Memang sejak pecah pertempuran kembali antara pengikut Presiden Salva Kiir yang berlatar belakang suku Dinka dengan mantan Wapresnya sendiri yakni Riek Marchar dari suku Nuer, kondisi keamanan di Sudan Selatan senantiasa panas dingin, ketakutan dan kontak senjata kerap terjadi secara sporadic dimana mana.
PBB telah mengirim misi untuk menjamin hak asasi manusia khususnya warga Sudan Selatan secara fundamental tetap terselenggara ditengah konflik yang mendera, berbagai negara mengirimkan ribuan personil militer sebagai Military Observer / pengamat militer, Military Staff Officer , maupun sebagai Peace Keeping Force protection dari format TCC (Troop Contributing Country), belum lagi personil Polisi / UN Police dalam format Individual Police Officer maupun Formed Police Unit , ditambah komponen sipil yang menjadi salah satu komponen utama misi perdamaian PBB.
Bertugas di daerah konflik seperti Sudan Selatan, memiliki konsekuensi tersendiri, yang pasti bahaya senantiasa mengancam baik akibat langsung maupun tak langsung dari konflik yang bersangkutan. Salah satu lokasi yang lumayan panas bergejolak dibandingkan beberapa state ( setara provinsi di Indonesia) adalah Upper Nile State khususnya kota MALAKAL.
Malakal sebenarnya tidak terlalu jauh dari Juba , ibukota Republik Sudan Selatan yang masih bertikai semenjak 2011 pasca memperoleh kemerdekaan dari negara induk Republik Sudan , hanya sekitar 4 jam perjalanan dengan menggunakan Helicopter PBB , bisa juga lewat darat sekitar 10 hari atau menyusuri sungai White Nil selama 20-30 hari tergantung kondisi cuaca termasuk ada atau tidak gangguan dari kelompok bersenjata.
Terdapat 4 personil Satgas IPO Polri yang bertugas disana semenjak bulan September 2014, mereka adalah : AKP Alex Tobing, AKP Eko Budiman, Bripka Ferri ariandi dan Bripka Harianto, disana mereka adalah sebagai personil UNPOL yang khusus ditugaskan untuk mengamankan para Internal Displaced Persons /IDP didalam kawasan yang dinamakan POC / Protection of Civillian Site Juba, mirip kawasan pengunsian bencana alam.
Secara teoritis kawasan POC merupakan kawasan steril dari konflik senjata, tidak seorangpun diijinkan masuk apabila berstatus kombatan apalagi bersenjata, tujuannya adalah agar setiap IDP yang berada didalamnya akan terjamin keamanan dan keselamatan mereka selama konflik berlangsung.
Tidak mengherankan bila setiap personil UNPOL utamanya IPO dalam penugasan misi di UNMISS merupakan misi non bersejata api, otomatis hanya body armor, helmet , KTA dan pulpen sebagai pelindung keselamatan setiap IPO.
Cerita –cerita yang berkembang selama penugasan adalah menjadi kebiasaan baru bagi personil yang ditugaskan di daerah seperti Malakal, mempersiapkan “Grab bag “ disebelah tempat tidur atau lokasi yang mudah dijangkau sekali sambar, hapal dengan mata tertutup lokasi Bunker perlindungan, paspor dan dompet selalu melekat, serta membiasakan diri bila akan berangkat cuti atau mudik untuk mengemas kedalam kardus semua barang yang ditinggalkan di container selama cuti dengan maksud: memudahkan orang lain untuk mengevakuasi manakala panggilan itu tiba tiba datang.
GRAB BAG itu sendiri adalah tas , biasanya ransel yang isinya paspor dan dokumen lain yang sangat penting, uang cash secukupnya ( US $ dan SS Pound) makanan dan minum untuk minimal 1 hari , baju ganti khususnya dalaman, dan kalua bisa ada senter serta pisau lipat, diletakkan dilokasi yang paling mudah dijangkau untuk di- GRAB- ketika evakuasi, karena barang –barang lain tidak disarankan untuk dibawa ( maksimum beban penumpang helicopter PBB adalah 15 kg).
Monitoring radio pada chanel UN Common jadi menu wajib setiap personil UN dipenugasan , tidak peduli latar belakang militer, polisi atau sipil sekalipun, begitu mendengar aba-aba EVACUATE –EVACUATE ditambah : Tiupan peluit panjang –panjang, suara sirine , dan gemuruh suara gedebuk , nah itulah saatnya: sambar tas GRAB BAG , ambil helmet, langsung pakai Body Armor ,selebihnya lihat mana bunker terdekat.
Mengapa di depan sempat dikatanakan secara teoritis POC maupun UN Compound adalah daerah steril dari senjata api dan dilarang dimasuki oleh pihak-pihak yang bertikai, karena pada faktanya tidak setiap pihak yang bertikai apalagi yang mengalami proses degradasi kepemimpinan lapangan mau mematuhi mandate PBB dan menghormati bendera PBB yang berkibar menaungi kawasan POC .
Sikap keras kepala dan masa bodoh sempalan-sempalan faksi yang bertikai di Sudan Selatan tidak lepas dari aksi cowboy para komandan lapangan yang memperoleh dukungan dari komunitas –komunitas suku, bias jadi suatu hari pertempuran terjadi antara Dinka lawan Shilluk besoknya anatar Shilluk dengan Nuer atau antara Nuer dengan Dinka dan suku-lainnya, masalah pemicu : curi mencuri ternak sapi, rekruitmen tentara ( child soldier) serta melarikan gadis, mabuk miras dan berkelahi .
Seperti yang terjadi pada tanggal 27 Juni 2015 pukul 18.00 EAT dilaporkan telah terjadi pertempuran antara pasukan pemerintah (SPLA) dengan pasukan oposisi (SPLA IO) yang berafiliasi dengan milisi Shiluk, di dua tempat berbeda yaitu di kota Malakal dan daerah sekitar area airport.
Pertempuran yang terjadi berjarak sekitar 3 km dan sangat jelas terdengar dari UNMISS log base dan POC area dengan menggunakan berbagai jenis senjata ringan, berat, mortar hingga peluncur roket. Pertempuran berlangsung hingga malam hari dan puncaknya pada pukul 22.00 EAT, pertempuran semakin sengit dan mendekat hingga jarak sekitar 200 m dari Alfa gate UN Compound di Malakal.
Riuh rendah suara pertempuran sangat jelas terdengar dari UNMISS log base suara tembakan senjata ringan dan berat ditambah provokasi berupa nyanyian dan teriakan IDP dari suku Shiluk kepada kelompok yang sedang bertempur untuk mendongkrak moral pasukannya.
Desing dan kelebat peluru tracer dari senapan mesin ringan dan berat yang menyala merah saling bertukar arah membuat pemandangan makin seram di langit dan dilaporkan beberapa peluru nyasar ke dalam UNMISS log base Malakal, masih beruntung tidak ada korban jiwa dari personil UN maupun staf, walaupun pada akhirnya pihak UN security mengumumkan seluruh UN satf dapat kembali ke akomodasi masing-masing setelah intensitas pertempuran sudah berkurang dan semakin menjauh dari log base pada pukul 24.15 EAT.
Pasca pertempuran tanggal 27 Juni 2015 kondisi POC site Malakal mengalami sedikit perubahan, dengan ditutupnya foxtrot gate yang selama ini sebagai akses utama keluar masuk IDP terutama dari suku Dinka, namun sekarang Foxtrot ditutup dan Echo gate dibuka seiring dengan telah dikuasainya kota Malakal oleh oposisi / SPLA IO.
Pelaksanaan tugas polisionil UNPOL pada gate-gate di POC site Malakal seperti di Echo gate dilakukan bersama BANGLADESH FPU dan Warrior ( security ) khususnya untuk melakukan body search maupun terhadap barang terlarang, tugas seperti ini tidak heran bila menemukan dan menyita peluru cal. 7.62mm dan peluru tabur Shotgun cal. 12 GA, granat tangan, seragam bahkan senpi dalam keadaan terurai.
Rentetan peristiwa lain di Malakal adalah ketika petugas UNPOL menemukan pagar pembatas UNMISS MALAKAL Compound yang di duga telah dirusak oleh para IDP, mereka menggunakan pagar yang rusak tersebut sebagai jalan keluar masuk illegal ke New POC site, belum lagi ditemukan di dekat pagar tersebut terdapat sedikitnya 4 personil SPLA in opposition SPLA IO bersenjata lengkap.
Kontak tembak antar faksi didekat UN Compound Malakal yang berujung dengan jatuhnya kota Malakal ketangan SPLA IO tentunya menjadi pertimbangan sendiri bagi UNMISS, karena sebaik baiknya usaha adalah bagaimana kita merancang persiapan untuk kondisi terburuk, tanpa jaminan kepatuhan terhadap mandate UNMISS, maka jalan terbaik adalah EVAKUASI sekaligus RELOKASI dari Malakal menuju lokasi yang lebih kondusif.
Hierarkhi , kalau boleh dikatakan demikian untuk mendapatkan prioritas evakuasi ataupun relokasi adalah diberikan kepada : pertama para staff sipil UN , baik yang berstatus Internasional , nasional termasuk kontrak kemudian baru disusul oleh UNPOL non bersenjata , military staff officer, Military Obeserver non bersenjata , dilanjutkan FPU dan ditutup oleh rangkaian Militer yang memiliki senjata api.
Rencana kontijensi yang dibuat cukup simple, intinya memindahkan sebagian besar staff sipil, dan UNPOL non bersenjata kedaerah rawan dan menyisakan sejumlah staff UNPOL untuk tetap melaksanakan tugas namun siap ditarik untuk evakuasi dengan sekali angkut pesawat milik PBB. Antara rasa percaya dan tidak mendengan aba-aba evakuasi dan relokasi ke Juba , mengingat selama hampir 2 minggu semenjak kota ,Malakal jatuh ketangan SPLA IO , tidak ada penerbangan milik sipil maupun PBB yang berani melintas antara Malakal- Juba atau Malakal –Bentiu, trauma atas tertembaknya helicopter milik PBB beberapa waktu lalu oleh salah satu pihak yang bertikai.
Alternatif evakuasi lewat darat, hitungannya mau berapa lama sampai Juba, mau lewat sungai Nil sama saja dengan memindahkan resiko tenggelam dihajar roket gerilyawan, lewat udara , jawabannya Bismilah. Lewat rapat yang rumit akhirnya diputuskan 20 orang UNPOL dari Malakal berangkat lebih dulu dengan penerbangan UN menuju Juba, nama AKP Tobing dan Bripka Harianto menjadi nominasi rombongan pertama yang secara kebetulan bias masuk.
Urusan siapa yang dievakuasi duluan ternyata menimbulkan beberapa pertanyaan , karena pada awalnya terdapat 3 seat bagi UNPOL dari Norwegia yang harus didahulukan namun entah kenapa dibatalkan dan akhirnya dilemparkan kepada rapat untuk memutuskan, peristiwa semacam ini kadang terjadi di misi penugasan PBB, seperti ketika penempatan UNPOL dari Belanda yang terang-terangan menolak penugasan di Malakal dengan alasan adanya surat rekomendasi dari pemerintah Belanda yang melarang personil Polisinya ditugaskan didaerah yang tidak memiliki dukungan fasilitas kesehatan minimal level II, entahlah apa karena Norwegia memiliki Norwegian Refugee Council maupun Belanda sebagai negara donor dan bagian Uni Eropa. Sudahlah yang penting bagi satgas UNPOL Polri, uruasan penugasan dan urusan resiko adalah dimana saja dan kapan saja siap.
Bersambung…………………
Tinggalkan Balasan