Ijin curah pendapat, menanggapi insiden. MTFA terhadap beliau Bpk Wiranto.
Political assassination.
adalah suatu upaya pembunuhan terhadap tokoh tokoh politik.
Metode serangan ini telah berlangsung sejak lama , bahkan Perang Dunia I pecah gara gara political assassination terhadap seorang bangsawan Eropa.
Motode ini mengalami berbagai perumahan, memang yang Paling hit adalah di era terrorism new left dengan identitas Red Army Brigade, maupun identitas new left era 60-70an Masa itu.
Namun metode serangan ini tampaknya menjadi pilihan Paling rasional selain active shooter maupun Bom bunuh diri, metoda direct attack seperti kejadian terhadap Bapak Wiranto dapat dikatakan memang bertujuan untuk melukai bahkan membunuh beliau, namun juga lebih kepada untuk menunjukan eksistensi kepada otoritas negara bahwa tidak ada sejengkal tanah yang aman di Indonesia bagi Aparat Negara, ataupun setidaknya para Pelaku ingin meneruskan pesan bahwa Lone Wolf dan Wolves jaringan teror masih ada dan eksis menebar teror ditengah masyarakat
Kalkulasinya adalah: Metode serangan dilakukan oleh 1 orang lelaki, dewasa (pihak Polri juga mengamankan seorang wanita yang saat kejadian tepat berada di samping pelaku), menggunakan senjata tajam berupa pisau/ belati ( semoga tidak beracun dan masih menunggu penyelidikan)
sebagai upaya percobaan pembunuhan , serangan ini terbilang sangat prematur dibandingkan kasus-kasus sebelumnya, pelaku atau jaringan tampaknya tidak paham bagaimana seharusnya pengamanan bagi pejabat seperti Menteri yang sudah pasti memiliki SOP pengawalan melekat maupun dari Satuan wilayah.
Bisa jadi Pelaku adalah anggota pada jaringan teroris yang berafiliasi dengan jaringan teror besar di Indoensia, dimana pada jaringan tersebut memiliki sebaran doktrin “Firoqul Maut Wal Ightiyaalaat” (kelompok – kelompok pembawa maut dan pembunuh senyap) untuk melakukan Ightiyalat dan Inghimas, dimana konsep Ightiyalat diterjemahkan sebagai sebuah operasi pembunuhan mendadak / cepat namun senyap terhadap sasaran tertentu yang menjadi lawan.
Ightiyalat merupakan operasi yang melibatkan taktik maupun sarana Militer karena harus senyap dengan inti utamanya adalah pertimbangan atas masalah keamanan (security) jaringan pasca operasi dilakukan, sedangkan Inghimas adalah serangan yang mampu menerobos ke jantung pertahanan musuh dengan korban efektif dan efek kejutan yang tidak kalah dahsyat karena dilakukan secara terbuka dan terang-terangan.
Kejadian political assassination di Indonesia pernah beberapa kali terjadi, mulai pelemparan Granat di Sekolah perguruan Cikini, penembakan terhadap Presiden Soekarno sampai kepada pembunuhan Hakim Syafiudin Kartasasmita oleh Tomi Soeharto dan insiden serangan terhadap bapak Matori Abdul Djalil saat beliau menjabat Menhan beberapa tahun lalu.
Learning points yang bisa Kita jadikan telaah adalah :
- Prosedur Pam melekat atau biasa Kita sebut dengan close protection saat di TKP terkesan seperti protokoler, pahami bahwa Petugas close protection entah 1 atau 2 bahkan lebih banyak agent tugasnya adalah menjadi barrier dari VIPs. Fatal hukumnya seorang close protection diperintahkan membawa tentengan apapun di kedua tangan, bahkan Hp dan HT, kedua belah telapak tangan harus lepas bebas untuk melakukan penangkalan segera.
- Peran Kapolsek sudah tepat di di titik terdekat dari VIPs keluar yang disayangkan adalah justru Polantas maupun Kapolsek saat berhasil menjatuhkan Pelaku, yang terlihat justru kebingungan mencari Borgol, barang kecil tapi sulit untuk ada dipinggang Polisi di Lapangan( sampai saat in Borgol dan sejenisnya adalah barang aneh, hanya beberapa Perwira dan anggota saja yang mau dan aware dengan all set Police gear ).
- Demikian juga terhadap petugas yang bertugas sebagai Walpri pejabat Negara atau VIPs, perlu sering dan rutin dievaluasi dan dites kesiapan fisik dan mentalnya secara berkala, minimal diselenggarakan tes menembak dan kontra reaksi saat mengambil perpanjangan Springas Walmpri di kesatuan asalnya, kalau nembak reaksi saja sudah tidak becus dan TKJ hampir kolaps, maka sebaiknya personil yang bersangkutan jangan kelamaan menjadi Walpri, mungkin akibat tidak pernah latihan akhirnya malah lupa cara close protection, jadi Walpri bukan sekedar modal penampilan yang eye catching namun lebih kepada sikap profesional didukung memory muscle yang terlatih sebagai seorang protector.
Dari pelajaran tadi saya perlu sampaikan sebagai perbandingan SOPs dalam bertugas khususnya saat melaksakan pemindahan , pengawalan sidang Tahanan dan Napi kejahatan umum apalagi kejahatan terorisme.
Biasanya saat giat pemindahan Napi akan menjadi daya tarik tertentu bagi masyarakat untuk melihat langsung, mendekat dan tentunya ingin mengambil gambar, ini artinya akan semakin sempit dan makin mengecil ruang steril, sebagai buffer zone antara akses publik dan akses terbatas yang digunakan sebagai batas reaksi petugas pengawal bila terjadi serangan.
Bahayanya adalah terjadi serangan yang ternyata bukan ditujukan kepada Napi atau Tahanan namun justru kepada petugas Polri yang melaksanakan pengawalan, apalagi ” nilai jual ” seorang Brimob dan personil Densus 88 yang bisa dilukai menggunakan cutter, pecahan botol , sangkur maupun dilempar sendal , adalah sangat luar biasa bagi jaringan terorisme di Indonesia.
Dalam proses manajemen jika kita malas peduli terhadap salah satu elemen manajemen maka hasilnya tidak optimal, kadang rencana bagus, pengorganisasian bagus, pelaksanaannya teledor karena pengawasan atau evaluasi yang tidak dilaksanakan setiap setelah melaksanakan tugas, akhirnya PAM VVIP dianggap sebagai tugas rutin dan selama ini sebagai fenomena begitu-begitu saja karena aman (belum pernah kejadian)
Dengan pola kunjungan model beliau Presiden Joko Widodo yang dalam setiap kegiatan lebih banyak model blusukan dan menyapa langsung warga hal itu hampir diikuti oleh seluruh Pejabat Pemerintah di bawahnya, kenyataannya masyarakat memang jauh lebih senang dengan model kepemimpinan yang seperti itu, bahwa sebagai pimpinan tetep mau menyapa masyarakat kecil lewat interaksi blusukan itu.
Tidak ada yg salah dengan hal kebiasaan yang dilakukan oleh pimpinan yang kemudian membawa impact kepada pimpinan lain utk menjalankan kebiasaan pimpinan tertinggi di Republik ini, yang jadi permasalahan, adalah petugas pengamanan VVIP/ VIPs berkolaborasi dengan Satuan Kewilayahan ( Polda dan Polres) di bagian apapun harus memiliki kompetensi lebih dalam menjalankan tugasnya.
Tidak ada bagian yang lebih penting dalam pengamanan VVIP, setiap bagian sama pentingnya, ketika satu bagian merasa paling penting disitulah letak kelemahan dan resiko kebocoran yang akan berpeluang menimbulkan bahaya terhadap objek yg kita amankan
Mulai sekarang tetap waspada selalu, kuncinya adalah setiap bagian, penting dalam pelaksanaan pengamanan sama seperti kopi, kenikmatan kopi diciptakan dengan memperhatikan setiap detail prosesnya.
Waspada Harus, Bodoh Jangan
Dengan adanya gerakan mencurigakan, dengan insting kita yang terlatih, harus melaksanakan pengamatan secara terus terhadap sasaran yang mencurigakan, Banyak faktor yg mengakibatkan kejadian tersebut bisa terjadi.
Apapun yang terjadi buatlah diri kita selalu waspada sebagai Bhayangkara sejati, Kejadian seperti itu bisa menimpa siapa saja dan kapan saja dan dimana saja, bisa saja besok mungkin kita yang berada dalam posisi itu, tetaplah bijak dan keep calm dalam memaknai semua fenomena ini.
Tinggalkan Balasan