KEKERASAN MASSA DALAM KONFLIK PENGALIHAN LAHAN , ANTARA MASYARAKAT, PEMERINTAH DAN PENGEMBANG
Tanah sebagai permukaan bumi memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik sebagai tempat tinggal, kegiatan usaha, maupun sebagai faktor produksi, bahkan sebagai bangsa, tanah merupakan unsur wilayah dalam kedaulatan negara. Oleh sebab itu, tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai hubungan abadi dan bersifat komunalistik religius yang harus dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagaimana pula setelah Amandemen Keempat UUD 1945 tetap dipertahankan: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Politik pertanahan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pasal tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan peraturan pelaksanaannya yang pada prinsipnya mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dan jaminan kepastian hukum dalam pemilikan tanah.
Namun kenyataannya di dalam praktek, kepastian hukum yang diharapkan belum maksimal, hal mana ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan sengketa tanah. Jumlah sengketa tanah menurut data BPN sampai dengan tahun 2007 sebanyak 4.581 kasus, sedangkan sampai dengan Oktober 2011 mencapai 7.498 kasus. Berbagai sengketa tanah yang terjadi, telah membawa dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan. Semakin lama sengketa berlangsung maka biaya semakin besar. Adanya sengketa juga menyebabkan melemahnya perekat hubungan antar warga masyarakat. Selain itu, sengketa tanah yang terjadi dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas sumber daya lingkungan yang dapat merugikan kepentingan banyak pihak.
Gejala ini menunjukkan bahwa masalah pertanahan dan juga pemanfaatan untuyk pemukiman tidak hanya menyangkut perbandingan antara jumlah penduduk yang terus bertambah dan luas tanah yang tersedia, tetapi juga menyangkut persaingan yang makin lama makin intensif dalam mendapatkan lokasi. Persaingan juga terjadi antara berbagai peruntukan tanah, persaingan antara kebutuhan tanah untuk industri, perkantoran, jalan-jalan umum, taman dan pemukiman manusia sendiri. Persaingan ini tidak saja timbul karena orang cenderung memilih lokasi yang terdekat ke pusat-pusat kegiatan kota, dimana fasilitas-fasilitas kota (jalan, telepon, dan sebagainya) tersedia.Persaingan dan keterbatasan tanah yang mendorong timbulnya bangunan-bangunan bertingkat bahkan jalan-jalan bertingkat yang banyak di kota-kota besar dunia dan sudah menjadi cirri khas dari gaya arsitektur kota besar.selain tercermin dalam gaya arsitekturnya, persaingan ini kemudian menjadi penentu corak konflik lahan dan pertanahan di kota besar. Umumnya di kota besar ditemukan konflik antara pemerintah kota dengan sebagian warga kota, khususnya dalam peruntukan tanah, konflik antara kepentingan umum dengan kepentingan perorangan disamping itu juga konflik antar individu.
Persaingan ini juga mendorong naiknya harga tanah di kota besar, makin dekat ke pusat kegiatan dan fasilitas kota, makin mahal pula harganya. Soal ini pada gilirannya menjadi sumber konflik pula, khususnya dalam penentuan ganti rugi dalam kasus pembebasan tanah.
CONTOH KASUS
DUA ORANG TEWAS DALAM BENTROK KOJA
(Dua korban tewas itu adalah Satpol PP Jakarta Barat, Ahmad Tadjudin dan W Soepono), Kamis, 15 April 2010, 00:52 WIB, Hadi Suprapto, Umi Kalsum, Sandy Adam Mahaputra ,Korban bentrokan di makam Mbah Priok, Koja. (VIVAnews/Sandy Adam Mahaputra)
VIVAnews – Dua orang dipastikan tewas dalam bentrok antara warga dan aparat Satpol PP di Koja, Tanjung Priok. Korban tewas ini merupakan aparat Satpol.
Dua korban tewas itu adalah Satpol PP Jakarta Barat, Ahmad Tadjudin. Ia tinggal di Jalan HH RT 9 RW 1, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Sedangkan satu korban lainnya bernama W Soepono.
Tadjudin sudah dievakuasi ke RS Cipto Mangunkusumo. Sedangkan Soepono ditemukan petugas Palang Merah Indonesia di antara peti kemas di terminal Pelindo II.
Kepastian tewasnya Satpol PP ini disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Priyanto saat berkunjung ke RS Koja, pukul 23.00 WIB, Rabu 14 April 2010. Namun Pemprov baru mendapat informasi satu orang yang tewas.
“Sementara yang kita terima baru satu yang meninggal, Ahmad Tadjudin. Sudah dibawa ke RSCM,” kata Priyanto yang datang bersama Menko Polhukam Djoko Suyanto, dan Mendagri Gamawan Fauzi.
Hingga pukul 00.44 WIB, Kamis 15 April 2010, situasi di RS Koja masih mencekam. Empat mobil Satpol PP dibawa ke jalan oleh warga dan dibakar. Warga menemukan minuman keras di mobil tersebut.
TINJAUAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK KEKERASAN YANG TERJADI
Dalam usaha menjembatani dan mencari penyelesaian yang adil dan konflik-konflik (conflict management) inilah kita akan banyak bertemu dengan aspek-aspek hukum dari soal pertanahan dan pemukiman di kota besar.Tidak saja untuk mencegah konflik-konflik itu menjadi semakin tajam karena tidak ditemukan pemecahan yang dianggap pasti dan adil, tetapi juga untuk menyalurkan konflik-konflik itu dalam suatu “aturan bermain” yang sehat dan terbuka bagi semua pihak. Hukum dengan demikian menjadi upaya bagi pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu untuk mencari pemecahan yang dirasa adil (rechtsvaardigheid).
Tetapi aturan hukum tidak hanya diperlukan kalau terjadi konflik. Aturan hukum juga diperlukan untuk memberikan semacam rasa kepastian dan patokan yang bisa dipegang (rechtszekerheid) oleh masyarakat. Itu berlaku misalnya dalam pengaturan tentang pemilikan dan hak untuk menikmati hasil dari pemilikan itu. Juga masyarakat memerlukan patokan yang jelas di mana dan dengan alasan-alasan apa hak mereka bisa diminta untuk dilepaskan untuk kepentingan umum. Disini kadang-kadang kita menemukan konflik yang lebih mendalam sifatnya, antara apa yang dirasakan adil (rechtmatig) dan apa yang dirasakan penting untuk suatu kebijaksanaan kota (doelmatig). Tetapi yang jelas, dua-duanya memerlukan patokan yang jelas dan mantap, agar masing-masing pihak tahu secara pasti bagaimana seharusnya berbuat. Apa yang kini bisa dikenal dengan pembebasan tanah secara hukum dikenal sebagai pencabutan hak atas tanah. Pasal 18 UUPA, menyatakan bahwa pencabutan hak atas tanah itu memang dimungkinkan, dengan syarat – syarat :
a. Pencabutan itu dilakukan untuk kepentingan bersama umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat.
b. Pencabutan hak itu hana dapat dilakukan dengan pemberian ganti rugi yang layak dan
c. Pencabutan hak itu dilakukan menurut cara yang diatur undang – undang.
Menurut undang – undang No.20 Tahun 1961 pencabutan hak, hanya bisa dilakukan oleh Presiden, Presidenlah yang akan menetapkan, apakah benar kepentingan umum mengharuskan dilaksanakan pencabutan hak. Sebelumnya presiden akan mendengarkan pertimbangan menteri dalam negeri (dahulu Agraria). Menteri kehakiman dan menteri yang bidang tugasnya meliputi proyek – proyek yang memerlukan pembebasan tanah itu (dalam hal pemukiman tentunya menteri PU dan/atau Menteri Negara Urusan Perumahan) selanjutnya perincian tentang kegiatan – kegiatan apa saja yang mempunyai sifat kepentingan umum diatur dalam instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973.
Kekuatan Hukum Positif lain adalah dalam rangka melaksanakan Tap MPR No. IX/MPR/2001, dikeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan. Kebijakan nasional yang ditetapkan adalah:Penyusunan RUU Penyempurnaan UUPA dan RUU Hak Atas Tanah serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan. Pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan yang meliputi: Penyusunan basis data tanah-tanah asset Negara/pemerintah/pemerintah daerah di seluruh Indonesia, penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan pemilikan tanah, yang dihubungkan dengan e-government, e-commerce dan e-payment, pemetaan kadastral dalam rangka inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi informasi, dan pembangunan serta pengembangan pengelolaan penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui sistem informasi geografi, dengan mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi, dalam rangka memelihara ketahanan pangan nasional.
Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tersebut dinyatakan kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota meliputi kewenangan pemberian izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong, pemberian izin membuka tanah, dan perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan tersebut, Badan Pertanahan Nasional menyusun norma-norma dan/atau standardisasi mekanisme ketatalaksanaan, kualitas produk dan kualifikasi sumber daya manusia yang diperlukan.
ANALISA MENURUT TEORI LOWER CLASS
Umumnya korban penggusuran lahan dan pengalihan fungsi tanah adalah kaum miskin dan berstatus sebagai pendatang. Mereka dianggap menduduki tanah pihak lain secara sah dan dianggap mengganggu ketertiban umum dan keindahan kota. Sebagian besar penduduk tersebut tidak memiliki bukti-bukti yang legal formal atas kepemilikan lahan yang telah ditempatinya. Tindakan demikian dikategorikan sebagai sebuah upaya inovasi yang dilakukan oleh para innovator (pendatang) untuk mengadaptasi budaya – adaptasi budaya yang dimaksud adalah mereka harus memenuhi kebutuhan hidupnya.
Memahami faktor kemiskinan sebagai akar permasalahan yang mendorong kaum miskin dan pendatang untuk mendirikan pemukiman liar. Pembiaran-pembiaran terhadap pemukiman liar dianggap sebagai sebuah justifikasi terhadap keberadaan mereka dalam lingkungan yang didiaminya. Dengan keterbatasan akses informasi terkait Tata Guna dalam Rancangan Umum Tata Ruang ( RUTR), penduduk suatu wilayah tidak akan mengerti rencana-rencana pembangunan yang menyangkut tanah-tanah mereka yang berakibat nafsu pengguasaan lahan dengan dalih kepentingan umum melalui modus menaikkan harga, sangat kental dengan nuansa konflik dalam masyarakat. Akan tetapi dalam kenyataannya pembatasan informasi ini tidak berhasil mencegah spekulasi tanah. Sebaliknya di daerah-daerah yang punya prospek baik lalu beredar calo-calo tanah yang entah bagaimana berhasil mendapatkan informasi mengenai rencana kota itu. Di belakang mereka adalah pemilik modal (cukong) dan spekulan, dan ketika pembebasan terjadi, merekalah yang memetik keuntungan dari kenaikan harga yang mereka dorong sendiri.
Akses-akses terhadap kesempatan informasi legal terblokade sebagai implikasi pembangunan yang tidak merata diberbagai daerah disamping adanya upaya pemerintah darah untuk lebih memprioritaskan adanya pembangunan atau pengembangan kawasan bisnis, perkantoran dan fasilitas umum lainnya bagi golongan menengah keatas dibandingan membangun sarana atau fasilitas-fasilitas yang dapat membantu masyarakat kalangan lower class dan mencarikan solusinya.Disisi lain seperti diuraikan dalam kerangka pemikiran diatas dinyatakan bahwa untuk meninjau kondisi masyarakat sendiri dapat digunakan teori yang dikemukakan oleh Miller mengenai Premis kemandirian/ Autonomy.
Premis Kemandirian atau outonomy memiliki prinsip bahwa tidak ada satu kekuatan yang dapat memaksa. Mereka ( masyarakat Lower class) akan melakukan penolakan terhadap segala bentuk intervensi dari kekuatan apapaun yang datangnya dari luar komunitasnya. Independensi sangat berarti dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.Sebagai individu maupun sebagai masyarakat yang memiliki hak-hak sama, antara masyarakat satu dengan yang lainnya – antara warga satu dengan yang lainnya, mereka beranggapan bahwa tidak ada satupun yang dapat mengganggu otoritas yang dimiliki nya.
Implementasi berupa tindakan melindungi harta benda milik warga, dengan segala daya upaya. Misalnya tindakan yang telah dilakukan oleh warga Koja sekitar makam Mbah Priok, dengan melakukan blokade terhadap akses-akses jalan menuju kawasan makam dengan cara memasang blokade jalan atau upaya pagar betis guna melakukan perlawanan.Perbuatan warga dilakukan sebagai reaksi tindakan aparat tramtib / Satpol PP yang dibantu oleh polisi untuk melakukan penggusuran.,
Secara konstitusi, memang hak milik tanah / lahan memiliki fungsi social dan pemilik memiliki kewajiban untuk melepaskan haknya demi kepentingan umum. Akan tetapi disini penentuan “kepentingan umum” itu sendiri menjadi sangat penting dan menjadi persoalan,bukan mustahil apa yang disebut kepentingan umum sebenarnya hanyalah menjadi tabir bagi kepentingan swasta yang bersembunyi dibelakang tangan Pemda.
Teori yang dikemukakan oleh Miller mengenai outonomy (kemandirian),dinilai sebagai keinginan terhadap sebuah pengakuan atas usaha yang telah dilakukan dengan jerih payah dan keinginan mendapatkan penghargaan sebagai warga negara yang memiliki kesetaraan dengan warga yang lainnya. Pembebasan tanah untuk kepentingan pembuatan jalan, sekolah, puskesmas, misalnya, tentu saja akan segera dimengerti sebagai pembebasan untuk kepentingan umum. Tetapi agak berbeda misalnya, jika yang akan dibangun di bekas tanah yang dibebaskan itu adalah pasar atau pusat perbelanjaan (shopping centre).
Premis kedua dari teori Lower Class menurut Miller adalah adanya Toughness (kenekatan/ketangguhan), yaitu orang orang dari kelas bawah memiliki siifat nekat manakala kepercayaan , identitas maupun kehormatan yang dimiliki, dalam kasus penggusuran lahan seringkali ditemukan kenekatan ibu ibu untuk melepas seluruh pakaian yang menutupi tubuhnya , kemudian diikuti oleh aksi tidur telentang menghalangi jalan yang akan dilalui oleh kendaraan berat.
Beberapa kenekatan / Thougness yang diperlihatkan seringkali berujung kepada bentrok terbuka antara petugas pemda, Satpol PP maupun Polri yang berakhir rusuh bahkan memakan korban jiwa.Bukan suatu yang manakutkan bagi massa berhadapan dengan aparat Satpol PP bahkan yang telah dibantu oleh unsur kepolisian setempat, ancaman water canon, gebukkan tongkat maupun tembakan senjata api , justru menjadi pemicu kekerasan warga, apalagi yang warga ( lower class ) perjuangkan adalah merupakan situs makam yang dikeramatkan bagi sebagian penduduk Koja dan sekitarnya.
Bentuk kenekatan / Thoughnes tadi berupa perusakkan , pembakaran bahkan pasca bentrok ditemukan 2( dua) anggota Satpol PP tewas bersimbah darah. Suatu hal memilukan terjadi akibat kenekatan warga dipicu singgungan terhadap eksistensi makam Mbah Priok di daerah Koja Jakarta.
KESIMPULAN
Bahwa bagi mereka yang berekonomi lemah ( Lower Class), tanah adalah sumber hidup dan sumber mata pencarian. Hilangnya sumber ini, sementara lapangan kerja juga tidak begitu lapang buat mereka, akan berarti hilang nafkah pokok mereka. Jadi wajarlah kalau mereka menuntut ganti rugi yang layak, yang barangkali bisa mengganti fungsi sumber pencarian yang hilang itu. Pertimbangan ini wajar sekali apalagi dalam masa dimana kita sedang meneriakkan seruan pemerintah pembangunan. tanah benar –benar sama nilainya dengan isteri sendiri, yang untuk membelanya orang bersedia mengorbankan nyawanya sekalipun. “Sedhumuk bathuk senyari bumi, ditohi pati”, kata pepatah orang jawa. Apalagi dalam suasana persaingan yang demikian intens seperti di metropolitan Jakarta ini.
setiap konflik akan melahirkan suatu keteraturan baru dalam masyarakat , dimana konflik merupakan sebuah “keharusan “dalam masyarakat ( Marx), jadi keuntungan dalam sebuah konflik ???? berlaku bagi semua dan tergantung bagaimana mengelola konflik tersebut , yang jadi pertanyaan adalah apakah kita mau menjadi : pelaku konflik, korban konflik, pembuat konflik atau pembaca konflik.
SukaSuka
apakah ada kelompok tertentu yang memanfaatkan keadaan sehingga mencoba untuk mengambil keuntungan….. mungkin beberapa kasus seperti ini.. hanya sebuah modus, upaya politik…
SukaSuka