Sistem Biometrik Melawan Terorisme
Merajalelanya aksi teror mengindikasikan ada yang salah dengan sistem keamanan dunia. Bagaimana peluang sistem biometrik melawan terorisme yang makin canggih?
Mimpi buruk 11 September 2001 masih menghantui dunia, khususnya warga negara Amerika Serikat. Segala macam usaha melawan terorisme pun digalakkan. Bermacam jenis mesin mutakhir – dari bank data pengenalan wajah, pemindaian koper berteknologi tinggi, sampai sistem pilot otomatis gemilang – telah diajukan sebagai perbaikan teknologi dalam pertarungan melawan terorisme. Jadi, apa sebenarnya yang ditawarkan teknologi itu?
Satu pilihan yang populer adalah biometrik. Biometrik, sesuai namanya, adalah sebuah sistem pengukuran dari sebuah karakteristik biologis manusia. Contoh paling terkenal adalah sidik jari. Contoh biometrik yang lain adalah geometri tangan, pemindaian selaput pelangi mata, dan pengenalan wajah. Karena biometrik sulit dipalsukan, tak bisa hilang, terlupakan, atau diberikan ke orang lain, semua itu telah digunakan sebagai langkah pengamanan secara luas di beberapa tempat dunia. Bahkan, sampai pada peralatan pribadi yang menuntut privasi seperti agenda elektronik, palm komputer, dan telgam (telepon genggam).
Sistem biometrik sudah digunakan untuk dua tujuan utama. Pertama, merupakan sistem identifikasi (“siapakah orang ini?”). Dalam proses itu identitas seseorang ditentukan dengan membandingkan biometrik yang telah diambil dengan bank data yang ada. Kedua, verifikasi (“apakah orang ini merupakan orang yang diklaimnya?”), proses biometrik yang telah diukur, dibandingkan dengan biometrik yang berasal dari orang tertentu.
Semua biometrik itu bisa digunakan untuk proses verifikasi, namun hanya biometrik yang unik bagi seseorang – khususnya sidik jari, pemindaian selaput pelangi dan pengenalan wajah – yang bisa dipakai untuk proses pengidentifikasian. Sebagai hasilnya, biometrik yang berbeda digunakan untuk pemeriksaan keamanan yang berbeda pula.
Biometrik dipakai secara luas untuk mengontrol akses ke suatu hal -memastikan bahwa hanya orang yang berhak yang bisa mengakses ruangan atau bangunan tertentu. Sistem geometri tangan, yaitu sistem yang mengukur bentuk, ukuran, dan karakteristik lainnya (seperti panjang jari) dari beberapa aspek atau keseluruhan tangan, digunakan untuk mengontrol akses dan memeriksa identitas di bandar udara, kantor, pabrik, sekolah, rumah sakit, pusat nuklir, dan gedung pemerintah dengan tingkat keamanan tinggi.
Geometri tangan adalah teknologi verifikasi bukannya teknologi identifikasi (tangan manusia lebih mirip dibandingkan dengan sidik jari), pengguna diharuskan untuk mengklaim tentang identifikasi mereka sebelum pemindaian dilakukan. Contohnya: menggesekkan selembar kartu. Informasi biometrik individu yang diklaim orang tersebut (bisa disimpan pada kartu tersebut) kemudian dibandingkan dengan hasil pemindaian yang baru saja dilakukan.
Contoh teknologi populer adalah program INSPASS. Sistem itu memungkinkan pelancong yang sering pergi ke Amerika Serikat, untuk melewati antrean imigrasi di bandara besar. Mereka tinggal menggesekkan sebuah kartu dan meletakkan tangan pada alat pemindai. Secara teori, gagasan itu bisa diperpanjang dengan mengharuskan paspor disertai biometrik geometri tangan. Hal tersebut membuat paspor semakin sulit dipalsukan, namun diperlukan persetujuan dan kerjasama internasional atas standar biometrik yang akan digunakan.
Faktor Manusia
Banyak kemungkinan bagi diterapkannya teknologi pengontrolan akses. Pada tes keamanan di 83 bandara oleh Federasi Penerbangan AS (FAA), 31 persen keberhasilan untuk masuk ke area aman diraih para inspektur, dengan hasil 82 staf bisa memasuki pesawat yang ada.
Sebuah laporan yang dibuat departemen perhubungan menunjukkan, kebanyakan pelanggaran keamanan terjadi disebabkan oleh faktor manusia: staf bandara lalai memastikan bahwa pintu di belakang mereka telah terkunci, dan tidak menindak orang yang tak memiliki otorisasi yang mereka temui di area tertentu.
Biometrik tak bisa melakukan apa pun mengenai hal tersebut. Musim panas ini, FAA mengajukan peraturan baru yang bisa membuat staf bandara dikenakan denda US$ 11 ribu bila membiarkan pintu terbuka untuk orang lain, atau membiarkan teman mereka memasuki area yang ‘bersih’.
Teknologi biometrik lain yang mulai terlihat di bandara adalah pemindaian selaput pelangi mata. Sistem itu digunakan di lusinan lembaga pemasyarakatan AS untuk mengidentifikasi penghuni penjara, staf, dan pengunjung. Sistem itu memastikan orang tertentu saja yang bisa masuk dan keluar. Pemindaian selaput pelangi telah diuji oleh bank di sejumlah negara untuk mengidentifikasi pengguna mesin uang. Karena pemindaian jenis ini melakukan pengidentifikasian tiap nasabah, maka kartu ATM atau PIN tak lagi diperlukan.
Pemindaian selaput pelangi sekarang diujicobakan di beberapa bandara pada penumpang yang sering bepergian. Mereka harus berdiri di depan sebuah mesin, lalu mendapatkan kartu pas secara otomatis. Tetapi sistem itu hanya memastikan bahwa orang yang memasuki pesawat benar-benar pemegang sah tiket. Para teroris yang bertanggung jawab atas tragedi di WTC, terlihat bepergian atas nama dan paspor mereka sendiri. Pemindaian selaput pelangi tak akan bisa menghentikan mereka.
Pengenalan wajah, di lain pihak, memiliki keunikan dibandingkan biometrik lain, karena bisa digunakan secara pasif – hasil pemindaian wajah seseorang bisa dibandingkan dengan bank data orang yang dicurigai tanpa diketahuinya. Sistem seperti itu terhubung dengan jaringan kamera televisi bersirkuit tertutup (close circuit television), dan telah digunakan untuk mengenali penjahat dan perusuh di Inggris. Musim panas ini teknologi serupa telah diinstalasikan di bandara Keflavik, Islandia.
Joseph Atick dari Visionics, sebuah firma New Jersey penyalur utama teknologi pengenalan wajah, mengatakan bahwa pemindaian sidik jari dan selaput pelangi tak ditemukan pada pembajakan pesawat yang menabrak WTC kecuali pemindaian gambar. Salah seorang tersangka pembajak, ujarnya, tertangkap kamera video di bandara Malaysia ketika sedang bertemu dengan anggota grup yang menyerang kapal USS Cole di pelabuhan Aden tahun lalu. “Yang harus kita lakukan adalah membangun bank data antiterorisme dengan gambar dan cetak wajah untuk tiap individu yang membahayakan,” ujarnya. Selain memindai orang yang dicurigai di bandara, ia juga mengusulkan agar semua orang wajib melakukan pemindaian wajah close-up ketika mereka mendaftar masuk. “Persis seperti pemeriksaan kredit yang dilakukan ketika Anda ingin membeli sesuatu dengan kartu kredit,” katanya.
Menghadapi Realitas
Keberatan klasik atas pemindaian wajah – sistem itu mengganggu privasi dan bisa berbuntut atas penahanan seseorang yang memiliki banyak surat tilang, seakan-akan ia seorang teroris – kemungkinan besar terbenam atas perasaan was-was yang mengikuti insiden September kelabu. Namun, menurut Richard Smith dari Privacy Foundation, sebuah grup lobby Denver, sistem pengenalan wajah bukanlah senjata pamungkas. Sebagian besar pembajak, katanya, bukanlah orang yang dicurigai sebagai teroris, sehingga tak ada foto yang bisa digunakan untuk mencari mereka.
Dalam kasus dua orang yang dicurigai sebagai teroris, usaha untuk menelusuri mereka hanya dilakukan beberapa minggu sebelum serangan dilakukan. Ia menyimpulkan, masalahnya terletak pada putusnya komunikasi, bukan pada teknologi yang tak memadai.
Teknologi lain yang menjadi fokus semua pihak adalah bentuk lebih berteknologi tinggi dari pemindaian barang bawaan, seperti pemindai tiga dimensi, pemindai yang memungkinkan pengamatan atas seseorang dari jarak jauh, dan pemindai dengan Threat Image Projection (TIP).
Gagasan di balik TIP adalah membuat petugas pemeriksa barang bawaan terus siaga dengan menampilkan gambar palsu pada tampilan pemindaian barang bawaan. Gambar-gambar seperti pisau, senjata, atau alat peledak, akan hilang begitu petugas menekan tombol ‘threat’ (ancaman), dan kopor tersebut bisa benar-benar diperiksa. Pemindaian dengan sistem itu sekarang telah diinstalasikan di bandara terbesar di Amerika Serikat.
Toh, sepintar apa pun mesin pemindai, masalah sebenarnya terletak pada manusianya. Pemeriksa barang dibayar murah, padahal pekerjaan mereka melelahkan. Sehingga sulit diharapkan kefokusan dalam waktu panjang. Riset FAA yang tak dipublikasikan dengan alasan keamanan, menunjukkan bahwa kemampuan petugas deteksi dalam mencurigai barang berbahaya tidak meningkat seiring pemakaian teknologi baru.
Dalam kasus WTC, para pembajak menggunakan alat yang tak dilihat sebagai senjata oleh para petugas. Menurut Frank Taylor dari Cranfield University di Inggris, pembajak yang berketetapan hati bisa menggunakan benda tumpul apa saja, atau alat pemotong makanan sebagai senjatanya. Beberapa jawatan penerbangan telah menggunakan pisau plastik sebagai langkah pencegahan.
Teknologi lain yang berguna dalam menghadapi teroris tak bersenjata, serta pergi dengan nama sendiri, adalah program penyeleksian penumpang dengan bantuan komputer (Computer-Assisted Passenger Screening – CAPS). Sistem itu diperkenalkan oleh sejumlah perusahaan penerbangan pada 1998. CAPS menggunakan informasi dari sistem reservasi dan sejarah perjalanan penumpang, untuk membantu memilih penumpang yang perlu dikenai pemeriksaan tambahan. Sistem itu memang telah dikritik oleh para aktivis kebebasan sipil, yang menuduh pemerintah AS melakukan pemilihan atas orang dari kelompok etnis atau bangsa tertentu.
Ke Masa Depan
Bila mendeteksi teroris di darat saja begitu rumit, apa yang bisa dilakukan agar pesawat semakin sulit dibajak ketika mengangkasa? Sekali lagi, banyak saran yang diusulkan. Robert Ayling, orang yang pernah menjadi bos di British Airways, menyarankan dalam Financial Times, bahwa pesawat harusnya bisa dikendalikan dari darat bila terjadi pembajakan. Menurut Frank Taylor, hal itu berisiko karena sistem pengendalian jarak jauh justru bisa membuka peluang pembajakan pesawat oleh hacker komputer yang memiliki niat jelek.
Ia malah menyarankan modifikasi sistem pendaratan otomatis, sehingga saat terjadi pembajakan, sang pilot bisa memerintahkan pesawatnya mendarat sendiri tanpa ada opsi untuk membatalkannya. Ide lain termasuk modifikasi sistem penghindaran tabrakan dan sistem penghindaran daerah sekitar untuk menghindari tabrakan pesawat yang disengaja. Namun menurut Chris Yates, ahli pengamanan penerbangan pada Jane’s Defence Weekly, proposal seperti itu masuk dalam “dunia fiksi ilmiah”.
Toh, sehebat apa pun teknologi keamanan, ia harus didukung petugas yang cakap dan prosedur yang tepat. Sampai sekarang, prioritas masyarakat ketika bepergian adalah kenyamanan dan harga, bukan keamanan. Hal itu mungkin akan segera berubah, sebagaimana pada sebuah Webinar dengan judul Pengungkapan Identitas Korban dan Pelaku Terorisme Melalui Analisis DNA yang diselenggarakan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian dan Gordon Thomas Honeywell Govermental Affairs pada hari Selasa, tanggal 24 Agustus 2021, didukung fasilitas Zoom Meeting, dengan Moderator : Muji Novrita (Organizer) dan adapun yang hadir mengisi acara, antara lain sebagai berikut:
- Irjen Pol. (Purn) Dr. Benny Mamoto, S.H., M.Si. (Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia).
- Kombes Pol. Wahyu Marsudi, S.Si., M.Si. (Kabid Kimbiofor Pulabfor Bareskrim Polri).
- Tim Schellberg (Presiden dan Pendiri Gordon Thomas Honeywell Govermental Affairs).
- Taufik Andrie (Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian).
Adapun Narasumber yang memberi materi, antara lain:
- Kombes Pol. Wahyu Marsudi, S.Si., M.Si. (Kabid Kimbiofor Puslabfor Bareskrim Polri).
- Kompol I Nyoman Sarjana (Penyidik Densus 88 AT Polri).
- Saurabh Marya (Senior Manager Programs Asia Tenggara Gordon Thomas Honeywell Govermental Affairs)
berikut pembahasan yang dapat disarikan :
Irjen Pol. (Purn) Dr. Benny Mamoto, S.H., M.Si. (Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Republik Indonesia) : DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) merupakan materi penting dalam membantu penyelidikan aparat penegak hukum. Tes atau uji DNA terbukti sangat membantu dalam mengungkap berbagai kasus kriminal atau tindak pidana seperti salah satunya Terorisme, identifikasi korban kecelakaan atau bencana alam, dan penentuan hubungan kekerabatan anak-orang tua.
“Dari tes DNA ini bisa mengungkap banyak kasus kriminal, seperti pembunuhan, perkosaan dan penelusuran anak kandung. Bahkan, hampir 40% kasus di Lab DNA terkait penelusuran informasi anak kandung atau bukan,” pemeriksaan DNA penting dilakukan dalam pengungkapan berbagai kasus kriminal maupun kecelakaan karena dapat membantu identifikasi korban yang tidak dapat ditangkap dengan identifikasi secara visual. Misalnya, pada korban kebakaran yang akan sulit dilakukan identifikasi secara visual dan korban maupun pelaku bom bunuh diri.
Kedepan untuk langkah selanjutnya sebagai kapasitas pembantu Presiden untuk menyusun arah dan kebijakan Polri yaitu :
- Seperti contoh kasus pada saat kita mendaftar KTP kita diambil sidik jari dengan dasar hukum dan kewenangan berada di Dukcapil. Apabila kedepan Polri mengambil Database berupa DNA untuk keperluan penyidikan kedepan agar bisa di koordinasikan dan di rencanakan dengan Menkopolhukam.
- Dalam pelaksanaan rencana ini perlu beriringan antara proses menyusun anggarannya sejalan dengan perbuatan puslabfor dan anggaran yang memadai.
Kombes Pol. Wahyu Marsudi, S.Si., M.Si. (Kabid Kimbiofor Pulabfor Bareskrim Polri) : Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan /atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas public, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik dan gangguan keamanan (Referensi: UU No.5 Tahun 2018).
Banyak Barang Bukti (BB) yang tertinggal di Tempat Kejadian Perkara (TKP) akibat kegiatan terror, seperti ledakan Bom. BB yang di TKP bisa berasal dari komponen perálatan terror, maupun Pelaku dan Korban.
Puslabfor sebagai unsur pelaksana Teknis di bawah Bareskrim Polri bertugas memberikan bantuan teknis dalam penyidikan tindak pidana baik itu pidana umum, khusus maupun Terorisme melalui pemeriksaan TKP dan Barang Bukti di Laboratorium.
Deoxyribo Nucleat Acid (DNA) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk membantu identifikasi Korban dan Pelaku pada kasus terorisme dari nengembangan pemeriksaan barang bukti, adapun kegunaan DNA Forensik:
- Mengkaitkan TSK dengan korban.
- Mengkaitkan seseorang dengan TKP dan Barang Bukti
- Menyangkal atau mendukung pernyataaan saksi
- Mengidentifikasi korban dan tersangka.
- Mengarahkan penyelidikan dan penyidikan.
- Membuktikan kasus-kasus paternitas
Peralatan Khusus Puslabfor.
- Genitic Analyzer (Squencer).
- Real Time PCR.
- PCR Thermal Cycler.
- Nano Spectrophotometer
- Rapid-DNA
Bio Surveillance dan Database DNA : Biosurveillance adalah aspek pengamanan secara biologis (biodefense) guna mencegah ancaman terorisme.
- Dalam biosurveillance, tim surveillence mengumpulkan biometrik dari terduga teroris untuk dikumpulkan dan dibuat karakternya sesuai data biometrik tersebut.
- Data biometrik yang paling kuat adalah DNA Data DNA yang tersimpan di kompulir dalam
- Database DNA dan dapat digunakan dalam setiap kejadian terorisme.
- Database DNA sangat diperlukan dalam membantu percepatan pengungkapan kasus.
Kesimpulan yang di sampaikan yaitu :
- Pemeriksaan DNA telah berhasil mengungkapkan identitas pelaku teror pada barang bukti berupa switch bom, senjata tajam, senjata api dan barang bukti lainnya
- Pemeriksaan DNA dalam penanganan kasus terorisme sangat membantu dalam penentuan identitas korban dan pelaku (teroris)
- Dengan adanya Bio-Surveillance dan Database DNA dapat mempermudah penanganan kasus terorisme
Kompol I Nyoman Sarjana (Penyidik Densus 88 AT Polri) : Analisa DNA ini sangat diperlukan dalam proses penyelidikan dan penyidikan terutama dalam proses terorisme yang sangat membantu dalam pengungkapan kasus selama ini.
Seperti contoh kasus kerusuhan Mako Brimob pada tanggal 8 Mei 2018. Peristiwa kerusuhan terjadi pada tanggal 8 Mei 2018, sekitar pukul 20.20 WIB. korban yang meninggal dunia sebanyak 6 orang ( IPTU YUDI ROSPUJI SISWANTO, AIPDA DENNY SETIADI, BRIGADIR FANDI SETYO NUGROHO, BRIPTU SYUKRON FADHLI, DAN BRIPTU WAHYU CATUR ). Pemeriksaan DNA pada barang-barang bukti (senjata tajam) mengarahkan pada beberapa pelaku pembunuhan korban.
Kasus Bom Thamrin, 2016. Peristiwa ini terjadi pada Pada hari Kamis, tanggal 14 Januari 2016 pukul 10.40 WIB telah terjadi pengeboman di gerai Starbuck jalan MH. Thamrin Jakarta. Terdapat 4 teroris yang melakukan tiga buah bom bunuh diri dan terjadi baku tembak. – Pemeriksaan DNA pada dua buah switch bom yang ditemukan di TKP mengarahkan pada dua pelaku pengeboman.
Jadi Perlunya dibuat Data Base DNA untuk membantu mempermudah pengungkapan kasus Tindak Pidana, khususnya Tindak Pidana yang berkaitan dengan Terorisme dan kekerasan.
Saurabh Marya (Senior Manager Programs Asia Tenggara Gordon Thomas Honeywell Govermental Affairs): Pembuatan profil DNA adalah kemajuan terbesar dalam ilmu forensik sejak diterimanya identifikasi sidik jari sebagai praktik standar pada pergantian abad ke-20.
DNA berperan dalam penanganan Terorisme yaitu :Identifikasi Korban Bencana; Identifikasi Pelaku Bom; Pencegahan Aksi Teroris sedangkan kemampuan Database DNA : Menyelesaikan, Mencegah, Membebaskan, Menyelamatkan.
Tipe Database DNA:
- Sebuah database bisa berada di tiga tingkat: ‘Lokal’ tempat profil DNA berasal, ‘Negara Bagian/Provinsi untuk berbagi informasi regional, dan Nasional’ untuk negara bagian untuk membandingkan informasi DNA satu sama lain.
- Basis data DNA dapat mencakup informasi tentang pelaku kejahatan, tahanan/tersangka, sampel yang dikumpulkan dari TKP, dan orang hilang.
- Setiap negara dan negara bagian mungkin memiliki undang-undang yang berbeda untuk pengumpulan, pengunggahan, dan analisis informasi yang terkandung dalam basis data mereka.
- Untuk alasan privasi, database tidak berisi informasi pengenal pribadi apa pun termasuk nama yang terkait dengan profil DNA.
Tinggalkan Balasan