Berdasarkan fakta lapangan termasuk 49 wawancara dengan anggota Jemaah Islamiyah, Mujahidin KOMPAK, Darul Islam, Mujahidin Tanah Runtuh, jaringan pro-ISIS Indonesia dan kelompok jihadis lainnya serta 57 deposisi dan dokumen pengadilan, artikel ini mengeksplorasi perkembangan dan evolusi jalur ini dan bagaimana ikatan relasional berperan di masing-masing jalur.

• Mengapa Indonesia ?
Jika seseorang ingin memahami mengapa Muslim bergabung dengan kelompok ekstremis Islam, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia, menyediakan banyak informasi. Indonesia telah memiliki banyak sejarah pinggiran ekstrimis Islam diantaranya sebagai berikut :
A. Pemberontakan Darul Islam dan gerakan Darul Islam / Negara Islam Indonesia pada tahun 1948-1965.
B. Jamaah Islamiyah (JI) , yang didirikan pada tahun 1993 oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir.
C. Pada tahun 2008, Abu Bakar Ba’asyir pergi dari JI dan mendirikan Jamaah Anshorut Tauhid ( JAT ).
D. Pada Tahun 2014, JAT bubar menyusul keputusan Abu Bakar Ba’asyir untuk mendukung Islamic State of Iraq and Syria ( ISIS ) dan memimpin mereka yang menentang ISIS untuk membentuk Jamaah Ansharus Syariah ( JAS ).
E. Konflik komunal di Poso (Provinsi Sulawesi Tengah) dan Ambon (Provinsi Maluku) antara tahun 1998 dan 2007.
F. Rentetan kasus pengeboman sejak tahun 2013 yang didalangi oleh Jaringan Pro – ISIS dan Jamaah Ansharut Daulah ( JAD ) yang dipimpin oleh Aman Abdurrahman.
• Empat cara untuk masuk ke dalam kelompok ekstrimis Islam di Indonesia yaitu melalui kelompok pengajian, konflik lokal, kekeluargaan dan sekolah. Dengan keempat jalur ini, ikatan sosial dan hubungan adalah benang merah baik dalam mendorong masuk maupun dalam membentuk komitmen. Secara khusus, hubungan ini berkontribusi pada pembentukan dan akhirnya konsolidasi identitas sebagai anggota kelompok jihad melalui partisipasi rutin dalam kegiatan, menghadiri pertemuan, mempersempit lingkaran pertemanan hingga mereka yang ada di dalam grup, dan berpartisipasi dalam aktivitas yang semakin berisiko dan mungkin melakukan kekerasan bersama.
1. JALUR PENGAJIAN
Pengajian tersebar luas di seluruh Indonesia yang mencakup spektrum keagamaan penuh dari tradisionalis hingga moderat dan dari Islam moderat hingga radikal. Kedua bentuk tersebut sangat penting untuk membentuk hubungan baru, memisahkan Muslim yang saleh dari yang sekuler, memisahkan jihadi dari yang hanya saleh, dan memisahkan anggota atau calon anggota organisasi tertentu dari lingkungan jihad yang lebih luas. Ikatan sosial yang kuat yang terbentuk dalam sesi studi Islam yang lebih eksklusif memastikan kesetiaan kepada ihkwan dalam kelompok studi tersebut serta organisasi Islam militan.
Proses rekrutmen Jemaah Islamiyah melalui pengajian sejak berdirinya pada tahun 1993 hingga 2002 merupakan proses yang terkontrol secara ketat yang bertujuan untuk membentuk keanggotaan yang benar-benar dapat diandalkan dan berkomitmen yang terikat dengan loyalitas tidak hanya kepada amir tetapi juga sesama ikhwan . Untuk masuk ke JI sebagai orang luar/ sebagai seseorang yang bukan dari keluarga jihadis atau sekolah JI adalah proses yang sangat lambat dan melelahkan yang berlangsung lama, sesi belajar publik menjadi semakin kecil, eksklusif, tertutup , dan yang tertutup. Proses indoktrinasi dan sosialisasi yang bertahap ini memastikan bahwa hanya rekrutan yang paling berkomitmen yang menjadi anggota
Berbeda dengan kelompok Jamaah Islamiyah, maraknya pengajian internet dan media sosial tetap menjadi jalur utama seperti yang terlihat ketika melihat kelompok pro-ISIS di Indonesia. Jadi, saat pintu masuknya online, proses sebenarnya untuk bergabung dengan komunitas pro-ISIS adalah melalui kontak pribadi dan membentuk ikatan sosial, yang menandakan komitmen sejati.
Salah satu kelompok pro-ISIS yang mengadakan pengajian menggambarkan perannya sebagai memberi tahu orang-orang tentang konsep al-Baghdadi. Seperti di Jamaah Islamiyah, pengajian memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Ini adalah sebuah proses, mereka perlu membaca kembali Quran, mereka harus berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Kami melihat mereka dan keluarganya. Apakah mereka hanya berbicara atau apakah ini benar-benar keyakinan mereka. Setelah seseorang melewati langkah-langkah ini dan melewati semua evaluasi yang diperlukan, mereka akan mengarahkannya ke titik di mana tingkat komitmen berikutnya akan dipastikan. Dalam hal ini berarti hijrah (migrasi) ke Suriah untuk berjihad atau tinggal di kekhalifahan ISIS. Jadi, untuk para simpatisan ISIS di Indonesia, komitmen sejati pertama-tama harus menjalin hubungan relasional baru dengan pendukung ISIS lainnya di Indonesia dan kemudian meninggalkan seluruh jaringan sosial mereka untuk kehidupan baru di Suriah.
2. JALUR KONFLIK LOKAL
Keinginan untuk membela komunitas Muslim yang sedang diserang memotivasi ratusan orang Indonesia untuk pergi ke Afghanistan pada tahun 1980-an, ke Filipina pada tahun 1990-an, dan ke Suriah sejak 2013. Pelatihan atau pertempuran di Afghanistan atau Filipina Selatan berfungsi sebagai titik komitmen bagi mereka yang telah bergabung dengan kelompok ekstremis Islam dan mengambil bai’at, sementara konflik Suriah sejak 2013 berfungsi sebagai titik masuk dan titik komitmen yang mencerminkan dinamika global. Antara tahun 1998 hingga 2007, Mujahidin di Indonesia juga bergabung dengan jihad lokal dalam konteks konflik komunal, yang meletus di Poso pada Desember 1998 dan di Ambon pada Januari 1999. Dari 106 individu dalam kumpulan data digunakan oleh artikel ini, 21 orang bergabung dengan kelompok militan Islamis Indonesia sebagai akibat dari konflik lokal ini, menjadikan jalur ini menjadi urutan kedua yang paling sering dikutip.
Konflik komunal di Ambon dan Poso berawal dari pergeseran sosial, politik dan ekonomi akibat migrasi masuk Indonesia selama beberapa dekade. Konflik tersebut membuat Muslim dan Kristen diadu domba satu sama lain, gereja dan masjid menjadi sasaran, dan agama digunakan untuk mobilisasi. Tidak mengherankan baik Ambon maupun Poso menjadi pintu masuk ke dalam organisasi jihad dan jihad bagi sejumlah umat Islam Indonesia. Bagi mujahidin Jawa dan mujahidin lokal, hubungan interpersonal dan sosial menjadi faktor pendorong yang kuat – untuk pergi, bergabung, tinggal, dan berpartisipasi dalam kekerasan. Hubungan ini juga menjadi faktor kunci dalam melanjutkan jihad bahkan setelah konflik komunal berakhir di Poso pada Desember 2001 dan Ambon pada Februari 2002. Jihad yang terus berlanjut ini ditandai dengan serangan balas dendam di kedua wilayah oleh Muslim ekstremis hingga 2005 di Ambon dan 2007 di Poso . Terlebih lagi di Poso, ikatan sosial dan jaringan yang kuat dari mantan kombatan memungkinkan munculnya kembali kekerasan dari tahun 2012 hingga 2016.
Ikatan sosial yang terbentuk selama konflik Ambon dan Poso juga memastikan bahwa jaringan yang langgeng dan dapat diandalkan, tetap ada setelah konflik berakhir. Hal ini kemudian digunakan untuk mendirikan organisasi Islam militan pro-ISIS baru di daerah tersebut dan telah memainkan peran kunci dalam merekrut anggota baru ke dalamnya. Salah satunya adalah Mujahidin Indonesia Timor (MIT) yang didirikan di Poso pada akhir tahun 2012 di bawah kepemimpinan Santoso. Santoso memanfaatkan situasi ini seperti keluhan Muslim yang belum terselesaikan dari konflik Poso, dan keinginan untuk membalas dendam terhadap kebijakan untuk merekrut Muslim lokal ke dalam kelompok barunya. Contoh lain adalah jaringan ISIS Indonesia yang lebih luas, yang secara aktif mencari alumni Ambon dan Poso karena mereka memiliki pengalaman tempur sebelumnya.
3. JALUR KEKELUARGAAN
Literatur tentang terorisme mencatat bahwa kekeluargaan merupakan mekanisme penting dalam rekrutmen, hal ini berlaku terutama untuk Jamaah Islamiyah. Dalam sejarah panjang kelompok jihadis Indonesia, terdapat keluarga jihadis multigenerasi, dimana orang tuanya adalah anggota Darul Islam, yang kemudian bergabung dengan JI setelah perpecahan. Ada yang menyekolahkan anaknya ke sekolah JI. Ketika mereka menikah dan memiliki anak sendiri, mereka mengikuti jalan yang sama. Tradisi jihadi multigenerasi dan persinggungannya dengan pendidikan Islam radikal di beberapa pesantren mungkin hanya terjadi di Indonesia. Jamaah Islamiyah juga unik , yang merupakan satu-satunya organisasi salafi-jihadi di Indonesia yang memiliki jaringan sekolah yang luas. Tradisi yang oleh Sidney Jones disebut “jihadisme warisan” ini juga terlihat dengan keterlibatan para jihadis Indonesia dalam konflik di luar negeri di mana anak laki-laki dari mereka yang bergabung dengan jihad Afghanistan pada 1980-an, kemudian pada gilirannya, telah bergabung dengan jihad Suriah.
Dalam hubungan kekeluargaan, ada empat rute utama. Yang paling umum adalah melalui orang tua di mana seseorang benar-benar lahir dalam jihad, disosialisasikan oleh orang tua ke dalam pandangan dunia jihad, dan dikirim ke sekolah jihad yang tepat untuk dipersiapkan menjadi anggota organisasi jihad. Komunitas jihadis adalah inti dari jaringan sosial seseorang sejak kecil. Rute kedua adalah melalui saudara kandung. pola dimana saudara yang lebih tua sering merekrut adik-adik, meskipun mereka tidak selalu membujuk saudara mereka yang lebih tua untuk mengikuti mereka. Yang ketiga adalah melalui anggota keluarga besar seperti paman yang mengasuh keponakan tertentu untuk mengikuti mereka sejak usia muda. Yang keempat adalah melalui pernikahan yang berfungsi untuk mengkonsolidasikan ikatan sosial dalam kelompok dan titik komitmen terhadap organisasi.
Pernikahan juga berperan dalam jaringan pro-ISIS di Indonesia. Di sini, selain perjodohan tradisional juga terdapat “kawin rahasia” dan hasil “pertemuan” di Facebook atau di grup Telegram. Meskipun pernikahan di jaringan pro-ISIS, DI, dan JI semuanya merupakan titik komitmen, di JI dan DI mereka berfungsi untuk memperkuat ikatan sosial di dalam kelompok dan loyalitas kepada jaringan. Sebaliknya, beberapa pernikahan di jaringan pro-ISIS di Indonesia – yang bertentangan dengan yang terjadi di Suriah – menjadi penyebab serangan teror
4. JALUR SEKOLAH
Sekolah sebagai sarana perekrutan sebagian besar merupakan jalur khusus Jemaah Islamiyah. Diperkirakan ada antara 40 dan 60 sekolah yang berafiliasi dengan JI. Perekrutan jihadis yang paling terkenal secara historis adalah Al-Mukmim di desa Ngruki dekat Solo, yang saat ini berafiliasi dengan Jamaah Ansharusy Syariah (JAS), Al-Islam di Lamongan, Al-Mutaqin di Jepara, Darus Syahadah di Boyali, dan Luqmanul Hakim yang sekarang tutup di negara bagian Johor Malaysia. Berbeda dengan kelompok Pro-ISIS yang tidak memiliki jaringan sekolah seperti itu, namun Ada beberapa sekolah yang terkait dengan ISIS, terutama Ibnu Mas’ud di Bogor yang didirikan oleh pemimpin Jamaah Ansharut Daulah, Aman Abdurrahman.
Sistem sekolah Jamaah Islamiyah adalah tetap dan sepenuhnya mandiri, dimulai dengan kelompok bermain untuk mensosialisasikan anak-anak dalam tradisi salafi-jihadi sebelum mereka mengetahui alternatif lain. Tujuan sekolah-sekolah ini adalah untuk menumbuhkan jaringan lulusan yang simpatik terhadap pandangan dunia salafi-jihadi dan pemahaman Islam. Namun, sebagian kecil dari siswa tersebut (sekitar 6-8 per kelompok) yang menghadiri sekolah akan ditawari kesempatan untuk menghadiri kelompok belajar agama yang pada akhirnya dapat berpotensi mengarah pada perekrutan. Orang tua JI yang menyekolahkan anaknya di sekolah JI melakukannya dengan maksud agar anak laki-laki mengikuti bapaknya ke dalam kelompok sedangkan anak perempuan akan dididik menjadi istri anggota kelompok.
Proses penyaringan dimulai sejak sekolah menengah pertama dan dilakukan dengan sangat hati-hati, memeriksa perilaku belajar agama di luar kegiatan pesantren formal dan dalam aktivitas sehari-hari. Mereka akan dikunjungi oleh perekrut yang ditunjuk dan diundang untuk bergabung dengan kelompok belajar Alquran dan kelas tambahan seperti seni bela diri. Mereka akan diamati melalui kegiatan ekstra kurikuler tersebut dan akan dipastikan siapa yang berpotensi untuk direkrut. Begitu mereka mencapai tahun kedua sekolah menengah atas, jika mereka melewati tahap itu, mereka kemudian siap untuk dauroh, karangan belajar internal kelompok selama beberapa malam di mana potensi anggota diberi pengarahan tentang sejarah Darul Islam, tentang perlunya melanjutkan perjuangan, tentang intelijen, dan hal-hal lain sebelum mereka akhirnya mengambil bai’at.
Sementara dalam komunitas pro-ISIS, meskipun sekolah bukanlah jalur yang menonjol dalam, ada beberapa sekolah yang patut disebutkan seperti Pesantren Anshorullah di Ciamis dan Miftahul Huda di Subang yang terlibat dalam persiapan aksi bom Jakarta 2016. Sekolah pro-ISIS yang paling terkenal adalah Ibnu Mas’ud, yang dibuka di Depok pada tahun 2009 sebelum pindah ke Bogor pada tahun 2011. Sekolah yang didirikan oleh Aman Abdurrahman ini bertujuan untuk mensosialisasikan anak-anak berusia empat tahun ke dalam ideologi takfiri . Menurut Sofyan Tsauri, mantan militan yang terlibat dalam kamp pelatihan Aceh pada tahun 2010, sekolah itu memiliki fungsi ganda: pertama, mendidik anak-anak jihadis dan, kedua, sebagai rumah persembunyian bagi buronan ekstremis. . Ketika Aman Abdurrahman bersumpah bai’at kepada Abu Bakar al Baghdadi, sekolah itu berafiliasi dengan jaringan pro-ISIS. Memang, pada Juli 2017, delapan guru dan empat siswa pergi berperang di Suriah atau berusaha pergi, sementara 18 lainnya dari sekolah telah ditangkap atau dihukum dengan tuduhan merencanakan atau melakukan serangan teror .
• KESIMPULAN
Artikel ini membahas empat poin utama jalur masuknya para umat Muslim kedalam kelompok ekstremis Islam di Indonesia dimulai dari yang paling utama yaitu pengajian , kemudian konflik lokal, kekeluargaan dan yang terakhir adalah sekolah. Dalam semua ini, ikatan sosial sangat menonjol, di jalur sekolah, ini telah menjadi ikatan antara teman sebaya dan guru. Di jalur konflik, bagi pejuang lokal, berbagai pengalaman trauma di tengah kekerasan komunal dan keinginan bersama untuk balas dendam telah menumbuhkan kesatuan dan identitas yang serupa. Jalur kekeluargaan berbeda dari dua yang pertama, ikatan sosial keluarga memberikan kekuatan untuk tetap berada dalam gerakan dan menjadi anggota yang memiliki reputasi baik karena kesetiaan keluarga terkait dengan gerakan organisasi. Yang terakhir merupakan Jalur Pengajian dimana seseorang diharapkan mempersempit lingkaran sosialnya dan memisahkan diri dari afiliasi dengan organisasi lain, serta tidak ada persyaratan untuk perekrutan sekolah karena mereka secara efektif sudah menjadi bagian dari masyarakat.
Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang RAN PE akan diwujudkan melalui lima langkah.
Pertama, koordinasi antarkementerian/lembaga (KL) dalam rangka mencegah dan menanggulangi Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Kedua, partisipasi dan sinergitas pelaksanaan program-program pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang dilakukan baik oleh K/L, masyarakat sipil, maupun mitra lainnya.
Ketiga, kapasitas (pembinaan kemampuan) sumber daya manusia di bidang pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Keempat, pengawasan, deteksi dini, dan cegah dini terhadap tindakan dan pesan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Kelima, perhatian terhadap para korban tindak pidana Terorisme dan pelindungan infrastruktur serta objek vital (critical infrastructures) lainnya.
Dalam lampiran juga disebutkan adanya permasalahan, yakni perlunya optimalisasi peran pemolisian masyarakat dalam pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Untuk menyikapi hal tersebut melalui Perpres RANPE ini akan dilakukan Pelatihan pemolisian masyarakat yang mendukung upaya pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada terorisme.
SukaSuka