Diskresi dan ketakutan terhadap hantu, mereposisi padangan positivistik hukum pidana Indonesia

TINDAKAN DISKRESI POLISI DALAM PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIKAN PIDANA

KONSEP DISKRESI KEPOLISIAN
Peran Polisi saat ini adalah sebagai pemelihara Kamtibmas juga sebagai aparat penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak hukum jalanan yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”, Dalam Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Dalam kenyataannya hukum memang tidak bisa secara kaku untuk diberlakukan kepada siapapun dan dalam kondisi apapun seperti yang tercantum dalam bunyi perundang-undangan. Pandangan yang sempit didalam hukum pidana bukan saja tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana, tetapi akan membawa akibat kehidupan masyarakat menjadi berat, susah dan tidak menyenangkan. Hal ini dikarenakan segala gerak aktivitas masyarakat diatur atau dikenakan sanksi oleh peraturan. Jalan keluar untuk mengatasi kekuatan-kekuatan itu oleh hukum adalah diserahkan kepada petugas penegak hukum itu sendiri untuk menguji setiap perkara yang masuk didalam proses, untuk selanjutnya diadakan penyaringan-penyaringan yang dalam hal ini disebut dengan diskresi.
Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Menurut Davis diskresi kepolisian is maybe defined as the capacity of police officers to select from among a number of legal and ilegal courses of action or inaction while performing their duties (Bailey (ed) : 1995: 206). Diskresi kembali ditegaskan kedalam Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan peluang pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi. Selengkapnya Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik menyebutkan:
(1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: Yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.
Rumusan “Diskresi Kepolisian “ juga diberikan ruang melalui penegasan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP menyebutkan: yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat: Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan; Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; Menghormati hak asasi manusia.
Pasal 7 ayat (1) huruf j Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yang pada pokoknya memberikan wewenang kepada penyidik yang karena kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja menurut hukum yang bertanggung jawab. Selanjutnya, Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP mengataur hal yang sama dengan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP.
Sebuah pendapat dalam tulisan Abraham.S. Blumberg dalam buku The Ambivalent Force,Perspective on The Police , menyebutkan bahwa isu Diskresi Kepolisian secara sentral dibahas mengenai tindakan Kepolisian dalam melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan ( Penangkapan ) ditegaskan bahwa Diskresi kepolisian terjadi manakala seorang petugas Polisi memiliki kebebasan ( kemandirian ) untuk memilih salah satu dari beberapa pilihan yang terkait tugas , terhadap pilihan penalaran suatu laporan peristiwa yang terjadi,yang diketahui atau dilihat langsung dalam hubungan Polisi dan masyarakat (Blumberg,1976;169)
Dengan mengkolaborasikan berbagai rumusan terkait definisi Diskresi Kepolisian yang bersumber dari Undang- Undang Kepolisian, KUHAP dan dari literatur asing , penulis menariol benang antara lain : Diskresi Kepolisian memeiliki legalitas hukum dan tinjauan empiris, kemudian Diskresi Kepolisian merupakan wewenang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan kepolisian dengan suatu pertimbangan, bahwa melakukan tau tidak melakukan merupakan pilihan yang dapat dipertanggung jawabkan.
KAPAN DAN BILAMANA DISKRESI DAPAT DILAKUKAN
Hukum senantiasa terlambat dalam mengatasi dinamika masyarakat , ketika hukum dibuat maka seketika itulah hukum tertinggal dibelakang peradaban, Diskresi menjdi demikian penting dan pantas untuk dilakukan mengingat dalam pelaksanaan tugas polisi ditemukan fenomena bahwa Undang-undang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi petugas dilapangan,Hukum adalah sebagai alat ( tools) untuk mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban dan tindakan hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai hal tersebut yang mana diketahui bahwa antara penegakkan hukum dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban akan selalu bertolak belakang namun berjalan beriringan dalam masyarakat.
Masih melihat kepada tulisan Abraham S Blumberg, bahwa Diskresi kepolisian sebagai sebuah keputusan hanya pantas dilakukan manakala terdapat pertimbangan yang mendalam namun cepat ( situasional ) terhadapap beberapa pertimbangan seperti :
Role Atribution : peran kepolisian dalam suatu kondisi yang mengharuskan pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan atau mengganti suatu tindakan Kepolisian, implementasi dalam konsep Kepolisian Indonesia adalah mempertanyakan peran petugas Polri dalam suatu kondisi apakah bertindak sebagai seorang penegak hukum, seorang Pelayan dan pelindung Masyarakat ataukah mengharuskan bertindak sebagai seorang pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.konsep sederhananya adalah apakah seorang anggota Polisi harus melakukan penindakan dalam kaitan upaya paksa , atau cukup memberikan nasehat dan petunjuk saja terhadap sebuah fenomena pelanggaran hukum.
Decision Criteria : merupakan pedoman praktis petugas kepolisian yang bersumber dari pengetahuan hukum positif dan hukum lainnya sebagai pertimbangan, adapaun kriteria pertimbangan tersebut harus memenuhi kondisi sebagai berikut :
1.Law ( pertimbangan hukum ) : suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai sebuah pelanggaran atau tindak pidana, berdasarkan ada atau tidak adanya definisi perbuatan tersebut dalam suatu hukum positiv, ketika perbuatan seseorang warga masyarakat diketahui melanggar suatu aturan dalam hukum positif maka secara otomatis masyarakat dan Kepolisian akan menyebut tindakan tersebut sebagai suatu pelanggaran hukum. Hal yang sedikit kontroversial terhadap pertimbangan ini adalah bahwa fenomena pelanggaran hukum dalam masyarakat yang seharusnya hitam putih ( benar atau salah ) dalam kondisi tertentu merupakan suatu pendapat yang abu abu, masyarakat mungkin mengetahui suatu perbuatan yang dilakukan anggota masyarakat lain sebagai suatu pelanggaran hukum namun sebagaian masyarakat juga memberikan rasionalisasi bahwa tindakan itu bukan atau kalaupun melanggar hukum adalah sebuah pelanggaran hukum ringan, intesitas berat dan ringan hukuman inilah yang menjadi dasar pertimbangan / kriteria apakah Diskresi kepolisian yang akan dilakukan dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat.
2.Policy ( Kebijakan ) :Apakah sebuah institusi penegak hukum memiliki atau mengeluarkan kebijakan kebijakan terkait Diskresi Kepolisian baik secara resmi maupun tidak resmi , adalah merupakan suatu pertimbangan bagi petugas kepolisian dalam mengambil suatu keputusan, secara resmi artinya terdapat pedoman khusus yang mengatur tentang Diskresi kepolisian dapat dilaksanan, dan secara tidak resmi dikandung maksud bahwa pelaksanaan Diskresi Kepolisian dilakukan dan diakuai berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam suatu kegiatan pemolisian .sebagai pengetahuan bahwa Polri sampai saat ini belum secara resmi pernah memberikan panduan pelaksanaan Diskresi kepolisian baik dalam tindakan Kepolisian untuk perlindungan dan pengayoman masyarakat, pemeliharaan keamaman dan ketertiban masyarakat maupun dalam penegakkan hukum namun secara umum, beberapa pimpinan kepolisian telah melakukan tindakan Diskresi Kepolisian dalam situasi dan kondisi tertentu.
3.Respect ( Penghargaan terhadap petugas ):dalam suatu pelaksanaan tugas kepolisian sering dihadapkan kepada tindakan dan perkataan tersangka yang menyinggung kehormatan petugas , Blumberg menegaskan bahwa , gaya bahasa, gerak tubuh dalam bentuk komunikasi verbnal dan non verbal tersangka sangat berpengaruh terhadap perilaku petugas Polisi dalam mengambil keputusan melakukan Diskresi ( menangkap atau tidak menangkap), beberapa penelitian menunjukan akibat perbedaan latar belakang budaya dari masyarakat amerika yang sering menyebabkan adanya perbedaan keputusan petugas Kepolisan dalam menangani suatu laporan kejahatan, terhadap masyarakat yang kooperatif , dalam artian pada saat petugas Polisi datang di suatu TKP , polisi cenderung bersikap lebih lembut dibandingkan saat mendatangi panggilan darurat yang berasal dari TKP yang ,melibatkan masyarakat dengan akar budaya keras ataupun masyarakat yang memperoleh stigmatisasi lingkungan jahat, Polisi yang datang di TKP tersebut cenderung untuk melakukan tindakan tegas dengan tidak segan segan melakukan penagkapan.Implementasi pengambilan keputusan melakukan suatu Diskresi bagi kepolisian di Indonesia sangat tergantung bagaimana seorang petugas dapat membaca karakter masyarakat dan bertindak cerdas mengambil keputusan yang tepat untuk melakukan tindakan kepolisian dengan pertimbangan masyarakat di Indonesia sangat plural dan belum memiliki tingkat pendidikan hukum yang merata.
4.Safety ( keselamatan petugas) : sebagai pertimbangan yang sangat mendalam adalah tingkat kekerasan dan serangan masif kepada petugas kepolisian di Amerika yang menjadi landsan pengetahuan bagi jajaran kepolisian di negara tersebut. Ketika seorang petugas kepolisian sangat rentan menjadi korban kejahatan khususnya akibat penyalah gunaan senjata api, memaksa petugas kepolisan di Amerika menggunakan kekuatan besar ( superior force) sebagai bentuk pencegahan dan antisipasi bahaya dan meningkatkan keamanan petugas itu sendiri.Suatu bentuk pertimbangan yang harusnya menjadi gejala di lingkungan Polri , manakala secara umum sangat jarang petugas Kepolisian di Indonesia dilengkapi dengan alat proteksi memadai ( rompi anti peluru, senjata api , maupun senjata yang kurang mematikan / Less Lethal Weapon ( Tongkat T , Borgol, semprotan merica dan pistol kejut listrik ), terdapat berbagaio kasus memilukan ketika petugas Polri meregang nyawa akibat salah menilai ancaman di suatu TKP dengan secara sembrono melakukan tindakan kepolisan tanpa diikuti tindakan proteksi yang memadai sebaliknya terdapat banyak komplain masyarakat terhadap tindakan kepolisian yang dianggap ceroboh dengan semena mena mengumbar tembakan atau pukulan sebagai suatu tindakan brutal dan pelanggaran HAM.
Ketika pembahasan Diskresi kepolisian sampai kepada pertanyaan KAPAN dan BAILAMANA Diskresi kepolsian dapat dilakukan adalah berarti berbicara mengenai Situasi , Kondisi dan prosedur tindakan yang boleh atau tidak boleh dilakukan, hal ini memerlukan suatu pengukuran yang mendalam bahwa dalam situasi dan kondisi tertentu diskresi dapat dilakuykan dengan suatu metode tertentu yang dapat dipertanggung jawabakan. Chryshmanda (2008), tindakan diskresi yang dilakukan aparat kepolisian dapat dibedakan dalam 2 (dua) kategori yaitu: Tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam mengambil keputusan, yaitu tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya, dan Tindakan diskresi berdasarkan petunjuk atau keputusan atasan atau pimpinannya. Tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual karena pengambilan keputusan diskresi didasarkan atau berpedoman pada kebijakan–kebijakan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah menjadi kesepakatan diantara mereka.
Dengan mengkolaborasikan kedua pendapat antara Blumberg dan Chrysnanda , dapat ditarik kesimpulan bahwa Diskresi Kepolisian dilakukan dan bilamamana dapat dilakukan adalah dengan semata mata dengan melihat saling hubungan antara Kebutuhan masyarakat dalam suatu kurun waktu , Kesiapan Petugas pada saat itu dan adanya suatu alasan kuat yang menjadi latar belakang.
MENGAWASI ATAU MENGENDALIKAN PELAKSANAAN DISKRESI KEPOLISIAN
Sekalipun diskresi kepolisian bukan tindakan menyimpang, namun dalam praktik penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat kepolisian yang ragu untuk menggunakan wewenang ini, terutama dalam penanganan kasus pidana. Padahal apabila diperhatikan lebih mendalam, banyak faktor yang menjadi pemicu keengganan aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi, khususnya dalam pemeriksaan kasus pidana, di antaranya rendahnya pemahaman aparat kepolisian tentang kewenangan melakukan diskresi, sehingga diskresi sering dinilai oleh rekan sejawat sebagai tindakan manipulasi, adanya ketakutan akan munculnya penilaian negatif dari masyarakat bahwa penerapan diskresi kepolisian dianggap sebagai praktek jual beli hukum oleh pihak kepolisian untuk memperoleh keuntungan materi dari pihak-pihak berperkara.
Adalah permasalahan yang akan timbul manakala Diskresi Kepolsian tidak semudah pelajaran yang disampaikan dalam kurikulum pendidikan Polisi, dimana tidak henti hentinya contoh diskresi kepolsian diberikan dengan ilustrasi petugas Polantas yang mengatur lalu lintas , sangat jarang dalam kurikulum pendidikan Polri yang masih secara tradisional mengajarkan kapan menutup arus dan apa yang dilakukan terhadap prioritas jalan kendaraan . Sangat jarang terobosan kurikulum Polri mengajarkan bagaimana tindakan anggota Polri bilamana harus mengambil keputusan terkait Diskresi kepoilsian terhadap suatu fenomena perang antar kampung,antar suku maupun perusakkan fasilitas milik pribadi oleh kelompok ormas tertentu, kasus Korupsi, kasus Sabung ayam sebagai budaya di beberapa masyarakat suku tertentu, fenomena preman dan calo tiket, becak motor dan lainnya.
Suatu kebutuhan yang mendasar dalam pelaksanaan Diskresi kepolisian di Indonesia adalah dengan merubah paradigma “Pengawasan” menjadi “Pemanduan” Diskresi Kepolsian oleh Polri, kenapa ? karena makna pengawasan sebagai bayang bayang yang menakutkan akan menempatkan petugas Polri selalu takut untuk melakukan sesuatu terobosan hukum demi memperoleh kemanfaatan , dan keadilan Hukum daripada mengejar kepastian hukum yang dilandasi pemikiran positivistik hukum itu sendiri, Makna pemanduan mengandung arti “ lakukanlah Diskresi kepolisian dalam koridor penegakkan hukum yang berkeadilan dan memberikan manfaat namun tetap ada kepastian hukum” .
Mekanisme pemanduan Diskresi Kepolisian dalam tataran Strategi adalah dilakukan dengan upaya pra dan pasca tindakan Kepolisan dilakukan. Upaya Pra Tindakan meliputi kegiatan preventif terhadap petugas dengan memberikan pedoman bahwa tindakan diskresi kepolisan harus dilakukan dengan menekankan bahwa tidak boleh adanya suatu pamrih, kepentingfan ekonomi maupun material , balas jasa dan tendensi ekonomi ketika melakukan suatu diskresi kepolisian, siapkan piranti lunak. Protap atau rambu rambu yang memandu bahwa diskresi dilakukan semata –mata demi memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat, upaya pelatihan dan penyuluhan mekanisme dan tertib dalam diskresi senantiasa dilakukan secara berulang ulang bahkan perlu dijadikan suatu tolok ukur tingkat prestasi anggota polri dalam mengukur suatu kinerja.
Mengembangkan peluang mekanisme penyelesaian perkara pada akar masalah secara dini dan sederhana diikuti dengan perubahan alur penanganan pengaduan dan laporan Polisi menjadi bentuk laporan penyelesaian perkara secara sederhana diluar mekanisme peradilan umum, dari semula laporan Polisi dibuat adalah seketika itu penyelidik Polri bekerja untuk menyelelidiki laporan yang ada sebagai suatu tindak pidana atau bukan tindak pidana sekaligus melakukan pendataan atas kemungkinan penyelesaian kasus kedalam mekanisme sederhana dalam bantuk mediasi atar kedua pihak yang bertikai untuk kemudian diadakan semacam resolusi yang dilakukan tanpa menggunakan media peradilan umum, untuk selanjutnya kasus dapat dihentikan atas pertimbangan manfaat dan keadilan, bukan dengan mengejar lewat peradilan pidana yang justru kontraproduktif dengan rasa keadilan bagi masyarakat luas.
Pada pasca tindakan kepolisan dalam bentuk diskresi adalah peningkatan dan pemberdayaan peran lembaga pengawas internal maupun eksternal. Ketika timbul gejolak manakala suatu tindakan Diskresi dilakukan dengan melakukan konfirmasi terhadap pengambil keputusan dengan tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah sehingga manakala tidak terbukti diskresi yang dilakukan bukan merupakan suatu manipulasi maka tidak ada alasan bagi lembaga pengawas untuk tidak mengembalikan harkat dan martabat petugas kembali seperti semula, yang artinya juga manakala tindakan yang dilaporkan sebagai sebuah Diskresi Kepolisian , setelah melalui proses penelitian terhadap adanya komplain masyarakat nyata terbukti sebagai suatu manipulasi, maka tiada alasan juga untuk menjatuhkan sanksi disiplin, kode etik maupun pidana umum.
Sebagai langkah praktis dalam memandu pelaksanaan Diskresi Kepolisian ( Blumberg:1976:180) adalah dengan langkah langkah sebagai berikut :
1. Dengan memberikan kewenangan penerbitan surat pernyataan ( mengaku bersalah dan penyesalan ) yang diberikan oleh petugas kepada pelaku pelanggaran hukum, dimana sewaktu waktu surat pernyataan tersebut digunakan manakala pelaku mengulangi kembali suatu pelanggaran hukum yang sama dan mendapat komplain dari masyarakat, disini peran petugas sebagai mediator resolusi konflik antara pelaku pelanggaran dengan masyarakat yang membuat laporan menjadi sangat penting, justru disinilah peran ( role) Polisi selaku pemelihara ketentraman dan ketertiban menjadi menonjol, mekanisme surat pernyataan yang menyebutkan suatu penyesalan dan permohonan maaf serta janji untuk tidak mengulangi perbuatan yang sama adalah media mendidik masyrakat untuk patuh hukum, salinan dari surat permohonan maaf tersebut digunakan Polri sebagai database trend pelanggaran hukum di suatu wilayah. Sebagai contoh konkrit adalah terhadap pelaku kriminal yang dilakukan oleh remaja/ pelajar yang terlibat Gang Motor, kebut kebutan maupun tawuran pelajar , bahwa surat pernyataan yang dibuat dan ditandatangai oleh masing masing pelanggar remaja selainh disimpan sebagai arsip kepolisian juga diberikan salinan kepada pihak sekolah, orang tua dan masyarakat (tokoh ) dimana pelaku remaja bertempat tinggal untuk ikut mendidik dan mengawasi perilaku anak-anak remaja mereka.
2. Bahwa fenomena dan corak Diskresi kepolisan petugas Polisi yang sangat beragam terkait sikap dan perilaku ( gaya bahasa , gesture tubuh pelanggar ) ketika tertangkap melakuakn suatu pelanggaran perlu diantisipasi melalui peningkatan kualitas dan kuantitas pelatihan petugas dalam pengembangan pengetahuan “ Interpersonal “ ketika seorang petugas berhadapan dengan masyarakat, pelatihan yang mengembangkan kemapuan identifikasi masalah, perumusan dan pencarian akar masalah menjadi kurikulum wajib bagi setiap anggota baru maupun pelatihan penyegaran bagi segenap petugas yang telah lama mengabdi,dikandung maksud adanya senantiasa peningkatan keterampilan “ berkomunikasi “ secara cerdas.termasuk secara praktis memberikan perintah kepada petugas petugas Polri dilapangan untuk memanfaatkan perangkat Voice recorder, perekam suara ( mini recorder atau fasilitas Voice recorder dari Hand Phone diselipkan pada saku baju dinas )untuk merekam setiap pembicaraan manakala upaya mediasi sebagai salah satu bagian dari tindakan Diskresi kepolisian sedang dilakukan, maksudnya adalah sebagai bukti petunjuk bahwa tindakan Diskresi kepolisian yang dilakukan benar benar atas pertimbangan matang dari penilaian dinamika situasi dan kondisi saat itu.sehingga sewaktu waktu terjadi komplain dapat dilakukan upaya counter.
3. Masalah klasik dalam penggunaan kekuatan kepolisian yang selalu menjadi sorotan adalah dalam penggunaan senjata api, sehingga adalah suatu keperluan untuk melengkapi dan melatihkan secara terus menerus penggunaan senjata api sebagai pilihan terakhir manakala ancaman terhadap keselamatan jiwa petugas maupun masyarakat lain benar benar terancam, melengkapi dan melatihkan standar NLW (Non Lethal Weapon ) termasuk beladiri secara proporsional adalah bertujuan memberikan variasi pilihan tindakan mulai dari tindakan sangat terbatas samapai tindakan paling keras yang boleh dilakukan petugas Polri, adal;ah suatu kewajiban bagi petugas Polri , bagi petugas yang diberikan fasilitas pinjam pakai senjata api, diwajibkan untuk melengkapi dirinya dengan pilihan NLW seperti : borgol, Tongkat, semprotan merica, serta memiliki kemampuan beladiri yang memadai sehingga tidak serta merta setiap panggilan darurat ditanggapi dengan menodongkan bahkan meletuskan senpi.
4. Kehadiran petugas senior ( pangkat dan atau pengalaman) untuk senantiasa mendampingi petugas dilapangan sehingga perubahan prosedur patroli maupun tanggapan kondisi darurat harus dilakukan dengan mengubah teknik dan taktik Patroli menjadi buddy system ( berpasangan ) dengan memadukan petugas senior dan junir dalam satu beat patroli, diharapkan dengan adanya penggabungan tersebut penyalah gunaan wewenang dalam diskresi maupun kesalahan strategi dan taktik dapat diminimalisir terjadi.
Kewenangan yang dimiliki Polisi mempunyai potensi kekuasaan itu disalahgunakan untuk keuntungan diri sendiri, kelompok maupun organisasi lain. Padahal penggunaan kekuasaan diskresi yang diberikan oleh pembuat undang-undang sebenarnya digunakan apabila jalur hukum yang disediakan untuk menyelesaikan suatu masalah akan menjadikan kurang efisien, kurang manfaatnya maupun macet. Ditinjau dari sudut hukumpun setiap kekuasaan akan dilandasi dan dibatasi oleh ketentuan hukum. Namun, kekuasaan diskresi yang begitu luas dan kurang jelas batas-batasnya akan menimbulkan permasalahan terutama apabila dikaitkan dengan asas-asas hukum pidana yaitu asas kepastian hukum dan hak asasi manusia.

Daftar Bacaan
Arthur Niederhoffer, Abraham S. Blumberg, The Ambivalent Force, Perspective On The Police, The Dryden Press,Hinsdale,Illinois, Second Edition,1976.

Joseph Goldstein, Police Discretion Not to Invoke the Criminal Process: Low-Visibility Decisions in the Administration of Justice, Faculty Scholarship Series Yale Law School Faculty Scholarship, 1960

National Institute of Justice, “Broken Windows” and Police Discretion, U.S. Department of Justice Office of Justice Programs
Jeremy Travis ,Community Policing Strategies, National Institute of Justice, U.S. Department of Justice, November 1995.
USEUCOM and USAFRICOM Executive Agents for Non-Lethal Weapons, Non-Lethal Weapons Information Brief, Presented to the Center of Excellence for Stability Police Units.
Steven P.Lab, Crime Prevention,Approaches,Practices and Evaluations ( Terjemahan :Pencegahan kejahatan, Pendekatan Penerapan (Praktik) dan evaluasi),PTIK, Jakarta,2006.
Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PTIK Jakarta,1994.
Malvino Edward Yusticia Sitohang,Kewenangan Melakukan Mediasi Penal, Pada Penyidikan Terhadap Kejahatan Ringan Oleh Kepolisian,Kreasi Publishing,Jakarta,2011.
UU No 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
http://www.komisikepolisianindonesia.com
http://www.law.cornell.edu

3 respons untuk ‘Diskresi dan ketakutan terhadap hantu, mereposisi padangan positivistik hukum pidana Indonesia

Add yours

  1. Hi..salam kenal sebelumnya..
    Saya sangat tertarik dengan tulisan sdr. memang hal itulah yang menjadi tantabgan kita bersama (khususnya saya melihat dari perspektif sebagai seorang Polisi). Oleh karena itu saya menuliskan hal tsb dalam buku saya,dan saya sangat senang ternyata buku saya sdr. jadikan sbg salah satu referensi sdr.
    Semoga penegakan hukum (pidana) di negeri kita tercinta ini dapat terwujud guna mewujudkan kepastian,kemanfaatan, dan keadilan.
    Salam hangat..semoga sukses selalu.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Situs Web WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: