SENJATA API BAGI SEBAGIAN ORANG MENJAD SEBUAH BENDA YANG MEMILIKI MAKNA KEAHARUSAN, DENGAN LATAR BELAKANG KESELAMATAN DIRI PRIBADI MAUPUN KELUARGA DAN HARTA BENDA MAKA MENJADI SAH UNTUK MEMILIKI DAN MENGGUNAKAN SENJATA API.
DALAM KONTEKS SENJATA API SEBAGAI ALAT BELADIRI , ADALAH SAMPAI SAAT INI REGULASI DAN OTORITAS YANG MENGATUR BOLEH ATAU IDAK SESEORANG MEMILIKI APALAGI MENGGUNAKAN ADALAH POLRI, DENGAN MELIHAT PERKEMBANGAN DI MASYARAKAT SAAT INI ADALAHKETIKA KEJAHATAN SEMAKIN GANAS LANTAS APAKAH KEMUDIAN SENJATA API HARUS MENJADI JAWABAN UNTUK EMNYELESAIKAN KEJAHATAN YANG MENGGANANAS ATAUKAH NANTNYA TIDAK MALAH MENIMBULKAN ATAU SETIDAKNYA MEMINDAHKAN MASALAH MENJADI BANYAK PENYALAH GUNAAN SENJATA API.
BERIKUT INI ADALAH CATATAN YANG INGIN DIBAGIKAN DARI HASIL DISKUSI RUU KEPEMILIKAN SENJATA API BAGI PERORANGAN
BAHAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN (ibu Riana)
Bahan Paparan Andi Widjajanto (FGD Senpi Handak)
Kebijakan dan Aktivasi Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Bareskrim
PERAN PEM DLM MENATA SENDAK_2013 -intel
PERAN DAN HARAPAN IMPORTIR SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK DALAM MENDUKUNG PENATAAN PEREDARAN DAN PENGGUNAAN SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK
Disajikan Oleh Palmer Situmorang, S.H., M.H.
Dalam
Focus Group Discussion Yang Diselenggarakan Oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia Markas Besar
Jakarta, 26 November 2013
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun, demikian bunyi Pasal 28D dan 28F UUD dengan empat kali amandemen.
Berdasarkan UU Darurat No.12/1961 setiap orang tanpa ijin dilarang membawa senjata api ke dalam negeri (impor), menyimpan, menguasai dan mempergunakannya, karena larangan hukum tersebut maka kepemilikan dan penggunaan senjata api harus memiliki ijin. Kata pemilik dan pengguna resmi, didasarkan pada keabsahan dokumen, pembayaran pajak kepada pemerintah, ijin impor, ijin menggunakan dari Polri. Proses sejak pemesanan hingga serah terima barang kepada pemilik, baik legalitas dokumen maupun penguasaan fisik (uji balistik) berada dibawah pengawasan Polri.
Secara keseluruhan setiap usaha dan badan usaha yang bergerak dibidang pengadaan dan penggunaan senpi dan bahan peledak (“handak”) sarat dengan perijinan, yang berarti RUU harus lebih banyak memperhatikan aspek kepastian Hukum Administrasi Negara bagi pemberi ijin, importir maupun pemilik (end user).
Maraknya kejahatan menggunakan senjata api memunculkan tuntutan perlunya tindakan lebih selektif bagi mereka yang memiliki senjata api. Sorotan media akan selalu muncul dalam setiap munculnya kasus penyalahgunaan senjata api, yang tidak kalah penting dan terus mengancam adalah hilangnya komponen bahan peledak beberapa waktu lalu dalam pengangkutan. Pada prinsipnya setiap berita tentang senjata api selalu memunculkan hal-hal yang mengerikan dan tidak disukai oleh masyarakat awam.
Akhir-akhir ini Polri sedikit membuat perubahan paradigma dengan tidak lagi membuat pernyataan yang bernada menyalahkan peredaran senjata api resmi. Dalam berbagai pemberitaan media massa, Polri menyatakan ada lebih kurang 17.500 senjata api pribadi yang beredar dan sekitar 5.600 yang sudah digudangkan, namun disayangkan tidak ada kejelasan, apa alasan hukum penyitaaan dan tidak jelas bentuk larangannya, mengingat dalam permasalahan ijin tersebut Polri bertindak bukan dalam rangka tindakan polisionil. Tindakan polisionil dilakukan setelah ada perbuatan pidana, Polri dalam konteks pemberian dan pencabutan ijin bertindak dalam kerangka Hukum Administrasi Negara (HAN) sehingga dengan demikian Polri wajib tunduk pada Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (“AAUPB”) dan UU tentang Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN, Polri dalam melayani perijinan senjata api bertindak selaku pejabat TUN, tindakannya demi hukum bisa diuji melalu Peradilan TUN sebagai judicial control.
Menyimak RUU Senpi dan Handak, dirasakan kurang memperlihatkan keseimbangan antara kewajiban warga negara untuk memenuhi semua perijinan yang diperlukan dengan kewajiban Pemerintah, dalam hal ini Polri selaku Pejabat TUN dalam menerbitkan ijin penggunaan senjata api.
Dalam ijin kepemilikan senjata api otomatis didalamnya melekat hak untuk menggunakan senjata api tersebut, demikian asas hukum kepemilikan benda bergerak yang diatur dalam KUHPerdata. Jika dalam kepemilikan melekat hak penggunaan yang tidak bisa dipisahkan, maka Polri mengatur perijinan penggunaannya.
Pemilikan senjata api kalau bukan untuk tujuan koleksi, tidak lain adalah untuk digunakan. Bagaimana menggunakan senjata api yang benar dan sah secara hukum dalam konteks bela diri harus diatur dalam RUU dengan memperhatikan elemen/unsur dalam Pasal 49 KUHP yang berbunyi :
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
RUU juga tidak menjelaskan apakah dalam setiap perpanjangan kepemilikan senjata api akan selalu dilakukan dengan pengecualian tertentu, tidak jelas batasan antara jangka waktu terbitnya perijinan sehingga tidak ada kepastian hukum dan tidak mendisiplinkan aparat penerbit ijin. RUU sarat dengan kekuasaan bertindak bagi Pejabat TUN, tetapi kering dengan tanggung-jawab dan kepastian hukum dari pemerintah bagi usaha pengadaan dan kepemilikan senpi/handak.
Secara filosofis, RUU tersebut tidak memaknai apapun dalam rangka mencari terobosan penertiban senpi dan handak, jika dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya, padahal setiap UU diharapkan menjadi alat (tools engineering) yang menciptakan budaya baru yang bisa membawa masyarakat dan aparatur negara untuk lebih maju, responsif, akuntabel, dan transparan dalam menertibkan pemilikan dan penggunaan senjata api sebagai cermin civil society.
Rumusan perundang-undangan yang tidak jelas dan tuntas justru akan menyulitkan aparat pemberi ijin, yang pada akhirnya menciptakan kegamangan dalam bertindak. Kata pengadaan, pemilik dan pengguna resmi senpi, didasarkan pada keabsahan dokumen, pembayaran pajak kepada pemerintah, izin impor, izin menggunakan dari Polri. Proses sejak pemesanan hingga serah terima barang kepada pemilik, baik legalitas dokumen maupun penguasaan fisik (uji balistik) berada dibawah pengawasan Polri (Pasal 32 RUU).
Seluruh prosedur tersebut harus dilakukan dengan cara yang tidak melanggar asas-asas hukum dan sekaligus harus melindungi Polri menjalankan tugasnya secara lugas dan memiliki kepastian hukum serta ketertiban yang berkeadilan.
Pengadaan senpi dan handak masih sangat didominasi impor, yang berarti selain pengaturan demi tertib dalam negeri, juga tertib dimata para pemasok senpi dan handak yaitu kepastian hukum. Dalam konteks tatakelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa, khusus pengadaan senpi yang penggunanya sangat banyak dan mencakup area yang luas yang sangat berpotensi mengganggu kamtibmas, sepatutnya demi terciptanya kontrol yang baik, dalam RUU perlu juga diatur kewajiban bagi setiap perusahaan yang melakukan impor senpi dan handak antara lain harus menjadi anggota dan mendapatkan rekomendasi dari organisasi importir dalam hal ini Ikatan Pengusaha Senjata Beladiri Indonesia (IPSINDO), dengan demikian selain adanya kontrol pemerintah sebagai pemberi ijin juga ada kontrol dari organisasi importir.
Persoalan yang paling mengganggu Importir dan perlu mendapat ketegasan dalam RUU adalah tiadanya kepastian hukum dalam setiap perubahan kebijakan, dan lebih parah lagi, kebijakan diterbitkan hanya lewat telegram sebagai perangkat hukum yang paling tradisional dalam konteks Negara Hukum, karena tidak transparan dan sudah ketinggalan jaman, karena melanggar azas kepastian hukum dan keterbukaan. Polri harus menghindari diri dari situasi yang hanya tunduk pada UU Polri, tetapi selaku masyarakat sipil juga selaku Pejabat TUN, juga tunduk pada ketentuan asas-asas hukum yang diatur dalam perundang-undangan lainnya seperti UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, kepastian hukum, UU Pelayanan Publik, dengan taat hukum dan taat asas memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan juga pelaku usaha (importir) sebagai mitra pemerintah dalam mengadakan dan menertibkan penggunaan senpi dan handak akan berdaya guna.
Sebagai Aparatur Negara dan Pejabat TUN, Polri dalam mengambil setiap kebijakan haruslah memperhatikan implikasinya, karena hukum itu dibuat demi kenyamanan dan ketertiban semua mahluk manusia yang menggunakannya. Kita tidak bisa lagi membiarkan berlangsungnya perubahan kebijakan yang sepihak dan merugikan pihak lain. Kita ambil contoh konkrit, larangan menerbitkan ijin / impor senpi yang baru, dilakukan beberapa tahun lalu dengan telegram Kapolri tanpa ada kejelasan bagaimana dengan senpi yang diimpor dan terus digudangkan oleh importir selama hampir 10 tahun. Sikap sepihak dan tertutup adalah pengingkaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum tertulis baik yang diatur dalam Konstitusi UUD’45 maupun yang diatur dalam hukum positif lainnya seperti kepemilikan benda bergerak dalam ranah Hukum Perdata dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pemerintah dalam hal ini Polri tidak perlu menunggu RUU ini disahkan untuk menyelesaikan sisa Senpi yang sudah mendapat ijin impor dan belum disalurkan kepada pembelinya. Sehingga saat ini diperlukan sikap yang jelas dan mumpuni untuk menyelesaikan secara tuntas sisa import yang belum disalurkan tersebut dengan demikian akan terdapat neraca yang jelas yang memisahkan pengadaan senpi dan handak sebelum dan sesudah RUU ini disahkan.
Sebagai Negara Hukum, atas setiap keputusan Pejabat TUN yang merugikan masyarakat, harus memberi ganti rugi sebagaimana diatur dalam hak-hak kepemilikan benda yang diatur dalam Pasal 1320 Jo. Pasal 512 Jo. Pasal 570 KUHPerdata dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Kebijakan merampas hak milik tanpa ganti rugi oleh negara, sama dengan melanggar HAM.
Asosiasi Pemilik Senjata Bela Diri beberapa tahun lampau telah menyelenggarakan seminar untuk mengkaji nilai-nilai dan hak kepemilikan yang melekat pada senpi dengan menghadirkan Prof. Dr. Agustina, S.H., M.H. (Ahli Hukum Perdata) dan Prof. Dr. Safri Nugraha, S.H. Msc. (Ahli Hukum Administrasi Negara), keduanya adalah Guru Besar Universitas Indonesia; berkesimpulan bahwa kepemilikan senpi sebagai benda bergerak memberi hak kepada pemiliknya untuk menggunakannya tanpa dapat dikurangi, dan kepemilikan tersebut berlaku sebagai harta gono gini yang dapat diwariskan, hal mana belum tercermin dalam RUU Penataan Peredaran dan Penggunaan Senjata Api dan Bahan Peledak tersebut.
Jika suatu kepemilikan senpi berakhir karena pemiliknya meninggal dunia, harus dilengkapi dengan aturan hukum tentang tata-cara bertindak untuk mengakhiri kepemilikan tersebut, tidak cukup dengan menyebutnya berakhir saja, jika tidak demikian, tidak ada yang dapat dipersalahkan kepada ahli waris pemilik senjata api jika membiarkan senpi berada di laci seorang pemilik yang sudah meninggal dunia.
Kesimpulan:
- Dalam RUU perlu adanya aturan yang jelas dan sejelas-jelasnya tentang prosedur dan jangka waktu penerbitan ijin bagi setiap perijinan yang diperlukan pelaku usaha dibidang senpi dan handak.
-
Perlu ada kejelasan tindak lanjut dalam setiap kebijakan menyita dan memusnahkan senpi dan handak dengan pengaturan waktu yang tegas.
-
Perlunya pengaturan tanggung-jawab Pejabat TUN yang melalaikan tugasnya dalam memberikan ijin, memperpanjang ijin dan pengawasan senpi dan handak.
- Perlu diatur larangan dengan ancaman pidana atas perbuatan melakukan latihan dan menggunakan senpi dan handak di tempat yang tidak mendapat ijin dari pemerintah, dengan demikian setiap kegiatan di tempat latihan teroris dapat dipidana dengan pidana maksimum 12 tahun.
Sebagai penyeimbang, RUU perlu memberi kewenangan kepada Polri untuk menerbitkan ijin dan membuat perjanjian kerja sama mengenai pelatihan dan penggunaan senpi dan handak dengan lembaga-lembaga swasta yang memenuhi syarat seperti Asosiasi Pemilik Senjata Bela Diri (APSINDO) untuk pelatihan penggunaan dan uji kelaikan kejiwaan pemilik Senpi, PERBAKIN untuk penggunaan senpi bagi olah raga dan berburu.
- RUU harus memberi kewenangan kepada Polri untuk mewajibkan perusahaan importir senpi untuk tergabung dalam IPSINDO.
Untuk memenuhi asas kepastian hukum, keterbukaan, Polri sebagai lembaga penerbit ijin (Pejabat TUN) dalam setiap penolakan perpanjangan ijin, wajib memberikan alasan penolakan secara tertulis dan dalam jangka waktu yang diatur.
Aspek pemidanaan karena kelalaian memperpanjang ijin haruslah diimbangi dengan kewajiban Polri sebagai pejabat TUN untuk menerbitkan ijin perpanjangan dalam waktu tertentu, terkecuali ada pelanggaran tersebut Pasal 36 huruf c) RUU.
RUU harus merekomendasikan aturan baku tentang penggunaan senpi yang sah, setidak-tidaknya mengatur ketentuan bagaimana cara tersebut dilakukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
RUU harus dengan jelas mengatur perosedur dan acara mengakhiri kepemilikan akibat pemilik senpi meninggal dunia.
oooOOOooo