TEORI NIAT DAN KESEMPATAN ( + KEMAMPUAN ) DALAM KEJAHATAN TERORISME

UPAYA POLRI DALAM RANGKA
PENCEGAHAN KEJAHATAN TERORISME

1. Definisi Terorisme

Istilah terorisme pertama kali muncul dalam kamus-kamus berbahasa Inggris tahun 1794, merujuk penggunaan kekerasan oleh kalangan Jacobian dalam Revolusi Perancis. Kata teror dari bahasa Latin terrere, yang berarti getaran, sepadan dengan kata tremble dalam bahasa Inggris. Kata yang merujuk pada kekerasan dalam beragam bentuknya untuk menimbulkan dan menyebarkan rasa takut.
Sedangkan terorisme menurut definisi Federal Bureau of Investigation (FBI) adalah the unlawful use of force or violence against person or property to intimidate or coerce a government, the entire population, or any segment thereof, in furtherance of political or social objectives. (Terorisme, pada hakikatnya, adalah suatu bentuk tindak kekerasan pelanggaran hukum yang ditujukan kepada masyarakat atau kelompok tertentu masyarakat, namun sasaran utamanya, sesungguhnya, adalah pemerintahan yang sah dalam upaya untuk mewujudkan suatu cita-cita politik.)
Pemerintah Indonesia mendefinisikan Tindak Pidana Terorisme sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang dimaksudkan untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

2. Bagaimana Kejahatan Terjadi

Kejahatan adalah masalah berbiaya tinggi dan menurunkan moral yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan masyarakat. Mungkin kejahatan tidak akan bisa dilenyapkan, tetapi kita bisa berharap bahwa kejahatan maupun ketakutan akan terjadinya kejahatan dapat dikurangi dan dikontrol. Pencegahan kejahatan adalah pendekatan sederhana dan terarah yang dapat meloloskan masyarakat dari resiko menjadi korban.
Dalam bukunya Wilcox (1991) mengidentifikasikan tiga elemen yang harus ada sebagai syarat terjadinya sebuah kejahatan. Ketiga elemen ini adalah desire (niat), ability (kemampuan), dan opportunity kesempatan). Dengan ketiga elemen inilah Wilcox membuat segitiga kejahatan (crime triangle). Tanpa adanya salah satu dari elemen ini, kejahatan tidak akan terjadi.

Dalam konteks ini kemampuan dan niat mengacu pada karakteristik penjahat atau orang yang potensial menjadi penjahat. Kesempatan mengacu pada segala kondisi yang bersifat kondusif terhadap terjadinya kejahatan. Kejahatan adalah sebuah hasil. Mencegah niat orang untuk berbuat jahat bisa menjadi suatu cara, tetapi solusi ini sulit untuk dilakukan masyarakat umum karena akses terhadap kelompok teroris tidak dimiliki oleh sembarang orang. Menghilangkan kemampuan seseorang untuk menciptakan teror bisa dilakukan dengan menahan pelakunya dalam penjara. Cara paling mudah untuk mencegah adalah dengan menghilangkan kesempatan orang untuk melakukannya.

3. Penyebab Munculnya Terorisme

Terorisme adalah bentuk kejahatan yang sangat spesifik dan kompleks. Kejahatan tersebut dilakukan bukan atas dasar motivasi nafsu dan keinginan pribadi, tetapi atas keyakinan pelaku bahwa mereka sedang memperjuangkan atau mempercayai suatu moralitas yang dianggap lebih tinggi agar dapat menggantikan moralitas pada masyarakat dan rezim yang ada.
Akar, motivasi, pelaku, dan tujuan terorisme bisa beragam. Ted Robert Gurr, pakar konflik dan terorisme modern, menyebut sejumlah kondisi yang secara umum menjadi penyebab munculnya terorisme, yakni; deprivasi relatif (rasa tertindas dan rasa diperlakukan secara tidak adil) yang berlangsung lama, rasa tertekan di bawah sistem yang korup, kolonialisme, ultranasionalisme, separatisme, radikalisme agama, fanatisme ideologi, ras maupun etnik (The Foundation of Modern Terrorism, 1997).

4. Mengapa Terorisme Ditujukan kepada Rakyat

Pelaku teror menyadari bahwa mereka tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan pemerintah (baca: aparat keamanan) secara frontal. Maka, yang dijadikan sasaran perantara adalah rakyat sipil yang tidak berdosa. Mengapa? Karena kaum teroris tahu bahwa fungsi pokok sebuah pemerintahan di mana-mana sama, yaitu melindungi nyawa dan harta-benda warganya. Pemerintah yang tidak sanggup menjalankan fungsi pokoknya itu, ia akan kehilangan legitimasinya, sehingga kejatuhannya tinggal persoalan waktu. Dengan meneror warga sipil, kaum teroris berharap masyarakat resah, bahkan senantiasa dicekam rasa takut, sehingga lama-kelamaan rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah, jika pemerintah tidak mampu mencegah aksi-aksi teror dan menghancurkan kekuatan teroris. Maka, setiap kali ada warga, apalagi kelompok masyarakat, yang merasa terancam atau diancam dengan tindak kekerasan oleh kelompok lain, pemerintah harus bertanggungjawab untuk secepatnya melawan ancaman tersebut, demi keselamatan jiwa kelompok masyarakat yang terancam.

5. Peran Polri dalam Mencegah Kejahatan Terorisme

Adalah fakta bahwa rasio polisi dan penduduk di Indonesia sangat tidak rasional. Tepatnya, 1:1.000. Satu polisi untuk 1.000 orang penduduk. Padahal, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), rasio idealnya adalah 1:350. Dengan jumlah yang minimal tersebut maka pelayanan dan perlindungan kepada penduduk memang lalu tidak bisa maksimal. Namun sudah menjadi tugas dan kewajiban polisi untuk bekerja secara optimum dalam menjaga keamanan dan ketertiban.
Kegiatan penanggulangan anti teror ditujukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aksi teror. Kegiatan ini meliputi tehnik pencegahan kejahatan murni yang ditujukan untuk memperkuat target serta prosedur untuk mendeteksi aksi teror yang terencana. Perencanaan dan latihan adalah unsur penting dalam program penanggulangan teror. Kegiatan preventif meliputi pe-rencanaan, tindakan pencegahan, persiapan dan latihan sebelum insiden terjadi. Selama tahap ini pertimbangan diberikan kepada penelitian, pengumpulan informasi dan intelijen, tindakan pen-cegahan, perencanaan yang mendalam serta latihan yang intensif. Pengalaman membuktikan bahwa pencegahan adalah cara terbaik untuk melawan terorisme.
Intelijen.
Pengumpulan keterangan/intelijen mengenai teroris adalah hal terpenting dalam memerangi teroris. Siapa teroris, kapan, dimana dan bagaimana ia akan melancarkan aksinya adalah pertanyaan yang harus terjawab dalam pengumpulan intelijen ini. Informasi yang dikumpulkan meliputi bidang sosial, ekonomi dan politik dari suatu daerah.
Analisa ancaman.
Idealnya langkah ini dilaksanakan secara terus menerus. Analisa terhadap ancaman ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinan ancaman yang dapat terjadi. Dalam melakukan analisa ini kita harus berfikir dari sudut pandang seorang teroris. Bagaimana kita akan melancarkan aksi teror terhadap sasaran? Daerah mana yang memiliki titik lemah dan kerawanan? Strategi dan taktik apa yang akan digunakan.
Pengamanan Operasi.
Pengamanan operasi atau kegiatan merupakan hal penting dalam pencegahan terjadinya aksi teror. Dalam pelaksanaan aksinya teroris akan mengeksploitasi data intelijen dari sasaran. Data intelijen ini diperoleh dari menggunakan agen, penyadapan dengan alat komunikasi dan penggunaan foto intelijen. Hal ini dapat kita cegah dengan kegiatan lawan intelijen serta dengan meningkatkan kesiap-siagaan terutama apa-rat keamanan. Dasar dari pengamanan kegiatan ini adalah rasa kepedulian dan latihan.
Pengamanan Personil.
Tidak seorangpun yang kebal terhadap serangan dari teroris. Dalam memilih sasarannya teroris tidak pernah memandang bulu. Target dapat berupaya kantor pemerintah, instalasi atau tempat-tempat umum. Orang-orang yang berada di tempat tersebut menjadi sasaran teroris semata-mata karena mereka berada di tempat tersebut saat serangan teroris. Seringkali teroris juga memilih orang-orang tertentu sebagai sasaran untuk penculikan, penyanderaan dan pembunuhan.
Pengamanan Fisik.
Pengamanan fisik mencakup pengamanan terhadap berita, materi serta pencegahan tindak kejahatan. Meskipun tindak kejahatan termasuk dalam kegiatan teroris namun terdapat beberapa perbedaan yang harus diperhitungkan dalam pelaksanaan pengamanan fisik. Teroris biasanya lebih terorganisir, terlatih, dan lebih memiliki motivasi dibanding kriminal biasa.
Wewenang dan Yuridiksi.
Dalam menghadapi aksi teror harus jelas batas wewenang dan wilayah tanggung jawab dari setiap satuan yang terlibat, sehingga dapat tercipta satu kesatuan komando.
Pembentukan Manajemen Krisis.
Merespon dari insiden terorisme dibutuhkan suatu keahlian khusus dan banyak pertimbangan. Tindakan yang paling awal adalah insiden yang terjadi harus dipastikan aksi teroris bukan hanya sekedar tindak kejahatan. Langkah selanjutnya adalah rencana operasi harus segera dibentuk untuk menghadapi aksi teroris tersebut. Karena aksi teroris tidak me-ngenal batas wilayah, maka penanganannya pasti melibatkan banyak unsur, baik itu Kepolisian, Militer maupun Pemerintah, untuk itu dibutuhkan suatu Badan yang mengkoordinasikannya. Badan tersebutlah yang bertanggungjawab membentuk Manajemen Krisis
Agar setiap tindakan dapat terarah dan terpadu secara efektif dalam menangani terorisme.

6. Penutup

Maraknya aksi terorisme di Indonesia akhir-akhir ini seharusnya menjadi cambuk Polri untuk bergerak lebih maju lagi seiring dengan kemajuan organisasi terorisme. Sifat terorisme sendiri yang sudah menjadi kejahatan transnasional tidak lagi memungkinkan penanganan secara lokal apalagi dilakukan oleh Polri sendirian. Kerjasama pencegahan melibatkan seluruh masyarakat, kesatuan samping, bahkan dengan badan-badan kepolisian negara lain. Terutama sekali Polri harus berperan untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat. Efek peristiwa WTC adalah ambruknya dunia penerbangan, efek Bom Bali adalah jatuhnya turisme Indonesia, bahkan orang tidak berani berada di tempat-tempat umum. Padahal jika dibandingkan dengan korban wabah demam berdarah kemarin, korban akibat terorisme masih kalah jauh. Kejahatan yang lebih besar di balik terorisme bukan hanya jatuhnya korban, tetapi rasa ketakutan berlebihan yang melumpuhkan seluruh sendi-sendi kehidupan kita.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudirman HN, Melawan hasrat Kematian Terorisme, harian Kompas, 12 Agustus 2003
2. Lesmana, Tjipta Masyarakat yang Resistent terhadap Terorisme, Harian Sinar Harapan, 11 Agustus 2003
3. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No. 106, 18 Oktober 2002
4. Goldenhuys, Kothie The Triangle of Crime and Crime Prevention as A Solution, http://www.findarticles.com
5. Wibowo, Andry, Terorisme vs Internal Security Act, Harian Sinar Harapan, 14 Agustus 2003
6. ——–, Patroli Polisi, Soal Lama yang Dilupakan, harian Kompas, 30 Juli 2003
7. Paulus, Loudewijk F Kol. Inf., Terorisme, artikel dalam Buletin Balitbang Dephankam RI Volume V No. 8, Juli 2002

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Situs Web WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: