terhadap tanah-tanah perkebunan yang luasnya melebihi luas HGU yang tercantum dalam sertifikat harus dikeluarkan dari areal perkebunan tersebut atau segera memohon hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Konflik antara rakyat dan perkebunan telah dirasakan dampaknya terhadap lingkungan kerja, terhadap investasi maupun penerimaan Negara. Pendudukan tanah-tanah perkebunan oleh masyarakat secara paksa telah mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup, konflik antara masyarakat dan karyawan perkebunan, mengganggu ketenangan dan keamanan kerja, pada lingkungan kerja perkebunan tersebut. Tidak adanya rasa aman dan ketenangan dalam bekerja lebih lanjut mengakibatkan hasil-hasil perkebunan yang belum layak panen terpaksa di panen lebih awal untuk menghindari dari penjarahan. Dengan demikian ia menghasilkan produk yang berkualitas rendah sehingga tidak mampu bersaing di pasar internasional. Hal ini secara akumulatif berdampak terhadap penerimaan negara dan embangunan nasional.
Perusahaan Perkebunan dalam mengelola usaha perkebunan terpaksa harus menghadapi permasalahan konflik tanah hak guna usahanya dengan masyarakat yang melakukan penggarapan di dalam areal lahan perkebunan berdasarkan atas Hak Guna Usaha (HGU).
D. KETENTUAN YURIDIS
1. Undang-undang No. 2 Tahn 2002 tentan Kepolisian Negara RI
2. Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
3. Undang-undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanggulangan Konflik Sosial
4. Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 2011 tentang pengelolaan pengkajian dan penanganan kasus pertanahan
5. Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan Kepolisian
6. Perkap No 3 Tahun 2009 tentang Sistem Operasional Polri.
7. Perkap No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam penanggulangan huru hara.
8. Surat Mendagri No. 300/3305/SJ tentang perhatian khusus terhadap upaya menciptakan ketentraman dan ketertiban serta kerukunan masyarakat di daerah
II. MAKSUD DAN TUJUAN
A. Maksud
Memberikan masukan kepada pimpinan Polri tentang identifikasi potensi konflik yang bernuansa SARA dan Perkebunan, Ketenagakerjaan serta Economy Gap sebagai upaya penanggulangan secara efektif
B. Tujuan
Untuk dapat dijadikan pedoman bagi unsur pelaksana di lapangan dalam penanggulangan konflik sosial
III. PEMETAAN KONDISI KONFLIK
A. Adanya kesenjangan sosial antar kelompok.
Pada sebagian kelompok dari suku – suku yang ada di indonesia, terutama pada kelompok masyarakat yang mayoritassuku Jawa dan suku Bali yang memiliki budaya kerja yang lebih baik, menjadikan pola kehidupan dan tingkat sosial yang lebih mapan dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang berasal dari suku itu sendiri. Kondisi tersebut tanpa disadari dapat memunculkan kesenjangan sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat tersebut.
B. Sikap arogansi dan egosentris kelompok.
Sebagian masyarakat suku masih menganggap bahwa masyarakat suku lain yang berada di adalah masyarakat pendatang, walaupun sudah lebih dari tiga generasi masyarakat tersebut berada di Provinsi . Anggapan tersebut juga menimbulkan sikap arogansi dari masyarakat suku , dimana masyarakat yang dianggap pendatang harus mematuhi semua aturan/konvensi dan budaya yang mereka tetapkan.
C. Lemahnya interaksi sosial.
Proses interaksi sosial antar suku masih sangat minim dilakukan, sehingga apabila timbul permasalahan/gesekan yang melibatkan antar suku justru akan menjadi pemicu terjadinya konflik terbuka.
D. Ketidakseimbangan perhatian pemerintah daerah.
Pembangunan dan perhatian yang lebih banyak ditujukan pada kelompok masyarakat yang dianggap menguntungkan atau mau memberikan dukungan secara politis bagi pemimpin pemerintah daerah yang menjabat saat itu. Selain itu dalam penyelesaian potensi konflik yang ada, perhatian pemerintah daerah seringkali menimbulkan kecemburuan sosial dari salah satu pihak yang berkonflik.
E. Kurangnya pengaruh tokoh masyarakat
Pada saat terjadi konflik, ketokohan masyarakat tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat guna menghindari timbulnya konflik.
F. Lunturnya pemahaman nilai-nilai Pancasila.
Kebebasan di era reformasi dianggap sebagai suatu kebebasan untuk boleh melakukan tindakan apapun. Nilai-nilai Pancasila hanya dianggap sebagai suatu semboyan atau simbol, bahkan lebih ekstrim dianggap sebagai suatu penghambat dalam kebebasan.
G. Ketidakjelasan status kepemilikan lahan dan HGU lahan perusahaan.
Permasalahan status Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan perkebunan menjadi salah satu penyebab timbulnya konflik dampak industri perkebunan. Hal ini disebabkan penerbitan HGU yang menjadi hak pemerintah, dilakukan tidak transparan dan dianggap menguntungkan pihak-pihak tertentu. Begitu pula pada saat perpanjangan HGU, proses yang dilakukan sarat dengan kepentingan yang menguntungkan beberapa kelompok atau orang.
Sementara pihak yang dirugikan terkait ketidakjelasan HGU (masyarakat maupun pihak lain), menggunakan berbagai cara baik secara hukum maupun menggunakan kekuatan massa dalam upaya menyelesaikannya.
H. Kurangnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungan.
Masyarakat menganggap bahwa perusahaan industri perkebunan kurang peduli dengan lingkungan sekitar, keberadaan industri perkebunan hanya menguntungkan pihak pengusaha. Di lain pihak, pengusaha dari industri perkebunan merasa sudah memberikan bantuan kepada masyarakat baik langsung maupun tidak langsung yang dianggap sebagai bentuk kepedulian mereka, walaupun sering pula terjadi bahwa bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran.
I. Rekrutmen karyawan dan pengelolaan Satpam yang tidak memprioritaskan masyarakat sekitar perusahaan.
Masyarakat sekitar perusahaan menuntut untuk penggunaan semaksimal mungkin tenaga kerja dan karyawan perusahaan yang berasal dari wilayah setempat. Namun demikian pihak perusahaan tidak dapat mengabulkan seluruhnya dengan alasan bahwa sumber daya manusia masyarakat sekitar yang kurang memadai untuk bidang keahlian yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Demikian pula dengan satuan pengamanan yang dilaksanakan perusahaan, penggunaan pengamanan yang tidak berasal dari masyarakat sekitar, tidak saja dianggap sebagai ketidakpedulian perusahaan tetapi juga sering menimbulkan gesekan antara masyarakat dengan petugas pengamanan perusahaan yang berakibat semakin tingginya sikap antipati masyarakat terhadap keberadaan perusahaan di wilayah tersebut.
IV. IDENTIFIKASI AKAR MASALAH KONFLIK
A. SARA
Permasalahan yang mempengaruhi Konflik SARA, yaitu:
a. Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
b. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
c. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
d. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
B. INDUSTRI, PERKEBUNAN, KETENAGAKERJAAN DAN ECONOMY GAP
1. Permasalahan
a) Status kepemilikan lahan
1). Pengadaan lahan secara paksa
2). Konflik batas – batas lahan
3). Tumpang tindih kepemilikan lahan
b. Perizinan
1). Tumpang tindih perizinan lahan
2). Penyalahgunaan pemanfaatan lahan
3). Tumpang tindih kewenangan perizinan pemerintah
c. Masyarakat
1). Kemiskinan dan kebodohan
2). Mengakibatkan ( kecemburuan ) tenaga kerja lokal
3). Karakter dan budaya masyarakat lokal
4). Komunikasi dan sosialisasi antara pengusaha dan masyarakat lokal
5) Umur
6) PHK sepihak
7) Tenaga lokal ( diskriminasi )
8) Out sourching
9) Keselamatan kerja
10) Serikat pekerja
d. Pemerintah
1). Kurang berfungsinya aparatur pemerintah
2). Kurang perhatian aparatur pemerintah
3). Kebijakan pemerintah yang tidak pro masyarakat lokal
e. Lembaga Swadaya Masyarakat / NGO ( National Government Organization )
1). Kepentingan praktis LSM
2). Kepentingan komoditas LSM.
V. PROGRAM PENANGANAN KONFLIK (STRATEGIS & RENCANA AKSI – LANGKAH TAKTIS OPS)
A. STRATEGI PENANGGULANGAN KONFLIK
1. Pencegahan konflik sosial
a) Pemeliharaan kondisi damai di dalam masyarakat
(1) Melakukan sosialisasi Maklumat Kapolda tentang larangan membawa senpi / sajam;
(2) Melakukan pendekatan terhadap para pihak yang berpotensi rawan SARA;
(3) Melaksanakan deteksi dini di daerah rawan konflik SARA dengan melakukan penggalangan terhadap Toga, Todat, Tomas dan Todar;
(4) Membuat Peta Kerawanan konflik SARA dimulai dari Polsek, Polres dan Polda;
Peta rawan konflik SARA adalah sebuah peta yang harus dibuat di setiap tingkatan mulai dari Polsek sampai dengan Polda yang menggambarkan perkembangan ajaran SARA baik dari aspek kuantitas pengikut maupun kegiatannya sehingga dapat menjadi bahan antisipasi dan kebijakan penanganan sesuai dengan tingkat kerawanan yang timbul.
(5) Mengedepankan Bhabinkamtibmas yang berbasis deteksi, solusi dan penegakan hukum yang humanis serta menguasai Teknologi Informasi;
Bhabinkamtibmas adalah petugas Polri yang paling mengetahui dan menguasai kondisi wilayah (desa) binaan, sentuhan dan pantauan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Dengan demikian Bhabinkamtibmas perlu dikedepankan sebagai basis deteksi; artinya Bhabinkamtibmas melakukan pendataan berbagai aspek Ipoleksobud dan potensi kerawanan konflik ahmadiayah di wilayah tanggung jawabnya. Sebagai basis solusi, dalam arti Bhabinkamtibmas menjadi tempat bertanya, konsultasi, mediasi dan memberikan saran-saran sehingga masyarakat dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri dalam menanggulangi konflik SARA. Dan sebagai basis penegakan hukum yang humanis, dalam arti anggota Bhabinkamtibmas mampu melakukan penegakan hukum baik preemtif, preventif maupun represif yang mengutamakan pendekatan HAM, keadilan, kepastian dan ketertiban serta mendapatkan dukungan dari masyarakat.
(6) Mengedepankan fungsi Intelijen untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan serta koordinasi dengan Bakor Pakem;
Fungsi Intelijen khususnya di tingkat Polsek dan Polres diarahkan untuk melakukan penyelidikan baik terhadap komunitas dan kegiatan SARA dan kegiatan masyarakat yang menentang SARA, selanjutnya melakukan pengamanan tertutup terhadap potensi konflik yang mungkin timbul, melakukan penggalangan terhadap tokoh-tokoh kelompok-kelompok yang berseberangan serta melakukan koordinasi dengan Bakor Pakem.
(7) Melaksanakan kegiatan Patroli dialogis di lokasi SARA;
Kegiatan patroli khususnya patroli terbuka yang dilakukan Shabara lebih ditekankan menjadi Patroli yang dialogis, dengan tujuan terjadi tukar menukar informasi antara petugas dan mesyarakat sehingga menimbulkan kedekatan dan rasa tentram di kalangan masyarakat.
(8) Membentuk Dalmas Rayonisasi Polsek untuk penanganan awal dan kecepatan.dalam antisipasi giat pro dan kontra;
Dalmas Rayonisasi Polsek adalah Peleton dalmas yang anggotanya merupakan gabungan dari beberapa Polsek dengan maksud dapat digerakan sebagai kekuatan dalmas untuk mengamankan Polsek dalam rayon tersebut bila terjadi konflik sosial.
(9) Menggunakan sarana Manajemen Informasi Sistem Badan Intelijen Keamanan dalam rangka kecepatan pelaporan;
Penggunaan secara optimal alat Teknologi Informasi yang disebarkan ke jajaran Intelkam (Polres) untuk melaporkan kepada Pimpinan tingkat Polda maupun Mabes Polri secara cepat dengan tulisan, GPS dan gambar.
(10) Membentuk Pamatwil tingkat Polres dan Polda dalam rangka pengawasan kegiatan Personel Polri dan aliran SARA;
(11) Memberdayakan FKUB (Forum Komunikasi Antar Umat Beragama) dalam rangka membangun sinergitas kerukunan antar umat beragama;
(12) Silaturahmi Dakwah dengan metode door to door oleh Ulama, Polisi dan Pemda terhadap kelompok SARA yaitu kegiatan dakwah kepada pengikut aliran SARA yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh Ulama, Polisi dan Pemda disertai dengan pemberian cinderamata oleh Pemda (sarana kontak) berbentuk al-quran, sajadah dan lain-lain kepada pengikut SARA.
b) Mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai
(1) Bekerjasama dengan provider komunikasi guna meredam isue SARA;
(2) Pembentukan rembug pekon antara aparat pelaksana tugas dan masyarakat secara musyawarah dan mufakat;
(3) Pembentukan forum komunikasi lintas suku dan budaya;
(4) Pelatihan satu atap bagi seluruh muspika baik di tingkat propinsi maupun di tingkat Kabupaten.
2. Penghentian konflik
a) Penghentian kekerasan fisik
(1) Melaksanakan penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku pengrusakan/Korlap/penanggung jawab dalam konflik sosial;
(2) Melokalisir kejadian agar tidak berkembang dengan cara mengumpulkan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat camat, kades, dan informal leader lainnya;
(3) Mengamankan penganut aliran SARA yang menjadi sumber konflik dan sasaran kekerasan fisik dalam konflik sosial;
(4) Menginformasikan kepada Polres jajaran Polda Banten agar melokalisir dan mengamankan aliran SARA di wilayah masing-masing, dan khusus ke jajaran Polsek Polres Pandeglang yang ada aliran SARAnya agar dilakukan penjagaan;
(5) Meminta bantuan personil dan materiil ke satuan atas dalam rangka penghentian konflik;
(6) Melaksanakan penjagaan di lokasi kejadian dan patroli zona terpadu Polres, Polsek dan Polda;
(7) Melakukan proses penegakan hukum terhadap pelaku kerusuhan (konflik SARA) dengan mengedepankan keadilan, kepastian hukum dan ketertiban;
(8) Melibatkan Bakor Pakem dalam upaya penghentian konflik;
(9) Pelibatan Komnas HAM untuk melakukan pemantauan dan menghindari terjadinya pelanggaran HAM dalam penanganan konflik;
Untuk mendapatkan penilaian dan evaluasi dari Komnas HAM terhadap Polri dalam penanganan Konflik Sosial, maka sejak awal Komnas HAM perlu diinformasikan untuk terlibat langsung dalam pemantauan sehingga dapat memberikan kesimpulan yang obyektif terhadap permasalahan konflik dan penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri.
b) Penyelamatan dan perlindungan terhadap korban
(1) Melaksanakan penghentian konflik/kekerasan fisik dengan mengerahkan kekuatan maksimal;
(2) Melakukan evakuasi pertolongan terhadap korban yang luka-luka;
c) Membatasi perluasan area konflik dan terulangnya konflik
(1) Melaksanakan tindakan penyelamatan dan perlindungan terhadap masyarakat serta pengamanan harta benda;
(2) Melakukan olah TKP dan penyisiran terhadap pelaku, korban, dan barang bukti;
(3) Melakukan koordinasi dengan pihak Pemda dan instansi terkait untuk turut serta berperan dalam penanganan konflik sosial sesuai dengan UU No. 7 tahun 2012.
(4) Mendokumentasikan setiap langkah-langkah yang diambil dan melaporkan hasil pelaksanaan tugas fungsi secara berjenjang kepada Pimpinan.
3. Pemulihan Pasca Konflik
a) Rekonsiliasi
Melaksanakan perjanjian damai melalui acara adat untuk mengikat kepada pihak-pihak yang berkonflik secara berkelanjutan.
b) Rehabilitasi
(1) Pemasangan spanduk kamtibmas dan menyebarkan leaflet yang berisi deklarasi damai serta memberi bantuan sarana kontak dari bhabinkamtibmas kepada masyarakat;
(2) Melaksanakan bhakti sosial dan kesehatan di daerah pasca konflik.
c) Rekonstruksi
(1) Melakukan perbantuan kepada Pemda guna memperbaiki tempat tinggal, lingkungan dan fasilitas umum yang rusak akibat konflik;
(2) Melakukan perbantuan dalam rangka pemulihan sarana pendidikan, kesehatan dan tempat ibadah serta pendukung lainnya.
B. Rencana Aksi atau Langkah-langkah Taktis Operasional (terlampir).
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Masyarakat indonesia memiliki keragaman suku, agama dan budaya yang rentan terhadap konflik;
2. Akar permasalahan potensi konflik bernuansa sara yaitu : kesenjangan sosial, arogansi dan egosentris kelompok, lemahnya interaksi sosial, ketidak seimbangan perhatian pemda, kurangnya pengaruh tomas,toga, todat serta lunturnya kesadaran hukum masyarakat.
3. Langkah taktis gul potensi konflik sara dan potensi konflik dampak industri perkebunan terdiri dari : pencegahan konflik(pre-emtif &preventif); penghentian konflik (giat kontijensi kepolisian) dan pemulihan pasca konflik (pre-emtif dan kerjasama giat rekonsiliasi, rehabilitasi, rekonstruksi).
4. Langkah strategi gul konflik secara efektif melalui :
a) Forum masyarakat desa;
b) Forum komunikasi lintas suku dan budaya;
c) Tim terpadu penyelesaian konflik perkebunan;
d) Rekrutmen karyawan dan pengelolaan satpam perusahaan perkebunan/industry.
B. Rekomendasi
1. Pembentukan badan kerja permanen yang bertugas untuk menyelesaikan permasalahan bidang perkebunan, baik permasalahan lahan perkebunan maupun dampak lain dari industri perkebunan dalam wadah Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Perkebunan.
2. Pelaksanaan program local boy for local job oleh perusahaan, dimana rekrutmen karyawan dilakukan dari masyarakat sekitar perusahaan.
3. Review regulasi kewenangan Kades dalam terbitkan surat keterangan tanah berikut tata administrasi pencatatannya.
4. Optimalisasi peran dan kekuatan internal security
5. Kecepatan respon pemerintah pusat dalam selesaikan masalah yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
6. Perlunya merealisasikan Program 1 Desa 1 Polisi Sebagai Bhabinkamtibmas yang memiliki kemampuan deteksi dini, Integritas, pemecahan masalah dan Ketanggap Segeraan, serta melaporkan lasngsung kepada Kapolres bila permasalahan tidak bisa diselesaikan.