TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA : NORMATIF, TEORETIS, PRAKTIK DAN MASALAHNYA
Mulyadi, Lilik, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia : Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya, Alumni Bandung
Secara kronologis, terdapat 8 fase perkembangan peraturan tentang TPK yaitu : 1) Fase ketidakmampuan tindak pidana jabatan dalam KUHP untuk menanggulangi korupsi; 2) Fase Kep.Pres No. 40 Tahun 1957 jo Regeling op de Staat van Oorlog en van Beleg tentang Keadaan Darurat Perang; 3) Fase Kep.Pres No. 225 Tahun 1957 jo UU No. 74 Tahun 1957 jo UU No. 79 Tahun 1957 tentang Keadaan Bahaya; 4) Fase Perpu No.24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan TPK; 5) Fase UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan TPK; 6) Fase UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan TPK; 7) Fase UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK; 8) Fase Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 yang diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 2006.
Lembaga/komisi yang melakukan penanganan terhadap TPK sesuai hukum positif di Indonesia yaitu 1) Lembaga Kepolisian sesuai UU No. 2 Tahun 2002 dan KUHAP sebagai penyidik TPK; 2) Lembaga Kejaksaan berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 dan KUHAP sebagai penuntut umum dan penyidik TPK; 3) Tim Koordinasi Pemberantasan TPK (Tim Tastipikor) berdasarkan Kep.Pres No. 11 Tahun 2005; 4) KPK berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002; 5) Lembaga Peradilan (Peradilan Umum dan Pengadilan Ad-Hoc TPK) berdasarkan UU No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Pengadilan Ad-Hoc TPK.
Pengertian dan tipe TPK berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ttg Pemberantasan TPK adalah :
• Tipe pertama (Pasal 2 UU TPK), unsurnya setiap orang, perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dalam hal tertentu pelaku TPK dapat dijatuhi pidana mati.
• Tipe kedua (Pasal 3 UU TPK), unsurnya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
• Tipe ketiga (Pasal 5,6,8,9,10,11,12,13 UU TPK), dengan menarik perbuatan dari KUHP yang bersifat penyuapan (Pasal 209,210,418,419,420 KUHP), penggelapan (Pasal 415,416,417 KUHP), kerakusan (Pasal 423,425 KUHP), perbuatan yang berkorelasi dengan pemborongan, leveransir dan rekanan (Pasal 387, 388 dan 435 KUHP).
• Tipe keempat yaitu tipe korupsi percobaan, perbantuan atau permufakatan jahat serta pemberian kesempatan, sarana atau keterangan terjadinya TPK yang dilakukan oleh orang di luar wilayah Indonesia (Pasal 15,16 UUTPK).
• Tipe kelima yaitu korupsi yang tidak bersifat murni (Pasal 21-24 UU TPK) misalnya mencegah, merintangi, menggangalkan, sengaja tidak memberi keterangan.
Prinsip dasar pemeriksaan perkara pidana dalam persidangan menurut KUHAP adalah 1) sidang harus dinyatakan dibuka dan terbuka utuk umum; 2) ketentuan harus hadirnya terdakwa dalam persidangan yang kemudian dilengkapi dengan kemungkinan diterapkannya peradilan di luar kehadiran terdakwa atau in absentia (Pasal 38 UU TPK); 3) pimpinan pemeriksaan persidangan dipimpin hakim ketua sidang; 4) pemeriksaan dilakukan secara langsung; 5) pemeriksaan untuk mendapat keterangan terdakwa atau saksi dilakukan secara bebas; 6) pemeriksaan dilakukan terlebih dahulu untuk mendengarkan keterangan saksi.
Sesuai Pasal 156 ayat (1) KUHAP, terdapat 3 bentuk keberatan yang dapat diajukan oleh terdakwa/penasehat hukum yaitu : 1) keberatan tidak berwenang mengadili (exception of incompetency) meliputi keberatan tidak berwenang mengadili baik secara absolut maupun relatif, keberatan dakwaan tidak dapat diterima, keberatan apa yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran, keberatan apa yang didakwakan telah pernah diputus dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, keberatan apa yang didakwakan telah kadaluarsa, keberatan apa yang dilakukan terdakwa tidak sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya; 2) keberatan surat dakwaan batal karena tidak memenuhi syarat formal dan syarat materiel; 3) keberatan atas perubahan surat dakwaan misalnya karena melebihi tenggang waktu 7 hari, JPU tidak menyampaikan turunan perubahan surat dakwaan kepada tersangka/penasihat hukum. Jawaban hakim terhadap keberatan tersebut sesuai Pasal 156 ayat (1) KUHAP dapat berupa : 1) menyatakan keberatan diterima; 2) menyatakan keberatan tidak dapat diterima; 3) menyatakan keberatan akan diputus bersama dengan putusan pokok perkara.
Jenis-jenis penjatuhan pidana dalam TPK oleh hakim terdiri dari :
• terhadap orang yang melakukan TPK dapat berupa pidana mati, pidana penjara, pidana tambahan (berupa perampasan barang, pembayaran uang pengganti, penutupan perusahaan, pencabutan hak-hak tertentu, bila tidak mampu mengganti maka dipidana dengan pidana penjara), gugatan perdata kepada ahli warisnya
• terhadap tindak pidana yang dilakuan oleh atau atas nama suatu korporasi berupa pidana terhadap korporasi atau pengurusnya dengan pidana pokok berupa denda ditambah 1/3.
Putusan hakim dalam TPK ada 3 yaitu 1) putusan bebas yaitu bila terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan TPK; 2) putusan pelapasan dari segala tuntutan hukum bila apa yang didakwakan memang terbukti secara sah dan meyakinkan tetapi hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan bukan tindak pidana; 3) putusan pemidanaan bila perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan.
Tinggalkan Balasan