KAJIAN TERHADAP UPAYA POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

KAJIAN TERHADAP UPAYA POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
by : kalam kelana

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kejahatan adalah bayang-bayang peradaban manusia (crime is the shadow of civilization), demikian dikatakan oleh Colin Wilson, seorang jurnalis asal Inggris, penulis buku A Criminal History of Mankind. Kejahatan selalu ada dan tetap melekat kepada setiap bentuk peradaban manusia . Tidak ada peradaban manusia yang luput dari fenomena perkembangan kejahatan. Kejahatan bukanlah sesuatu yang tetap dan pasti, namun sesuatu yang menyesuaikan dengan peradaban manusia.
Kejahatan dapat meningkat dan dapat pula menurun. Kejahatan juga dapat berkembang dan berubah-ubah sesuai dengan perkembangan dan perubahan peradaban manusia. Fenomena ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah kejahatan dan beranekaragamnya jenis kejahatan yang terjadi dalam masyarakat. Semakin komplek suatu masyarakat, maka jumlah kejahatan semakin banyak, jenisnya semakin bervariasi dan modus operandinya semakin beragam.
Dalam perkembangannya, kejahatan berkembang salah satunya yang kita kenal dengan sebutan kejahatan transnasional. Kejahatan Transnasional menurut Neil Boister adalah: “certain criminal phenomena transcending international borders, transgressing the laws of national state or having an impact on another country” (Boister,2003:954) , sedangkan pengertiannya menurut G. O. W. Mueller yaitu: “transnational crime is a criminological rather than a juridical term, coined by the UN Crime Prevention and Criminal Justice Brand in order to identify certain criminal phenomena transcending international borders, transgressing the laws of several states or having an impact on another country” (Boister,2003:954) .
Karakteristik dari kejahatan transnasional menurut Pasal 3 Konvensi Palermo tahun 2000 adalah:
“(1) It is committed in more than one state (dilakukan di lebih dari satu negara); (2) It is committed in one state but a substantial part of its preparation, planning, direction or control takes place in another state (dilakukan di suatu negara, tapi kegiatan penting lainnya seperti persiapan, perencanaan, pengarahan atau pengendalian berada di negara lain); (3) It is commited in one state but involves an organized criminal group that engages in criminal activities in more than one state (dilakukan di suatu negara tetapi melibatkan suatu kelompok organisasi kriminal yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan kriminal di lebih dari satu negara); atau (4) It is committed in one state but has substantial effects in another state (dilakukan di suatu negara, tetapi mengakibatkan dampak-dampak substansial di negara lain)” .
Tidak semua kejahatan dapat digolongkan sebagai kejahatan transnasional. Menurut PBB, yang dikategorikan sebagai kejahatan transnasional meliputi: (1) Money laundering; (2) Terrorist activities; (3) Theft of art and cultural objects; (4) Theft of intellectual property; (5) Illicit traffic in arms; (6) Sea piracy; (7) Hijacking on land; (8) Insurance fraud; (9) Computer crime; (10) Environmental crime; (11) Trafficking in persons; (12) Trade human body part; (13) Illicit drug trafficking; (14) Fraud bankruptcy; (15) Infiltration of legal business; (16) Corruption; (17) Bribery of public officials; dan (18) Other offences committed by organized criminal groups. (Jay S. Albanese,2011:211) .
ASEAN, di Manila tanggal 20 Desember 1997, menyatakan kategori kejahatan transnasional meliputi: (1) Terrorism; (2) Illicit drugs; (3) Arms smuggling; (4) Trafficking in person; (5) Money laundering; (6) Arm robbery at sea; (7) Cybercrime; dan (8) International Economic Crime . Sedangkan, AMMTC, tahun 2001, menyatakan terdapat 8 (delapan) kategori kejahatan transnasional yaitu: (1) Terrorism; (2) Narcotic; (3) Trafficking in persons; (4) Money laundering; (5) Sea piracy; (6) Arms smuggling; (7) Cybercrime; dan (8) Economic International crime .
Traficking in person atau perdagangan orang merupakan salah satu bentuk kejahatan transnasional. Perdagangan orang menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 ialah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Perdagangan orang telah menjadi persoalan yang amat serius dan memprihatinkan di Indonesia. Menurut laporan US Departement of State yang dirilis pada tanggal 14 Juni 2010, Indonesia telah menempati urutan pertama di dunia sebagai pelaku perdagangan manusia . Sekitar tiga juta orang telah diperdagangkan di dan dari Indonesia . Menurut laporan tersebut, penempatan TKI di luar negeri oleh PJTKI secara legal maupun ilegal telah menjadi sarana perdagangan manusia, pelacuran, dan perbudakan modern.
PBB, berdasarkan survei UNHCR dan UNICEF, menganggap dan menjadikan Indonesia bukan lagi sekedar lokasi transit dan tujuan perdagangan manusia, melainkan sudah menjadi negara sumber dan pemasok praktek ilegal tersebut . Indonesia merupakan negara sumber utama perdagangan seks dan kerja paksa bagi perempuan, anak-anak, dan laki-laki, serta dalam tingkatan yang jauh lebih rendah menjadi negara tujuan dan transit perdagangan seks dan kerja paksa. Masing-masing propinsi dari 33 propinsi di Indonesia merupakan daerah sumber dan tujuan perdagangan manusia. Daerah sumber yang paling signifikan adalah Jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan.
Sejumlah besar pekerja migran Indonesia menghadapi kondisi kerja paksa dan terjerat utang di di negara-negara Asia yang lebih maju dan Timur Tengah khususnya Malaysia, Arab Saudi, Singapura, Kuwait, Suriah, dan Irak. Jumlah WNI yang bekerja di luar negeri masih sangat tinggi, diperkirakan 6,5 juta sampai 9 juta pekerja migran Indonesia di seluruh dunia, termasuk 2,6 juta orang di Malaysia dan 1,8 juta orang di Timur Tengah. Diperkirakan 69 persen dari seluruh Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri adalah perempuan. IOM (International Organization for Migration) dan LSM anti perdagangan manusia terkemuka di Indonesia memperkirakan bahwa 43 sampai 50 persen atau sekitar 3 sampai 4,5 juta TKI di luar negeri menjadi korban dari kondisi yang mengindikasikan adanya perdagangan manusia .
Berbagai upaya untuk mencegah dan mengatasi perdagangan manusia telah dilakukan. Upaya-upaya tersebut antara lain: meratifikasi konvensi PBB terkait dengan perdagangan orang melalui UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, membentuk Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang melalui Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008, membentuk Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Universitas Indonesia, mangklarifikasi peran BNP2TKI di luar negeri dalam menerapkan UU No. 39 Tahun 2009, dan lain sebagainya termasuk melalui upaya-upaya penegakan hukum oleh Polri.
Dalam bidang penegakan hukum, Polri telah berusaha menindak tegas setiap pelaku perdagangan orang yang tertangkap. Seperti akhir-akhir ini Polri berhasil membongkar sindikat perdagangan orang di Indramayu, Jawa Barat; Jakarta; Entikong, Kalimantan Timur; dan Kuching, Malaysia . Beberapa orang tersangka ditangkap, yaitu 2 (dua) WNI yang berperan sebagai perekrut korban dan mengirimkan korban ke Kalimantan Barat dan 1 (satu) orang Warga Malaysia sebagai pembeli, sementara itu, seorang WNI lagi masuk dalam daftar pencarian orang karena berperan mengirimkan korban ke Kuching, Malaysia. Mereka dijerat dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pasal 102 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri.
Meskipun telah dilakukan berbagai upaya penegakan hukum oleh Polri, Indonesia tetap tidak dapat menurunkan posisi teratasnya dalam perdagangan manusia. Pada Bulan Juni 2011, International Organization of Migration (IOM) mengumumkan hasil penelitiannya yang cukup mencengangkan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Indonesia kembali mempertahankan posisi di urutan teratas sebagai negara asal korban perdagangan orang. IOM mencatat 3.909 korban perdagangan orang yang berasal dari Indonesia. Korban-korban tersebut terdiri dari 90 persen perempuan dan 10 persen laki-laki dalam kategori dewasa serta 84 persen perempuan dan 16 persen laki-laki untuk kategori usia anak .

1.2. Permasalahan
Meskipun telah dilakukan berbagai upaya penegakan hukum oleh Polri, Indonesia tetap tidak dapat menurunkan posisi teratasnya dalam perdagangan manusia. Oleh karena itu, penulis menentukan permasalahan-permasalahan dalam tulisan ini meliputi:
a. Bagaimana kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?;
b. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?; dan
c. Strategi apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia?

1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud penulis menyusun tulisan ini adalah: Pertama, Mendeskripsikan kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia; Kedua, menganalisa faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi penegakan hukum tersebut; dan Ketiga, merumuskan suatu strategi yang dapat diimplementasikan guna meningkatkan penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang di Indonesia. Tujuan penulis menyusun tulisan ini yaitu: Pertama, agar diketahui gambaran kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia; Kedua, agar dapat diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi kondisi penegakan hukum tersebut; dan Ketiga, agar dapat dirumuskan strategi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang sehingga diperoleh suatu rumusan strategi penegakan hukum yang dapat diimplementasi dalam pemberantasan terhadap tindak pidana tersebut.

BAB II
KAJIAN TEORITIS

2.1. Konsep Perdagangan Orang
UNODC, United Nations Office on Drugs and Crime mendefinisikan perdagangan orang sesuai dengan Lampiran II, Ketentuan Umum, Pasal 3, Ayat (a) dari Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons sebagai:
“rekrutmen, transportasi, transfer, menadah atau menerima manusia, dengan cara ancaman atau penggunaan kekuatan atau bentuk-bentuk lain dari kekerasan, dari penculikan, dari penipuan, dari kecurangan, dari penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk mencapai persetujuan dari orang yang memiliki kontrol terhadap orang lain, untuk tujuan eksploitasi.”
Sedangkan definisi perdagangan orang menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 yaitu:
“tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi” .
Berdasarkan kedua konsep tersebut, definisi perdagangan orang mengandung beberapa unsur, yaitu: Pertama, tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang; Kedua, dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut; Ketiga, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara; dan Keempat, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Perdagangan orang yang dimaksud oleh penulis dalam tulisan ini yaitu: suatu tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

2.2. Konsep Penegakan Hukum
Konsep penegakan hukum menurut Jaksa Agung RI Hari Suharto, SH dapat diartikan sebagai berikut:
“Suatu rangkaian kegiatan dalam rangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan mencakup keseluruhan kegiatan baik secara teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib demi untuk pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat”.
Penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah suatu kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan, dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup . Pengertian yang diutarakan oleh Soerjono Soekanto ini sering disebut sebagai pengertian penegakan hukum secara luas.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. menyatakan bahwa penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara . Menurutnya, pengertian penegakan hukum dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu: dari sudut subyek dan dari sudut obyeknya.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Perserikatan bangsa-bangsa menggunakan pendekatan untuk menangani masalah perdagangan manusia berdasarkan pencegahan kejahatan, penjatuhan hukuman dan penjagaan korban. Pada tahun 2000, Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN) membuat adalah Protokol Trafiking yang memiliki kerangka untuk menangani masalah perdagangan manusia yang dipanggil “Pendekatan 3P”, yaitu: Prevention, Prosecution and Protection (Pencegahan kejahatan, Penjatuhan hukuman dan Penjagaan korban) . Sejak itu, sedikitnya 155 negara sudah membuat hukum-hukum dan undang-undang berdasarkan “Pendekatan 3P” . Indonesia juga telah membuat hukum-hukum dan undang-undang untuk perdagangan manusia atas dasar pendekatan tersebut sejak 2007 .
Berdasarkan beberapa konsep penegakan hukum tersebut, nampak bahwa ada beberapa unsur dalam penegakan hukum yaitu: Pertama, rangkaian kegiatan dalam rangka usaha menyerasikan, menegakkan dan/atau melaksanakan norma-norma dan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku; Kedua, bersifat penindakan maupun pencegahan mencakup keseluruhan kegiatan baik secara teknis maupun administratif; Ketiga, dilaksanakan oleh aparat penegak hukum; Keempat, untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya; dan Kelima, dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib demi untuk pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat.
Apabila penulis simpulkan dan kaitkan dengan tulisan ini, maka penegakan hukum dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai: rangkaian kegiatan dalam rangka menyerasikan, menegakkan dan/atau melaksanakan norma-norma dan ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan perdagangan orang yang berlaku yang bersifat penindakan maupun pencegahan mencakup keseluruhan kegiatan baik secara teknis maupun administratif dan dilaksanakan oleh aparat penegak hukum (Polri beserta pihak dan instansi terkait lainnya) untuk menjamin dan memastikan bahwa aturan tersebut berjalan sebagaimana seharusnya dan tujuan hukum tersebut dapat tercapai sesuai harapan. Upaya penegakan hukum tersebut meliputi tindakan-tindakan yang termasuk dalam “Pendekatan 3P”, yaitu: untuk pencegahan kejahatan, untuk penjatuhan hukuman, dan untuk penjagaan korban.

2.3. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Soerjono Soekanto, dalam bukunya “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, menyatakan bahwa ada lima faktor yang saling berkaitan sangat eratnya dan merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum . Kelima faktor tersebut yaitu:
a. Faktor hukumnya sendiri;
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut dapat digunakan untuk menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang di Indonesia.

2.4. Teknik Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu metoda analisis yang digunakan untuk menentukan dan mengevaluasi, mengklarifikasi dan memvalidasi perencanaan yang telah disusun, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai . Analisis ini merupakan suatu metoda untuk menggali aspek-aspek kondisi yang terdapat di suatu wilayah yang direncanakan maupun untuk menguraikan berbagai potensi dan tantangan yang akan dihadapi dalam pengembangan wilayah tersebut.
Kata SWOT itu sendiri merupakan kependekan dari variabel-variabel penilaian, yaitu: S merupakan kependekan dari STRENGTHS, yang berarti potensi dan kekuatan pembangunan; W merupakan kependekan dari WEAKNESSES, yang berarti masalah dan tantangan pembangunan yang dihadapi; O merupakan kependekan dari OPPORTUNITIES, yang berarti peluang pembangunan yang dapat; dan T merupakan kependekan dari THREATS, yang merupakan faktor eksternal yang berpengaruh dalam pembangunan .
Analisis SWOT bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi pembangunan daerah. Sebagai sebuah konsep dalam manajemen strategik, teknik ini menekankan mengenai perlunya penilaian lingkungan eksternal dan internal, serta kecenderungan perkembangan/perubahan di masa depan sebelum menetapkan sebuah strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).
Sebagai salah satu alat untuk formulasi strategi, tentunya analisis SWOT tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan strategik secara keseluruhan. Secara umum penyusunan rencana strategik melalui tiga tahapan, yaitu: (a) Tahap pengumpulan data; (b) Tahap analisis; dan (c) Tahap pengambilan keputusan . Teknik ini akan penulis gunakan dalam menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang di Indonesia. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, penulis dapat menganalisa dan merumuskan suatu strategi yang sesuai guna meningkatkan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang di Indonesia.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Kondisi Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang
Berdasarkan data dari laporan Trafficking in Person tahun 2011, Indonesia ditempatkan dalam kelompok Tier 2, yaitu negara dengan pemerintahan yang tidak sepenuhnya mematuhi standar minimum penghapusan perdagangan manusia, yang telah ditetapkan oleh The Trafficking Victims Protection Act (TVPA), tapi berupaya signifikan untuk memenuhi standar tersebut . Indonesia dianggap sebagai salah satu negara sumber perdagangan seks dan kerja paksa bagi perempuan, anak-anak, dan laki-laki dalam tingkatan yang jauh lebih rendah menjadi negara tujuan dan transit perdagangan seks dan kerja paksa .
Berdasarkan data survei dan data dari IOM (International Organization for Migration), pemerintah Indonesia dan sebuah LSM terkemuka yang bergerak di bidang anti-perdagangan di Indonesia, diperoleh fakta bahwa:
“(a) diperkirakan ada 6,5 juta sampai 9 juta TKI di seluruh dunia dan 69 persen diantaranya adalah perempuan; (b) terdapat 43-50 persen TKI di luar negeri menjadi korban dari kondisi yang mengidentifikasikan adanya perdagangan manusia; (c) dari 3.840 korban perdagangan manusia, 90 persen adalah perempuan dan 56 persen telah dieksploitasi dalam pekerjaan rumah tangga; (d) total 82 persen korban yang diidentifikasi pada tahun 2010 telah menjadi korban perdagangan manusia ke luar negeri, 18 persen diantaranya menjadi korban perdagangan manusia di Indonesia; (e) sebanyak 50 persen dari korban perdagangan manusia di Indonesia adalah anak-anak; dan (f) di tahun 2010, terdapat 471 migran Indonesia kembali dari Timur Tengah tengah hamil akibat perkosaan dan 161 orang lainnya kembali dengan anak-anak yang telah lahir di Timur Tengah” .
Dalam catatan Komnas Perlindungan Anak, pada tahun 2004, jumlah anak yang menjadi korban human trafficking (perdagangan manusia) adalah 10 kasus. Pada tahun 2005, jumlah tersebut meningkat menjadi 18 kasus. Menginjak tahun 2006 dan 2007, jumlah tersebut mengalami peningkatan yang signifikan menjadi 129 kasus pada tahun 2006 dan 240 kasus pada tahun 2007, sedangkan jumlah korban kasus perdagangan anak sejak tahun 2008 hingga saat ini diperkirakan mencapai 40-70 ribu orang . Bentuk-bentuk pelanggarannya ada berbagai macam, antara lain: dieksploitasi sebagai buruh, menjadi korban pornografi, prostitusi, dan narkotika.
Mengacu pada laporan Trafficking in Persons 2011, pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah reformasi yang secara signifikan meningkatkan koordinasi dan efektifitas dari 19 kementerian dan lembaga negara yang teribat dalam penanganan perdagangan manusia . Beberapa contoh langkah konkrit yang sudah dilaksanakan antara lain: (a) membentuk Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Universitas Indonesia untuk mengatasi penipuan kesempatan magang terhadap pelajar sekolah kejuruan; (b) mengklarifikasi peran Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) di luar negeri dalam menerapkan UU Tenaga Kerja Indonesia Nomor 39 tahun 2004; (c) menyusun RUU yang lebih progresif untuk melindungi TKI di luar negeri, termasuk korban perdagangan manusia secara lebih efektif; dan (d) melarang sertifikasi pekerja migran perempuan Indonesia yang akan pergi ke Arab Saudi dan Yordania, menyusul larangan serupa yang sudah diberlakukan untuk TKI perempuan Indonesia yang akan ke Malaysia .

TABEL 1
Daerah Pengirim, Penerima dan Transit Perdagangan Manusia di Indonesia

DAERAH SUMBER TRANSIT DAERAH PENERIMA
Prop. Sumatera Utara:
Medan, Deli Serdang, Serdang
Bedagai, Simalungun,
Pematang Siantar, Asahan,
Langkat, Tebing Tinggi,
Labuhan Batu, Tapanuli
Selatan, Dairi, Langkat, Binjai Belawan, Medan, Padang
Bulan, Deli Serdang,
Serdang Bedagai, Asahan,
Tanjung Balai maupun
Kabupaten Labuhan Batu
un. Deli Serdang, Medan,
Belawan, Serdang Bedagai,
Simalung
__ Prop. Riau: Tanjungbalai
Karimun, Dumai Tanjung Balai Karimun,
Dumai, Pekanbaru.
__ Prop. Kepulauan Riau:
Batam, Tanjung Pangkor Batam
Prop. Lampung Lampung Selatan Lampung Selatan
__ Prop. DKI Jakarta:
Jakarta Pusat, Barat, Timur, Utara dan Selatan. Jakarta Pusat, Barat, Timur,
Utara, Selatan.
Prop. Jawa Barat:
Sukabumi, Tangerang,
Bekasi, Indramayu, Bandung,
Karawang, Bogor, Cianjur,
Ciroyom, Bekasi, Sawangan
Depok, Cirebon, Kuningan. Bandung, Losari-Cirebon
Prop. Jawa Tengah:
Banyumas, Magelang,
Purwokerto, Cilacap,
Semarang, Tegal,
Pekalongan, Purwodadi,
Grobogan, Jepara, Boyolali Cilacap, Solo Baturaden, Solo.
Prop. Jawa Timur:
Banyuwangi, Nganjuk,
Madiun, Kediri, Surabaya,
Blitar, Jember, Gresik Surabaya Surabaya
Prop. Bali:
Denpasar, Trunyan, Karangasem,
Kintamani, Bangli Denpasar. Denpasar, Gianyar, Legian,
Nusa Dua, Sanur, Tuban.
Kuta, Ubud, Candi Dasa dan
Denpasar.
Prop. Kalimantan Barat:
Pontianak
. Pontianak Entikong, Pontianak
Prop. Kalimantan Timur:
Samarinda
. Balikpapan, Nunukan,
Tarakan Balikpapan, Samarinda
Prop. Sulawesi Selatan:
Pare-pare, Makassar,
Sengkang, Watampone.
Prop. Sulawesi Utara:
Manado Bitung.
Prop. Sulawesi Tenggara –
Prop. Nusa Tenggara Barat Mataram. Pantai Senggigi, Sumbawa
Prop. Nusa Tenggara Timur – –
– Prop. Maluku Utara: Ternate –
– Prop. Papua:
Serui Biak, Fak-fak, Timika

Sumber: http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi3/human_trafficking_ind.pdf, Tindak Pemberantasan Pidana Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta 2005.
TABEL 2
Daerah Sumber, Transit dan Penerima Trafficking

DAERAH SUMBER NEGARA PENERIMA
Indonesia, Thailand, Taiwan, Cina, Hong Kong dan beberapa negara Eropa termasuk
Norwegia (Rosenberg 2003) Asia Tenggara (Singapura,
Malaysia, Brunei, Filipina,
Thailand),
Timur Tengah (Arab Saudi),
Taiwan, Hong Kong, Jepang,
Korea Selatan,
Australia,
Amerika Selatan, dan Indonesia.

Sumber: http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi3/human_trafficking_ind.pdf, Tindak Pemberantasan Pidana Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta 2005.

Berdasarkan data Badan Reserse Kriminal Polri, jumlah perdagangan manusia di Indonesia mencapai 607 kasus, pada tahun 2010, yang melibatkan sebanyak 857 orang pelakunya. Dan para korbannya orang dewasa 1.570 orang (76,4%) dan 485 anak-anak (23,6%) . Selama ini, Polri tetap melakukan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang, namun jumlah pelaku perdagangan orang yang dilaporkan terkena tuntutan dan hukuman menurun secara signifikan. Penurunan ini mungkin disebabkan perbaikan sistem pengumpulan dan pelaporan data tentang penegakan hukum oleh Polri yang semakin terdesentralisasi di Indonesia.
Melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Polri dapat menindak segala bentuk perdagangan orang agar dapat dihukum 3 sampai 15 tahun penjara melalui proses pengadilan. Hukuman tersebut cukup berat dan sebanding dengan orang-orang yang melakukan kejahatan serius lainnya, seperti pemerkosaan. Tetapi, banyak polisi dan jaksa yang masih asing dengan undang-undang ini, sering enggan atau tidak yakin bagaimana menggunakannya secara efektif untuk menghukum pelaku perdagangan manusia. Sementara polisi dilaporkan menggunakan undang-undang tahun 2007 untuk mempersiapkan kasus penuntutan, beberapa jaksa dan hakim masih menggunakan hukum lainnya yang lebih lazim untuk menuntut pelaku perdagangan manusia.
Selama tahun 2010, polisi menyelidiki 106 orang yang ditangkap dan didakwa dengan pelanggaran menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Selama tahun 2010, 112 tersangka pelaku perdagangan manusia dipidanakan, sedangkan pada tahun 2009 dengan 138 tersangka yang dituntut di pengadilan. Pemerintah Indonesia menghukum 25 pelaku pelanggaran pada tahun 2010, sedangkan pada tahun 2009, 84 pelaku yang dihukum . Jumlah pelaku yang ditangkap dan dihukum lebih sedikit secara signifikan pada tahun 2010 dibandingkan pada Tahun 2009.
Polisi dianggap terlalu pasif dalam menyelidiki pengaduan perdagangan manusia yang tidak dikeluhkan secara khusus . Polisi juga dilaporkan sering menyelamatkan korban perdagangan manusia, polisi sering gagal untuk mengejar pelaku perdagangan yang melarikan diri ke daerah lain atau ke luar negeri. Meskipun polisi seringkali menyadari adanya anak-anak dalam pelacuran atau situasi perdagangan manusia lainnya, tetapi sering gagal melakukan intervensi untuk menangkap orang yang mungkin merupakan pelaku perdagangan ataupun melindungi korban tanpa adanya laporan khusus dari pihak ketiga .
Aparat keamanan, menurut LSM dan pejabat setempat, terus terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam praktek tindak pidana perdagangan orang . Aparat kepolisian dan militer kadang-kadang dikaitkan dengan rumah bordil dan menjadi “tameng” dalam praktek-praktek tindak pidana perdagangan orang. Perantara perusahaan perekrutan yang terlibat dalam perdagangan manusia seringkali beroperasi dan melakukan penipuan di luar jangkauan hukum karena memiliki impunitas. Menurut laporan, beberapa pejabat dari Kementerian Tenaga Kerja memberikan izin dan melindungi agen perekrutan tenaga kerja internasional yang terlibat dalam perdagangan manusia, meskipun pejabat tersebut mengetahui tentang keterlibatan agen dalam perdagangan manusia .
Beberapa agen perekrutan tenaga kerja yang curang mempunyai kaitan dengan keluarga atau teman-teman pejabat pemerintah atau polisi yang melakukan transaksi ketika tertangkap dan kemudian juga menangani pelayanan penerbitan paspor yang masih menjadi obyek korupsi yang meluas. Agen perekrutan tenaga kerja secara rutin memalsukan tanggal lahir termasuk untuk anak-anak dalam rangka mengurus paspor dan dokumen pekerja migran. Kementerian Tenaga Kerja secara terbuka menyatakan sedang mengidentifikasi dan menghukum perusahaan-perusahaan ini dan media sering melaporkan penangkapan perusahaan perekrutan tenaga kerja.
Menurut laporan, pada bulan April 2011 pihak berwenang menangkap dua wakil PJTKI karena memalsukan dokumen dua pekerja rumah tangga Indonesia yang dikirim oleh perusahaan tersebut ke Arab Saudi, dan disiksa secara kejam disana . Kementerian belum dapat menunjukkan data statistik tentang berbagai tindakan yang telah dilakukan karena beberapa pejabat setempat diduga memfasilitasi perdagangan manusia dengan memberikan informasi palsu untuk mengeluarkan kartu tanda penduduk nasional dan data kartu keluarga untuk anak-anak, yang memungkinkan mereka untuk direkrut untuk bekerja sebagai orang dewasa di dalam dan di luar negeri.
Ada laporan yang dapat dipercaya bahwa unsur-unsur kepolisian dan militer terlibat dalam menjalankan rumah bordil yang berisi korban perdagangan manusia dari negara asing seperti Uzbekistan . Ketika diperingatkan oleh kedutaan besar asal korban tentang masalah tersebut, menurut laporan, polisi menolak untuk menyelamatkan para perempuan tersebut. Meskipun beberapa laporan menunjukkan keterlibatan aparat penegak hukum dalam perdagangan manusia selama tahun ini, pemerintah tidak melaporkan adanya penyelidikan, penuntutan, hukuman, atau vonis kepada pejabat pemerintah atas berbagai pelanggaran terkait perdagangan manusia seperti ini.
Berdasarkan beberapa sumber tersebut diatas, dapat diketahui bahwa kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang masih belum optimal. Perkembangan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang menunjukkan trend penurunan Berbagai permasalahan ditemui dalam praktek penegakan hukum tersebut sehingga kondisi yang diharapkan tidak tercapai. Permasalahan tersebut antara lain: Polri belum melakukan strategi dan metode penegakan hukum yang tepat; adanya keterlibatan oknum di dalamnya; kurangnya keseriusan pemerintah dan instansi terkait; kurang senerginya aparat penegak hukum, pemerintah, instansi terkait dan masyarakat.

3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Perdagangan Orang
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang, penulis kategorikan dalam 2 (dua) faktor, yaitu: faktor instrumental dan faktor environmental. Faktor instrumental dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: instrumen hukum internasional dan instrumen hukum nasional, sedangkan faktor environmental sendiri dapat dibagi menjadi 2 (dua) faktor, yaitu: faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman).
Instrumen hukum internasional yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang antara lain:
a. ILO Forced Labour Convention tahun 1930;
b. ILO Abolition of Forced Labour Convention tahun 1957;
c. ILO Minimum Age Convention tahun1973;
d. ILO Worst Forms of Child Labour Convention Tahun 1999; dan
e. United Nation Convention Against Transnational Crimes di Palermo Itali pada Tahun 2000, yang terdiri dari: Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, especially Women and Children (Trafficking Protocol) dan Protocol against the Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air.
Instrumen hukum nasional yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang antara lain:
a. Amandemen Keempat UUD 1945;
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi;
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Form of Discrimination Against Women);
d. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
e. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003;
f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; (g) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana;
h. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
i. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
j. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Crimes (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir); dan (k) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Faktor internal yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang antara lain:
a. Kekuatan (Strengths), meliputi: (1) Adanya instrumen hukum (internasional dan nasional) yang kuat dalam mendukung upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang; (2) Banyaknya personil Polri yang tersentralisasi dari pusat ke daerah-daerah sehingga memudahkan komunikasi dan koordinasi dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang; (3) Adanya dukungan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana bagi Polri; dan (4) SDM Polri telah memiliki kemampuan yang cukup (dari sekolah, kursus dan latihan baik di dalam maupun di luar negeri) dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang.
b. Kelemahan (Weekness), meliputi: (1) Adanya keterlibatan oknum Polri baik secara langsung maupun tidak langsung membekingi praktek perdagangan manusia; (2) Lemahnya koordinasi dan kerjasama antara Polri dengan pihak-pihak dan instansi-instansi terkait yang berkaitan dengan penanganan perdagangan orang; (3) Terbatasnya sarana dan prasarana (khususnya angkutan laut dan udara) dalam upaya memonitor seluruh wilayah Indonesia yang rentan terhadap terjadinya praktek perdagangan orang; dan (4) Belum adanya sistem dan metode yang tepat dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang.
Faktor eksternal yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang antara lain:
a. Peluang (Opportunities), meliputi: (1) Besarnya dukungan internasional dalam rangka pemberantasan praktek perdagangan manusia; (2) Adanya satuan gugus tugas, BNP2TKI serta badan atau instansi lainnya yang dibentuk khusus untuk mendukung upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; (3) Banyaknya LSM dan kelompok masyarakat tertentu yang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; dan (4) Budaya ketimuran (kearifan lokal) yang masih ada di masyarakat Indonesia yang masih menganggap bahwa perdagangan orang merupakan suatu perbuatan yang tidak terpuji/dosa.
b. Ancaman (Threats), meliputi: (1) Kondisi sosial masyarakat Indonesia (misalnya banyaknya kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, dan lain sebagainya) yang mendorong mudahnya mereka menjadi korban kejahatan perdagangan orang; (2) Kurangnya kesepahaman antara aparat penegak hukum (terutama hakim dan jaksa) dalam penanganan kejahatan perdagangan manusia; (3) Kurangnya keseriusan instansi atau pihak-pihak terkait khususnya dalam instansi pemerintah terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; dan (4) Masih lemahnya pemahaman sebagian masyarakat mengenai kejahatan perdagangan orang sehingga mereka mudah tertipu, terperdaya bahkan menjadi korban kejahatan tersebut.

3.3. Strategi Peningkatan Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Perdagangan Orang
Sebelum menentukan strategi guna meningkatkan penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang, penulis akan melakukan analisa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut dengan menggunakan teknik analisa SWOT. Tahap pengumpulan data telah dilakukan dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi yang telah penulis bahas sebelumnya. Saat ini, kita perlu melakukan analisa terlebih dahulu faktor-faktor tersebut. Penulis menggunakan Matrik Internal Eksternal (Matrik IE) dan Matrik TOWS dalam menganalisa faktor-faktor tersebut.

a. Tabel Internal Factor Analysis Summary (IFAS)

FAKTOR INTERNAL BOBOT RATING BOBOT
X RATING
Kekuatan (Strenghts)
1) Dukungan instrumen hukum yang kuat.
2) Banyak dan terdesentralisasinya personil Polri.
3) Adanya dukungan anggaran lidik dan sidik.
4) Kemampuan SDM Polri yang sudah memadai.
0,20
0,05
0,10
0,15

4
2
3
2
0,80
0,10
0,30
0,30
Kelemahan (Weekness)
1) Indikasi ada oknum Polri yang terlibat.
2) Lemahnya koord dan kerma dgn instansi dan pihak lain.
3) Kurangnya sarana dan prasarana.
4) Belum ada sistem dan metode yang tepat
0,05
0,15
0,10
0,20
2
2
3
1
0,10
0,30
0,30
0,20
TOTAL 1,00 2,40

b. Tabel Eksternal Factor Analysis Summary (EFAS)

FAKTOR EKSTERNAL BOBOT RATING BOBOT
X RATING
Peluang (Opportunities)
1) Besarnya dukungan internasional.
2) Adanya gugus tugas instansi lain yang dibentuk khusus.
3) Banyaknya jumlah LSM yang peduli.
4) Kentalnya budaya ketimuran (kearifan lokal) di masyarakat.
0,20
0,15
0,10
0,05

4
3
2
1
0,80
0,45
0,20
0,05
Ancaman (Threats)
1) Kondisi sosial masyarakat yang dukung jadi korban.
2) Adanya kurang sepahaman antar aparat gakkum.
3) Kurangnya keseriusan instansi dan pihak terkait khususnya instansi pemerintah.
4) Lemahnya pemahaman masyarakat.
0,10
0,15
0,20
0,05
2
2
3
2
0,20
0,30
0,60
0,10
TOTAL 1,00 2,70

c. Analisa Posisi Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Perdagangan Orang dengan Matrik Internal Eksternal (IE)

1

2
3

4

5

6

7

8
9

Hasil kombinasi IFAS dan EFAS menunjukkan bahwa upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang oleh Polri pada posisi 2. Posisi ini menunjukkan kondisi yang cukup menggembirakan bahwa upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang oleh Polri masih berkembang, namun Polri harus berkonsentrasi melalui integrasi horizontal melalui kerjasama dengan seluruh komponen pemerintahan dan masyarakat untuk dapat lebih meningkatkan upaya penegakan hukum tersebut.

d. Matrik TOWS

IFAS

EFAS Kekuatan (Strenghts)
1) Dukungan instrumen hukum yang kuat.
2) Banyak dan terdesentralisasinya personil Polri.
3) Adanya dukungan anggaran lidik dan sidik.
4) Kemampuan SDM Polri yang sudah memadai.
Kelemahan (Weekness)
1) Indikasi ada oknum Polri yang terlibat.
2) Lemahnya koordinasi dan kerjasama dengan instansi dan pihak lain.
3) Kurangnya sarana dan prasarana.
4) Belum ada sistem dan metode yang tepat
Peluang (Opportunities)
1) Besarnya dukungan internasional.
2) Adanya gugus tugas instansi lain yang dibentuk khusus.
3) Banyaknya jumlah LSM yang peduli.
4) Kentalnya budaya ketimuran (kearifan lokal) di masyarakat.
Strategi S-O
 Menjalin kerjasama yang baik dengan antar negara, lembaga internasional, pemerintah, lembaga nasional, instansi terkait dan komponen masyarakat yang peduli.
 Pemanfaatan budaya kearifan lokal masyarakat Indonesia untuk menangkal dan mendeteksi praktek perdagangan orang. Strategi W-O
 Peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan instansi dan pihak lain (nasional dan internasional, aparat gakkum lain, pemerintah dan masyarakat) termasuk kerjasama untuk deteksi oknum yang terlibat, pemenuhan sarana prasarana yang diperlukan dan pembuatan sistem dan metode yang tepat.
 Penindakan tegas terhadap oknum Polri yang terlibat.
Ancaman (Threats)
1) Kondisi sosial masyarakat yang dukung jadi korban.
2) Adanya kurang sepahaman antar aparat gakkum.
3) Kurangnya keseriusan instansi dan pihak terkait khususnya instansi pemerintah.
4) Lemahnya pemahaman masyarakat.
Strategi S-T
 Peningkatan kerjasama dan koordinasi yang baik dengan aparat gakkum (khususnya Hakim dan Jaksa) oleh setiap personil Polri.
 Kerjasama dengan pemerintah dan komponen masyarakat untuk mengatasi kondisi sosial masyarakat.
 Peningkatan keseriusan pemerintah dan pemahaman masyarakat dalam membantu upaya gakkum . Strategi O-T
 Penindakan tegas terhadap oknum Polri yang terlibat.
 Peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan instansi dan pihak lain (nasional dan internasional, aparat gakkum lain, pemerintah dan masyarakat).
 Pembuatan sistem dan metode yang efektif dan efisien dengan upaya gakkum.

Berdasarkan seluruh analisa instrumental, faktor internal dan eksternal tersebut, maka penulis merumuskan suatu program penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang yaitu Program Kerjasama Lintas Sektoral dan Penggalangan Komponen Masyarakat. Penjabaran strategi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Visi
“Mewujudkan kerjasama lintas sektoral (nasional, regional dan internasional) dan penggalangan komponen masyarakat yang intensif, sinergi, efektif dan efisien dalam rangka peningkatan upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang di Indonesia”
b. Misi
1) melakukan peningkatan kerjasama dan koordinasi dengan instansi pemerintah, gugus tugas dan instansi terkait lainnya dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
2) menjalin hubungan, memberdayakan, dan melakukan kerjasama dengan seluruh komponen masyarakat dalam meningkatkan kesadaran dan daya tangkal masyarakat terhadap bahaya tindak pidana perdagangan orang;
3) menjalin hubungan dan melakukan peningkatan kerjasama dan koordinasi dengan organisasi dan negara serta lembaga baik regional maupun internasional yang ada dalam rangka pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
4) melakukan penindakan terhadap oknum Polri yang terlibat tindak pidana perdagangan orang;
5) menyusun sistem dan metode yang efektif dan efisien guna memberantas tindak pidana perdagangan orang;
6) melakukan peningkatan kesepahaman, kerjasama dan koordinasi aparat CJS dalam penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang; dan
7) melakukan pemberdayaan kearifan lokal dalam mengantisipasi, mendeteksi dan menangkal praktek tindak pidana perdagangan orang.
c. Tujuan
1) terwujudnya peningkatan kerjasama dan koordinasi yang intensif, sinergi, proporsional, dan mutualisme dengan instansi pemerintah, gugus tugas dan instansi terkait lainnya dalam pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
2) terjalinnya kerjasama dengan yang intensif dengan seluruh komponen masyarakat dalam meningkatkan kesadaran dan daya tangkal masyarakat terhadap bahaya tindak pidana perdagangan orang;
3) terjalinya hubungan dan terwujudnya peningkatan kerjasama dan koordinasi yang intensif, sinergi, dan mutualisme dengan organisasi dan negara serta lembaga baik regional maupun internasional yang ada dalam rangka pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
4) terwujudnya efek jera bagi oknum Polri yang terlibat dan mencegah anggota Polri sehingga tidak terlibat tindak pidana perdagangan orang;
5) terwujudnya suatu sistem dan metode yang efektif dan efisien guna memberantas tindak pidana perdagangan orang;
6) terwujudnya peningkatan kesepahaman, kerjasama dan koordinasi aparat CJS dalam penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana perdagangan orang; dan
7) tercapainya pemberdayaan kearifan lokal dalam mengantisipasi, mendeteksi dan menangkal praktek tindak pidana perdagangan orang.
d. Sasaran
1) instansi pemerintah, gugus tugas dan lembaga lainnya yang dibentuk pemerintah;
2) organisasi, negara dan lembaga (nasional, regional dan internasional) yang berkompeten dan mendukung pemberantasan tindak pidana kejahatan orang;
3) Oknum Polri yang terlibat tindak pidana perdagangan orang;
4) aparat penegak hukum dalam CJS; dan
5) seluruh komponen masyarakat dan kearifan lokal yang ada di masyarakat.
e. Pelaksana
1) Seluruh personil Polri khususnya yang terlibat langsung dalam penanganan tindak pidana perdagangan orang di seluruh wilayah Negara Keastuan Republik Indonesia terutama di daerah yang rentan terhadap terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
2) Seluruh pimpinan Polri dari tingkat Mabes Polri sampai tingkat Polsek secara berjenjang sesuai dengan potensi wilayah hukum masing-masing.
f. Strategi
 Jangka Pendek (1 s.d 2 tahun pertama)
1) melakukan pertemuan rutin dan koordinasi bulanan yang intensif dengan:
a) instansi pemerintah terkait dan pihak-pihak terkait lainnya.
b) aparat CJS.
3) mengikuti pertemuan dan koordinasi rutin yang diadakan oleh badan dan organisasi nasional, regional dan internasional yang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
4) membuat dan membina jaringan komunikasi (contact person) di instansi pemerintah, LSM dan instansi terkait lainnya serta pada badan dan organisasi di Indonesia.
5) melakukan penindakan yang tegas terhadap setiap oknum yang terbukti terlibat tindak pidana perdagangan orang.
6) melakukan penyusunan sistem dan metode penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang untuk level nasional.
7) melakukan indentifikasi dan inventarisasi kearifan lokal yang ada di Indonesia yang dapat bermanfaat bagi pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
 Jangka Menengah (tahun ke-3 dan ke-4)
1) menjalin dan membina kerjasama serta membuat jaringan komunikasi dengan negara yang rentan menjadi tujuan dan potensi sebagai pemasok tindak pidana perdagangan orang dari dan ke Indonesia.
2) membina jaringan komunikasi (contact person) di instansi pemerintah, LSM dan instansi terkait lainnya serta pada badan dan organisasi di kawasan regional.
3) mengikuti pertemuan dan koordinasi rutin yang diadakan oleh badan dan organisasi nasional, regional dan internasional yang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
3) membina dan mengembangkan kerjasama dan koordinasi secara intensif dengan:
a) instansi pemerintah terkait dan pihak-pihak terkait lainnya.
b) aparat CJS.
c) badan dan organisasi nasional dan regional.
4) melakukan evaluasi, perbaikan dan penyempurnaan sistem dan metode penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang untuk level regional.
 Jangka Panjang (5 tahun dan seterusnya)
1) membina dan mengembangkan kerjasama dan jaringan komunikasi dengan seluruh negara di dunia dalam rangka pemberantasan tindak pidana perdagangan orang di dunia;
2) melakukan evaluasi, perbaikan dan penyempurnaan serta pengembangan sistem dan metode penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang di level internasional.
3) membina dan mengembangkan jaringan komunikasi (contact person) di instansi pemerintah, LSM dan instansi terkait lainnya serta pada badan dan organisasi nasional, regional dan internasional.
4) membina, mengembangkan dan memperluas kerjasama dan koordinasi secara intensif dengan:
a) instansi pemerintah terkait dan pihak-pihak terkait lainnya.
b) aparat CJS.
c) badan dan organisasi nasional, regional dan internasional.
5) melakukan evaluasi, perbaikan dan penyempurnaan serta pengembangan sistem dan metode penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang untuk level internasional.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Meskipun telah dilakukan berbagai upaya penegakan hukum oleh Polri, Indonesia tetap tidak dapat menurunkan posisi teratasnya dalam perdagangan manusia. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa:
a. Kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang masih belum optimal. Perkembangan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang menunjukkan trend penurunan.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi:
1) Adanya instrumen hukum (internasional dan nasional) yang kuat dalam mendukung upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang;
2) Banyaknya personil Polri yang tersentralisasi dari pusat ke daerah-daerah sehingga memudahkan komunikasi dan koordinasi dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang;
3) Adanya dukungan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana bagi Polri;
4) SDM Polri telah memiliki kemampuan yang cukup (dari sekolah, kursus dan latihan baik di dalam maupun di luar negeri) dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang;
5) Adanya keterlibatan oknum Polri baik secara langsung maupun tidak langsung membekingi praktek perdagangan manusia;
6) Lemahnya koordinasi dan kerjasama antara Polri dengan pihak-pihak dan instansi-instansi terkait yang berkaitan dengan penanganan perdagangan orang;
7) Terbatasnya sarana dan prasarana (khususnya angkutan laut dan udara) dalam upaya memonitor seluruh wilayah Indonesia yang rentan terhadap terjadinya praktek perdagangan orang; dan
8) Belum adanya sistem dan metode yang tepat dalam melaksanakan penegakan hukum terhadap kejahatan perdagangan orang.
Faktor eksternal antara lain:
1) Besarnya dukungan internasional dalam rangka pemberantasan praktek perdagangan manusia;
2) Adanya satuan gugus tugas, BNP2TKI serta badan atau instansi lainnya yang dibentuk khusus untuk mendukung upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;
3) Banyaknya LSM dan kelompok masyarakat tertentu yang peduli terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; dan
4) Budaya ketimuran yang masih ada di masyarakat Indonesia yang masih menganggap bahwa perdagangan orang merupakan suatu perbuatan yang tidak terpuji/dosa.
5) Kondisi sosial masyarakat Indonesia (misalnya banyaknya kemiskinan, pengangguran, putus sekolah, dan lain sebagainya) yang mendorong mudahnya mereka menjadi korban kejahatan perdagangan orang;
6) Kurangnya kesepahaman antara aparat penegak hukum (terutama hakim dan jaksa) dalam penanganan kejahatan perdagangan manusia;
7) Kurangnya keseriusan instansi atau pihak-pihak terkait khususnya dalam instansi pemerintah terhadap pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; dan
8) Masih lemahnya pemahaman sebagian masyarakat mengenai kejahatan perdagangan orang sehingga mereka mudah tertipu, terperdaya bahkan menjadi korban kejahatan tersebut.
c. Strategi yang harus dilakukan untuk meningkatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang di Indonesia yaitu Program Kerjasama Lintas Sektoral dan Penggalangan Komponen Masyarakat. Program tersebut meliputi visi, misi, tujuan, sasaran, pelaksana, dan strategi (jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang).

4.2. Saran
Agar program dalam upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka penulis menyarankan sebagai berikut: Pertama, masih perlu dilakukan kajian, evaluasi dan penyempurnaan terhadap program tersebut; Kedua, Perlu sosialisasi terhadap seluruh personil Polri termasuk upaya penggalangan saran, kritik dan masukan bagi penyempurnaannya; dan Ketiga, Apabila sudah dinyatakan sempurna, perlu dijabarkan lebih lanjut oleh pimpinan Polri melalui petunjuk teknis dan dijabarkan lagi oleh para kepala kesatuan wilayah melalui petunjuk pelaksanaan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Abdusalam, R., Penegakkan Hukum Dilapangan oleh Polri, Jakarta, Diskum Polri, 1997.
Rangkuti, Freddy, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Soekanto Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Radjawali, 1986.
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed. 1 Cet. 5, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Wilson Colin, A Criminal History of Mankind, Toronto Sydney Aucland, Granada Publishing, 1984.

INTERNET
Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf.
Bangaip, Perdagangan Manusia – Definisi, Pemahaman Kondisi hingga Antisipasi di Indonesia, bangaip.org, http://bangaip.org/2009/08/perdagangan-manusia/#definisi.
Maria Natalia dan Asep Candra, Polri Bekuk Sindikat Perdagangan Manusia, kompas.com, Jakarta, 8 Oktober 2011, http://nasional.kompas.com/read/2011/10/08/17295171/Polri.Bekuk.Sindikat.Perdagangan.Manusia.
Menkokesra.go.id, Tindak Pemberantasan Pidana Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta, 2005, http://www.menkokesra.go.id/pdf/deputi3/human_trafficking_ind.pdf,
Permata, Titis Jati, PBB: Indonesia Pemasok Obyek Perdagangan Manusia, surya.co.id, 22 Juli 2011, http://www.surya.co.id/2011/07/22/pbb-indonesia-pemasok-obyek-perdagangan-manusia.
Umar, Musni, Pencegahan dan Pemulihan Korban Perdagangan Orang di Indonesia, wordpress.com, 26 Oktober 2011, http://musniumar.wordpress.com/2011/10/26/pencegahan-dan-pemulihan-korban-perdagangan-orang-di-indonesia/.
U.S. Embassy Jakarta, Information Trafficking in Person, Jakarta, November 2011, http://goo.gl/I3BeN.
___________, Memprihatinkan, Perdagangan Anak di Indonesia Capai 70 Ribu Kasus, 108CSR.com, 25 Juni 2011, http://www.108csr.com/home/news.php?id=271.
_______________, Kasus perdagangan manusia makin memprihatinkan, kabarbisnis.com, 4 Januari 2012, diakses melalui http://www.kabarbisnis.com/read/2817137 .
_________, Perdagangan Manusia 2011 Indonesia (Tier 2), http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/laporan-politik/perdangangan-manusia.html.
______________ ,Indonesia Terbanyak Korban Perdagangan Manusia, Kementerian PP & PA Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Jakarta, 3 November 2011, http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=495:indonesia-terbanyak-korban-perdagangan-manusia&catid=35:menegpp&Itemid=87.
___________, Key Report Perdagangan Manusia 2011 – Indonesia (Pier 2), Embassy Of United States Jakarta Indonesia, http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/laporan-politik/perdangangan-manusia.html.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2007, Pasal 1 angka 1.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang,

BAHAN PERKULIAHAN
Petrus Reinhard Golose, Kejahatan Transnasional dan Radikalisme (Suatu Pengantar), Bahan Kuliah bagi Mahasiswa Angkatan I Magister Ilmu Kepolisian STIK PTIK, Jakarta, disampaikan pada tanggal 30 November 2011.

BAHAN-BAHAN LAIN
United Nations Office on Drugs and Crime, An Introduction to Human Trafficking: Vulnerability, Impact and Action, United Nations, 2008.
United Nations Office on Drugs and Crime, Global Report on Trafficking in Persons,United Nations, 2009.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Situs Web WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: