Masalah yang sama dalam periode yang berbeda
Kemaren sempat nguping dari acara kumpul letting secara hybrid yang diselenggarakan oleh sebuah alumni, intinya adalah obrolan tentang perjalanan dinas mereka disebuah kesatuan di Polri.
Salah seorang bercerita tentang bagaimana mereka Ketika mengawali pengabdian di Polri dengan menjabat sebagai Danton berpangkat Ipda, saat itu mereka mengalami tugas dengan segala dinamika era tahun 2000an awal, Ketika mesin ketik manual masih terdengar nyaring di ruang kerja staff Batalyon namun gemerisik mesin printer berpita sudah mulai terdegar memungkasi agenda pengetikan dengan program windows pada jamannya.
Penuh semangat mereka bercerita bagaima saat itu harus berangkat operasi pemulihan keamanan diberbagai daerah konflik yang bergolak di Indonesia, ada yang memulai tour of duty nya ke Poso, Sampit dan Sambas dengan aroma konflik antar Suku Dayak dan Madura, Konflik Aceh pasca berakhirnya status DOM, Ambon yang berdarah darah akibat konflik komunal antara kelompok Kristen dan Muslim termasuk geliat KKB /OPM di Papua.
Saat itu mereka berangkat dengan membawa pasukan yang terdiri dari berbagai sumber satuan, tentunya bukan satuan organic yang langsung mereka bina, tetapi cabutan dari berbagai kompi bahkan antar batalyon, jadinya seperti gado-gado dalam urusan pembinaan dan operational, singkatnya karena pertiwi memanggil, sudah lazim saat itu ketika main bodies Kompi bisa saja dari Jakarta namun para perwiranya harus di naturalisasi dari Polda Jawa Timur, tidak kalah dengan pemain bola saat ini.
Belum lagi keterbatasan sarana dan prasarana Ketika kala itu Polri baru saja mandiri, lepas dari ikatan ABRI,suatu tantangan sekaligus batu ujian bagaimana Polri menjawab kepercayaan masyarakat atas amanah Harkamtibmas dalam negeri, urusan berangkat antar pulau dengan Kapal-Kapal milik TNI AL yang setua Republik ini berdiri dan kelangkaan senjata api organic termasuk amunisinya dalam tugas, urusan alkom dan adminitstrasi lainnya merupakan suatu keajaiban ditengah keterbatasan yang ada, kalau tidak salah dengar indeks ULP pasukan BKO saat itu ke Konflik Poso dan Aceh adalah sekitar Rp. 14.100,00. Senilai dengan makan untuk seporsi Nasi hangat plus kuah sop ikan dan sepotong ikan goreng, catat … hanya untuk sekali sehari saja.
Masa lalu sekitar 22 tahun lampau, Ketika kini beliau para pelaku sejarah umumnya telah mendapatkan pangkat Kombes, namun masalah operasional dan pembinaan satuan ternyata masih sama, walaupun secara garis besar alsus dan dukungan logistic lainnya termasuk metode pergeseran pasukan sekarang lebih manusiawi, lebih canggih dan lebih modern dengan menggunakan berbagai alat angkut baik komersil maupun milik dinas yang sangat luar biasa.
Masalah paling krusial justru pada pola penugasan yang masih comot sana sini, regrouping, ujung-ujungnya simsalabim jadi lah SSY atau SSK, artinya selama 22 tahun perubahan untuk penyiapan personal dan konsep minimum essential force (MEF seperti konsep rekan TNI) kalau polisi seperti nya Minimum Deployment Readiness, belum terwujud secara ideal, masalah yang sama sejak Ipda bahkan sampai Kombes saat ini.
Kekhawatiran yang paling terasa adalah ketika pasukan yang berangkat penugasan masih comotan sana sini, maka dipastikan pola pembinaan dan operational nantinya bersifat comotan juga, ada kesulitan tersendiri dalam membina setiap personil dengan mengikuti rekam jejak pembinaan karier dan tentunya disiplin, militansi apalagi kompetensi perorangan dan ujungnya berdampak kepada performa kesatuan.
Berapa sebenarnya jumlah ideal dari suatu setingkat formasi regu, peleton bahkan Kompi maupun Batalyon dan Detasemen di satuan formed Police seperti Sabhara maupun Brimob, kemudian berapa sebenarnya kebutuhan dukungan sarana prasana operasional maupun pembinaan sarana yang harus dilekatkan kedalam struktur tadi, hal yang sama berlaku juga untuk unit dengan spesifikasi khusus seperti Resmob, bahkan tim atau regu Patwal lalu lintas Polri.
Tentunya agak sulit juga menjawab dalam hitungan matematika, berapa kebutuhan ideal normative dan berapa ketersediaan sumber daya manusia serta alat saat ini, belum lagi adanya fenomena yang menggejala antara kebutuhan Polri dijalanan (benar -benar bertugas di jalanan dengan pekerjaan police basic jobs: pengaturan, penjagaan dan patroli pencegahan kejahatan) dengan kebutuhan menempatkan banyak personil setingkat police worker (Brigadier Polri) yang banyak dan cenderung banyak yang ingin berada di lingkup pekerjaan staff atau kantoran dengan pekerjaan office work dibandingkan police on the ground atau berada di lapangan.
Pernah terasa di sekitar tahun 2007 keatas, upaya menghadirkan Polisi dalam kekuatan penuh, tumblek-blek di jalan raya khususnya saat jam-jam sibuk Jakarta, mutasi besar-besaran dari lingkup Korbrimob Polri ke Polda Metro Jaya khususnya pada fungsi Lalu lintas , tidak heran pada jaman itu banyak berseliweran Polantas dengan menggunakan badge Pelopor maupun Gegana lengkap dengan brevet keahlian khusus berdiri tegap, sikap correct ,patah-patah militansi tinggi di sepanjang kemacetan Jakarta, rata-rata masih langsing dengan postur gagah, memberikan wibawa tersediri dalam pengaturan lalu lintas Jakarta yang kejamnya melebihi ibu tiri.
Urusan memutasikan anggota antar kesatuan merupakan hal biasa dalam tour of duty dan tour of area, selain penyegaran juga merupakan bagian dari pembinaan karier bahkan bisa jadi merupakan bagian dari seleksi alamiah, sejak jaman Menpor masih ada ketika Kepolisian di Papua harus dipegang dan dijalankan oleh orang Indonesia selepas PEPERA, mau tidak mau personil Polri paling cakap dan tepat adalah diambilkan dari kesatuan Menpor yang diharapkan cepat beradaptasi dengan lingkungan tugas yang ekstrim, pernyataan ini merupakan bagian dari sambutan Kapolri saat itu yakni Komisaris Jenderal Hoegeng Imam Santoso dalam acara peringatan Triwindu Korbrimob Polri di Kelapa Dua, tanggal 14 November 1969.
Aura yang sama sepertinya menjelaskan bagaimana kutipan dibawah ini: “Spirit Ipda mu mengingatkan saya ketika belajar jadi Danton dulu, mereka yang terbaik adalah harus jadi milik tim saya, sampai suatu ketika ketika saya menjadi Kapten, mereka-mereka (anak buah) yang terbaik, yang selama ini telah saya jagain betul-betul dalam team saya, ternyata juga telah menjadi kapten merah (bharaka) yang memiliki segala dinamika individu dan (terutama urusan keluarga) yang juga harus saya pikirkan.
Pada titik itu saya belajar, bahwa ada tanggung jawab lain yang mungkin belum terjangkau oleh negara secara penuh namun telah dialihkan menjadi tanggung jawab seorang Kapten atau Komisaris Polisi untuk setidaknya dapat memberikan kesejahteraan untuk anak buahnya (termasuk keluarganya).
Dengan mencoba melihat lebih luas seperti helicopter view, adanya pertimbangan baru yakni ketika dulunya saya melatih dan menyiapkan setiap anak buah dapat menjadi sebaik-baiknya seperti saya menyiapkan diri saya, maka saya juga harus mendorong bahkan mengupayakan agar anak-anak buah yang sudah sedemikian hebat untuk mendapkan suatu peluang peningkatan karier baik didalam bahkan diluar satuan mereka.
Ketika datang kesempatan untuk “melompat” pada fungsi lain yang mungkin bisa lebih memberikan nilai tambah pada pengembangan karier dan kestabilan keluarganya, maka disitulah saya harus memahami bahwa tugas saya membina mereka telah berakhir, sekaligus berarti saya telah melakukan suatu perubahan, yakni membuat organisasi Polri lebih baik dan lebih hebat lagi, karena beberapa komponen yang menyebar dan memperkuat fungsi-fungsi lainnya pernah saya didik dengan konsep terbaik yang dilakukan dengan tangan saya sendiri.
Sisanya, kalau mereka ingat ya syukurlah, namun tidak ingat juga akan lebih baik, toh semesta sudah mendukung, intinya tanggung jawab Komandan adalah membuat anggota menjadi sejahtera, tidak harus memberikan material semata namun setidaknya memberikan kesejahteran mental atau psychology welfare berupa hak libur dan cutinya atau apalagi bisa membantu dengan memudahkan prosedur dan proses mutasi anggota sesuai minat dan keinginannya.
Tinggalkan Balasan