TINJAUAN TERHADAP KONFLIK KOMUNAL DI INDONESIA

PEMBINAAN TERHADAP GENERASI MUDA
PADA KAWASAN KONFLIK HORISONTAL DI AMBON

  1. U m u m

Suasana kemeriahan perayaan Idul Fitri yang penuh dengan makna maaf-memaafkan tiba-tiba berubah drastis menjadi hiruk-pikuk dan kebencian akibat perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang di Kota Ambon. Perkelahian itu sendiri bermula dari percekcokan mulut antara seorang pengemudi angkutan kota dengan seorang preman yang melakukan pemerasan terhadap pengemudi angkutan kota tersebut.
Perkelahian antara sopir angkutan kota dengan preman tersebut, yang diikuti dengan ditusuknya sang sopir oleh preman, dengan cepat menjadi sebuah berita yang didramatisir sedemikian rupa dengan mengangkat tema perkelahian antara orang Islam dengan orang Kristen. Selanjutnya sebagaimana konflik-konflik yang kental dengan nuansa SARA lainnya, maka konflik tersebut secara cepat menjalar ke tempat-tempat lain dan mempengaruhi anggota-anggota masyarakat lain yang masing-masing merasa sebagai bagian dari salah satu diantara kedua golongan agama tersebut.
Tidak cukup sampai disitu, konflik yang mengandung isu pertikaian antar agama tersebut menjalar ke tema lain yang menyangkut penguasaan birokrasi berdasarkan aliran dan separatisme (Munir; 2000).
Anggota masyarakat yang bersukubangsa Buton, Bugis dan Makasar yang merupakan masyarakat pendatang turut menjadi bagian dari konflik tersebut. Anggota masyarakat bersukubangsa Buton, Bugis dan Makasar, selanjutnya disebut BBM, yang menetap di Kota Ambon memang merupakan golongan minoritas dalam segi jumlah, namun mereka dominan dalam sektor perekonomian maupun posisi-posisi penting pada unsur-unsur pemerintahan daerah setempat, Sehingga dengan melebarnya isu konflik menjadi isu yang menyangkut penguasaan birokrasi dan separatisme maka pada akhirnya mereka menjadi bagian dari konflik tersebut.
Penduduk Ambon yang bersukubangsa BBM, dan mayoritas beragama Islam, tersebut banyak yang menjadi korban dari tindak kekerasan bahkan pembunuhan oleh penduduk setempat yang bersukubangsa Ambon dan mayoritas beragama Kristen. Akibatnya maka mereka melakukan perlawanan dan pada akhirnya terjebak kedalam konflik antar sukubangsa, konflik agama dan konflik antara penduduk asli dengan pendatang.
Konflik horisontal tersebut semakin berlarut-larut akibat tidak berhasilnya aparat keamanan serta Pemerintahan Daerah setempat untuk mengatasinya. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya tudingan-tudingan keras dan tajam terhadap kinerja aparat keamanan dan aparat Pemda setempat maupun Pemerintahan pusat di Jakarta.
Ketidak-berhasilan dalam menangani konflik horisontal multi dimensi tersebut apabila semakin berlarut-larut tidak menutup kemungkinan akan mengarah kepada bentuk lain menjadi konflik vertikal antara penduduk dengan pemerintah. Dan hal ini akan terjadi apabila pihak-pihak yang bertikai tersebut senantiasa tidak puas dengan penanganan konflik oleh pemerintah, selanjutnya hal itu dipolitisasi oleh oknum-oknum tertentu atau provokator menjadi ketidak-puasan terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Berkaitan dengan isu Otonomi Daerah serta isu-isu tentang separatisme daerah-daerah lainnya, maka ketidak-puasan terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan konflik tersebut secara konkrit akan menjadi suatu upaya separatisme. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi mengingat secara historis telah terjadi upaya-upaya separatisme di Ambon yang dilakukan oleh RMS (Republik Maluku Selatan) tahun 1952 dibawah pimpinan Soumokil.
Untuk mennyelesaikan konflik horisontal multi dimensi serta mencegah agar konflik tersebut tidak lebih jauh berubah menjadi suatu konflik vertikal, maka perlu segera dilakukan langkah-langkah penanganan serta pencegahan yang efektif, dimana penanganan konflik dan pencegahan berubahnya bentuk konflik tersebut sama-sama merupakan suatu prioritas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Upaya penanganan dan pencegahan tersebut harus dilakukan baik oleh segenap unsur pemerintahan, termasuk dalam hal ini adalah Polri, maupun oleh pihak-pihak yang bertikai, terutama oleh golongan pemuda.
Golongan pemuda pada pihak-pihak yang terlibat konflik harus menjadi perhatian utama baik sebagai objek maupun sebagai subjek dalam upaya penanganan dan pencegahan tersebut. Perhatian utama terhadap golongan pemuda tersebut diberikan mengingat bahwa golongan pemuda, meskipun umumnya memiliki tingkat emosi yang relatif tinggi, namun mereka merupakan aset bagi terciptanya kembali kerukunan hidup dan kerukunan hubungan antar sukubangsa di Ambon. Hal ini tentu didasari pemikiran bahwa golongan pemuda merupakan generasi penerus yang akan hidup dan mewarnai kehidupan mendatang.
Golongan pemuda sebagai objek dari upaya penanganan dan pencegahan dimaksud tentu saja harus mendapatkan pembinaan-pembinaan khusus, sedangkan langkah berikutnya, setelah mereka mendapatkan pembinaan, maka mereka akan menjadi subjek dalam upaya-upaya penanganan dan pencegahan dimaksud.

  1. Kajian teoretis terhadap konflik di Ambon.

Masyarakat di Maluku, khususnya Ambon, merupakan masyarakat majemuk yang umumnya terdiri dari masyarakat sukubangsa Ambon sebagai penduduk asli dan masyarakat sukubangsa Buton, Bugis dan Makasar sebagai pendatang.
Masyarakat sukubangsa Ambon merupakan masyarakat agamis, yang berarti bahwa agama menjadi inti kebudayaan, yaitu sebagai pandangan hidup yang mendasari etos serta nilai-nilai budaya. Namun demikian pada masyarakat sukubangsa Ambon tersebut terdapat dua agama yang umunya dipeluk, yaitu agama Islam dan Agama Kristen. Meskipun berbeda pandangan hidup, namun atribut jatidiri mereka yang berbentuk bahasa dan ciri-ciri fisik umumnya adalah sama. Perbedaan pandangan hidup diantara masyarakat sukubangsa Ambon tidak menjadikan halangan bagi mereka untuk melakukan interaksi sosial diantara mereka, dan hal ini dikukuhkan oleh sebuah bentuk hukum adat yang disebut Pela gandong.
Persamaan-persamaan beberapa atribut jatidiri serta adanya adat Pela Gandong telah menumbuhkan kesadaran diantara mereka untuk sama-sama membangun jembatan sosial yang saling menghubungkan antar kepentingan mereka, dan perbedaan jatidiri dalam bentuk atribut jatidiri keagamaan mereka simpan sebagai hal yang tidak perlu ditonjol-tonjolkan dalam interaksi-interaksi yang simbiosis tersebut. Pada hakikatnya kehidupan mereka adalah kehidupan yang rukun dan saling menolong.
Pada pihak lain, masyarakat sukubangsa Buton, Bugis Makasar, selanjutnya disebut BBM, adalah merupakan kelompok pendatang yang mayoritas beragama Islam. Sebagaimana umumnya masyarakat pendatang lain, mereka umumnya memiliki cara hidup yang lebih ulet terutama dalam bidang perekonomian, sehingga mereka menjadi golongan yang dominan terutama dalam sektor-sektor ekonomi serta pada beberapa posisi penting sebagai unsur pejabat pemerintahan daerah. Sebagai kelompok pendatang mereka merupakan golongan-golongan tersendiri dengan jatidiri masing-masing serta atribut jatidiri berupa bahasa serta ciri-ciri fisik yang berbeda satu sama lain terutama dengan masyarakat sukubangsa setempat.
Keanekaragaman sukubangsa dengan berbagai jatidiri dan atribut jatidiri yang dimilkinya tersebut telah disatukan dengan suatu sistem nasional Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika-nya. Dalam situasi ini hubungan-hubungan yang dilakukan terasa simbiosis atau saling menguntungkan, sehingga dalam interaksi-interaksi tersebut mereka menyimpan jatidiri sukubangsanya masing-masing dan menggantinya dengan jatidiri yang lain sesuai kebutuhan peran yang mereka lakukan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam kegiatan-kegiatan perekonomian ataupun pemerintahan. Mereka telah membangun jembatan-jembatan sosial tidak saja diantara sesama masyarakat sukubangsa pendatang namun juga antara masyarakat sukubangsa BBM dengan masyarakat sukubangsa Ambon sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
Sejalan dengan tumbuhnya gejala-gejala reformasi dan isu-isu otonomi daerah maka interaksi-interaksi yang selama ini berlangsung simbiosis melalui jembatan-jembatan sosial yang mereka bangun dengan dukungan uniformisasi sistem nasional yang sentralistik serta pengaruh kebijakan pemerintah yang lebih menekankan pada ke-Ika-an tanpa terlalu memberi perhatian pada ke-Bhinekaa-an maka secara perlahan lahirlah perasaan adanya kesenjangan sosial antara warga masyarakat sukubangsa setempat dengan warga masyarakat sukubangsa pendatang yaitu BBM.
Isu-isu otonomi daerah, khususnya, telah menimbulkan perasaan kepemilikan (sense of belonging) yang sempit pada warga masyarakat sukubangsa setempat. Dihadapkan pada realita adanya dominasi sektor-sektor perekonomian serta birokrasi oleh warga masyarakat BBM, maka kesenjangan sosial tersebut telah menimbulkan perasaan bahwa sukubangsa masyarakat Ambon berada pada tingkat yang lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sukubangsa BBM.
Dengan adanya kesenjangan sosial tersebut maka akhirnya interaksi-interaksi yang dilakukan dipandang subjektif sebagai hal yang merugikan satu pihak, dan dalam hubungan yang seperti ini akhirnya masing-masing pelaku akan menonjolkan jatidiri sukubangsanya.
Sebagai golongan yang merasa di bawah maka perasaan sentimentil akan jatidiri sukubangsa mereka menjadi rentan, seringkali perilaku-perilaku tertentu dari seorang atau sekelompok orang warga sukubangsa BBM mereka anggap telah menistakan jatidiri sukubangsa Ambon. Penistaan atau penghinaan tersebut, dalam pemikiran mereka, dilakukan oleh warga masyarakat sukubangsa BBM, dan mayoritas atribut jatidiri sukubangsa BBM adalah Islam, sehingga manakala terjadi konflik individu, meskipun itu terjadi diantara dua warga sukubangsa Ambon namun berbeda agama, maka dengan cepat konflik tersebut dipersepsikan secara subjektif sebagai suatu bentuk penghinaan terhadap golongan Islam oleh golongan Kristen.
Konflik tersebut dengan mudah telah menyentuh sentimen jatidiri golongan-golongan keagamaan, bahkan lebih jauh telah menyentuh pula jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan. Sentimen jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan secara cepat berpengaruh terhadap tumbuhnya solidaritas, dalam hal ini adalah solidaritas secara negatif, yaitu tumbuhnya perasaan saling dendam dan kebencian diantara kelompok-kelompok yang terlibat konflik tersebut. Jembatan-jembatan sosial yang selama ini menghubungkan mereka akhirnya tidak dapat lagi digunakan dan mereka terbentuk mejadi kelompok-kelompok yang saling memisahkan diri sesuai golongan kesukubangsaan serta keagamaan mereka masing-masing.

  1. Upaya-upaya yang dilakukan.

Berasarkan kajian teoretis diatas, maka yang menjadi pokok-pokok permaslahan yang menimbulkan konflik di Ambon adalah sebagai berikut :
a. Pertikaian antar golongan agama ;
b. Kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh dominasi masyarakat sukubangsa BBM terutama dalam sektor-sektor perekonomian serta birokasi/pemerintahan,
Yang apabila disimak lebih mendalam, kedua pokok permasalahan tersebut akan bermuara kepada permasalahan-permasalahan jatidiri sukubangsa.
Sehubungan dengan hal tersebut maka langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi konflik tersebut serta mencegah agar konflik yang bersifat horisontal tersebut tidak berubah menjadi konflik vertikal, salah satunya, adalah dengan melakukan pembinaan terhadap generasi muda yang merupakan bagian dari kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik tersebut.
Upaya-upaya pembinaan terhadap generasi pemuda tersebut secara sistematik dan komprehensip terbagi dalam tahap-tahap sebagai berikut :

a. Tahap I : Penelitian ilmiah oleh para pakar di bidang ilmu pengetahuan.
b. Tahap II : Pendidikan calon-calon pembina.
c. Tahap III : Pendidikan agen-agen pembaharu (chage agents) .
d. Tahap IV : Pelaksanaan metode CAMPs.
e. Tahap V : Upaya-upaya penggabungan.
f. Tahap VI : Penggabungan.
h. Tahap VII : Kaji ulang.

  1. Teknik pelaksanaan.

a. Tahap penelitian oleh para pakar di bidang ilmu pengetahuan.

Tahap ini telah dilakukan dengan mengirimkan para pakar dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya pakar-pakar ilmu sosial seperti Prof. Dr. Parsudi Suparlan pakar Anthropologi Budaya, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, psi serta beberapa pakar lainnya. Demikian pula kajian-kajian tertulis telah banyak dibuat oleh para ilmuwan yang menganalisa konflik horisontal di Ambon tersebut.
Selanjutnya hasil-hasil penelitian tersebut harus digunakan oleh pihak-pihak terkait yang terbentuk dalam suatu tim terorganisir dengan kegiatan-kegiatan sistematis yang khusus ditujukan untuk melakukan pembinaan terhadap generasi muda dari Ambon maupun di Ambon.
Tidak hanya itu, hasil-hasil tersebut digunakan sebagai bahan dasar pendidikan bagi calon-calon pembina yang dipilih dalam kegiatan pembinaan tersebut.
Kegiatan pendidikan terhadap para calon pembina maupun terhadap agen-agen pembaharu semaksimal mungkin dilakukan langsung oleh para pakar yang berkompeten sehingga tidak terjadi resistensi terhadap materi-materi yang harus dipahami oleh calon pembina maupun agen-agen pembaharu.
Kegiatan penelitian maupun pendidikan dilakukan oleh suatu Badan khusus yang dibentuk pemerintah dan dibiayai oleh pemerintah serta LSM-LSM terkait.
b. Pendidikan calon-calon pembina.
Calon-calon pembina yang dimaksud disini adalah anggota-anggota Polri serta aparat-aparat pemerintah daerah setempat yang berada pada garis depan di daerah konflik dan langsung berhubungan dengan masyarakat.
Calon-calon pembina tersebut semaksimal mungkin bersukubangsa Ambon dan terdiri dari golongan yang beragama Islam dan golongan yang beragama Kristen.
Pendidikan dilakukan di Jakarta dengan pertimbangan untuk memudahkan akomodasi bagi para pendidik, dalam hal ini para pakar di atas, serta untuk menumbuhkan solidaritas diantara sesama anggota sukubangsa Ambon meskipun berbeda pandangan hidup (world view). Hal ini dilakukan dengan dasar pemikiran vahwa pada umumnya pada anggota-anggota suatu sukubangsa yang sama akan tumbuh solidaritas yang tinggi apabila berada dalam keadaan senasib sependeritaan dan jauh dari wilayah tempat tinggal asli sukubangsa mereka serta mereka hidup dan menjalankan kegiatan secara bersama-sama dalam ruang lingkup waktu dan tempat yang selalu bersama-sama.
Materi yang diberikan adalah tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesukubangsaan, permasalahan-permasalahan sosial, psikologi sosial, cara-cara berkonsultasi atau komunikasi sosial serta hal-hal yang berkompeten lainnya.
Materi diberikan langsung oleh para pakar yang berkaitan dengan bidangnya serta dikemas dalam bentuk praktis namun tidak melupakan hal-hal yang bersifat prinsip untuk dihayati dan dipahami.
Tujuan yang diharapkan dengan dilakukannya kegiatan ini adalah Polisi serta aparat pemerintahan setempat yaitu sebagai pembina diharapkan sebagai Watchman, yaitu penjaga keamanan dan ketertiban yang bertingkah laku demokratis yang lentur serta mempunyai wawasan kemasyarakatan yang luas, memahami masalah-masalah dan isyu sosial yang ada dalam masyarakat, sehingga dengan demikian dia dapat menjadi community problem solver sebagai pelaksanaan azas subsidiaritas yang diembannya.
Mereka juga harus mampu mengorganisasikan masyarakat dalam upaya upaya yang dapat menciptakan kondisi yang kondusif dalam pencegahan berlanjutnya konflik.
Mereka melaksanakan tugas pembinaan tersebut didukung oleh adanya kesadaran profesi yang tinggi serta nilai-nilai kejuangan terhadap profesinya tersebut yang akhirnya mereka lebih merasa sebagai pekerja sosial dari pada sebagai alat negara serta lebih merasa sebagai bagian dari masyarakat setempat yang mempunyai tanggung jawab mencegah berlanjutnya konflik.
Kegiatan pembinaan yang dilakukan para pembina betul-betul berdasar kepada kebutuhan masyarakat setempat sehingga kehadiran para pembina tersebut benar-benar diakui keberadaannya oleh masyarakat.

c. Pendidikan agen-agen pembaharu (chage agents) .
Agen-agen pembaharu adalah para pemuda yang berasal dari tempat konflik, serta merupakan bagian dari golongan Islam maupun Kristen. Tujuan dan alasan pembinaan hampir sama dengan kegiatan yang dilakukan terhadap calon-calon pembina, namun mereka lebih ditekankan untuk mengajak warga masyarakat lainnya dalam satu sukubangsa mereka untuk kembali memahami jatidiri masing-masing tanpa mencampur-adukkannya dengan hal-hal yang bersifat kebencian dan dendam.
Tujuan lain adalah untuk menumbuhkan solidaritas serta kebersamaan diantara sesama mereka tanpa membedakan pandangan hidup yaitu agama serta sukubangsa.

d. Pelaksanaan metode CAMPs.

Upaya-upaya yang dilakukan mengacu kepada teknik “community policing” menggunakan CAMPs (istilah yang dikemukakan oleh DAVID H. BAYLEY dalam bukunya POLICE FOR THE FUTURE).
Upaya-upaya tersebut adalah sebagai berikut :
1) Consultation, yaitu membentuk suatu sarana konsultasi yang mempunyai empat fungsi sebagai berikut :
a) tempat masyarakat memberitahu pembina tentang masalah-masalah dan kebutuhan setempat.
b) Pertemuan-pertemuan masyarakat membantu pembina mendidik orang tentang kejahatan dan kekacauan serta menjalin kerjasama masyarakat dalam menghadapi masalah tersebut dan mendorong masyarakat menjadi mitra dalam mewujudkan keamanan masyarakat.
c) Pertemuan-pertemuan masyarakat memungkinkan orang untuk melontarkan keluhan-keluhan tentang polisi dan unsur pemerintah setempat lainnya berhadap-hadapan muka, tanpa dirintangi birokrasi sehingga memberikan kepuasan psikologis bagi masyarakat, sedangkan pembina mendapat kesempatan untuk menyampaikan sudut pandang mereka
d) pertemuan masyarakat memberi informasi kepada pembina tentang keberhasilan usaha mereka.
2) Adaptation, yaitu bahwa dalam melakukan kegiatan para pembina beradaptasi dengan masyarakat, hal ini dapat diwujudkan dengan penyusunan rencana berbagai kegiatan dengan menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi stempat. Langkah pertama dalam adaptasi adalah dengan membentuk komando kewilayahan yang berwenang mengatur wilayahnya sendiri.
3) Mobilization, yaitu kegiatan pembina dalam mencegah berlanjutnya konflik bukan hanya mengandalkan pada usaha sendiri tetapi juga harus dengan meminta bantuan aktif dari masyarakat.
“Misi pokok… adalah untuk memberikan kepemimpinan dan dukungan profesional untuk mendorong dan memperbaiki usaha masyarakat guna mengembangkan suatu program masyarakat-pembina kooperatif dan seimbang guna menghadapi tingkah laku menyimpang dan melanggar hukum”.1)
4) Problems Solving , yaitu berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan setempat secara kooperatif.
Untuk melaksanakan langkah-langkah tersebut tentu pembina harus dibekali oleh wawasan kemasyarakatan, pengetahuan tentang masalah-masalah dan isyu sosial kemasyarakatan serta kemampuan mengorganisasikan masyarakat, dan langkah-langkah diatas bisa dilaksanakan dengan adanya kesadaran profesi serta mengutamakan anggapan bahwa pembina adalah sebagai pekerja sosial dan bagian masyarakat dari pada sebagai alat negara.
Didalam tahap ini dapat juga dimasukan pesan-pesan yang bersifat konstruktif atau pesan yang dapat menimbulkan kesadaran kembali akan jatidiri masing-masing sukubangsa atau jatidiri masing-masing golongan. Kegiatan yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi masyarakat yang butuh hiburan adalah berupa pemutaran-pemutaran film-film dilapangan terbuka yang dilakukan pada tempat-tempat pembinaan dilaksanakan.
Dalam film-film tersebut dapat juga dapat disusupkan pesan-pesan yang dapat menggugah solidaritas yang bersifat positif serta membangun image tentang adanya tokoh pahlawan bersama yang berasal dari sukubangsa Ambon.

e. Upaya-upaya penggabungan.
Setelah dilakukan pembinaan serta kegiatan-kegiatan mempengaruhi oleh agen-agen pembaharu harus dilakukan upaya-upaya penggabungan yang dicoba dalam bentuk kegiatan bersama-sama yang diwakili oleh sekelompok anggota dari masing-masing sukubangsa atau golongan keagamaan atau pihak-pihak yang terlibat konflik.
Apabila hal diatas dinilai cukup baik maka dilakukan tindak lanjut berupa kegiatan-kegiatan yang sama oleh perwakilan yang berbeda dari masing-masing pihak. Namun apabila hasilnya menunjukan adanya potensi konflik yang baru maka kegiatan dihentikan dan pembinaan serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh agen-agen pembaharu diintensifkan kembali.
f. Penggabungan
Kegiatan percobaan untuk penggabungan tersebut diulang-ulang sehingga menghasilkan penggabungan yang optimal. Penggabungan dilakukan secara bertahap. Menurut ukuran jumlah serta dengan memperhatikan pranata-pranata yang berlaku dalam masing-masing masyarakat sukubangsa tersebut.
g. Kaji ulang.
Kaji ulang terus dilakukan dalam kerangka ilmiah maupun teknis pelaksanaan dengan tujuan untuk semakin meningkatkan situasi kondusif yang sudah terbentuk, serta mencegah kembali munculnya konflik baru.

Seluruh kegiatan dilakukan oleh unsur Polri maupun aparat pemerintah setempat yang paling dasar, yaitu mereka yang berada paling depan, karena mereka yang lebih mengetahui realita kehidupan serta permasalahan yang terjadi, sedangkan unsur unsur pusat yaitu Mabes Polri serta Pemerintah Pusat berfungsi sebagai pendukung anggaran serta sarana dan prasarana maupun kepentingan-kepentingan pendidikan dan pendukung kegiatan lainnya.

  1. P e n u t u p.

Konflik horisontal yang terjadi di Ambon bersumber dari permasalahan kesukubangsaan yang terutama berkaitan dengan jatidiri sukubangsa yang dinilai telah dinistakan atau dihina oleh sekelompok warga anggota sukubangsa lainnya. Oleh karena itu upaya yang perlu dilakukan adalah bagaimana meningkatkan kembali kesadaran akan kesukubangsaan yang dapat hidup dan berinteraksi dengan sesama sukubangsa lainnya.
Yang menjadi sasaran dari upaya yang dilakukan terutama dalah generasi muda, karena generasi muda diharapkan akan menjadi pelopor serta penerus dilakukannya interaksi-interaksi yang dapat mewujudkan hubungan antar sukubangsa yang bersifat simbiosis.

Jakarta, 15 Desember 2000

BAHAN MILIK STIK PTIK

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Situs Web WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: