Beberapa diskusi muncul pasca inside serangan teror yang dilakukan oleh para lone wolf Dan lone wolfes di Indonesia bahkan di Dunia International.
Sebagai sebuah kajian tentang trend serangan teror secara data dapat diambil beberapa informasi yang menunjukkan banhwa , serangan ( modus operandi ) teror senantiasa berubah.

Pendapat ini sesuai denga bagaimana gambaran dari “the wave of terrorism” yang di konsepkan oleh David C. Rapoport (2004: 47) tentang evolusi terorisme selama 130 tahun terakhir sejak abad 19 di Eropa Dan Dunia. Rapoport menemukan bahwa ada 4 (empat) gelombang terorisme modern.
Gelombang I (Anarchist wave) berawal dari lambannya proses demokratisasi di Rusia yang berujung kepada tumbangnya Tsar Rusia oleh sebuah revolusi berdarah.
Gelombang ke-2 (Anticolonial wave) bermula tahun 1920-an, ketika faksi garis keras gerakan nasionalis melibatkan taktik teror dalam perjuangannya atau aspirasi nasionalis dengan aplikasi taktik teror;
Gelombang ke-3 (New left wave) yang masih tersisa di Nepal, Spanyol. Peru dan Kolumbia.
Sedangkan gelombang ke-4 (Religious wave) bermula sejak akhir 1970-an sampai saat ini.
Kemudian studi berikutnya adalah dari Jason Thomas Destein (2015) akhirnya melengkapi teori dari Rapoport diatas dengan menyebutkan bahwa saat ini telah muncul wave kelima yakni gelombang Balas dendam, “Revenge” oleh kelompok semi states, Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa isu pertentangan identitas berupa religious ternyata tidak cukup untuk menarik minat seseorang menjadi lone wolf ,dibutuhkan isu lain misalnya ( kesenjangan ekonomi, akses kesejahteraan ,praktek diskriminasi dan kebijakan negara berbasis perbedaan identitas SARA )
wave of terrorism memberikan wawasan kepada Kita bahwa aktor, target, locus ,modus dan tempus serangan senantiasa berubah Dan sangat dinamis. Merujuk pengalaman atas serangan teror yang mendera Indonesia sejak bom Bali I terlihat adanya lompatan -lompatan Pola serangan.
1. Menggunakan Bom Mobil atau setidaknya Bom ransel, kasus Bom Rusun Tanah Tinggi, mall cijantung , atrium senen ,Bom Bali 1 Dan II , semuanya dilakukan dengan massif, berskala besar , melibatkan aksi pengantin Bom bunuh diri, sasaranya jelas adalah identitas Barat seperti Amerika , Australia atau juga Inggris.
2. Pola berikutnya, pasca penangkapan besar besaran dan upaya gakkum yang tegas, jaringan teror mulai merubah Pola serangan dengan melakukan aksi hit and run dengan sasaran Polisi yang diterjemahkan sebagai near enemies yakni mereka yang dianggap merintangi upaya serangan terhadap identitas Barat ( far enemies) di Indonesia, sejak saat itu kerap terjadi (sampai sekarang) penembakan terhadap personal Polri dilapangan maupun percobaan meracun kantin dan supply air minum isi ulang yang kerap didatangi anggota Polri.
3. Trend selanjutnya adalah serangan serangan tunggal yang dilakukan oleh para lone wolf dan wolfes berupa active shooter ( mohon maaf saya belum menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia yang tepat untuk active shooter ) maupun MTFA : Marauding terrorist firearms attacks , bentuk seranganya adalah pelaku tunggal atau team dengan bermodalkan senjata api atau sajam seadanya saja termasuk beberapa Bom rakitan skala kecil : kasus Bom kampung melayu, percobaan Bom panci depan istana , insiden Sarinah Thamrin Dan termasuk penyerangan di Mapolda Riau, Sumut , Polresta Surabaya, Polres Banyumas, di Polsek Wonokromo dan beberapa lokasi lainnya.
Dari berbagai lompatan -lompatan Pola serangan teror di Indonesia dapat Kita dapatkan beberapa pengetahuan baru :
1. Respon cepat Polisi di lapangan merupakan hal mutlak, setiap Polisi dilapangan memiliki tugas untuk melakukan respon awal sebelum Tim taktikal dari CRT Densus 88 maupun Satwanteror Gegana Tiba di TKP.
2. Tugas Polisi ( apapun tugas dan fungsi struktural ) bertugas untuk melakukan upaya 4 C yakni :
– COUNTER atau lawan semampunya dulu,
– CORDON atau giring pelaku ke satu sudut termasuk menggiring masyarakat keluar dari lokasi kontak ,
– CLOSE yakni menutup TKP agar tidak banyak orang yang ingin tahu masuk ke lokasi kontak , Dan terakhir adalah
– CALL atau panggil bantuan yakni pasukan Taktikal dengan menyiapkan lokasi brefing cepat , akses keluar masuk dan lokasi screening untuk memilah mana pelaku dan mana korban.
4. Terdapat peran utama setiap Polisi di TKP adalah untuk SAVING PEOPLE’S LIVE , artinya menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin dengan cara langsung bergerak ke sumber tembakan atau ancaman, tujuanya adalah BUYING TIME mengulur waktu agar team taktikal CRT dan Wanteror Gegana sempat datang untuk melakukan penindakan , ada peran vital lainnya adalah untuk GATHERING INTELLIGENCE yakni mengumpulkan data awal dari pelaku yakni Siapa, berapa, apa cirinya ,bawa senjata apa untuk nanti peran lanjutan dari seorang petugas Polri dilapangan adalah SCOUTING atau memandu Tim taktikal yang datang ke TKP pasti dalam keadaan “Buta Dan Tuli”.
konsep inilah yang disebut dengan RASI ( response on active shooter incident) maupun MTFA itu sendiri, perbedaan antara RASI Dan MTFA sebenarnya simple saja yakni kepada kiblat yang memberikan program pelatihan ,sedangkan persamanya adalah bagaimana Polisi di Lapangan mampu bereaksi dengan cepat dan tepat dilapangan sebelum Tim taktikal tiba.
Seperti Kita ketahui saat tragedy Mumbay maupun kasus serangan active shooter di Colorado Amerika maupun kasus penyanderaan bus wisata di Philipina terdapat beberapa fakta yang harus menjadi bahan refleksi Polri.
1. Saat terjadi serangan teror dengan Pola active shooter tidak boleh lagi Polisi non taktikal HANYA bertugas untuk pasang police line dan menunggu Tim taktikal tiba, namun setiap Polisi dilokasi harus segera lalukan tugas 4C tadi, artinya adalah setiap anggota Polri mengetahu, mengerti dan memahami bagaimana melakukan tactical progression yakni two men go bahkan one man go dengan senpi yang dimiliki , artinya lagi adalah setiap anggota Polri harusnya telah dibekali latihan cara menggunakan senpi secara benar, tahu cara manuver di lorong, gedung dan setidaknya bisa membedakan cara membuka pintu secara taktis.
2. Perlunya pusat kendali operasi berupa operator HT maupun pusat CCTV yang bisa diandalkan, syukurlah saat ini hampir setiap Polda memiliki Mobil komando taktis yang dipercayakan kepada Resmob Polda termasuk beberapa Polda dan Polres yang telah memiliki Command Centre yang bisa dipakai memantau untuk mengendalikan operasi penindakan. Cuma apakah operator dan alat alat yang ada dalam keadaan siap pakai dan pernah berlatih manajemen insiden active shooter ?
3. Pelajaran dari kejadian penyanderaan Bus di Philipina dan serangan minggu Paskah di Sri Lanka adalah bagaimana kontradikasi peran media Massa terutama sosmed berbasis internet justru menjadi boomerang bagi upaya penanggulangan ancaman, insiden Bus wisata di Philipina adalah bukti bagaimana konsep first to know dan first to share akhirnya berujung pada timbulnya hampir 23 sandera tewas, sebaliknya adalah insiden yang berhasil diantisipasi oleh Pemerintah Sri Lanka dengan menutup semua akses internet pasca serangan teror, ternyata pola yang sama berhasil dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pasca insiden serangan teror.
Bagaimana Polri merespon
Melihat trend serangan yang sedemikian dinamis maka respon Kita adalah:
Alternative 1. Menempatkan, sebar habis setiap team CRT dan Gegana Brimob yang ada, cara ini sangat efektif namun tidak efisien yakni berapa lama dan bagaimana dukungan lainnya dalam operasional di lapangan.
Alternative kedua adalah dengan membekali setiap anggota Polisi khusunya yang bertugas langsung dilapangan ( Polri berseragam) dengan kemampuan taktikal seperti materi tactical progression yang pernah diajarkan maupun mencuplik beberapa materi tanggap darurat yang diajarkan pada materi Wanteror maupun CRT.
Pilihan kedua juga mensyaratkan bahwa perlunya wish pimpinan untuk mau menyelenggarakan latihan taktikal ini di lingkup tugasnya termasuk mau atau tidak menggandeng Satbrimob setempat sebagai narasumber, namun yang paling utama adalah menjadikan Materi taktikal : menembak reaksi, manuver buddy system , manajemen insiden, P3K dan penguasaan prosedur alat komunikasi menjadi materi pokok yang diajarkan di sekolah pembentukan Brigadir, Akpol bahkanada pendidikan SIP, Sespim dan PTIK.
Semoga materi materi diatas ada dan dipertahankan dalam silabus pendidikan dan latihan Polri yang PRESISI
Tinggalkan Balasan