Memasuki tempat baru suasana baru seperti bertugas di UNMISS adalah dengan hajat pertama mencari penukaran uang Dollar US dengan Pound South Sudan (100 US $ kira kira sama dengan 430 Pound SS, September 2014 dan menjadi 1300 Pound SS pada bulan Agustus 2015 ) yang dengan senang hati dibantu oleh tenaga cleaning service “ David the Money “ asli Uganda yang ready stock gepokkan uang receh Pound lokal.
Penting sebelum bisa ketahap berikutnya! Makan siang yang akibat kesalahan prediksi penerbangan lewat UN Flight alhasil belum makan semenjak start dari jam 4 pagi sampai jam 12 mendarat di Sudan Selatan, perut nyaring ditambah mata berkunang-kunang, pokoknya makan dulu baru kerja. Makan siang dulu, entah kemahalan atau memang belum tahu trik makan ala buffet, sukses membuat 40 Pound pertama lewat sebagai penukar makan siang, plus tambahan 4 pound buat air mineral dan 5 pound kopi hitam. Dimeja sebelah, ada yang asyik kasak kusuk menyusun strategi, yang tidak dilarang oleh warung tapi tidak disarankan oleh khalayak yang masih punya gengsi, yakni : ambil makanan dengan porsi jumbo, dibagi rata dan dibayar secara saweran.
Bagi mereka yang terbiasa “daerah konflik” perjalanan ke Sudan Selatan bisa di-switch menjadi semacam acara liburan, entah ini merupakan bagian dari proses internalisasi untuk menghapus stress maupun untuk mebiasakan diri agar lebih mudah beradaptasi di lingkungan baru yang kebetulan lingkungan konflik bersenjata, bagi mereka yang mungkin urat TAKTIKAL sudah jadi bagian lahir bathin, biasanya ringan-ringan saja mengatakan: yang penting masih bisa mandi dan ada airnya, masih bisa “pup“ dengan nyaman, apalagi ada wifi dan kantin, itu sudah liburan namanya, walaupun daerah konflik bersenjata.
Bertahan dan tampil eksis adalah jawaban suasana misi yang serba baru, menemukan ritme kehidupan merupakan jawaban yang paling masuk akal, berangkat dari jadwal kerja dengan roster yang kayaknya belum bisa diterapkan di Indonesia, bekerja on time 24/7, termasuk mempersiapkan sarapan, plus buntelan makan siang, air minum yang semua disiapkan sendiri, dijinjing sendiri , dipanaskan kembali dan dihidangkan sendiri.
Tidak heran bila menemukan personil IPO
yang tiba –tiba jadi Master Chef dadakan dengan menu andalan yang bisa jadi di Indonesia pun tidak ada atau bisa membuat kaget: makan pagi : nasi + rendang sapi + Telur ceplok, lanjut makan siang : nasi + Kare ayam + telur rebus , ditutup menu makan malam : nasi + Opor ayam + telur dadar, menu yang pasti cukup gagah untuk ukuran Indonesia, kecuali kita tahu bahwa semua menu diatas tetaplah nasi ditambah mie Instan aneka rasa asli Indonesia.
Trik lain yang perlu dipelajari sebagai seorang perantau peacekeeper dibelahan bumi Afrika ini adalah : modal senyum ramah dan hangat khas Indonesia plus sedikit kreatifitas, artinya dengan tebar -tebar senyum ramah biasanya akan banyak kawan, terutama rekan -rekan sipil , militer dan polisi dari kawasan asia yang bisa jadi merasa senasib dan satu daerah .
Seperti rombongan Military Police Cambodia, negara tetangga yang memiliki wajah mirip-mirip bangsa Indonesia, biasanya dengan ramah menawarkan dengan agresif dukungan logistik dari dapur mereka bisa berupa beras yang susahnya minta ampun ditemukan, bumbu- bumbu dapur yang tidak ada di Sudan, daging , bahkan kadang lengkap dengan sayur mayur beku maupun segar, intinya kadalau berdampingan dan akrab dengan rombongan TCC maupun PCC seperti MP Cambodia dan Nepal FPU urusan sumber bahan makanan biasanya beres aman terkendali.
Memiliki kreatifitas bidang masak memasak dan mengolah makanan adalah hal spesial yang bisa membuat hidup di perantauan Afrika menjadi menyenangkan, modalnya dengan membeli biji kedelai segar import dari toko kelontong China yang mulai bertebaran di Sudan Selatan ditambah ragi bawaan Indonesia maka sim salabim dalam jangka waktu 2-3 hari sudah jadi tempe yang rasanya asli Indonesia banget, digoreng dan jadi teman jamuan minum teh sore hari bersama rekan -rekan kontingen negara lain , sangat Internasional : this is tempeh , made in Indonesia.
Tinggalkan Balasan