Kejahatan Jalanan dan Premanisme
Latar belakang dan Penanggulangannya
Oleh: Prof. Dr. Sarlito Wirawan S.
Kejahatan jalanan (street crime) dan premanisme adalah kejahatan-kejahatan tingkat akar rumput yang benar-benar meresahkan rakyat kecil. Jauh lebih meresahkan ketimbang kasus Nazarudiin atau Chandra Hamzah yang saat ini banyak dibicarakan di media massa. Akan tetapi media massa tidak terlalu tertarik untuk membahas kejahatan jalanan, karena dianggap sebagai masalah kecil yang tidak menarik untuk diberitakan di media (kecuali mungkin harian seperti Pos Kota).
Di sisi lain, kejahatan-kejahatan besar seperti kasus sodomi dan mutilasi anak-anak oleh pelaku Robot Gedek dan Baiquini (Babeh) terjadi di jalanan dan korbannya adalah anak-anak jalanan. Aksi-aksi Kapak Merah, perampokan dengan berpura-pura menunjukkan ban rusak (sasarannya wanita yang menyetir sendiri), sweeping FPI, pencurian kendaraan bermotor sampai tawuran antar geng (rebutan lahan parkir), antar kampong, dan antar sekolah terjadi hampir setiap hari dengan mengambil jalanan sebagai arenanya.
Pasalnya, jalanan adalah arena publik, dimana berbagai kepentingan tertumpah menjadi satu, bertemu, bersatu dan membaur, dan tidak ada aturan yang jelas di sana. Aturan lalu lintas yang sudah jelas pun dilanggar (parkir di tempat terlarang, naik motor melawan arus, berkendara motor di atas kaki lima, atau justru berdagang (statis) di atas kaki Lima. Polisi yang harusnya mengatur, menertibkan situasi di jalan raya tidak selalu berada di sana, dan kalaupun ada maka dia kewalahan mengatur situasi.
Mengapa arena publik jadi sasaran? Selain karena di sana tidak ada yang mengatur, sehingga setiap orang bisa berbuat semaunya sendiri, juga karena terlalu banyaknya penduduk. Sebagian dari penduduk kota metropolitan tidak akan keluar ke jalanan kalau ada tempat lain yang lebih menyenangkan. Karena rumah yang sempit dan sumpek, tidak ada hiburan, maka mereka nongkrong di pinggir jalan. Sebagian hanya sekedar kong-kouw saja, sebagian yang lain bekerja, mencari nafkah dan seterusnya, termasuk terlibat kriminal.
Jadi faktor pertama dari kejahatan jalanan adalah faktor demografis. Di kota-kota besar yang penduduknya jarang (seperti Melbourne), hampir tidak kita temui orang menumpuk di jalanan dalam jumlah besar, kecuali ada acara tertentu, misalnya festival. Yang kedua adalah faktor pengangguran dan kemiskinan. Yang nongkrong berlama-lama di jalanan sudah pasti bukan orang-orang yang sibuk bekerja termasuk supir taksi, kurir paket, salesman atau agen asuransi yang pekerjaannya setiap hari memang menelusuri jalan, melainkan orang-orang yang tidak bekerja, atau tidak mau bekerja. Yang meramaikan jalanan adalah anak-anak Balita, ABG, Remaja, dewasa, sampai tua. Yang miskin, cacat, sampai berpakaian perlente, semuanya dengan tujuannya masing-masing.
Sebagaimana di setiap kesempatan, keramaian jalanan juga dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang ingin mengambil keuntungan. Pencopet, pemeras, tukang palak, pengamen, dsb. semua mencari kesempatan dengan caranya masing-masing. Sebagian terorganisasi, misalnya pengemis, pencopet, tukang parkir, sebagian bahkan terlibat dalam organisasi Mafia internasional (misalnya: jaringan Narkoba), tetapi sebagian yang lain bekerja secara perorangan.
Mereka yang melakukan kejahatan perorangan dampaknya kecil pada masyarakat (kalau tertangkap mereka bisa habis dipukuli masyarakat). Tetapi kejahatan-kejahatan terorgansasi bisa sangat meresahkan masyarakat. Tawuran antar sekolah, misalnya, adalah salah satu bentuk kejahatan terorganisasi yang mengganggu masyarakat secara kronis. Preman-preman berjubah organisasi agama Islam, juga meresahkan karena mereka sering melakukan sweeping, khususnya pada pihak-pihak yang kurang setoran pada mereka. Hal ini diperkuat oleh faktor ketiga, yaitu adanya identitas kelompok mereka yang kuat (ingroup feeling). Dengan adanya perasaan identitas kelompok yang kuat itu, maka rasa persaingan antar kelompok bisa sangat kental dan permusuhan/tawuran jalanan bisa berlangsung bertahun-tahun.
Tetapi faktor yang paling utama (faktor keempat), sebetulnya adalah lemahnya control sosial dari pihak aparat. NYPD (New York Polce Department) yang sudah sangat canggihpun, termasuk dalam hal anggaran, masih tidak bisa mengatasi sepenuhnya kejahatan di kota New York. Apalagi Polda Metro yang dananya memang serba terbatas.
Untuk mengatasi hal itu, di beberapa kota di dunia ini, diadakan polisi sukarela. Di Malaysia sejumlah orang sipil (biasa diapanggil: Rela), membantu PDRM (Polis Di Raja Malaysia), untuk menangkapi warga Negara Indonesia yang berkeliaran di Malaysia tanpa surat-surat keterangan dan ditengarai sebagai sumber kejahatan. Di Indonesia sudah lama di kenal Siskamling (Sistem keamanan Lingkungan), tetapi tidak terlalu berjalan, khususnya di kota-kota besar, karena suasana keakraban/kekeluargaan sudah tidak ada lagi di kota seperti Jakarta.
Walaupun begitu, cara paling jitu untuk mengurangi kejahatan jalanan adalah dengan mencegah urbanisasi. Kita tahu bahwa masalah pokoknya adalah kepadatan penduduk, maka dengan mencegah urbanisasi, kita bisa mengurangi kemungkinan berkembangnya kejahatan jalanan. Namun mengurangi urbanisasi tidak cukup dengan mencegah orangluar Jakarta masuk ke Jakarta (razia KTP, misalnya), namun harus dengan pendekatan yang jauh lebih komprehensif, yaitu misalnya dengan mengadakan lapangan kerja di daerah-daerah asal. Sehingga penduduk tidak perlu bermigrasi ke kota besar. Namun pendekatan-pendekatan komprehensif seperti ini belum bisa terlaksana di Indonesia. Cara kerja pemerintah dan pemerintah daerah kita masuh disertai dengan ego-sektoral yang tingggi, sehingga kurang perduli pada strategi pembangunan yang menyeluruh. Ketika sudah menjadi masalah di jalanan, barulah Polisi, Satpol PP dan aparat keamanan lainnya dikerahkan untuk menanggulangi, yang hasilnya pasti jauh dari efektif.
Tinggalkan Balasan