STRATEGI OPTIMALISASI PENANGANAN KONFLIK KOMUNAL GUNA EFEKTIFITAS PENEGAKKAN HUKUM DALAM RANGKA TERPELIHARANYA STABILITAS KAMDAGRI.

STRATEGI OPTIMALISASI PENANGANAN KONFLIK KOMUNAL GUNA EFEKTIFITAS PENEGAKKAN HUKUM DALAM RANGKA TERPELIHARANYA STABILITAS KAMDAGRI.

BAB I PENDAHULUAN
Selama berabad-abad, suku-suku bangsa di Indonesia umumnya hidup rukun tanpa benturan yang berarti. Tiba-tiba pada masa reformasi, konflik kesukubangsaan, agama, pelapisan masyarakat sepertinya ikut mengusik kedamaian, seolah-olah menyimbolkan kemerdekaan dari depresi yang mendalam. Semacam muncul stimulus perubah kepribadian pelbagai pihak dalam waktu sekejap. Kondisi tersebut, setidak-tidaknya menjadikan situasi semakin rentan bagi lintas kepentingan para pihak yang berseteru kekuasaan, aset dan pengaruh.
Secara Nasional semakin lazim terjadi, seperti pemboman rumah-rumah ibadah, lembaga pendidikan hingga hotel-hotel dan perusakkan dan penutupan paksa tempat-tempat hiburan malam, fenomena yang kerap terjadi di wilayah rawan Konflik Komunal seperti di wilayah Jawa Timur ( konflik syiah dan Sunni di Sampang ); Kalimantan Barat dan Tengah ( Konflik Komunal antara etnis Dayak dan Madura); Sulawesi Tengah; Maluku Utara dan Ambon (Konflik komunal bernuansa SARA) ; Papua ( konflik Komunal dengan muatan politis kemerdekaan ).
Demikian halnya dengan provinsi Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia, serta cermin barometer keamanan bagi propinsi-propinsi lain di Indonesia,tidak luput dari gejolak konflik semacam itu,konflik komunal berupa tawuran antar warga desa adat tercatat pernah terjadi di beberapa Kabupaten seperti ; Buleleng; Gianyar: Karang Asem dan Kabupaten Badung, termasuk didalamnya perusakkan Kantor Polsek dan Kantor Pemerintahan ( Pemda ) dan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Konflik dalam suatu masyarakat sejatinya merupakan konsekuensi alami dari proses-proses perbedaan: sosio kultural , sosio structural dan proses social dalam dalam masyarakat yang menghasilkan sebuah perjuangan untuk mempertahankan identitas super ordinat dan sub ordinat serta kepentingan kelompok pribadi , pribadi dalam kelompok serta kepentingan komunal dari suatu kelompok sosial tanpa batas waktu yang didefenisikan dalam situasi kehidupan, diinterpretasikan dalam hubungan sosial, dengan potensi untuk selalu bersinggungan dengan nilai-nilai sosial kelompok lain.
Perbedaan dalam cara hidup dan nilai-nilai sosial yang dikembangkan oleh kelompok, membuat mereka terpisah dari kelompok lain dalam banyak hal. Konflik komunal memang akan tidak terhindarkan ketika norma-norma satu wilayah budaya dalam suatu Komunal atau sub-budaya tertentu lantas berimigrasi atau bersentuhan dengan norma-norma wilayah budaya lain. Konflik antara norma-norma aturan budaya yang berbeda dalam suatu Komunal bisa terjadi: ketika aturan-aturan dalam suatu masyarakat saling berbenturan di perbatasan wilayah budaya yang bersebelahan/ berdampingan; ketika, sebagaimana dengan norma hukum, hukum satu kelompok budaya akan diperluas untuk mencakup wilayah kelompok budaya lain, atau ketika anggota salah satu kelompok budaya bermigrasi ke kelompok budaya lain.
1. PERMASALAHAN PENULISAN
Bagaimana strategi optimalisasi penanganan konflik komunal dapat dilakukan oleh Polda Bali guna efektifitas penegakkan hukum dalam rangka terpeliharanya stabilitas kamdagri di Pulau Bali ?
2. RUMUSAN MASALAH :
1) Bagaimanakah tahapan konflik, peta konflik dan pergeseran Konflik dalam konsepsi Konflik Komunal di pulau Bali terjadi ?
2) Faktor apakah yang memberikan pengaruh dalam penanganan konflik komunal di Pulau Bali.
3) Bagaimanakah strategi optimalisasi penanganan konflik komunal dapat dilakukan oleh Polda Bali dan jajaran dalam rangka terpeliharanya stabilitas Kamdagri ?

BAB II PEMBAHASAN
1. PETA KONFLIK KOMUNAL DI BALI
Peta konflik komunal di Bali dapat diidentifikasi dengan konsep : Source , Issue, Parties, Attitude, Behavior, Intervention, Outcome ( SIPABIO) (Arm Abdalla dalam Sosiologi Konflik;2002) , secara rinci pemetaan konflik komunal dapat dijelaskan sebagai hasil interaksi antara pertama ; komposisi Demografi penduduk Bali yang mayoritas dari suku Bali ditambah beberapa suku lain yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia sebagai hal yang wajar dimana Bali merupakan pusat industry pariwisata dunia sehingga kedatangan masyarakat berlatar belakang suku, agama , dan aliran kepercayaan sangatumum terjadi di Bali, kedua ; Faktor Geografi pulau Bali yang sangat ideal sebagai daerah tujuan wisata dan tempat bekerja mencari nafkah dan ketiga ; bahwa pulau Bali tidak memiliki sumber daya alam berupa tambang mineral maupun migas, namun dengan keindahan alam dan kekayaan budaya menyebabkan Bali menjadi salah satu provinsi dengan pendapatan perkapita tertinggi di Indonesia.
Peta Konflik Komunal di Pulau Bali dapat digambarkan sebagai berikut :
1) Source / Sumber Konflik : adanya konflik kepentingan baik individu maupun kelompok serta adanya konflik akibat pertarungan dan upayapertahanan terhadap posisi dalam kedudukan masyarakat berupa kedudukan dominasi dan sub ordinasi antar komunitas sebagai konsekuensi pertemuan berbagai budaya di satu kawasan. Secara umum di Bali rentan dengan isyu SARA, dan dinamika Astra Gatra di pulau Bali sendiri maupun akibat pengaruh lingkungan Regional , Nasional dan Global.
2) Issue / Titik Masalah : adanya dinamika Politik lokal berupa permasalahan DPT dalam Pemilu Kada , masalah konflik antara warga pribumi dan pendatang,konflik antar dan inter lembaga Adat , masalah penggunaan lahan dalam Rancangan Umum Tata Ruang ( RUTR) dan konflik agraria antara lahan milik masyarakat maupun tanah Negara dan tanah adat ( ulayat ).
3) Parties / Pihak yang Terlibat : actor yang terlibat dalam konflik komunal di Bali adalah antara masyarak dengan masyarakat baik secara individu maupun dengan representasi lembaga masyarakat, sebagai contoh adalah masalah tanah pemakaman milik suatu desa Adat yang dilarang dimanfaatkan oleh warga desa yang sama dengan alasan pelanggaran atau sanksi adat sebelumnya,actor lain yang ikut meramaikan konflik komunal di Bali adalah peran LSM dan Media Massa dengan pemberitaan content provokatif ,pihak Swasta ( pemodal asing dan dalam negeri ) serta otoritas Negara ( aparat Negara ) turut andil dalam konflik komunal di Indonesia , umumnya terjadi akibat konflik ganti rugi pemanfaatan lahan maupun tindakan pribadi oknum aparat Negara ( kasus pembakaran dan perusakkan Markas Polsek Rendang di Polres Karangasem ).
4) Attitude / Sikap masing-masing actor : seperti diketahui bersama bahwa masyarakat di Bali adalah masyarakat transisi dari masyarakat agraris tradisional menjadi masyarakat idustri pariwisata yang tetap lekat dengan struktur social kebudayaan Hindu Bali ( lembaga desa adat, Banjar adat dan atribut budaya lainnya ; pecalang ) berpola patrilinial dan terbuka terhadap perubahan.
5) Behaviour / perilaku perubahan konflik : umumnya ekspresi konflik yang muncul tergantung peran tokoh dalam suatu komunal , apa yang disampaikan oleh para pemimpin masyarakat lokal akan didengar dan dilaksanakan oleh masyarakat ,konflik laten jarang berkembang menajdi konflik terbuka apabila terdapat penyaluran ekspresi yang memadai bagi masyarakat dan peran pemimpin masyarakat untuk meredam.
6) Intervention/ peran actor dalam tahapan konflik : masing masing actor konflik komunal di Bali sangat berperan dalam terjadinya konflik komunal , masyarakat, LSM, Media massa dan otoritas pemerintah memiliki karakter masing masing dalam intervensi/ mempengaruhi pergeseran konflik komunal.
7) Outcome / pencapaian dari suatu konflik : setiap komponen konflik di Bali memiliki pengahrapan tersendiri yang pada umumnya terkait dengan bagaimaana kepentingan diperjuangkan dan bagaimana Posisi dipertahankan.

  1. FAKTOR– FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM PERGESERAN KONFLIK KOMUNAL DI BALI
    Pergeseran Konflik Komunal di Bali dapat diketahui dengan melihat apakah suatu konflik yang sifatnya latent dalam masyarakat memiliki atau memenuhi setidaknya 3 ( tiga ) persyaratan teknis (Ralf Dahrendorf;1957) sebelum menjelma menjadi konflik terbuka , antara lain :
    1) SYARAT TEKNIS : jumlah massa yang cukup dengan kepemimpinan yang solid dalam suatu kelompok dengan tujuan untuk memperjuangkan keunggulan kepentingan yang dimiliki, suatu studi kasus adalah saat terjadi perusakkan dan pembakaran Markas Polsek Rendang Polres Karangasem adalah ketika masyarakat desa Rendang mendengar Kentongan dan ajakan tokoh pemuda dan masyarakat setempat yang menuntut keadilan dengan menolak penahanan terhadap pelaku sabung ayam yang ditangkat beberapa saat sebelumnya, jumlah massa dan pimpinan serta issue penangkapan berhasil mendorong masyarakat desa Rendang melakukan penyerangan dan pembakaran Markas Polsek rending.
    2) SYARAT SOSIOLOGIS : adalah bagaimana pola interaksi social dan komunikasi antar masyarakat dan actor lainnya dalam suatu konflik , umumnya masyarakat di Bali memberikan penghargaan kepada aparat keamanan , apalagi aparat keamanan tersebut merupakan putra daerah , asalkan track record dan perilaku sehari hari memberikan kesan baik bagi masyarakat disekitarnya, namun dalam kasus pembakaran Polsek rending adalah masyarakat di desa Rendang memiliki pengalaman trauma terhadap tindakan oknum polisi disana yang kerap menyalahgunakan wewenang dan hukum dengan melakukan penangkapan terhadap pemain judi Sabung Ayam namun kemudian meminta sejumlah uang untuk membebaskan pelaku judi sabung ayam yang tertangkap.
    3) SYARAT POLITIS : bahwa hukum sebagai produk politis perundang- undangan kadang kala tidak memberikan kemanfaatan , paradigm hukum Positivistik yang berlaku di Indonesia seolah olah menegasikan kewenangan hukum adat yang hidup sebagai fakta pluralism hukum di Indonesia, hukum yang Positivistik akhirnya membelenggu aparat nagara penegak hukum dalam mewujudkan hukum yang memeberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian dalam masyarakat.
  2. STRATEGI PENEGAKKAN HUKUM DALAM PENANGANAN KONFLIK KOMUNAL DI BALI
    Identifikasi terhadap peta konflik komunal dan informasi prasyarat terjadinya pergeseran konflik sebagi factor yang berpengaruh terhadap eksistensi Konflik Komunal di Bali memberikan pemahaman bahwa perlu suatu strategi efektif dan efisien bagi Polri untuk mengoptimalkan upaya penaganan Konflik komunal yang salah satuanya adalah dengan pendekatan Penegakkan Hukum .
    Pendekatan penegakkan hukum mengadung pemahaman bahwa Hukum dapat ditegakkan secara efektif dengan mempelajari dan memahami lebih dahulu aspek Hukum dalam kajian Substansi Hukum , Struktur Hukum dan Budaya Hukum ( L.Friedman dalam Community Policing ; 29005 ) di dalam suatu masyarakat.
    Pertimbangan yang utama dalam pendekatan penegakkan Hukum dalam penanganan konflik Komunal di Bali adalah adanya Pluralisme hukum yang sangat kuat di Bali , eksistensi lembaga adat seperti perangkat Kelihan ( ketua ) Desa Adat dan banjar Adat mengakar dan terstruktur sampai ke tingkat provinsi yang diakui dengan penerbitan Perda dan studi akademis beberapa perguruan tinggi , sehingga Adat masyarakat Bali memiliki kelengkapan organisasi lengkap berdasar tugas dan peran, memiliki legitimasi kuat dan mengakar, dengan sumber daya keuangan, tanah , materi kuat.
    Sehingga dengan pertimbangan pluralisme hukum yang sedemikian kuat , Polda bali dan jajaran harus secara bijak menerapkan pendekatan penegakkan hukum dalam penanggulangan Konflik Komunal , jembatan penghubung anatara konsep penegakkan hukum ( Positive ) dengan keberadaaan hukum Adat adalah dengan strategi Pemolisian Masyarakat ( Polmas ) dalam bentuk kemitaraan Polisi dan Masyarakat ( lembaga Adat ).
    Pilihan strategi optimalisasi penanganan konflik komunal guna efektifitas penegakkan hukum dalam rangka terpeliharanya stabilitas kamdagri di Bali adalah dilaksanakan dengan :
    1) Pemberdayaan perangkat desa Adat yang berperan dalam tanggung jawab Keamanan warga ( Pecalang ) untuk memberikan lebih banyak kontribusi peran dalam menjaga keamanan sehari hari, Polri memberikan pendampingan dan sekaligus Mitra dengan mengedepankan masyarakat secara mandiri mengidentifikasi akar pemasalahan yang mungkin berkembang menjadi konflik komunal di lingkungannya.
    2) Pemberdayaan lembaga Adat dan perangkat Adat di Bali adalah termasuk kebutuhan perumusan pemetaan Konflik Komunal di masing masing lingkungan yang selanjutnya peta konflik komunal global Provinsi Bali tersebut dikompulir oleh Polda Bali sebagai database Peta potensi Konflik komunal yang diharapkan dapat memberikan peringatan awal perumusan kebijakan pemerintah .
    3) Peningkatan kemampuan Bhabinkamtibmas sebagai pendamping Pecalang dengan mengembangkan kemapuan negosiasi, pengetahuan hukum pidana secara umum, resolusi konflik, strategi pencegahan kejahatan dan kemampuan Intel dasar berupa deteksi dan peringatan dini / early warning dan early detection.
    4) Merintis pengembangan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat ( FKPM ) anatara Polda Bali dengan potensi masyarakat ( Dewan Desa Adat bali ) sebagai semacam lembaga Pusat Studi Polmas dengan memperhatikan aspek Local genius masyarakat Bali dalam memelihara keamananguna mencari resolusi Konflik secara dini yang terjadi dilingkungannya.
    5) Membuat terobosan hukum dengan menggandeng lembaga penegak hukum lain ( Jaksa, Hakim dan pengacara ) untuk merumuskan pendekatan hukum yang retributive terhadap beberapa perbuatan melawan hukum yang kerap terjadi di Masyarakat dengan mengedepankan kemanfaatan dan keadilan hukum daripada sekedar kepastian hukum terhadap tindak pidana yang tidak menimbulkan kerugian besar, berpeluang untuk diperbaiki namun masyarakat tetap mendapat pengayoman dari Negara.

BAB III PENUTUP
1. KESIMPULAN.
1) Dengan melakukan analisa terhadap peta konflik dapat diidentifikasi berbagai peran otoritas didalam masyarakat, bagaimana pergeseran konflik terjadi dan apa akar permasalahan konflik yang terjadi sehingga peran para pemegang otoritas yang terkait dengan masalah tersebut dapat optimal mencegah konflik latent bergeser menjadi konflik aktual berupa konflik Komunal di Indonesia
2) Faktor instrumen dan enviromental yang bersumber dari Struktur , Substansi dan Budaya Hukum yang berlaku dalam masyarakat sangat berpengaruh terhadap peta konflik komunal yang dapat ditanggulangi oleh Kepolisian.
3) Pola pemolisian reaktif yang lebih berorientasi kepada bagaimana menghentikan konflik komunal dengan upaya penegakkan hukum Positive tidak efektif bila tidak diikuti dengan strategi pemolisian masyarakat yang menggunakan pendekatan hukum retributive dalam bentuk pemberdayaan dan kemitraan antara Polri dan Potensi masyarakat dalam mencari solusi dan penanganan konflik komunal secara tuntas .
2. SARAN.
1) Sinkronisasi kebijakan antar pemangku kepentingan terkait, termasuk Pemerintah daerah dalam mengeluarkan kebijakan pembangunan agar tidak terjadi tumpang tindih pada pelaksanaannya.
2) Mengikut sertakan stake holder terkait perumusan kebijakan sebagai masukan dan langkah antisipasi atas kemungkinan timbulnya permasalahan-permasalahan di kemudian hari termasuk pemuliaan peran Media Massa agar kembali menjadi sarana penyebaran informasi yang professional dan mendidik bagi publik, tanpa konflik kepentingan pihak-pihak tertentu.
3) Peningkatan fungsi “early Warning” terhadap anggota Kepolisian, khususnya fungsi Intelijen dan Bhabinkamtibmas di sertai peningkatan kualitas kinerja seluruh aparat Kepolisian.
4) Melakukan penindakan hukum dan upaya antisipasi terhadap pihak-pihak yang mencari keuntungan dari konflik yang terjadi, dengan mengatasnamakan korban ataupun kelompok yang tertindas/ terintimidasi, namun tetap perlu juga mewaspadai bahwa upaya penegakkan hukum juga dapat memperkeruh suasana dan membuat masalah semakin meluas.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Situs Web WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: