belum juga rampung urusan WNI yang disandera oleh kelompok abu Sayyaf dan sempalannya , malah terjadi lagi kasus serupa di wilayah yang juga nyaris sama .
tentunya bagi pemerintah Indonesia akan semakin meradang, ketika tanggung jawab menghadirkan kembali negara dalam bentuk kapasitas melindungi WNI dimana saja berada menjadi sebuah pertanyaan , dan pertanyaan itu pastilah sama ditujukan rakyat Malaysia dan Philipina terhadap akuntabilitas negara mereka masing masing melindungi warganya ( kebetulan peristiwa ini terjadi menimpa ketiga negara : Indonesia , Philipina dan Malaysia sebagai tetangga ASEAN).
sebelum memutuskan apakah akan menggelar opsi lunak agak keras, maupun opsi keras berupa pelibatan kekuatan Militer adalah lebih bijak menakar lebih dulu kekuatan dari kelompok Abu Sayyaf dan sempalan-sempalan dibawahnya, sebuah analisa dengan melihat nenerapa aspek antara lain :
Pertama : aspek legalitas khususnya asas hukum yang berlaku secara Internasional yang mau tidak mau akan menjadi peluang sekaligus bisa jadi penghalang kepentingan antara ketiga negara yang sedang menghadapi krisi penyanderaan ini, Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat yaitu :
- Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial).
- Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif.
Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya hukum pidana menurut ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat :
- Asas Teritorial.
- Asas Personal (nasional aktif).
- Asas Perlindungan (nasional pasif)
- Asas Universal.
Asas Teritorial : Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.
Pasal ini dengan tegas menyatakan asas territorial, dan ketentuan ini sudah sewajarnya berlaku bagi Negara yang berdaulat. Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang asing. Sedang dalam asas kedua (asas personal atau asas nasional yang aktif) menitik beratkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempermasalahkan tempat terjadinya perbuatan pidana.
Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada.
Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
Ketentuan ini memperluas berlakunya pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa perahu (kendaraan air) dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia.
Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan laut wilayah Negara lain.
Asas-asas Extra Teritorial / kekebalan dan hak-hak Istimewa (Immunity and Privilege).
- Kepala Negara asing dan anggota keluarganya.
- Pejabat-pejabat perwakilan asing dan keluarganya.
- Pejabat-pejabat pemerintahan Negara asing yang berstatus diplomatik yang dalam perjalanan melalui Negara-negara lain atau menuju Negara lain.
- Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin.
- Pejabat-pejabat badan Internasional.
- Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer / ABK diatas kapal maupun di luar kapal.
Asas Personal Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga Negara yang sedang berada dalam wilayah Negara lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat.
Apabila ada warga Negara asing yang berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan tindak pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum Negara tersebut maka berarti bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut.
Pasal 5 KUHP hukum Pidana Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesa di luar Indonesia yang melakukan perbuatan pidana tertentu Kejahatan terhadap keamanan Negara, martabat kepala Negara, penghasutan, dll.
Pasal 5 KUHP menyatakan : “(1). Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.
(2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan”.
Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif) karena : Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional.
Sedangkan untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan hukum pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial wilayah Negara.
Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga Negara asing yang berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara Indonesia (naturalisasi).
Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang disana merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, karena mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan di Indonesia, yang penting adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan dilakukan diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.
Ketentuan pasal 6 KUHP : “ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”.
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah untuk melindungi kepentingan nasional timbal balik (mutual legal assistance). Oleh karena itu menurut Moeljatno, sudah sewajarnya pula diadakan imbangan pulu terhadap maksimum pidana yang mungkin dijatuhkan menurut KUHP Negara asing tadi.
Asas Perlindungan, Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara
Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976) “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia :
- Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
- Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
- Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu;
- Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional (universal).
Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu :
1) Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
2) Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
3) Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)
4) Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia (pasal 4 ke-4)
Asas Universal Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yan dibajak.
Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).
Pasal 7 KUHP “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonsia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua”.
Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang sebagian besar sudah diserap menjadi tindak pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435) telah dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu.
Dalam hal demikian apakah pasal 7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14” Pasal 8 KUHP “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam ordonansi perkapalan”.
Dengan telah diundangkannya tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana / prasarana penerbangan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A. pertimbangan lain untuk memasukkan Bab XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8 KUHP adalah juga menjadi kenyataan bahwa kejahatan penerbangan sudah digunakan sebagai bagian dari kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir pasal 9 KUHP.
Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum-hukum internasional.
Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :
- Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka.
- Duta besar Negara asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial.
- Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal perang adalah teritori Negara yang mempunyainya
- Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.
dengan membaca berbagai pertimbangan legalitas diatas, selain pelik terkandung maksud adanya pengakuan atas kedaulatan wilayah yang sifatnya absolut namun masih terdapat peluang untuk kerjasama.
Studi kasus pada peristiwa pembajakan pesawat Woyla di Bandara Don Muang Thailand adalah bagaimana Pemerintah Indonesia melalui agen agen dilapangan berhasil meyakinkan pemerintahan Thailand untuk memberikan ijin masuk dan melakukan upaya penindakan oleh tentara Indonesia saat itu, pun demikian pada saat terjadinya pembajakan kapal oleh kelompok perompak Somalia, Pemerintah Indonesia memperoleh ijin pemerintah Somalia yang sedang bergolak dan dikategorikan sebagai negara gagal akibat ketiadaan pemerintah yang mampu, pada akhirnya Pemerintah Indonesia mengutus satuan tugas TNI untuk melakukan upaya pembebasan sandera
Antara Thailand dan Somalia tentunya berbeda dengan kondisi Philipina saat ini, selain sebagai negara yang berdaulat penuh adalah adanya dukungan pemerintah Asing ( Amerika) di sana, lain cerita dengan bila rakyat Israel yang disandera, diyakini walaupun berada jauh dari Tel Aviv , tidak segan dan tanpa perlu permisi satuan militer Israel pasti akan merangsek ke Mindanao dan sekitarnya sebagaimana pernah terjadi di bandara Entebbe Uganda tahun 1976 http://global.liputan6.com/read/2265276/4-7-1976-35-menit-dramatis-saat-3-hercules-bebaskan-100-sandera
cukup panjang lebar membahas aspek Legalitas yang pada akhirnya menjadi konklusi adalah upaya menghadirkan kekuatan militer sebagai opsi kekuatan keras merupakan hal yang hampir tidak akan terjadi, pendapat ini dikarenakan antara lain :
- Indonesia belum mendapatkan ijin dari pihak Philipina untuk menghadirkan kekuatan Militer terbaiknya guna menggebuk kelompok abu sayyaf di persembunyiannya.
- Dengan belum adanya ijin sebagai konsekuensi belum adanya kerjasama militer antara kedua negara yang memberikan peluang pengiriman kekuatan bersenjata, Indonesia dan Philipina serta malaysia adalah bagian dari keanggotaan ASEAN yang bukan merupakan organisasi pakta kekuatan militer, walaupun terdapat forum ASEANAPOL yang kerap menjadi jembatan komunikasi, yuridis dan lembaga kerjasama bidang penegakkan hukum khususnya kejahatan transnasional.
Hitung-hitung aspek kedua adalah masalah peta kekuatan kelompok Abu Sayyaf itu sendiri, keputusan mengirimkan kekuatan Militer Indonesia haruslah penuh kehati -hatian dan pertimbangan masak.
pendapat diatas bukan pesimis dan tidak sama sekali meragukan kekuatan dan kemampuan Militer Indonesia saat ini yang sudah dibangun dengan sedemikian rupa memenuhi standar kekuatan minimum yang ideal bagi negara kepulauan NKRI ini.
kelompok Abu Sayyaf memiliki sejarah cukup panjang untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Philipina walaupun secara samar samar pemerintah Philipina sudah dibantu dalam berbagai program asistensi dan kerjasama latihan militer dengan Amerika.
Diketahui sampai sekarang bahwa di Filipina Selatan terdapat tiga kelompok perlawanan yang menonjol yaitu Moro National Liberation Front (MNLF), Moro Islamic Liberation Front dan Abu Sayyaf Group (ASG). Ketiga kelompok ini memiliki tujuan yang sama yakni mendirikan sebuah Negara theokrasi Islam dan pembangunan ekonomi wilayah mereka.
Kelompok Abu Sayyaf yang diperkirakan lahir di Basilan (Juga tempat utama operasinya), dikenal sebagai Al Harakat Al Islamiyya (Harakatul Islamiyah). Kelompok Abu Sayyaf adalah sebuah kelompok separatis yang terdiri dari milisi Islam yang berbasis di sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan, Zamboanga dan Mindanao.
Penggunaan nama Abu Sayyaf sebagai nama kelompok ini karena nama ini bisa jadi diambil dari nama Profesor Abdul Rasul Sayyaf yang merupakan nama pejuang Mujahidin di Afganistan. Walaupun demikian, Kelompok Abu Sayyaf dirikan oleh Abdurajak Abubakar Janjalani, bekas anggota Front Nasional Pembebasan Moro pada awal 1990an di Basilian yang kini menjadi basis utama Kelompok Abu Sayyaf.
Pada bulan Maret-April 2001 mereka menjadi perhatian masyarakat luas melaui operasi penculikan dan penyanderaan. Pada awal kelompok ini berdiri, pada tahun 1991 mendapatkan perhatian dari masyarakat melalui aksi pemboman, penculikan dan kejadian-kejadian lainnya di sekitar Zamboanga.
Pemimpin Kelompok Abu Sayyaf, Abdurajak Janjalani pernah menjadi anggota MNLF dan pengkritik keras kepemimpinan Nur Misuari di dalam MNLF. Saat masih menjadi anggota MNLF, pernah dikirim ke Libya untuk menjalani pelatihan keagamaan. Lima tahun kemudian setelah kembali ke Basilan, dengan dibantu beberapa kaum muda MNLF, ia menjadi penceramah yang kharismatik dan seorang penggagas pendirian Negara Islam di Mindanao, Filipina Selatan.
Abdurajak Janjalani bersama kelompoknya merupakan kelompok yang tidak menyetui dilakukannya proses perdamaian antara MNLF yang tidak menyetujui dilakukannya proses perdamaian antara MNLF dan Pemerintah Filipina.
ABDURAJAK JANJALANI pada tanggal 18 desember 1998 terbunuh dalam suatu pertempuran dengan polisi di kampong Lamitan Provinsi Basilan tetapi pendukung Abu Sayyaf tetap melanjutkan perjuangan melalui penculikan, pemboman dan pengumpulan uang secara paksa.
KHADAFI JANJALANI (saudara Abdurajak Abubakar Janjalani) kemudian menjadi pemimpin Abu Sayyaf. Tujuan utamanya masih sama yakni mendirikan sebuah Negara Islam. Kelompok Abu Sayyaf sempat dipimpin oleh Khadaffi Janjalani sebelum akhirnya meninggal pada 4 September 2006 lalu dalam aksi sebuah operasi penangkapan di wilayah selatan. Amerika Serikat disebut-sebut berada dibalik Aksi tersebut, Kemudian Khadafi Janjalani pun akhirnya meninggal dunia, ia kemudian digantikan oleh ABU SULAIMAN yang juga terbunuh pada Januari 2007 lalu.
Pemimpin Abu Sayyaf berikutnya adalah ISNILON TOTONI HAPILON alias Abu Abdullah yang juga dalam kondisi sakit stroke. Isnilon bahkan dihargai kepalanya oleh Amerika Serikat sebesar 5 juta dolar AS.
Sepak terjang kelompok ini bila dirunut semakin kentara pada tahun 2002 lalu, Hapilon dan empat anggota Abu Sayyaf Lainnya–Khadaffy Janjalani, Hamsiraji Marusi Sali, Aldam Tilao, dan Jainal Antel Sali– didakwa di Guam dan di Amerika Serikat sebagai orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan yang terjadi pada tahun 2000 di Resort Dos Palmas. Dari kelima orang tersebut hanya Hapilon yang saat ini masih hidup.
Jauh sebelumnya kegiatan kelompok ASG ini diwarnai oleh perampokan dan penculikan ketimbang perjuangan politik. hal ini terbukti pada tahun 2000, kelompok ini telah menculik 53 orang meliputi pendeta, beberapa guru dan pelajar. Untuk menebus sandera Abu Sayyaf menuntut uang tebusan dan dua orang Sandera dikabarkan telah dipenggal kepala.
Saat penyanderaan ini berlangsung, pada bulan April 2000 anggota Abu Sayyaf lanya melakukan operasi penyebrangan dari wilayah Negara Filipina bagian selatan menuju resort pulau wisata pulau Sipadan di wilayah Negara Malaysia. Di resort Malayasia mereka menculik 21 orang berkebangsaan Asing terdiri dari 9 orang Malaysia, 3 orang Jerman, 2 orang Perancis, 2 Orang Afrika Selatan, 2 Orang Finlandia, 1 Wanita Libanon, 2 orang Filipina, seluruh korban penculikan ini dibawa ke camp Abu Sayyaf di Taawi-Tawi untuk disandera kemudian dipindah ke Jolo.
Setelah serangan militer Filipina gagal membebaskan para sandera sejumlah wakil Negara Eropa, Malayasia dan Libya bergabung dengan perundingan Filipina dalam upaya membebaskan sandera.
Pihak Abu Sayyaf menerbitkan sejumlah daftar tuntutan yaitu pendirian Negara Moro yang merdeka, pelepasan beberapa teroris yang ditahan di luar negeri, pelarangan perahu nelayan yang beroperasi di lautan Sulu, perlindungan bagi warga Filipina yang berada di Sabah Malaysia dan uang tebusan dibayar sekitar 1 Juta dollar Amerika Serikat utuk satu orang sandera.
Pada masa penyanderaan ke dua puluh tiga orang ini kelompok Abu Sayyaf juga sempat menyandera seorang wartawan Jerman dan dilepaskan setelah mendapat uang tebusan. Kemudian berturut-turut menyandera tiga orang wartawan TV Perandis, dua orang Filipina dan beberapa pendeta Filipina yang berusaha mengunjungi sandera. Di akhir bulan agustus 2001, seorang warga Negara Amerika Serikat turut di sandera setelah mengunjungi camp Abu Sayyaf sejumlah uang tebusan telah dibayarkan untuk melepaskan sandera ini.
Usaha perundingan dengan kelompok ini tidak berhasil untuk membebaskan semua sandera. Empat Bulan kemudian, Agustus 2000, para penyandera meminta uang tebusan satu juta dollar Amerika Serikat sebagai imbalan bila membebaskan tiga warga Negara Malaysia.
Sementara itu pada tanggal 10 September 2000 malam, tiga orang warga Negara Malaysia dilarikan dari resort wisata pulau Pandanan di lepas Pantai Sabah Malaysia oleh kelompok Abu Sayyaf dengan menggunakan kapal motor berkekuatan tinggi melampaui kecepatan kapal angkatan laut Filipina. Bebrapa pihak menduga mereka menggunakan uang tebusan sandera sebelumnya untuk membeli peralatan-peralatan perlengkapan baru. Pada tanggal 21 Mei 20001 kelompok abu Sayyaf kembali menculik tiga warga Negara Amerika Serikat dan tujuh belas warga Negara Filipina dari resort wisata Palawan di Filipina.
Hingga akhir tahun 2001, kelompok Abu Sayyaf masih membawa dua orang warga Negara Amerika Serikat dan satu perawat warganegara Filipina di pulau Basilan hasil penculikan tujuh bulan lalu. Hal ini di ketahui saat kelompok tersebut menawarkan perundingan pembebasan mereka di kota Zamboanga bulan April 2002.
Pada bulan Juni 2002 satu orang sandera warganegara Amerika Serikat yaitu Martin Burnham telah meninggal dunia saat dilakukan penyerangan oleh pasukan Filipina terhadap basis Abu Sayyaf yang menyandera dia, sedangkan istrinya Gracia Burnham dapat diselamatkan. Sementara itu perawat Filipina yaitu Ediborah Yap telah telah tewas saat operasi penyelamatan oleh militer Filipina.
Di bulan Juni 2002, Abu Sayyaf melakukan aksi penculikan terhadap warga negara asing, Empat warganegara Indonesia menjadi korban penculikan dan penyanderaan mereka. Keempat orang asing ini adalah anak Buah Kapal (ABK) Kapal SM-88 yang sedang membawa batu bara dari Indonesia ke Pulau Cebu di Filipina Tengah.
Penyergapan terhadap mereka dilakukan dilepas pantai Pulau Jolo dan keempatnya kemudian dibawa kedaratan Pulau Jolo. Dua hari kemudian satu ABK Indonesia Ferdinand Joel berhasil diselamatkan. Kemudian bulan Maret 2003 satu orang ABK Indonesia Zulkifli berhasil menyelamatkan diri dan melaporkan bahwa satu AK Indonesia lainnya yaitu Muntu Jacobus Winowatan diperkirakan telah meninggal dunia tertembak dalam operasi penyelamatan militer Filipina bulan Februari 2003. Sandera ABK Indonesia terakhir Lerrech berhasil melarikan diri dari tahanan Abu Sayyaf tanggal 11 April 2003.
Di bulan Maret 2016, Kelompok Abu Sayyaf kembali melakukan aksi penculikan terhadap 10 warga negara Indonesia yang merupakan awak kapal Tug Boat Brahma yang memuat batubara milik perusahaan tambang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Kegagalan berkalin kali operasi militer pemerintah Philipina menundukkan kelompok ASG itu tidak mencerminkan besarnya dana yang telah digelontorkan pemerintah Amerika Serikat untuk program antiterorisme Filipina. Padahal, ukuran kelompok Abu Sayyaf tidak sebanding dengan militer Filipina. Dalam peta organisasi militan yang dibuat Stanford University, jumlah pejuang kelompok Abu Sayyaf berkisar 500 orang (Mei 2015). Angka itu lebih kecil dari 2008 (500 orang) dan 2010 (445 orang).
https://warisboring.com/fyi-we-just-won-a-war-in-the-philippines-3a8b708016d7#.rr1eii9iv
Untuk persenjataan sendiri, belum ada data pasti mengenai koleksi kelompok. Namun, dengan melihat berbagai foto dokumentasi dan link antara ASG dan AFganistan bahwa persenjataan kelompok Abu Sayyaf diyakini komplet boleh jadi amunisinya lebih komplet daripada teroris (di) Indonesia. RPG (rocket- propelled grenade), granat untuk antitank itu, mortar, apalagi hanya M-16 dan AK-47 banyak sekali, biasa di sana.
cek berita ini
penuturan Ali Fauzi, adik pelaku Bom Bali 2002 Amrozi, Ali Gufran, dan Ali Imran, mengkonfirmasi pernyataan tadi, dimana mereka mengetahui detail tersebut karena pernah mengikuti pelatihan militer di Mindanao saat bergabung dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Ia pun mengaku pernah “bersentuhan dengan kelompok Abu Sayyaf pada tahun 2002 sampai 2005.”
Pada 2005, pemerintah Filipina pernah mengeluarkan taksiran mengenai perlengkapan militer ASG. Dilansir Stanford, jumlah senjata yang dimiliki kelompok itu mencapai 480 pucuk. Gerombolon tersebut juga dianggap memiliki peralatan untuk melihat menembus kegelapan (night vision), sensor panas tubuh, perahu cepat, dan lain sebagainya.
Yang mengagetkan, diduga sejumlah perlengkapan itu dipasok oleh angkatan bersenjata Filipina. Hal demikian tentu mengindikasikan problem korupsi yang menggerogoti militer setempat.
Selain itu, Abu Sayyaf juga diduga mendapatkan senjata dari kelompok Infante–sindikat penjualan obat bius dan senjata yang pemimpinnya dibekuk pada 2003–serta dari Viktor Bout, pedagang senjata gelap internasional yang turut memasok persenjataan Al-Qaeda dan Hizbullah sebelum tertangkap pada 2008.
melihat bagaimana sepak terjang kelompok ASG yang sekarang dipimpin Hapilon, bahwa berbagai upaya pembebasan sandera semenjak tahun 2000 belum pernah berhasil tanpa adanya upaya pembayaran sejumlah uang sebagai barter sandera.
upaya membayar uang tebusan tentulah menjadi buah simalakama, ketika keselamatan sandera menjadi sedemikian genting dan tiadanya kemampuan pemerintah Philipina ( Militer) yang sampai saat ini belum pernah berhasil membersihkan kekuatan ASG dari basis bercokolnya, yang ada pilihan operasi militer Philipina malah kerap mengantarkan kegagalan dari setiap operasi.
The Basilan Attack: First Significant Islamic State Battle In Southeast Asia – Analysis
Jurus lunak dan keras bertemu ?
ketika pendekatan lunak berupa pembayaran tebusan dan kekuatan keras berupa pelibatan Militer belum juga menjamin sandera akan selamat adalah bagaimana melihat penuturan https://jurnalsrigunting.wordpress.com/2016/04/04/abu-sayaf-dan-polri/
artinya Polri memiliki peluang untuk membuka komunikasi intesif antara para penegak hukum : POLRI + PDRM + PNP untuk bekerja sama dalam konteks ASEANAPOL termasuk adalah ICPO / INTERPOL, walaupun rasanya mengirim pasukan Polisi bukanlah pilihan bijak mengingat berkali kali operasi militer digelar malah justru berakhir dengan kegagalan.
yang lebih realistis adalah bagaimaan pengampu keamanan perairan ketiga negara mencegah terulangnya oeristiwa yang sama di kemudian hari, saat ini dibutuhkan kerjasama nyata berupa peningkatan volume pengawasan perairan yang dikenal rawan seperti ini dengan tidak segan segan menggunakan sumber daya yang ada masing masing Militer dan Kepolisian ketiga negara
setidaknya jangan sampai ditengah tengah peristiwa Brahmana 12 belum berhasil dibebaskan malah terjadi kembali kasus serupa dan berikutnya terjadi lagi, bagi bangsa Indoensia inilah saatnya TNI dan Polri lebih tegas menjaga perairan Indonesia.
Tinggalkan Balasan