Sepanjang bulan juli sampai Agustus tahun 2013 yang kebetulan bersamaan waktunya dengan pelaksanaan ibadah puasa ramadhan , telah tercatat beberapa kali kasus kejahatan dengan kekerasan termasuk penggunaan senjata api oleh oknum tidak bertanggung jawab dengan sasaran anggota Polri.
Aksi penembakan yang terjadi dalam waktu berdekatan ini tercatat pada. Sabtu 27 juli 2013 , Aipda Patah. Anggota Polsek Gambir. Tertembak pada dada sebelah kiri. Saat dalam perjalanan menuju tugas , kemudian pada Rabu 7 Agustus 2013 Aiptu Dwiyatna , tertembak pada bagian kepala , saat melintas di jalan Otista Raya Ciputat , sesaat akan berangkat tugas.
Terlepas dari upaya -upaya penyelidikan yang kini digelar oleh kepolisian untuk mengungkap siapa eksekutor dan dalang dibalik peristiwa penembakan terhadap agt polri diatas untuk dapatnya segera diajukkan ke muka hukum adalah bagaimana Polri mengambil sikap sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan peristiwa yang sama dikemudian hari , termasuk didalamnya adalah bagaimana kemudian Polri mampu membina dan mempertahankan stabilitas kamtibmas secara luas ditengah masyarakat.
Dengan tidak menunjuk suatu kelompok ataupun jaringan pelaku kejahatan yang selama ini kerap beraksi dengan menggunakan kekerasan berupa aksi pemboman dan penembakan dan juga dikandung maksud agar tidak menimbulkan bias atas penyelidikan ilmiah yang kini tengah dilakukan pihak kepolisian.
Aksi kekerasan secara sistematis. Dengan sasaran terpilh , menggunakan momentum suatu peristiwa termasuk adanya maksud untuk menimbulkan ketakutan yang menjalar ditengah masyarakat adalah sesungguhnya merupakan konsep dari terorisme itu sendiri.
Ketika aksi teror dilakukan dengan tujuan untuk menebarkan ketakutan yang meluas dalam masyarakat dan khususnya pihak yang menjadi lawan , maka suatu pertanyaan apa yang dapat dilakukan untuk melawan. Dan atau menanggulangi eksistensi teror itu sendiri.
Sebagai sebuah strategi dalam penanggulangan teror , setidaknya terdapat beberapa bentuk strategi yang pernah dan masih diterapkan oleh beberapa negara dengan melihat latar belakang kebijakan negara tersebut dalam menyikapi dan meyakini suatu startegi menanggulangi terorisme setidaknya terdapat 3 macam pendekatan :
pendekatan dalam strategi penanggulangan terorisme antara alain adalah : pendekatan “war on terrorism ” dengan pendekatan totalitas perang dengan gelar militer secara massif.
Pendekatan ” War on Terorrism” digelar dengan 2 pola yaitu : dilakukan secara reaktif , yang berarti menunggu eksistensi teror muncul lebih dahulu baru setealah dilakukan penggebukan secara totalitas sampai ke akar-akarnya.
Pola kedua adalah dengan pelaksanaan yang lebih kepada pre emptive strike ! Yakni suatu entitas mendahului menyerang pihak lawan , sebelum pijak lawan sempat menyerang, menyerang dan menghancurkan lawan jauh diluar pagar wilayah kedaulatan entitas yg seharusnya menjadi sasaran aksi teror.
Praktek. War on terror. Dengan gelar kekuatan militer secara besar-besaran pernah diterapkan pemerintah Indonesia dalam upaya menggulung perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh di dalam negeri seperti aksi penggranatan di di cikini 30 November 1957. Presiden Soekarno datang ke Perguruan Cikini (Percik), tempat bersekolah putra-putrinya, dalam rangka perayaan ulang tahun ke-15 Percik. Granat tiba-tiba meledak di tengah pesta penyambutan presiden. Sembilan orang tewas, 100 orang terluka, termasuk pengawal presiden. Soekarno sendiri beserta putra-putrinya selamat. Tiga orang ditangkap akibat kejadian tersebut. Mereka perantauan dari Bima yang dituduh sebagai antek teror gerakan DI/TII.
pada 14 Mei 1962, seseorang yang bernama Bachrum berhasil mendapatkan posisi duduk pada saf depan dalam barisan jemaah salat Idul Adha di Masjid Baiturahim, tepat ketika presiden Soekarno hendak sholat tiba tiba terdebar letusan pistol yang ternyata ditembakkan oleh Bachrum, Pemberontakan makin memuncak dengan proklamasi pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 15 Pebruari 1958 oleh Ahmad Husein, Kolonel Dahlan Jombek dan Kolonel Simbolon. Kemudian untuk mengatasi pernberontakan tersebut pemerintah bersikap tegas dengan melakukan Operasi militer.
Operasi gabungan yang dilaksanakan yaitu Operasi Tegas (Untuk Daerah Riau), Operasi 17 Agustus (Untuk Sumatera Barat), Operasi Sapta Marga (untuk Sumatera Timur) dan Operasi Sadar (untuk Sumatera Selatan). Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani ditujukan kedaerah Sumatera Barat dengan sasaran merebut pusat militer lawan di Padang dan pusat pernerintahan di Bukit Tinggi. Dari Kodam VII/ Diponegoro mengiriinkan Yon ‑ 438 dan Yon ‑ 440. Dengan operasi tersebut maka kota Padang dan Bukit Tinggi dapat dikuasai dan diduduki. Dengan jatuhnya Bukit Tinggi selesailah operasi pembersihan dan teritorial.
Nama sandi Operasi jaring merah digelar pasca beberapa aksi teror berupa penculikan dan diikuti pembunuhan terhadap aparat pemerintah seperti kepada Mayor Marinir Edianto (Komandan Satgas Marinir Lhokseumawe) yang diculik dekat Lhokseumawe, 29 Desember 1998, Perwira muda itu ditemukan tewas dibunuh bersama Serka Syarifuddin (anggota Kodim 0103/Aceh Utara). Mayat keduanya yang masih berseragam loreng ABRI ditanam berhimpitan satu liang dalam kebun kelapa kawasan Desa Cot Trieng Kecamatan Muara Dua, 22 Km barat Lhokseumawe. Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998 atau juga disebut Operasi Jaring Merah adalah operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai “Daerah Operasi Militer” (DOM
Ketika terorisme sebagai sebuah perang yang asimetrik , dilawan dengan pola simetris , dengan menggelar kekuatan militer secara besar-besaran kadangkala justru menimbulkan banyak kecaman dan akan memancing perlawanan-perlawanan sporadis yg makin meluas, saling berbalas dengan kepastian adalah masyrakat yang menjadi korban.
pemerintah Amerika sendiri getol dengan pola pre emptive strike, lewat operasi enduring freedom yang digelar untuk mengejar pelaku dan dalang aksi serangan 911 , Amerika pada akhirnya berhasil menumbangkan pemerintahan Taliban di Afganistan termasuk pemerintahan Sadam Hussein di irak, namun keberhasilan pre emptive strike yang dilakukan Amerika juga memerlukan pengorbanan material dan immaterial yg terbilang banyak.
Penggelaran strategi ” war on terror ” dengan melawan pola peperangan yg aslinya adalah Asimetrik warfare dengan kekuatan militer massif memerlukan berbagai pertimbangan yang sangat teliti. Ketika masyarakat di lokasi peperangan adalah bersifat netral , dengan diibaratkan sebagai pendulum yang bergerak bebas mengikuti polarisasi keuatan yang eksis , maka timbulnya collateral damage di lingkungan masyarakat nantinya akan berpengaruh kemana masyarakat akan menggeser dukungannya , semakin banyak korban ikutan yg timbul di masyarakat maka semakin berkuranglah dukungan masyarakat bagi suatu pihak.
Unsur kehati-hatian dan pertimbangan kemungkinan munculnya collateral damage inilah yang kemudian menjadi pelajaran bagi beberapa pemerintah untuk tidak dengan mudah menggelar peperangan walaupun dengan atas nama menjaga kedaulatan.
Catatan sejarah atas tragedi simpang KKA dan tragedi Beutong Ateuh akhirnya memaksa pemerintah Indonesia untuk menggunakan opsi lain dalam menanggulangi eksistensi teror yang dihadapi, dengan juga dengan Amerika , adanya pengalaman salah sasaran akibat salah tembak rudal yg dibopong UAV predator, yang dipersiakan untuk menghajar pimpinan Taliban dan AlQaeda malah justru meluluh lantakan sekolah dan madrasah yg berisikan anak-anak tidak berdosa.
Kegagalan Pendekatan War on Terror dengan memaksakan menghadapi irregular warfare , asymmetric Warfare dengan pola Symmetric Warfare, telah memaksa beberapa negara mengubah pola pendekatannya kepada Pendekatan yang lebih soft dengan aksi-aksi low profile, diikuti perang opini , terselubung dan aksi aksi pengalihan dan pengelabuan adalah merupakan ciri-ciri khas dari operasi Intelijen yang kerap digelar beberapa negara dalam melawan eksistensi teror.
Ketika pendekatan War on Teror. Lebih menitik beratkan kepada pelaku dan dalang yang harus diberangus , maka pendekatan operasi intelijen lebih menyasar kepada ideologi dan perilaku dari anggota dan jaringan terorisme, maka Deradikalisasi dan Dissangement adalah sebagai bentuk kegiatan penggalangan intelijen dengan menyasar kepada akar permasalahan berupa ideologi yang ditanamkan secara radikal dan perilaku radikal yang diwujudkan dengan aksi teror.
Kecerdasan sebagai akar kata intelligent adalah ruh operasi yg dilakukan dengan kelembutan merangkul , memeluk untuk akhirnya dibuat bertekuk lutut sehingga Ops intelijen akhirnya seperti dua sisi mata uang, ketika kecerdasan dan kelembutan ditampilkan , secara otomatis wajah garang dan bengis juga bersiap untuk ditampilkan.
Adalah merupakan suatu keniscayaan penggunaan kekuatan adalah juga merupakan jalan untuk dapat merangkul dan memeluk suatu pihak lawan
Wajah bengis ops intelijen seperti yang ditampilkan oleh israel lewat agen Mossad dalam pengejaran terhadap dalang aksi black september dan tragedi olimpiade Munich 5 September 1972.
Lewat operasi penutut balas yang digagas PM Golda Meir untuk menghajar pentolan Black September seperti : Mohammad Yusuf El-Najjar , Kemal Adwan dan Ali Hasan Salameh dengan Berbekal kecerdikan dan kenekatan agen agen mossad melancarkan operasi Intelijen untuk menghajar ketiga tokoh pentolan Black September, sehingga pada 9 april 1973 pukul 01.30 pagi sekelompok pasukan komando israel berhasil menyusup ke libanon dan langsung membunuh Mohammad Yusuf El Najjar dan Kemal adwan di dalam markas terkuat PLO .
OPS intelijen juga berisiko menjadi bumerang sekaligus memalukan bagi dinas inteljen suatu bangsa , adalah ketika rangakaian operasi penuntut balas yang digelar Mossad dalam memburu Ali Hassan Salameh harus berakhir dengan kegagalan total ketika terjadi salah sasaran dan penangkapan oleh kepolisian Oslo Norwegia.
Sudah menjadi suratan takdir intelijen adalah ketiga berhasil tidak dipuji , maka ketiga gagal akan dicaci maki , termasuk apabila hilang tidak akan dicari serta lebih parahnya adalah bila tertangkap maka tidak akan diakui, Dengan konteks yang sama ketika pada tanggal 10 November 2001 , terjadi penculikan dan disertai pembunuhan terhadap Theys Hiyo Eluay pasca dirinya memimpin Dekrit Papua Merdeka. Tanggal 1 Desember 1999, nama salah satu satuan akhirnya menjadi tercoreng dan dipersalahkan.
Dinamika menghadapi aksi teror yang berlandaskan ideologi radikal haruslah dibangun dari suatu keyakinan bahwa ideologi tidak bisa dimatikan , yang ada ideologi akan terus hidup atau setidaknya akan berhibernasi sementara menunggu faktor internal dan eksternal yangmemungkinkan bagi suatu ideologi menguat dan mengakar kembali serta menular ke khalayak untuk kemudian secara total membangun kekuatan.
Setidaknya terdapat beberapa faktor yang dapat membangkitkan ideologi yang sedang tidur ,menjadi bangkit. Dukungan dana sebagai suatu sumber daya yang memadai, adanya aktor berupa simpatisan , supporter dan leader dari suatu organisasi, adanya Network atau jejaring ideologi Global yang saling membantu secara politik ,
Serta dibumbui oleh stabilitas kamtibmas ,IPOLEKSOSBUD HANKAM dalam negeri.
Sebagai suatu upaya melawan dan menanggulangi eksistensi teror dalam tahapan ketiga adalah dengan pola pendekatan Penegakkan Hukum ” Law enforcement” , ketika pendekatan war on teror dan ops intelijen memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri makan pola penegakkan hukum adalah suatu pendekatan yang hadir untuk melengkapi.
Pola penegakkan hukum dengan menyasar kepada Subyek Hukum , perbuatan Hukum dan akibat Hukum dari aksi teroris pada akhirnya menempatkan teror sebagai suatu perbuatan kriminalitas seperti kejahatan lainnya yang memelukan produk hukum dan perangkat hukum yang mumpuni dan paham bahwa perbuatan teror adalah perbuatan melawan hukum semata namun juga suatu perbuatan melawan hukum yang luar biasa.
Keluar biasaan dari aksi teror sebagai perbuatan melawan hukum ini dilihat dari keberlangsungan aksi yang terus menerus akibat dukungan dana dan simpati yang terus ada, praktek kaderisasi secara pasti , korban yang tidak pandang bulu, dan adanyaketakutan yang meluas ditengah masyarakat.
Keberhasilan teror dan terorisme dalam menyuarakan perjuangan yang diyakini dapat diukur dari bagaimana reaksi dari mereka yang didefenisikan sebagai sasaran, semakin panik , semakin panas dingin dan takut maka semakin berhasil pula pola teror yang dijalankan.
Upaya penegakan hukum memberikan peluang yang lebih luas, tidak seperti pendekatan war on terror dan intelijen ! Aktor negara yang terlibat secara langsung akan lebih banyak, sehingga semakin banyak aktor negara yag terlibat maka persepsi bahwa teroris sebagai musuh bersama kemanusiaan dapat dibangun lebih cepat.
Sebagai suatu perbuatan pidana , aksi terorisme dapat diberangus dengan menggunakan undang- undang anti pendanaan kegiatan terorisme, undang-undang informasi dan transaksi elektronik, undang-undang tindak pencucian uang , Undang-undang keimigrasian dan produk hukum lainnya yang sifatnya pencegahan maupun penindakan terhadap aksi perkembangan terorisme
Produk hukum dibutuhkan untuk mencegah secara dini setiap faktor yang menyuburkan perkembangan terorisme , dengan membekukan aliran dan sumber dana , menghentikan praktek kaderisasi , menutup akses komunikasi secara online maupun offline guna menyebarkan paham -pham radikal, termasuk untuk mengembalikan kembali mereka mantan teroris ke tengah masyarakat. Dan menghentikan daur balas dendam yang ada.
Kelemahan sekaligus tantangan dalam pendekatan hukum melawan aksi teror adalah upaya penegakkan hukum itu sendiri harus dilakukan secara legal dan proporsional , hukum tidak boleh ditegakkan dengan justru melawan hukum , sehingga syarat formal dan material hukum harus dipenuhi lebih dahulu sehingga seserang dapat dimintai pertanggung jawaban hukum di depan pengadilan.
Pendekatan hukum juga membatasi upaya penegak hukum agar tidak sewenang wenang menggunakan kekuatan yang dimiliki , sehingga sekedar laporan intelijen semata ataupun sebuah pengakuan saja masih memerlukan proses pengumpulan alat bukti lain yang sah dan lengkap sehingga Hakim akan memiliki keyakinan yang kuat untuk memimpin sidang pengadilan.
Tidak jarang kesan yang muncul adalah pendekatan dengan penegakkan hukum adalah lemah , terlalu toleran dan mencederai keadilan itu sendiri atas nama legalitas hukum dan demokrasi. Kesan lainnya adalah pendekatan hukum menjelma seolah olah menjadi tugas aparat penegak hukum semata , antara. Polisi , jaksa , hakim dan Penasehat hukum saja ,beberapa aktor negara akan cenderung gamang untuk memposisikan dirinya dalam kontes bagaimana ikut mengambil bagian dalam upaya penanggulangan teror lewat pendekatan hukum.
Kembali kepada judul tulisan ini adalah dengan melihat bahwa eksekusi penembakan terhadap beberapa anggota Polri dan termasuk anggota Lapas dilakukan dengan tempo acak , namun menggunakan modus operandi sama , serta sasaran dalam konteks yang sama ( penegak hukum ) tetntunya menyisakan pertanyaan , apakah pelaku dan dalangnya sama ataukah berbeda , apakah suatu kebetulan atau memang serangan yang sistematis.
Ketika ketakutan mulai menjalar khususnya dilingkungan aparat penegak hukum akibat serangan sporadis yang terjadi dalam kurun waktu hampir berdekatan , tentunya membutuhkan suatu pemikiran yang startegis namun praktis menghadapi ketakutan yang menggejala adalah keinginan dari pelaku teror maka resep yang paling mujarab adalah dengan mengubah ketakutan tadi menjadi suatu kehati-hatian dan kewaspadaan
Kehati-hatian dan kewaspadaan secara otomatis akan terbangun dengan pemahaman diri tiap -tiap anggota Polri dan lainnya bahwa tugas mereka sangat berbahaya sehingga diperlukan upaya defensif secara pasif maupun aktif.
Membiasakan diri untuk bertugas secara prosedural dan profesional , dengan mengedepankan pencegahan sebagai pola antisipasi.Taktis dan teknis kepolisian dasar berupa prosedur pengamanan pribadi dan keamanan tugas kembali digalakkan dan dilatihkan termasuk membiasakan membawa dan menggunakan alat perlindungan diri secara efektif saat bertugas.
Upaya lainnya adalah dengan desain lingkungan markas maupun pos-pos pelayanan, adalah suatu apresiasi patut ditujukan kepada jajaran Polres Poso dengam inisiatif menambahkan karung pasir sebagai perkuatan pos guna mengantisipasi kemungkinan serangan teror berupa penembakan dan pelemparan granat yang peluangnya sangat besar terjadi di wilayah Poso.
Back to basic terhadap taktik dan teknis kepolisian serta mengubah ketakutan menjadi kewaspadaan adalah pilihan- pilihan yang paling rasional untuk menangkal aksi teror yang menyasar kepada anggota polri dilapangan.