POLRI VS POLICE Inc.
Bila dianalogikan sebagai computer yang paling canggih sekalipun ketika input data dan perintah yang diberikan begitu multi tasking, sebuah stagnasi, kemacetan proses sehingga perlu restart ulang , rentang peran yang multi role seorang anggota Polisi digambarkan oleh skolnick[1] yang menyatakan diantara segala penegak hukum yang ada, Kepolisian memikul berbagai tugas selain sebagai penegak peraturan juga sebagai ,ayah,kawan pelayan masyarakat, moralis, petarung jalanan, pemberi arah dan pejabat hukum.
Keutamaan tugas Kepolisian sebagai suatu organisai menegaskan bahwa insan Kepolisian Indonesia adalah sosok manusia yang diserahi tugas dan tanggung jawab malaikat di dunia untuk melayani sekaligus mengayomi dan melindungi masyarakat, proses rekrutmen masuk instutisi kepolisian yang serba sulit dengan berbagai persayaratan yang terpilih dengan bekal pendidikan berupa berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk mumpuni menjadi anggota Kepolisian.
Aspek pengalaman dan penugasan dengan berbagai pemahaman yang sangat berharga dalam perjalanan karier dan masa kedinasan, riuh rendah dinamika kebijakan politik , hukum dan Hak asazi manusia termasuk kondisi multikultur masyarakat Indonesia yang rentan mengalami perpecahan dan koflik komunal dan horizontal, sejarah panjang perjalanan Polri mulai dari Orde Lama hingga pada orde Reformasi saat ini sesungguhnya menegaskan Polri sebagai institusi yang senantiasa dalam menjalankan perannya diwajibkan senantiasa mengasah panca indra keadilan dan meningkatkan keterampilan secara Porfesional.
Saat ini ketika Polisi yang dilahirkan untuk melindungi , melayani dan mengayomi masyarakat justru sedang diuji, sebagai anak kandung masyarakat Indonesia, Polri sering menjadi sasaran langsung beberapa tindak kekerasan baik yang bermanifestasi sebagai serangan fisik brutal terhadap keselamatan jiwa raga dan fasilitas institusi Polri. Termasuk yang berkaitan dengan trend ini adalah makin sering kita melihat melalui penanyangan media massa , personil Polri yang harus gugur dan atau terluka akibat serangan pelaku kejahatan, maupun beberapa kasus penyerangan dan perusakkan Markas dan asrama Polri.
Mengapa perusakkan, pembakaran semakin sering menimpa kantor kepolisian?
Menyikapi fenomena kekerasan yang makin mengejala terhadap institusi Polri , perlu kiranya kita bersama untuk memahami dengan cermat bahwa kekerasan yang terjadi bukan semata-mata merupakan tindakan tiba –tiba dari sekelompok masyarakat, tetapi adanya akumulasi rasa ketidak percayaan dan antipati terhadap Polri itu sendiri termasuk beberapa kelemahan organisasi ,dan personil Polri yang belum banyak berubah mengikuti perkembangan jaman, Semboyan melindungi dan melayani masyarakat tidak lagi menjadi mantra sakti yang mampu menangkal segenap resiko menjadi anggota Polri.
Ketegangan struktural dalam masyarakat saat ini(Structural StrainTheory)[2]oleh Merton: menumbuhkan perilaku kolektif massa. Himpitan kondisi sosial ekonomi dalam masyarakat, ditambah setiap hari selalu dihantui rasa takut menjadi korban kejahatan, termasuk tumbuh kembang pemahaman dalam masyarakat bahwa proses penindakan hukum terhadap pelaku pelaku kejahatan khususnya street crime sering tidak sepadan dengan kerugian maupun terror yang ditebar ditengah lingkungan masyarakat.
Akumulasi ketegangan struktural tadi berimbas kepada keadaan hilangnya identitas diri anggota masyarakat menjadi identitas baru yang beringas dan tidak kenal ampun, sadis dan mudah tersulut, dalam situasi kolektif tadi berpuncak saat massa dengan ringan dan sadis membakar pelaku pencurian kendaraan bermotor yang tertangkap tangan bahkan pada saat tersangka sudah diamankan anggota Polri ke Mapolsek terdekat
Dalam waktu yang sangat singkat bila Polri tidak melakukan langkah antisipasi menyelamatkan Pelaku, Markas dan Personil Polri , tidak menutup kemungkinan tidak hanya pelaku yang akan meregang nyawa saja , namun bangunan markas Kepolisian berikut keselamatan personil Polri setempat ikut terancam.
Dibutuhkan keberanian bertindak dan kecakapan mengambil keputusan dikala sulit seperti gambaran diatas, rata-rata serangan, vandalism dan terror yang terjadi tidak terlepas dari kelalaian anggota Polri dalam menyikapi dinamika dan fenomena Ketegangan dalam masyarakat. Polri kadang tidak peka bahwa ketahanan dan dukungan masyarakat dilingkungan sekitar markas merupakan “pagar” terkuat yang ikut menjaga Polri, bahwa pagar ( pelindung ) yang baik terbuat dari mangkok bukan tembok.
Polri sendiri sering membuka peluang untuk menjadi korban dan sasaran amuk kolektif massa, seharusnya Polri segera membudayakan dan mengembangkan kebijakan Proaktif dalam bentuk latihan taktis dan teknis dasar kepolisian secara rutin , sosialisasi perkap pengamanan markas maupun situasi kontijensi lainnya , termasuk desain bangunan dan fasilitas yang berorientasi cegah tangkal dengan harapan kesigapan, kewaspadaan dan efek deterent tercipta.
Perintah maupun kebijakan yang digariskan untuk menumbuh kembangkan serta memelihara kesiapsiagaan, kewaspadaan dan menjalin silaturahmi dilingkungan sekitar markas sering kali merupakan perintah dan kebijakan reaksioner, sebagai sesuatu yang biasanya dan bukan seharusnya.
Coba kita bersama ingat berapa kali senpi organik laras pendek apalagi laras panjang sisa Perang dunia II yang tersimpan rapi dalam rak senjata diletuskan dalam setahun, bahkan hanya untuk menguji apakah masih dapat berfungsi atau tidak, mungkin tak pernah dilakukan. Ketiadaan munisi maupun lapangan tembak menjadi cara berkelit paling cerdas seorang pimpinan , sangat naïf bila Polri mampu membeli armada helicopter tetapi tidak mampu membeli munisi sekedar untuk latihan rutin 2 ( dua) kali setahun, atau berapa kali dalam setahun satuan–satuan Polri melaksanakan simulasi pengamanan markas dalam rangka latihan Alarm of stelling dan atau PLB ( Panggilan Luar Biasa).
Mengapa setelah bom bunuh diri meledak di Masjid Polres Cirebon ataukah ketika satu persatu anggota Polri yang sedang bertugas berhasil ”dipetik” oleh pelaku kriminal bersenjata, Polri gopoh menyusun langkah antisipasi, yang juga tidak kalah mengenaskan praktik body checking atau car Inspection hanya seumur jagung , sekedar formalitas hangat-hangat tahi ayam dilakukan saat akan masuk maupun keluar fasilitas Polri.
(Growth and Spread of a Generalized Belief)[3], Berkembang dan menyebar dimasyarakat suatu pemahaman keliru namun belum atau tidak pernah diklarifikasi secara cerdas dan tuntas oleh Polri. Dalam suasana yang tidak menentu, adamya kerancuan situasi, tanpa ada suatu kejelasan infomasi dari otoritas yang berwenang , sebuah desas-desus akan berkembang menjadi pengetahuan umum yang dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh khalayak ramai. Apalagi bila suatu kepercayaan bersifat kontroversi termasuk bila ada beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab ikut bermain memanfaatkan moment tadi niscaya benturan antara masyarakat dan polisi tidak akan terelakkan.
A bad news is a good news, berita tahanan tewas akibat sakit bawaan dan kebetulan saja ajalnya berada dalam sel polisi adalah berita yang bisa berkembang menjadi suatu berita baru: “ Seorang tahanan mati akibat penganiayaan dan perlakuan kasar polisi saat proses penyidikan “. Isu akan berkembang dan menjalar cepat, lengkap dengan bumbu cerita yang jauh berbeda dari fakta yang ada.
Peran media massa yang seharusnya menyajikan berita mendidik, informatif, faktual berimbang dan bukan rekayasa kepada masyarakat belum terwujud justru diera surat kabar tanpa SIUP (Surat ijin Usaha penerbitan ). Demi alasan memuaskan publik (Prisgunanto,2009)[4], berita disajikan dengan agenda setting pemberitaan dengan ,maksud mengejar ratting, Profit dan atau pesanan pesanan tertentu.Fenomena pemberitaan yang lumrah dan tidak perlu ditanggapi secara emosial dan kontra produktif oleh Polri
Landasan ideologi, tataran manajerial bisa jadi penentu agenda setting media dalam memandang kemudian menyajikan berita (shoemaker,1996 oleh prisgunanto,2009). Polri perlu mengambil langkah cerdas dan lugas dalam mengelola fenomena Growth and Spread of a Generalized Belief.
Peran media informasi yang sangat strategis untuk memberikan penjelasan sekaligus menggalang dukungan masyarakat luas harus dioptimalkan. Bila media massa formal memiliki konsep dan agenda setting sendiri, Polri perlu melakukan terobosan dengan memanfaatkan media informasi yang tidak kalah efektif dan efisien juga mewabah,digunakan dan diikuti banyak orang yakni ; Citizen Journalism[5].
Konsep Citizen journalism merupakan suatu bentuk pengingkaran media oleh masyarakat, Produk Journalisme yang selama ini ditampilkan dan disajikan, membuat masyarakat bosan mencerna dan menelan bulat-bulat sajian pemberitaan maupun tayangan, akhirnya masyarakat tergerak untuk menyajikan berita atau setidaknya informasi yang terjadi dilingkungannya secara up date dan tentunya secara pendapat masyarakat itu sendiri.
Gunakan fasilitas media sosial yang ada seperti : akun facebook ataupu Friendsters yang pernah mewabah dan kini twitter juga bisa dijadikan alternatif sarana komunikasi dan publikasi kepada masyarakat tentang rentang tugas, dimensi tanggung jawab serta haru biru Polri melayani dan melindungi masyarakat, tinggal adamya kejelian dan sedikit kreatifitas untuk membuat masyarakat memahami tugas dan tanggung jawab Polri dalam memberikan pelayanan dan perlindungan serta pengayoman masyarakat.
Tiada asap tanpa api, cocok menggambarkan teori (Precipitating Factors).[6] Ketika kecurigaan dan kecemasan dikandung masyarakat, dibarengi desas-desus dan isu-isu yang berkembang dan dipercayai khalayak memperoleh dukungan dan penegasan dari masyarakat itu sendiri melalui pengalaman.
Adanya pengalaman tidak menyenangkan dari masyarakat yang berurusan dengan masalah hukum , didukung dramatisasi berita ,media massa yang tak lepas dari konsep framing pemberitaan media sehingga mengedukasi masyarakat untuk berfikir dan menerima pola informasi yang justru memperkeruh suasana.
Dalam pelaksanaan pelayanan Polri saat ini memang masih ditemukan sikap perilaku petugas Polri yang menumbuhkan kesan negatif masyarakat terhadap Polri antara lain mengenai tingkah laku petugas Polri yang angkuh, tidak bisa menempatkan diri, waktu penyelesaian permasalahan yang tidak wajar, tindakan Polri yang menimbulkan kesan mempersulit, membebani masyarakat dengan pungutan–pungutan dan penyelesaian masalah yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta adanya kecenderungan memanfaatkan pelayanan kepada masyarakat untuk mencari sumber penghasilan tambahan.
Tingkat kepuasan yang diterima oleh masyarakat dalam berhubungan dengan Polri, dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat tentang pelaksanaan tugas Polri yang selama ini jarang atau bahkan belum dipahami secara luas. Sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat, maka Polri mutlak perlu memperbaiki dan meningkatkan mutu pelayanannya agar masyarakat sebagai “customer” merasa puas atas pelayanan Polri tersebut.
Getok tular informasi terhadap perbaikan kinerja Polri adalah bersifat masyarakat ke masyarakat bukan dari Polri kepada Masyarakat, masyarakat harus merasakan dulu kepuasan atas pelayanan yang diperoleh baru mereka akan bercerita kepada masyarakat lain : “ Polisinya baik, Polisinya ramah, prosesnya cepat gak bertele-tele , Polisinya nggak mata duitan kok “.
Bila Polri diasumsikan seperti sebuah korporasi menjadi POLICE Inc. Polri sebagai sebuah korporasi swasta, diyakini sudah sejak dulu kala colaps atau bangkrut, karena costumer lari ke corporate lain, banyak asset yang hilang atau tidak produktif, pegawai berlimpah tetapi menganggur.
Pencapaian kepuasan costumer ( baca masyarakat ) dilihat dari sudut bahwa Korporasi (Polri) mampu menciptakan produk atau terobosan jasa yang akan dibeli orang ( dicari ) dengan senang hati karena mampu menyelesaikan persolan mereka (costumer)[7]. Beberapa langkah yang layak menjadi pegangan bila Polri ingin menjadi Police inc. yang kompetitif dicari dan laku dipasarkan:
Pertama, Polri harus mampu menemukan persolan-persolan yang belum terpecahkan , temukan pasar dan produk yang dapat dijadikan fokus Police Inc didirikan .sebagai kontradiksi “ Polisi mampu melaksanakan semua tugas dan tanggung jawab kecuali tugas utamanya”.
Kedua, Polri harus memahami personality tiap Costumer, setiap orang memiliki persona berbeda-beda , pahami dan selanjutnya costumer akan menjadi fanatik kepada produk kita, mereka akan datang dan datang lagi, costumer juga rela membayar ( pajak) mahal, asalkan kebutuhan mereka terpenuhi.
Ketiga Polri harus menyiapkan tolok ukur setiap pencapaian kegiatan Progress report , barang siapa memiliki data akurat dialah yang akan memenangkan kompetisi, garbage in garbage out, sulap-menyulap sim-salabim data sangat merugikan juga menggerogoti kekuatan institusi Polri dari dalam, salah urus dan salah kelola organisasi bersumber dari validitas data yang meragukan.Budaya pemberian bendera merah dan bendera biru sebagai tanda prestasi pencapaian data situasi kamtibmas paling banyak dan paling sedikit harus ditinjau ulang , definisikan kembali bahwa data yang akurat sangat penting dalam penyususnan langkah antisipasi maupun rencana tindakan, fenomena bendera merah dan biru adalah hal yang tidak mendidik dan dangkal analisa , hanya karena jumlah laporan polisi sangat sedikit maka suatu daerah layak mendapat predikat daerah aman.
Keempat, rajin menciptakan pengalaman dan terobosan sebagai keunggulan kompetitif.Belajar dari pengalaman hanya bisa diperoleh bila catatan yang dimiliki lengkap dan akurat, terapkan simulasi dan Model untuk mencegah keputusan dan kebijakan dibuat secara trial and error , selain mahal juga rumit, apalagi keputusan berdasar selera seumur jagung, selain menghabiskan sumber daya juga mempertaruhkan kredibilitas, Korporasi maju dimulai saat manajer mewariskan gagasan dan ide yang bisa dijalankan manajer berikutnya.
Kelima, seiramakan setiap gagasan – gagasan hebat yang ada, sadari bahwa inovasi bukan segalanya, bisa saja gagasan lama maupun sederhana justru lebih mengena, Konsep patroli yang selama ini dirasakan modern dan up to date bila menggunakan kendaraan / mobil, justru perlu menjadi koreksi dan perbaikan, ketika Polri getol mengadakan kendaraan dinas patroli, ternyata konsep yang sama ini mulai direvisi oleh beberapa dinas kepolisian di beberapa Negara maju. Bahwa tugas patroli tidak hanya mencegah kejahatan tapi adalah bagaimana patroli Polisi yang lewat di suatu komunitas dapat membangun relasi polisi dan masyarakat seperti yang pernah dicapai dengan metode lawas patroli sepeda kayuh dan berjalan kaki.
Keenam, dengan membangun koneksi yang autentik, memberikan pengalaman kepada costumer bahwa produk Polri telah menyelesaikan masalah mereka sehingga costumer merasa harus menyampaikan kepada costumer lain. Suatu keniscayaan yang bisa menepis keraguan, kecurigaan dan kecemasan dikandung masyarakat, dibarengi desas-desus dan isu-isu yang berkembang dan dipercayai khalayak memperoleh dukungan dan penegasan dari masyarakat itu sendiri melalui pengalaman dalam masyarakat ketika berurusan dengan Polri . Adalah bila Polri mampu menampilkan sosok transparan dan akuntabel ketika dimata sebagian besar masyarakat , perilaku polisi dalam menegakkan hukum kadang-kadang masih dinilai sulit ditebak, kenyataan itulah yang mendatangkan rasa cemas bagi masyarakat setiap kali berhubungan dengan Polisi(Nitibaskara,2009)[8]
Secara guyon pelipur lara sampai saat, terdapat 3 ( tiga ) buah prestasi Polri yang bisa menjelaskan bahwa Polri perlu didukung dan Polri sangat simpatik : pertama adalah masalah prestasi pengungkapan kasus pabrikasi dan peredaran Narkoba, kedua adalah riuh-rendah aksi Densus 88/AT dalam mengungkap jaringan terorisme di Indonesia dan terakhir adalah prestasi sosok Briptu Norman” ’chaiya chaiya “ Kamaru.
Prestasi pengungkapan Narkoba dan Aksi Densus 88/AT lambat laun akan dirasakan datar-datar saja bahkan dianggap biasa karena masyarakat akan menilai sudah sewajarnya Polri bertindak untuk hal itu, dikhawatirkan alih-alih akan mendapat dukungan masyarakat bila kedua prestasi tidak dipertahankan kredibilitasnya, karena bagaimanapun berbagai pihak akan berusaha mencari celah dan kelemahan dari prestasi tadi.
Banyak pihak dengan senang hati akan ikut menjungkirbalikkan Polri berkaitan dengan kepentingan maupun tendesi dan agenda berkaitan dengan kedudukan Polri sebagai penegak hukum yang memiliki power untuk menertibkan dan menegakkan aturan, khususnya bila kuasa tersebut dinilai dapat menggangu hegemoni kekuasaan dan privilasi pihak tertentu.
Sebagai sebuah gambaran pencapaian efisinsi dan efektifitas kegiatan Kepolisian melalui penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Italia, Setelah meyakini bahwa benar terjadi kejahatan, maka upaya penangkapan dilakukan menggunakan unit-unit khusus Carabinieri, hal Ini dilakukan menghadapi kejahatan “street crime” dan atau “ Organized crime“.
Prosedur kerja yang relevan dilakukan Polri, karena memiliki Satuan Brimob dgn spesifikasi disiapkan menghadapi kejahatan terorganisir, memiliki intensitas tinggi , menggunakan bahan peledak dan senjata api. Memang dalam penangkapan seorang tersangka, penyidik di Italia tidak serta merta melepas tanggung jawab sepenuhnya kepada Satuan Carabinieri tetapi tetap mendampingi proses penangkapan, dimaksudkan agar tepat sasaran dan segala macam administrasi penyidikan sudah lengkap. Sesuatu hal yang belum atau masih sangat jarang dilakukan di Indonesia.
Apakah kemudian Polri harus larut dengan kondisi ini, berbagai keluh kesah berkaitan dengan anggaran, kesejahteraan , kewenangan , kebutuhan dan semua aspek pribadi yang akhirnya berkaitan dengan performa institusi Polri , yang teramat penting ialah bagaimana Polri memiliki dan memahami rasa tanggung jawab untuk mempertahankan eksistensi, semangat dan tujuan organisasi Polri yang kian meningkat terhadap Bangsa, Negara dan Masyarakat pada umumnya.
Apakah kita tidak mampu berbuat suatu perubahan yang nantinya perubahan tersebut dirasakan manfaatnya oleh bangsa, Negara dan masyarakat Indonesia.Kekurang mampuan diri kita adalah karena ketidakmauan diri kita untuk melakukan suatu perubahan positif, kita berdayakan Akal, Hati dan Nurani yang telah dikaruniai_NYA untuk mengatasi semua permasalahan yang ada
Seorang ahli tidak akan dianggap sedemikian ahli jika tidak ada yang membandingkan dan merasakan sejauh mana keahliannya, seorang penyidik tidak akan menjadi seorang penyidik yang handal jika tidak mampu mengungkap sejauh mana tindak pidana yang terjadi, Seorang pemimpin tidak akan disebut sebagai seorang pemimpin jika tidak ada orang yang dipimpinnya termasuk tidak akan meninggalkan bom waktu masalah bagi penerus-penerusnya, banyak hal lain yang mengisyaratkan bahwa kita tidak bisa hidup sendiri
[1] Tb. Ronny Rahman Nitibaskara,PERANGKAP PENYIMPANGAN DAN KEJAHATAN, TEORI BARU DALAM KRIMINOLOGI, yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta, Juni 2009, Halaman 165.
[2] Topo Santoso,S.H,MH.Eva Achjani Zulfa/S.H. KRIMINOLOGI,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Agustus 2004, Halaman61.
[3] Neil Smelser, Theory Collective Behavior,(1963) yang dikutip oleh Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, PERANGKAP PENYIMPANGAN DAN KEJAHATAN,TEORI BARU DALAM KRIMINOLOGI, Yayasan pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian,2009, halaman 184.
[4] Ilham Prisgunanto,M.Si., KOMUNIKASI & POLISI, CV Prisani Cendekia, Jakarta,2009, Halaman 45.
[5] http//www.anakui.com/2011/06/14/citizen-jounalism.
[6] Neil Smelser, Theory Collective Behavior,(1963) yang dikutip oleh Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, PERANGKAP PENYIMPANGAN DAN KEJAHATAN,TEORI BARU DALAM KRIMINOLOGI, Yayasan pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian,2009, halaman 184.
[7] Craig Stull, Phil Myers, David Meerman Scot, TUNED IN STRATEGY, PT Serambi Ilmu Semesta,Juni 2009.
[8] Tb. Ronny Rahman Nitibaskara, PERANGKAP PENYIMPANGAN DAN KEJAHATAN,TEORI BARU DALAM KRIMINOLOGI, Yayasan pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian,2009, halaman 174.
Tinggalkan Balasan