Bosco Odonga berusia enam tahun ketika dia diberikan parang oleh pemberontak Uganda yang dipimpin oleh Joseph Kony. Pemberontak memaksanya untuk membunuh adik perempuannya yang masih berusia lima tahun; Juli. Bosco terpaksa membunuh saudara perempuannya itu. Komandan pemberontak mengarahkan laras senjatanya ke arah Bosco dan berkata: “Tebas dia dan lakukan dengan cepat!” Rasa iba Bosco diringkus oleh tembakan sang komandan ke udara.

Saat itulah hatinya mengecil dan Bosco tidak punya pilihan. Dia mengangkat tangan untuk menarik Juli keluar dari kerumunan, dan adiknya mulai menangis. Lalu dia berbisik kepada adiknya: “Maafkan aku, Juli. Aku harus melakukan ini.” Sang komandan menepuk pundak Bosco sekali lagi – akhirnya dia mengayunkan parangnya sambil memejamkan mata.
Juli tewas bersimbah darah karena kaki kecilnya dianggap tidak mampu mengimbangi langkah para pemberontak saat berpindah ke lokasi berikutnya. Ia terlalu lemah untuk menembus hutan dan menyeberangi sungai. Ia menghambat gerak cepat pasukan dan dia harus dihabisi.
Di Afrika sebagian anak “dipetik” paksa sebelum waktunya, diajari mematikan orang lain ketika mereka baru saja belajar tentang kehidupan. Senjata yang dipanggul hampir menyamai tinggi tubuhnya, tapi nyawa musuh adalah sepiring pisang bakar dan sekerat daging rusa. Mereka menukar makan malam dengan regang nyawa, miliknya atau orang lain.
Hari-hari di belantara Afrika dan di lembah-lembah Arab, adalah kehidupan masa kecil yang jauh dari gemerlap. Di sana hampir 20 juta anak terlibat dalam perang. Anak-anak yang berhasil melampaui perjalanannya, mengalami trauma, depresi, menjadi pecandu Narkoba atau terkena penyakit psikosomatis. Sebagian lagi insomnia karena setiap pejam mata adalah kisah getir, setiap cium adalah bau anyir, setiap dengar adalah bunyi senapan- seluruh hidupnya penuh desing mesiu.
Anak-anak adalah akselerasi, mereka energi masa depan. Mereka memiliki hak waktu untuk bersenda gurau di tanah lapang atau meniup suling di punggung kerbau. Disini, semua itu juga hampir menguap – berganti perang maya di pojok kamar, saling tembak digital bersama teman-temannya di belahan lain. Kepolosan anak-anak mulai hilang, peradaban yang brutal merampasnya agar masa depan datang lebih cepat lalu merasa lebih tua sebelum waktunya.

Dulu di Sudan ada laskar janjaweed yang dipakai oleh pemerintah buat melawan pemberontak ,kemudian pada konflik terakhir janjaweed akhirnya bergabung dengan pemberontak dan melawan pemerintah,. Why … It is all about money ( power),sama sama mengedepankan kekerasan dengan mengekploitasi agama bedanya cuma level kekerasan dan senjata.
Pada tahun 1983 presiden Jaafar Numeiry memutuskan untuk mengganti UU kolonial Inggris yang telah puluhan tahun diterapkan di Sudan dengan UU Syari’ah Islam. UU yang baru ini merujuk kepada UU Syari’ah (Hudud) yang diterapkan di Saudi Arabia, setelah sebelumnya didahului oleh studi komparasi selama 2 tahun.
Setelah itu Sudan terlibat dalam perang sipil yang sangat rumit dan terlama di dunia, 24 tahun. Warga Kristen dan suku-suku pagan lainnya yang mendominasi bagian selatan dan sub Sahara menolak UU Syari’ah. Warga Muslim berbasis Ahlusunnah wal Jama’ah juga menolak UU Syari’ah ini karena dianggap terlalu kental dengan Wahabisme.
Bukan hanya perang sipil, sejak itu Sudan menjadi negara dengan jumlah warga bertangan buntung terbesar di dunia. Rakyatnya yang masih terbelit kemiskinan, tidak mampu beradaptasi dengan sanksi hukum yang sangat ketat. Suasana politik di Sudan sejak itu sangat rentan. Negara ini sudah terbiasa dengan “political unrest”, konflik primordial hingga genosida seperti yang terjadi di Darfur sejak tahun 2003. Bahkan hampir semua pergantian pemimpin didahului dengan “tradisi” kudeta.
Kesimpulan yang ada adalah: pertama Sudan memang tidak akan pernah bisa mengakhiri konflik jika kekuatan militer masih terpecah dalam berbagai faksi. kedua; setiap konflik di Sudan selalu diselesaikan secara koersif dan militeristik, bukannya dengan dialog dan penguatan etno-sosial. Sehingga setiap masalah bisa terselesaikan karena rasa takut, bukan karena kesadaran. Mereka sanggup bersalaman dalam seremonial, tapi dengan dendam yang tak pernah padam.
Kita bisa mengambil pelajaran dari berbagai kegagalan mitigasi konflik di Sudan dalam menyelesaikan konflik di Papua. Jika mau. Beberapa konflik bersenjata di dunia bisa kita jadikan rujukan untuk bagaimana menyelesaikan masalah Papua. Bahwa hampir tidak ada konflik bersenjata selesai dengan operasi militer bersenjata tetapi justru lewat operasi militer dengan diplomasi dan intelijen.
Kisah ini diceritakan oleh Bosco di The Guardian dan Time Magazine. Saat ini Bosco menetap di Rusia dan menjadi dokter ahli kardiologi, maupun kemelut di Sudan menjadi inspirasi dengan cara pendekatan seperti yang dilakukan oleh Kadensus 88 AT Polri untuk memenangkan hati anak-anak para Napiter, dengan ide yang sama adalah mengadopsi kemalah Papua khususnya bagaimana bisa memenangkan hati anak-anak Papua sebagaimana Egianus Kogoya ini dari kecil sudah dididik oleh mereka dan juga banyak anak-anak Papua lainnya.
Tinggalkan Balasan