Beranda

  • Kepribadian teroris sebuah tulisan

  • MAHA BENAR NETIZEN DENGAN SEGALA KOMENTARNYA

    Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh MD dan AG terhadap David menjadi trigger masyarakat untuk menuntut keadilan

    Kasus penganiayaan yang juga akhirnya membuka borok beberapa oknum penyelenggara layanan publik di Indonesia, tidak hanya urusan bagaimana menuntut keadilan buat DAVID tapi juga keadilan bagi seluruh masyarakat untuk menuntut perhitungan atas kegenitan beberapa aparat penyelenggara layanan publik yang menampilkan sisi hedonis ditengah buruknya kualitas pelayanan yang mereka berikan.

    Proses penegakan hukum yang sedang berjalan harus dipahami sebagai sebuah proses yang tidak serta Merta berdiri sendiri, ada berbagai pihak yang punya tugas dan tanggung jawabnya sendiri sendiri namun bekerja dalam daur kerja yang sama.

    Pihak Polri kemudian Jaksa dan Hakim serta adanya penasehat hukum pihak pihak yang berperkara tujuannya adalah menegakkan supremasi hukum dengan menempatkan pengawasan masyarakat secara paripurna.

    Tentunya ditengah spirit penegakkan hukum inilah ( apalagi ada tersangka yang berstatus anak berhadapan dengan hukum ) tentunya membutuhkan kehati-hatian sekaligus profesionalisme agar proses ini berjalan dengan sempurna.

    Apapun hasil penyelidikan dan penyidikan Polri tentu akan bermuara kepada rencana penuntutan yang dibuat oleh Jaksa, bolak balik berkas perkara merupakan suatu keharusan ketika polri dan jaksa sama sama dituntut untuk bisa menyajikan kasus yang layak di persidangan kelak.

    Hakim pun akan harus berhati hati dalam memimpin sidang, walaupun secara kasat mata mutlak penganiayaan tersebut dilakukan oleh MD dan AG terhadap David namun adalah hak dari penasehat hukum masing masing pihak untuk memberikan pembelaan.

    Kita semua memahami bahwa upaya penegakan hukum yang berkeadilan juga harus dilakukan dengan dasar asas praduga tak bersalah sampai nanti Majelis Hakim mengambil keputusan sidang, karena menegakkan hukum tidak boleh dilakukan dengan melanggar hukum itu sendiri.

    Kita perlu berempati kepada kecewanya keluarga korban karena sampai saat ini proses hukum itu masih berjalan antara penyidik Polri dan Jaksa penuntut umum, walau demikian Polri juga tetap menempatkan para tersangka dalam penjara.

    Kita harus senantiasa mensupport keluarga korban agar senantiasa Istiqomah menanti proses hukum yang memiliki kepastian hukum, berkeadilan dan bermanfaat,kita juga mendoakan agar penyidik Polri dapat segera memenuhi materi materi yang dibutuhkan oleh Jaksa penuntut umum agar kasusnya segera dapat dilimpahkan ke Kejaksaan untuk selanjutnya masuk agenda persidangan.

    Tragedi yang terjadi ini adalah momentum kuat bagi setiap instansi dalam rangkaian Criminal Justice System’ di Indonesia, momentum yang baik dalam menghadirkan proses penegakkan hukum ( terutama yang melibatkan anak dengan aturan yang sangat khusus)

    Sekaligus adalah menjadi pembelajaran bagi Humas Polri, Jaksa dan Pengadilan serta nantinya adalah Lembaga Pemasyarakatan untuk dapat memberikan informasi yang jelas dan tuntas bagaimana proses hukum itu berjalan .

    Karena inilah pola pikir kita sebagai penegak hukum, padahal masyarakat punya pola pikir yang berbeda dengan kita , istilahnya POV nya beda mereka gak paham hukum positif secara materiil apalagi formilnya,common sense mereka adalah orang salah ya harus dihukum gimanapun caranya dan harus seberat beratnya tanpa perlu pengacara apalagi pengadilan yang pelik

    Tugas Polri dan CJS lainnya adalah hijrah ke POV masyarakat dengan pilihan konteks dan kontennya yang bisa masyarakat pahami menjadi ooo begitu…

    Memang sulit tapi ada jalan dimana ada kemauan ,anak anak muda yang menjadi anggota polri dan ASN dari generasi milenial apalagi generasi z bisa banget menjadi corong komunikasi ke publik yang menjadi netizen sekarang,tinggal poles dikit dan di berikan reward yang layak, karena pendapatan netizen yang maha benar sebenarnya belum tentu benar

    Mudah mudahan segera ada yang jawab berdasarkan keilmuan atau aturan hukumnya.

    Walaupun biasanya sih yang jelasin malah jadi bahan rujakan netinjing.

    Kecuali (mungkin Pak Mahfud) yang jelasin.

  • EO dan tanggung jawabnya

    Pasca tragedi Kanjuruhan Malang,  terjadi fenomena unik pada gelaran  urusan event besar.

    Mulai dari gelaran berdendang dan bergoyang, pembatalan gelaran persta musik di Gresik sampai terakhir adalah penghentian pertunjukan NCT di Jakarta.

    Polri dan kita semuanya tentu sangat prihatin dengan jatuhnya korban jiwa di Kanjuruhan, tragedi yang harusnya tidak boleh terulang lagi dan lagi di kemudian hari.

    Rusuh dalam penyelenggaraan gelaran pertunjukan baik olahraga khususnya sepak bola , gelaran musik apalagi bergenre rock dan dangdut sekelas pertunjukan di GBK termasuk setingkat panggung electone di RT tidak lepas dari bentrok sesama penonton maupun kecelakaan akibat volume dan daya tampung tempat acara yang tidak seimbang.

    Adanya berbagai tragedi di gelaran pertunjukan yang dapat menjadi pembelajaran antara lain :

    Sistem Manajemen Keamanan event  seharusnya menjadi mata pelajaran wajib seorang anggota Polri di pusat pusat pendidikan dan latihan, demikian juga menjadi kewajiban mutlak bagi setiap EO untuk pernah mengikuti atau serta memiliki konsultan sistem manajemen keamanan khususnya major event security management dan tentunya memiliki pengetahuan tentang manajemen resiko melalui  training dan workshop.

    Disisi lain adalah kewajiban setiap pemilik lokasi atau kawasan yang kerap digunakan sebagai  event besar ( fokus kepada event besar dengan kerentanan khusus) untuk merevisi atau setidaknya Melakukan renovasi agar aspek fisik bangunan dan kawasan menjadi relevan dengan penataan berkonsep CPTED.

    Beberapa aspek yang harus diperhatikan dan dikelola dengan baik dalam manajemen pengamanan gelaran event besar antara lain; Kondisi yang paling mendasar adalah akuntabilitas sebuah EO, pertimbangan ini sebagai indikator pemenuhan kewajiban dan syarat-syarat administrasi dan kepatuhan terhadap semua aturan hukum yang melingkupi penyelenggaraan suatu even besar di Indonesia,termasuk kepatuhan terhadap berbagai regulasi yang sifatnya aktual.

    Setiap pelaksanaan Event di Bali sebagai contoh, perlu memahami dan mematuhi  terhadap peran pranata adat masyarakat setempat yang biasa disebut Banjar dan pecalang, pun demikian dengan beberapa lokasi di Indonesia lainnya juga perlu mempertimbangkan dinamika masyarakat setempat, setidaknya setiap EO paham bahwa saat suara Adzan berkumandang disekitar lokasi kegiatan maka seluruh aktivitas harus dihentikan sejenak untuk menunjukkan penghargaan dan toleransi kepada ummat Islam yang sedang beribadah.

    Kepatuhan terhadap aturan hukum dari setiap EO dan setiap sub kontrak yang menginduk pekerjaan pada sebuah EO merupakan jaminan dari adanya tenaga keamanan swakarsa atau setidaknya disebut sebagai security yang profesional, memiliki ijin kerja serta terlindungi oleh asuransi kesehatan dan pekerjaan yang memadai, serta telah lulus screening bersih diri dan lingkungannya dari berbagai anansir yang dapat menjadi potensi ancaman keamanan di suatu event.

    EO punya itikad baik untuk selalu berkomunikasi dengan stake holder keamanan setempat, bukan berarti ketika gelaran event sudah di back up oleh personil pengamanan swakarsa yang hebat serta situasi didalam gedung atau areal pertunjukan berlangsung aman, namun ada resiko yang harus tetap dihitung dan ini butuh kerjasama yang baik dengan setidaknya Polsek setempat terutama saat bubaran pengunjung keluar dari gedung, tempat parkir dan ruas ruas jalan menuju rumah masing-masing, bisa saja di GOR para penonton tertib tetapi saat berada di jalan pulang para penonton bikin ulah yang nggak kalah memusingkan aparat setempat, miss komunikasi seperti ini yang kerap terjadi, pihak kepolisian menilai bahwa EO cuma mau untungnya saja sedangkan EO menilai bahwa tugas Polisi adalah melayani semua kepentingan masyarakat

    Era digital seperti sekarang ketika setiap event besar dipastikan menjadi highlight media sosial terutama, ada baiknya panitia dalam hal ini EO juga memberikan informasi mitigasi bencana bila sesuatu terjadi, setidaknya info pintu masuk dan keluar, akses tempat parkir dan kapasitas yang ada, layanan medis darurat serta rencana evakuasi bila terjadi musibah yang tidak diinginkan, hal ini menjadi bagian tanggung jawab EO dalam menyelengarakan event yang berkualitas, sebagaimana security briefing wajib diberikan saat kita mau naik pesawat terbang dan pelayaran.

  • anak anak masa depan perdamaian

    Bosco Odonga berusia enam tahun ketika dia diberikan parang oleh pemberontak Uganda yang dipimpin oleh Joseph Kony. Pemberontak memaksanya untuk membunuh adik perempuannya yang masih berusia lima tahun; Juli. Bosco terpaksa membunuh saudara perempuannya itu. Komandan pemberontak mengarahkan laras senjatanya ke arah Bosco dan berkata: “Tebas dia dan lakukan dengan cepat!” Rasa iba Bosco diringkus oleh tembakan sang komandan ke udara.

    Saat itulah hatinya mengecil dan Bosco tidak punya pilihan. Dia mengangkat tangan untuk menarik Juli keluar dari kerumunan, dan adiknya mulai menangis. Lalu dia berbisik kepada adiknya: “Maafkan aku, Juli. Aku harus melakukan ini.” Sang komandan menepuk pundak Bosco sekali lagi – akhirnya dia mengayunkan parangnya sambil memejamkan mata.

    Juli tewas bersimbah darah karena kaki kecilnya dianggap tidak mampu mengimbangi langkah para pemberontak saat berpindah ke lokasi berikutnya. Ia terlalu lemah untuk menembus hutan dan menyeberangi sungai. Ia menghambat gerak cepat pasukan dan dia harus dihabisi.

    Di Afrika sebagian anak “dipetik” paksa sebelum waktunya, diajari mematikan orang lain ketika mereka baru saja belajar tentang kehidupan. Senjata yang dipanggul hampir menyamai tinggi tubuhnya, tapi nyawa musuh adalah sepiring pisang bakar dan sekerat daging rusa. Mereka menukar makan malam dengan regang nyawa, miliknya atau orang lain.

    Hari-hari di belantara Afrika dan di lembah-lembah Arab, adalah kehidupan masa kecil yang jauh dari gemerlap. Di sana hampir 20 juta anak terlibat dalam perang. Anak-anak yang berhasil melampaui perjalanannya, mengalami trauma, depresi, menjadi pecandu Narkoba atau terkena penyakit psikosomatis. Sebagian lagi insomnia karena setiap pejam mata adalah kisah getir, setiap cium adalah bau anyir, setiap dengar adalah bunyi senapan- seluruh hidupnya penuh desing mesiu.

    Anak-anak adalah akselerasi, mereka energi masa depan. Mereka memiliki hak waktu untuk bersenda gurau di tanah lapang atau meniup suling di punggung kerbau. Disini, semua itu juga hampir menguap – berganti perang maya di pojok kamar, saling tembak digital bersama teman-temannya di belahan lain. Kepolosan anak-anak mulai hilang, peradaban yang brutal merampasnya agar masa depan datang lebih cepat lalu merasa lebih tua sebelum waktunya.

    Dulu di Sudan ada laskar janjaweed yang dipakai oleh pemerintah buat melawan pemberontak ,kemudian pada konflik terakhir janjaweed akhirnya bergabung dengan pemberontak dan melawan pemerintah,. Why … It is all about money ( power),sama sama mengedepankan kekerasan dengan mengekploitasi agama bedanya cuma level kekerasan dan senjata.

    Pada tahun 1983 presiden Jaafar Numeiry memutuskan untuk mengganti UU kolonial Inggris yang telah puluhan tahun diterapkan di Sudan dengan UU Syari’ah Islam. UU yang baru ini merujuk kepada UU Syari’ah (Hudud) yang diterapkan di Saudi Arabia, setelah sebelumnya didahului oleh studi komparasi selama 2 tahun.

    Setelah itu Sudan terlibat dalam perang sipil yang sangat rumit dan terlama di dunia, 24 tahun. Warga Kristen dan suku-suku pagan lainnya yang mendominasi bagian selatan dan sub Sahara menolak UU Syari’ah. Warga Muslim berbasis Ahlusunnah wal Jama’ah juga menolak UU Syari’ah ini karena dianggap terlalu kental dengan Wahabisme.

    Bukan hanya perang sipil, sejak itu Sudan menjadi negara dengan jumlah warga bertangan buntung terbesar di dunia. Rakyatnya yang masih terbelit kemiskinan, tidak mampu beradaptasi dengan sanksi hukum yang sangat ketat. Suasana politik di Sudan sejak itu sangat rentan. Negara ini sudah terbiasa dengan “political unrest”, konflik primordial hingga genosida seperti yang terjadi di Darfur sejak tahun 2003. Bahkan hampir semua pergantian pemimpin didahului dengan “tradisi” kudeta.

    Kesimpulan yang ada adalah:  pertama Sudan memang tidak akan pernah bisa mengakhiri konflik jika kekuatan militer masih terpecah dalam berbagai faksi. kedua; setiap konflik di Sudan selalu diselesaikan secara koersif dan militeristik, bukannya dengan dialog dan penguatan etno-sosial. Sehingga setiap masalah bisa terselesaikan karena rasa takut, bukan karena kesadaran. Mereka sanggup bersalaman dalam seremonial, tapi dengan dendam yang tak pernah padam.

    Kita bisa mengambil pelajaran dari berbagai kegagalan mitigasi konflik di Sudan dalam menyelesaikan konflik di Papua. Jika mau. Beberapa konflik bersenjata di dunia bisa kita jadikan rujukan untuk bagaimana menyelesaikan masalah Papua. Bahwa hampir tidak ada konflik bersenjata selesai dengan operasi militer bersenjata tetapi justru lewat operasi militer dengan diplomasi dan intelijen.

    Kisah ini diceritakan oleh Bosco di The Guardian dan Time Magazine. Saat ini Bosco menetap di Rusia dan menjadi dokter ahli kardiologi, maupun kemelut di Sudan menjadi inspirasi dengan cara pendekatan seperti yang dilakukan oleh Kadensus 88 AT Polri untuk  memenangkan hati anak-anak para Napiter, dengan ide yang sama adalah mengadopsi kemalah  Papua khususnya bagaimana bisa memenangkan hati anak-anak Papua sebagaimana Egianus Kogoya ini dari kecil sudah dididik oleh mereka dan juga banyak anak-anak Papua lainnya.

  • for those who never back home

    Surat  untuk orang tua anggota Polri yang diberikan sekitar 23 tahun lalu, ternyata masih disimpan dengan baik oleh mereka yang pernah menerimanya.

    Kadang disini kita lupa, setiap selesai melaksanakan tugas BKO maupun operasi Kepolisian lainnya, sangat jarang kita berterima kasih kepada mereka anak anak buah yang bertugas, semoga kita bisa saling mengingatkan agar nanti membiasakan membuat surat sebagai ungkapan rasa bangga dan terima kasih langsung kepada anggota yang berprestasi dan kalau bisa dikirim langsung lewat pos kerumah masing-masing anggota dengan harapan selain dirinya, mungkin istr, anak dan orang tuanya bakalan ikut membaca.

  • Gerakan Jamaah Imran

    sebuah series tulisan yang dibuat oleh Sofyan Tsauri, seorang mantan narapidana terorisme yang kini sangat aktif dalam upaya deradikalisasi dan kontra radikalisme di Indonesia, memiliki latar belakang sebagai mantan anggota Polri yang kemudian terlibat dalam beberapa aksi terorisme di Indonesia, buah tulisan kali ini sengaja dimuat agar menjadi literasi baru dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia.

    Balada Salafi Jihadi Pertama di Indonesia (Bag. 1)

    Membahas gerakan radikal di Indonesia maka tidak bisa dilepaskan dari kelompok Jamaah Imran ( akhir tahun 70an dan awal 80an ) yang terinspirasi qaul dan fatwa Najd yang mewarnai gerakan ini, boleh jadi Aman Abdurahman ( awal 2003 sampai sekarang ) bukanlah satu-satunya orang yang membawa ide dan gagasan memurnikan Aqidah , Ibadah dan penegakan Syariat Islam yang diformalisasikan dalam perundang-undangan negara Indonesia, tidak berbeda dengan pendahulunya dari kalangan orang-orang Darul Islam yang juga membawa agenda Tathbiq’ Asy-Syariah penerapan syariat Islam dinegeri yang mayoritas beragama Islam.

    Perbedaan mereka adalah ada pada semangat militansi dan struktur organisasi, perbedaan lainnya dari orang-orang Darul Islam  dalam tahapan dakwah adalah mengenal marhalah atau fase Jahriyah Dakwah yaitu dakwah terbuka dan Sirriyatud Tanziem yaitu merahasiakan organisasi.

    Berbeda dengan seniornya di Darul Islam mereka masih menerapkan sirriyatu dakwah dan sirriyatu tanzhim akibat trauma mereka dalam kasus KOMJI yang menerpa mereka. Kesalahan membagi fase dakwah telah menghasilkan banyak kesalahan dalam tindakan membaca kebijakan jamaah, dari situ timbulah banyak masalah akibat ketidakcermatan para pemimpin didalam membaca fase atau tahapan dakwah, karena setiap marhalah dan tahapan itu mempunyai syarat-syarat, target-target , konsekwensi dan penopangnya.

    Menerjuni sebuah kancah yang tidak siap akan konsekwensi telah banyak menghancurkan program jamaah yang telah disepakatinya, dari sini jamaah Darul Islam telah banyak mengambil pengalaman pahit mereka untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu, walau semangat tinggi tidak menjadi alasan hilangnya akal sehat untuk bersifat realitis dalam menyikapi fase yang dihadapi.

    Adapun Jamaah Imran yang berisi anak-anak muda dengan semangat, Ruh baru, energi baru dan pemahaman baru yang  mereka dapatkan di negeri dua kota suci yaitu Arab Saudi, Trend kesadaran beragama bagi anak-anak muda saat itu memang menemukan momentumnya, hal tersebut tidak lepas situasi timur tengah yang terus bergejolak yang menimbulkan efek simpati sosial politik dan pengaruh kemenangan revolusi Islam di Iran yang membuat optimis gerakan Islam diseluruh dunia dengan cita-citanya, akan tetapi gerakan ini bukan gerakan baru.

    Awalnya kelompok ini berdiri bukan di Indonesia tapi di Saudi Arabia pada 15 Desember 1975. Gerakan ini didirikan oleh Imron(1) bersama beberapa pelajar Indonesia yang sedang belajar di Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi. Mereka antara lain Mahrizal, Ahmad Yani, Lukman Syamra. Balakangan pada 1976, bergabung juga Salman Hafidz yang kelak punya peran penting dalam kelompok ini.

    Berbeda dengan kawan-kawannya yang lain, Imron ada di Saudi Arabia bukan mau belajar, tapi bekerja. Selain bekerja, Imron juga rajin mengaji. Ia juga membuat kelompok diskusi agama dengan para mahasiswa lainnya.

    Pemuda yang bernama lengkap Imron bin Muhammad Zein ini lahir 1 Juni 1950 di sebuah kota kecamatan dikabupaten Agam Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Ayahnya Muhammad Zein Sutan Sinaro, padagang kain yang merantau ke Medan, Sumatera Utara. Ayahnya seorang penganut agama Islam yang taat, dia adalah lelaki yang punya prinsip “Lebih baik memberi makan ayam yang bisa bertelur dari pada memberi makan anak yang tidak sembahyang”.

    Namun, Imron yang dididik keras dalam beragama saat kecil tumbuh menjadi pemuda yang memberontak. Gara-garanya dia putus sekolah karena bapaknya kesulitan ekonomi. Karenanya untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya akhirnya Imron memilih jadi preman pada usia muda. Pada umur 17 tahun, dia bergabung dengan organisasi Pemuda Pancasila. Disana hidupnya jadi liar. Dia mulai mengenal aneka minuman keras seperti Brendi, Whiski, TKW dan lain-lainnya. Karirnya sebagai preman cepat menanjak. Dalam waktu singkat dia diangkat sebagai Ketua Pengerahan Massa PP. Saat aktif di PP itulah ia mengaku pernah ikut menumpas PKI paska peristiwa G 30 S.

    Bersambung ke tulisan ke2 (jangan menghakimi saya dulu sebelum 15 tulisan saya selesai)

  • Keadilan menurut hukum versus kata saya

    Ketika mau enak tapi seenaknya.

    Orde baru pernah menggunakan jalur cepat tapi tidak tuntas untuk membereskan masalah kejahatan jalanan, para Bromocorah ,napi , gali dan preman sempat dibuat kalang kabut ketakutan, banyak orang berupaya menghapus tattoo, menjadi pilihan paling rasional dari pada diciduk Tekab ,team khusus anti bandit, yang bisa saja datang sembarang waktu menjeput.

    Metode cepat  tadi sempat mendapatkan tempat di hati masyarakat sebagai obat mujarab atas kejahatan jalanan, walaupun sempat juga didorong masyarakat sekarang untuk kembali dilakukan sebagaimana pemerintah Philipina mengeluarkan perintah eksekusi terhadap pengedar Narkoba beberapa waktu lalu.

    Beruntung era  seperti ini berlangsung tidak lama, kemudian mulai timbul kesadaran ketika bukan hanya mereka yang kategorinya Bromocorah tetapi banyak juga orang baik baik yang kebetulan bertato mendapatkan imbasnya, hilang tak berbekas atau ditemukan dalam karung goni.

    Beberapa komponen masyarakat mulai bersuara meminta praktek cepat pemberantasan kejahatan jalanan ini ditinjau ulang, bahkan ada yang meminta lakukan proses sidang lebih dahulu walaupun Cuma sehari sebelum eksekusi, bahasanya penuhi dulu prosedural hukumnya baru boleh divonis dengan cara dikarungin.

    Cara cepat yang tidak tepat sebagaimana kini kita tergiring oleh narasi, bahwa jadi begal lebih enak, jadi begal malah jadi korban dan pelapor.

    Prinsipnya sama saja, ketika upaya beladiri oleh korban kejahatan kemudian berujung kepada fatalitas si penyerang, yang ada ketika prosedural hukum harus dijalankan lewat proses dan tahapannya termasuk menempatkan si pelaku ( yang tadinya korban begal ) dalam proses hukum dengan sebutan sebagai tersangka.

    Proses hukum positif yang kita perjuangkan saat ini untuk ditegakkan walaupun langit runtuh memang tidak memberikan ruang kepada Polri untuk membebaskan bergitu saja seorang tersangka dari tahap penyelidikan dan maupun penyidikan, karena kewenangan itu ada pada Hakim yang nantinya, memberikan vonis bersalah atau tidak bersalah (bebas)

    Kalau saja semua orang dalam rangka membela diri kemudian mempunyai hak untuk tidak dituntut secara hukum TANPA PROSES HUKUM maka sama saja kita menyetujui praktek PETRUS berjalan lagi di muka bumi ini, yakni  ketika semua orang menjalankan hak untuk membela diri dengan caranya sendiri namun tidak mau mengikuti aturan hukumnya. Ibaratnya mau menegakkan hukum yang adil dan berkeadilan namun dengan melanggar hukum itu sendiri.

    Kalau saja kata kata beberapa host akun tiktok kemudian kita setujui Bersama, maka seharusnya tidak perlu ada sidang terhadap anggota Polri yang melakukan upaya paksa menembak laskar FPI di KM 50, semua sudah jelas, bahwa Polisi tersebut sedang bertugas secara resmi,  kemudina para pelaku melakukan perlawanan secara keras saat akan ditangkap terlebih lagi ada senjata Api yang dikuasai oleh pelaku, tetapi Polri harus tunduk dan taat kepada hukum dan yakin serta percaya pada proses hukumnya untuk kemudian harus membuktikan di depan Majelis Hakim bahwa tindakan tadi merupakan upaya untuk melindungi dirinya sebagaimana seharusnya korban begal motor membuktikan bahwa dirinya memang hanya sedang membela diri, suatu proses yang bermuara di dalam ruang pengadilan dan bukan lewat tiktok yang mengejar rating iklan.

  • Soft Skill dalam postur Kepolisian

    Mungkin kedepan mutasi bukan satu satunya jalan pembinaan, tetapi alternatif dengan wajib mengikuti sekolah atau kursus komunikasi publik, atau setidaknya pelatihan inter personal skill kembali ( re training)  terutama pada skill penyampaian pesan, meringkas jawaban, atau kemampuan public speaking, ini yang kadang kita tinggalkan.

    Pelajaran interpersonal skills yang biasanya disebut sebagai SOFT SKILL umumnya hanya didapatkan pada saat masuk pendidikan pembentukan brigadir polisi, kemudian pada level SIP, PTIK, Sespim Polri.

    Bagaimana dengan personil Polri yang sedang berdinas saat ini terutama pada pada garda depan pelayanan Kepolisian yakni barisan police worker ( umum maupun khusus), bakalan relevan  bila kedepannya ada program wajib ikut latihan SOFT SKILL sebelum melaksanakan UKP, dimana kemampuan public speaking wajib dimiliki oleh setiap personel polri, karena hampir setiap saat berhubungan dengan masyarakat umum yang menuntut pelayanan terbaik dan sempurna dari Polri. Kondisinya adalah bahwa pangkat dan jabatan tinggi belum tentu memiliki kemampuan public speaking yang bagus

    Kemampuan khas kepolisian yang sifatnya dasar atau Teknik Dasar Kepolisian/ TDK saat ini sudah sedemikian maju, pendidikan pengembangan Lantas, Sabhara, Brimob termasuk Reserse dalam ranah teknis tugas preventive, preemptive dan repressive, namun tidak dengan pelatihan soft skill seperti: pelayanan berorientasi pelanggan, komunikasi Kepolisian, interpersonal skill, termasuk pelatihan manajemen resiko dan sebagainya.

    Selain urusan teknis yang bersifat penampilan kesatuan ada juga urusan non teknis yang bersifat penampilan perorangan, dimana saat ini paradigmanya adalah menyebut penampilan yang selalu ditafsirkan secara harafiah, alias tampilan fisik saja selama ini. Rambut anggota laki-laki POlri tidak boleh  gondrong, tidak boleh tatoan, tidak boleh brewokan, termasuk tidak boleh piercing. Belum menyentuh kepada tampilan secara utuh.

    Membangun karakter penampilan secara utuh harus dilakukan dengan : Latihan, latihan dan Latihan lagi, diperlukan setidaknya beberapa komponen yang terdiri dari.

    1. Peserta yang tepat tugas dan tepat guna, orang Lalu Lintas tentunya harus belajar product of knowledge bidang lantas termasuk aspek soft skills lalu lintas dan sebagainya.

    2. Pelatih yang kompeten dengan jangan malu malu mengundang tenaga  dari luar institusi Polri.

    3. Alins dan alongin yang memadai penuh kreatifitas.

    4. Kurikulum dan hanjar yang adaptif.

    5. Dukungan anggaran

    Point anggaran memang paling terasa di lingkup operasional kepolisian dalam membangun kompetensi perorangan dan kesatuan, namun jumlah  anggaran Polri tidak ubahnya sebagaimana kita memberikan uang dapur ke istri kita, tinggal komunikasi yang baik mana yang prioritas dan mana yang bisa ditunda dulu, belanja barang-barang isi rumah dibandingkan dengan belanja untuk kursus komputer anak-anak atau pelatihan Aikido anak anak

    Ada hal-hal lain yang justru menjadi focus dalam penyiapan komponen latihan yakni bagaimana menemukan pelatih dan bagaimana merumuskan kurikulum. Pernah ada permintaan dari SPN Poldal untuk memberikan materi tentang Brimob dan Densus 88,  kita berharap bahwa materi ini tidak bersifat one way tapi jadi materi yang resiprokal saling timbal balik , antara Brimob dan Densus 88 dengan siswa SPN yang nanti bakal bertugas langsung dilapangkan.

    Setiap anggota Polri punya peluang yang sama menjadi petugas Polri yang pertama kali berada di TKP serangan terror, sebagaimana pernah terjadi di jalan Thamrin maupun Mabes Polri, tugas setiap anggota Polri adalah nanti apa dan bagaimana mereka melakukan tugas itu ketika: Brimob dan Densus belum datang ke TKP, saat sudah datang di TKP dan segera setelah meninggalkan TKP.

    Prakteknya seperti bagaimana memberikan materi RASI (reaction on active shooter incident)  yang tidak perlu dengan gladi pasukan , cukup  berupa gladi posko saja dengan permainan floor game, setidaknya pesan yang disampaikan lewat Latihan nanti sampai kepada para anggota Polri yang berada di TKP seperti para bhabinkamtibmas yang setiap saat ada di tengah masyarakat bahwa ada output: bhabinkamtibmas paham cara bertindak saat ada serangan terror dan Outcome  adalah : terpeliharanya Kamtibmas yang kondusif

    Ada link menarik yang bisa dibaca tentang soft skills anggota Polisi. https://civilservicesuccess.com/10-essential-soft-skills-youll-need-to-have-as-a-police-officer/

    Seorang Direktur Binmas memberikan cerita tentang skill yang harus dimiliki oleh para Bhabinkamtibmas , yakni proses mengadakan capacity building (15 paket latkatpuan Binmas) dengan bentuk kegiatan Binmas Reborn, dimana para Wakapolres wajib hadir sebagai aktor utama dalam BMS/ BHabinkamtibmas Management System.

    Sebuah perubahan kecil yang menjanjikan dampak luas bagi masyarakat ketika program ini justru merangsang percepatan perubahan dengan memberikan reward kepada para Wakapolres, sebuah pemikiran Out of the box ketika biasanya hanya Kapolres menjadi pemain tunggal, kini peran penting Wakapolres diberikan ruang dan waktu untuk eksis dalam lingkup tugasnya di internal, ketika internalnya kuat dipastikan akan menjadi kekuatan terbaik dalam diplomasi kepolisian kepada eksternal

  • pokoknya bersyukur

    Masalah yang sama dalam periode yang berbeda

    Kemaren sempat nguping dari acara kumpul letting secara hybrid yang diselenggarakan oleh sebuah alumni, intinya adalah obrolan tentang perjalanan dinas mereka disebuah kesatuan di Polri.

    Salah seorang bercerita tentang bagaimana mereka Ketika mengawali pengabdian di Polri dengan menjabat sebagai Danton berpangkat Ipda, saat itu mereka mengalami tugas  dengan segala dinamika era tahun 2000an awal, Ketika mesin ketik manual masih terdengar nyaring di ruang kerja staff Batalyon namun gemerisik mesin printer berpita sudah mulai terdegar memungkasi agenda pengetikan dengan program windows pada jamannya.

    Penuh semangat mereka bercerita bagaima saat itu harus berangkat operasi pemulihan keamanan diberbagai daerah konflik yang bergolak di Indonesia, ada yang memulai tour of duty nya ke Poso, Sampit dan Sambas dengan aroma konflik antar Suku Dayak dan Madura, Konflik Aceh pasca berakhirnya status DOM, Ambon yang berdarah darah akibat konflik komunal antara kelompok Kristen dan Muslim termasuk geliat KKB /OPM di Papua.

    Saat itu mereka  berangkat dengan membawa pasukan yang terdiri dari berbagai sumber satuan, tentunya bukan satuan organic yang langsung mereka bina, tetapi cabutan dari berbagai kompi bahkan antar batalyon, jadinya seperti gado-gado dalam urusan pembinaan dan operational, singkatnya karena pertiwi memanggil, sudah lazim saat itu ketika main bodies Kompi bisa saja dari Jakarta namun para perwiranya harus di naturalisasi dari Polda Jawa Timur, tidak kalah  dengan pemain bola saat ini.

    Belum lagi keterbatasan sarana dan prasarana Ketika kala itu Polri baru saja mandiri, lepas dari ikatan ABRI,suatu tantangan sekaligus batu ujian bagaimana Polri menjawab kepercayaan masyarakat atas amanah Harkamtibmas dalam negeri, urusan berangkat antar pulau dengan Kapal-Kapal milik TNI AL yang setua Republik ini berdiri dan kelangkaan senjata api organic termasuk amunisinya dalam tugas, urusan alkom dan adminitstrasi lainnya merupakan suatu keajaiban ditengah keterbatasan yang ada, kalau tidak salah  dengar indeks ULP pasukan BKO saat itu ke  Konflik Poso dan Aceh adalah sekitar Rp. 14.100,00. Senilai dengan makan untuk seporsi Nasi hangat plus kuah sop ikan dan sepotong ikan goreng, catat … hanya untuk sekali sehari saja.

    Masa lalu sekitar 22 tahun lampau, Ketika kini beliau para pelaku sejarah umumnya telah mendapatkan pangkat Kombes, namun masalah operasional dan pembinaan satuan ternyata masih sama, walaupun secara garis besar alsus dan dukungan logistic lainnya termasuk metode  pergeseran pasukan sekarang lebih manusiawi, lebih canggih dan lebih modern dengan menggunakan berbagai alat angkut baik komersil maupun milik dinas yang sangat luar biasa.

    Masalah paling krusial justru pada pola penugasan yang masih comot sana sini, regrouping, ujung-ujungnya simsalabim jadi lah SSY atau SSK, artinya selama 22 tahun perubahan untuk penyiapan personal dan konsep minimum essential  force (MEF seperti  konsep rekan TNI) kalau polisi seperti nya Minimum Deployment Readiness,  belum  terwujud  secara ideal, masalah yang sama sejak Ipda  bahkan sampai Kombes saat ini.

    Kekhawatiran yang paling terasa adalah ketika pasukan yang  berangkat penugasan masih comotan sana sini, maka dipastikan pola pembinaan dan operational nantinya bersifat comotan juga, ada kesulitan tersendiri dalam membina setiap personil dengan mengikuti rekam jejak pembinaan karier dan tentunya disiplin, militansi apalagi kompetensi perorangan dan ujungnya berdampak kepada performa kesatuan.

    Berapa sebenarnya jumlah ideal dari suatu setingkat formasi regu, peleton bahkan Kompi  maupun Batalyon dan Detasemen di satuan formed Police seperti Sabhara maupun  Brimob, kemudian berapa  sebenarnya kebutuhan dukungan sarana prasana operasional maupun pembinaan sarana yang harus dilekatkan kedalam struktur tadi, hal yang sama berlaku juga untuk unit dengan spesifikasi khusus seperti Resmob, bahkan tim atau regu Patwal lalu lintas Polri.

    Tentunya agak sulit juga menjawab dalam hitungan matematika, berapa kebutuhan ideal normative dan berapa ketersediaan sumber daya manusia serta alat saat ini, belum lagi adanya fenomena yang menggejala antara kebutuhan Polri dijalanan (benar -benar bertugas di jalanan dengan pekerjaan police basic jobs: pengaturan, penjagaan dan patroli pencegahan kejahatan) dengan  kebutuhan menempatkan banyak personil setingkat police worker (Brigadier Polri) yang banyak dan cenderung banyak yang ingin berada di lingkup pekerjaan staff atau kantoran dengan pekerjaan office work dibandingkan police on the ground  atau berada di lapangan.

    Pernah terasa di sekitar tahun 2007 keatas, upaya menghadirkan Polisi dalam kekuatan penuh, tumblek-blek di jalan raya khususnya saat jam-jam sibuk Jakarta, mutasi besar-besaran dari lingkup Korbrimob Polri ke Polda Metro Jaya khususnya pada fungsi Lalu lintas , tidak heran pada jaman itu banyak berseliweran Polantas dengan menggunakan badge Pelopor maupun Gegana lengkap dengan brevet keahlian khusus berdiri tegap, sikap correct ,patah-patah militansi tinggi di sepanjang kemacetan Jakarta, rata-rata masih langsing dengan postur gagah, memberikan wibawa tersediri dalam pengaturan lalu lintas  Jakarta yang kejamnya melebihi ibu tiri.

    Urusan memutasikan anggota antar kesatuan merupakan hal biasa dalam tour of duty dan tour of area, selain penyegaran juga merupakan bagian dari pembinaan karier bahkan bisa jadi merupakan bagian dari seleksi alamiah, sejak jaman Menpor masih ada ketika Kepolisian di Papua harus dipegang dan dijalankan oleh orang Indonesia selepas PEPERA, mau tidak mau personil Polri paling cakap dan tepat adalah diambilkan dari kesatuan Menpor yang diharapkan cepat beradaptasi dengan lingkungan tugas yang ekstrim, pernyataan ini merupakan bagian dari sambutan Kapolri saat itu yakni Komisaris Jenderal Hoegeng Imam Santoso dalam acara peringatan Triwindu Korbrimob Polri di Kelapa Dua, tanggal 14 November 1969.

    Aura yang sama sepertinya menjelaskan bagaimana kutipan dibawah ini: “Spirit Ipda mu mengingatkan saya ketika belajar jadi Danton dulu,  mereka yang terbaik adalah harus jadi milik tim saya, sampai suatu ketika ketika saya menjadi Kapten, mereka-mereka (anak buah) yang terbaik,  yang  selama ini telah saya jagain betul-betul dalam team saya, ternyata juga telah menjadi kapten merah (bharaka) yang memiliki segala dinamika individu dan (terutama urusan keluarga) yang juga harus saya pikirkan.

    Pada titik itu saya belajar, bahwa ada tanggung jawab lain yang mungkin belum terjangkau oleh negara secara penuh namun telah dialihkan menjadi tanggung jawab seorang Kapten atau Komisaris Polisi untuk setidaknya dapat memberikan kesejahteraan untuk anak buahnya (termasuk keluarganya).

    Dengan mencoba melihat lebih luas seperti helicopter view, adanya pertimbangan  baru yakni  ketika  dulunya saya melatih dan menyiapkan  setiap anak buah dapat menjadi sebaik-baiknya  seperti saya  menyiapkan diri saya, maka saya juga harus mendorong bahkan mengupayakan agar anak-anak buah yang sudah sedemikian hebat untuk mendapkan suatu peluang peningkatan karier baik didalam bahkan diluar satuan mereka.

    Ketika  datang kesempatan untuk “melompat” pada fungsi lain yang mungkin bisa lebih memberikan nilai tambah pada pengembangan karier dan kestabilan keluarganya, maka disitulah saya harus memahami bahwa tugas saya membina mereka telah berakhir, sekaligus berarti saya telah melakukan suatu perubahan, yakni  membuat organisasi Polri lebih  baik dan lebih hebat lagi, karena beberapa komponen yang menyebar dan memperkuat fungsi-fungsi lainnya pernah saya didik dengan konsep terbaik yang dilakukan dengan tangan saya sendiri.

    Sisanya, kalau mereka ingat ya syukurlah, namun tidak ingat juga akan lebih baik, toh semesta sudah mendukung, intinya tanggung jawab Komandan adalah membuat anggota menjadi sejahtera, tidak harus memberikan material semata namun setidaknya memberikan kesejahteran mental atau psychology welfare berupa hak libur dan cutinya atau apalagi bisa membantu dengan memudahkan prosedur dan proses mutasi anggota sesuai minat dan keinginannya.

  • saya menulis maka saya ada

    dapatkan buku dalam versi ebook disini :

    Dari Far Enemies ke Near Enemies di Indonesia, Surya Putra, MIK .
    https://play.google.com/store/books/details?id=sGVkEAAAQBAJ

    Mungkin tidak akan ada yang menduga, bahwa pada tanggal 8 Mei 2018 akan menjadi hari yang sangat panjang sekaligus menorehkan duka yang mendalam. Peristiwa penyanderaan terhadap para penyidik Densus 88/AT yang sedang bertugas di sebuah Rutan yang terletak didalam Mako Brimob, Depok, Jawa Barat.

    Sebuah rumah tahanan dengan ruangan-ruangan yang semula dirancang hanya untuk menangani personel Polri yang menjalani hukuman, maupun sempat juga dipinjam untuk menahan Gayus Tambunan yang terlibat korupsi. Sebelum peristiwa penyanderaan tersebut, tidak banyak masyarakat yang mengerti spesifikasi fisik maupun teknis rutan tersebut, sebenarnya hanyalah ruang tahanan biasa seperti pada umumnya ruang sel di Polsek maupun Polres.

    Insiden penyanderaan tersebut pada akhirnya menjadi wakeup call bagi Polri maupun seluruh bangsa Indonesia, bahwa prosedur penanganan terhadap para tersangka maupun terpidana teror tidak dapat disamakan dengan penanganan terhadap maling ayam maupun jambret jalanan, apalagi dalam kondisi berkumpulnya para pelaku teror dari berbagai jaringan dalam sebuah fasilitas, tanpa kontrol dan pengawasan yang bersifat orang perorangan atau one man one cell.

    Proses perubahan manajemen rutan ditandai dengan perbaikan mekanisme dan penguatan prosedur penanganan tahanan dan narapidana kasus teror. Momen ini adalah dekade baru dalam upaya penanggulangan teror secara professional.

    Perubahan mendasar berikutnya adalah terhadap penguatan upaya pencegahan, penyelidikan, penyidikan, penindakan dan proses reintegrasi dan re-edukasi terhadap narapidana teror. Suatu keniscayaan yang berangkat dari berbagai dinamika terorisme yang harus terus menerus menjadi pemahaman bagi setiap anggota Polri agar dapatr mengantisipasi trend teror berupa perubahan pemaknaan far enemies dan near enemies di Indonesia.

    Pada kurun waktu tahun 2000 sampai 2021 terdapat berbagai perubahan yang sangat signifikan dalam modus operandi dan pola serangan serangan teror di Indonesia.Hal ini tidak lepas dari bagaimana pengaruh lingkungan global dan regional terhadap dinamika serangan teror di Indonesia.

    Suatu dekade yang menunjukkan bahwa Polri sebagai suatu entitas kini telah menjelma menjadi sasaran dari serangan teror itu sendiri. Pernyataan ini merupakan penegasan terhadap berbagai diskusi tentang: Mengapa Polri menjadi sasaran serangan teror, bagaimana serangan dilakukan, siapa yang melakukan serangan dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah terulangnya serangan teror terhadap personil maupun markas Kepolisian di kemudian hari.

    Buku ini didedikasikan kepada seluruh petugas Polri maupun para penegak hukum lainnya serta para korban kekejaman aksi terorisme di Indonesia, sebagai sebuah catatan dan renungan bahwa ada mereka yang tidak pernah kembali pulang kerumah selamanya dari tugasnya melayani dan melindungi masyarakat.

Situs Web WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: