
Didasari pada fakta bahwa Indonesia perlu mencermati pola Residivisme di kalangan pelaku terorisme, hal ini tidak lepas dari fakta selama 18 bulan kedepan akan banyak pelaku teror yang dibebaskan, dan tantangan untuk aparat aparat adalah memahami faktor faktor yang bisa membuat pelaku tersebut kembali terlibat dengan organisasi ekstremis.
Residivis sendiri memiliki arti yaitu pengulangan suatu tindak pidana oleh pelaku yang sama, yang mana tindak pidana yang dilakukan sebelumnya telah dijatuhi pidana dan berkekuatan hukum tetap, serta pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu, sedangkan Hukum Pidana Indonesia mendefinisikan bahwa residivisme sebagai perbuatan pelanggaran berulang yaitu sama atau mirip dengan kejahatan pertama, dalam jangka waktu tertentu setelah pembebasan.
Organisasi IPAC mendata bahwa terdapat 94 Residivis sejak tahun 2002 – 2020 dengan beberapa kategori yaitu :
- Diadili untuk pelanggaran teroris kedua kalinya setelah dihukum dan dibebaskan dari kasus teror sebelumnya.
- Terlibat kembali dalam terorisme setelah dibebaskan dan kemudian terbunuh dalam operasi Counter Terrorisme oleh pihak Polisi.
- Pergi ke Suriah atau bergabung dengan organisasi jihad lain setelah bebas dari kasus terorisme sebelumnya.
- Diadili untuk pelanggaran teroris kedua yang dilakulan di penjara saat menjalani hukuman untuk kasus terorisme yang pertama.
Secara umum setidaknya terdapat 3 kelompok besar yang mendorong seseorang untuk kembali termotivasi dan terdorong melakukan aksi residivis antara lain :
- Poso ( Mujahiddin Indonesia Timur / MIT)
- Aceh ( Kamp Pelatihan di Aceh tahun 2010)
- ISIS dan Konflik Suriah
Kasus Residivis tidak hanya terjadi pada pelaku yang pelanggaran pertamanya adalah kasus terorisme, tak banyak kasus Residivis di Indonesia terjadi pada pelaku yang pelanggaran pertamanya yaitu kejahatan umum seperti Narkoba, perampokan dan pembunuhan kemudian terhasut paham paham radikal di penjara dan setelah dibebaskan melakukan tindak pidana terorisme.
Program BNPT saat ini sebagian besar dianggap belum efektif karena bersifat sukarela, sehingga banyak Narapidana yang tidak tertarik, BNPT saat ini lebih berfokus kepada bagaimana menanamkan kembali kesetiaan kepada NKRI daripada memberikan tujuan baru, juga bukan memberikan keterampilan yang bermanfaat untuk menunjang kebutuhan ex Napi nanti atau mencegah ex Napi kembali mengakses jaringan baru.
Secara konvensional adalah bagaimana menjauhkan pengaruh keluarga dan lingkungan asal teroris agar seorang teroris yang sedang menjalani hukuman tidak mengulangi perilaku residivisme kewlak dikemudian hari, pendapat ini sebagaimana adanya saran dari seorang teroris yang ditahan, adalah tepat jikalau diketahui bahwa keluarga maupun lingkungan seorang tahanan teroris yang memiliki latar belakang radikal, maka individu yang bersangkutan sebaiknya ditahan dipenjara yang jauh dari kemungkinan kunjungan keluarga, walaupun dengan resiko adanya organisasi-organisasai amal ekstremis untuk datang membantu dengan memberikan dana kepada keluarga pelaku untuk dapat mengunjungi pelaku yang sedang ditahan.
Strategi yang lebih baik dan telah diterapkan dibeberapa bidang adalah dengan : menjadikan setip otoritas penjara membuat profiling dengan mengetahui anggota keluarga yang datang berkunjung dan melihat apakah ada peluang sekecil apapun untuk mengidentifikasi kebutuhan atau peluang melakukan reedeukasi dan reintegrasi, wujudnya bias saja seperti tawaran bantuan berobat kepada keluarga Napiter yang sakit, maupun bantuan lainnya yang berfokus kepada bagaimana membangun kedekatan hubungan dengan sentuhan kemanusiaan daripada memaksakan pola deradikalisasi atau menyerang idology to ideology yang dipahami secara yang justru malah semakin mengeraskan ideology radikal yang dianut sebelumnya.
Sebagai strategi penanganan terorisme yang dilaksanakan adalah melalui upaya: Penegakkan hukum, melakukan kegiatan reedukasi dan reintegrasi, memberikan pembinaan kepada masyarakat dan melakukan upaya pendekatan kesejahteraan, sebagai sebuah daur kegiatan yang bersifat dinamis dan tanpa henti.
Otoritas Indonesia memposisikan bahwa tidak ada kegiatan deradikalisasi apalagi reedukasi dan reintegras tanpa didahului oleh upaya penegakkan hukum yang tegas berupa operasi penangkapan, pintu masuk program deradikalisasi adalah lewat status tersangka lebih dahulu, dengan adanya proses penegakkan hukum maka upaya deradikalisasi dapat dilakukan untuk menginternalisasi kembali nilai nilai kebangsaan sebagai wujud kehadiran negara ditengah masyarakat, dengan berbagai dinamika yang senantiasa disempurnakan, upaya reedukasi untuk tahanan dan napi bertujuan untuk memberikan wawasan alternative selain narasi radikal yang telah mereka dapat sebelumnya, membuka Kacamata Kuda dan membuka wawasan menjadi lebih luas dan moderat.
How to hack them back and put them as the winner against terrorism, sebagai philosophy untuk mencegah terjadinya fenomena residivisme pelaku terorisme akibat belum selesainya upaya reintegrasi Napi dengan keluarganya maupun dengan masyarakat dilingkungannya.
Berangkat dari adanya stigmatisasi kemudian yang kemudian menguat menjadi polarisasi identitas yang justru menguatkan kembali identitas “AKU” dan “KALIAN”. Untuk itu pemahaman yang dibangun oleh otoritas Indonesia adalah dengan memposisikan ex Napi terror sebagai pemenang dari perjuangan mengubah pemahaman serta proses keluar dari kelompok radikal.
Tinggalkan Balasan