TREND TERORISME GLOBAL TERHADAP RESPON POLRES SEBAGAI KOD
PENDAHULUAN
Pengaruh lingkungan strategis terhadap dinamika di Indonesia dapat dilihat dari pengaruh berbagai faktor Global, Regional mauoun Nasional, antara lain : terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden ke 45 Amerika Serikat, yang sarat dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang bersifat kontroversial, dengan polemik dan gejolak serta mempengaruhi situasi dunia; Fluktuasi harga minyak dunia yang masih tidak stabil ternyata juga berpengaruh kepada stabilitas perekonomian negara; tekanan Negara koalisi terhadap ISIS yang terus menerus akan manambah jumlah returnees dan deportees terrorist keluar dari Suriah maupun Irak.

Kemunculan China sebagai negara super power di bidang ekonomi dan pertahanan di kawasan Dunia semakin mempercepat dinamika lingkungan strategis, termasuk di kawasan regional Asia ketika semakin gencarnya operasi militer yang dilakukan oleh Pemerintah Philipina terhadap jaringan terorisme di Kepulauan Mindanao dan Marawi, dimana ketika beberapa Foreign Terrorism Fighter yang berasal dari Indonesia dinyatakan telah tewas maupun tertangkap oleh Pmerintah Philipina ternyata justru merupakan kabar yang sangat berpengaruh terhadap pergerakan jaringan teror regional khususnya antara Malaysia-Indonesia-Philipina.
Beberapa diskusi muncul pasca insiden serangan teror yang dilakukan oleh para Returnee, lone wolf dan lone wolfes di Indonesia bahkan di dunia International adalah merupakan sebuah kajian tentang trend serangan teror Internasional yang berpengaruh terhadap kondisi stabilitas dalam negeri Indonesia.
Beranjak dari konsep “the wave of terrorism” yang di sebutkan oleh David C. Rapoport (2004: 47) tentang evolusi terorisme selama 130 tahun terakhir sejak abad19 di Eropa dan Dunia. Rapoport menemukan bahwa terdapat 4 (empat) gelombang terorisme modern yang terdiri dari : Gelombang I (Anarchist wave) berawal dari lambannya proses demokratisasi Rusia. Wujudnya adalah Revolusi Bolshevik yang kemudian memunculkan kekuatan tata dunia baru dimana system feodal di beberapa Negara runtuh untuk kemudian berganti dengan system Demokrasi maupun Komunisme.
Gelombang ke-2 (Anticolonial wave) bermula tahun 1920-an, ketika faksi garis keras gerakan nasionalis melibatkan taktik teror dalam perjuangannya atau ketika para pemimpin kelopok aspirasi nasionalis dengan taktik terror, banyak terbentuk Negara –negara baru dari hasil melawan kolonialisme yang telah mengungkung suatu masyarakat selama ini.
Gelombang ke-3 (New left wave) yang masih tersisa saat ini terdapat di Nepal, Spanyol. Peru dan Kolumbia. Sepak terjang Brigade Tentara Merah Italia maupun gerakan Tentara Merah Jepang merupakan kenangan yang tak terlupakan atas kekejian tindakan terror yang pernah terjadi pada masa itu.
Sedangkan gelombang ke-4 (Religious wave) bermula sejak akhir 1970-an sampai sekarang, ketika polarisasi kekuatan dunia antara blok Barat dan Timur berakhir pasca perang dingin dengan lahirnya berbagai Negara-negara baru bekas pecahan Uni Soviet dan Yugoslavia.adalah aal mula trend terorisme menjadi pertarungan antara identitas Barat dengan identitas Agama, nama Osama Bin Laden sebagai pemimpin jaringan Al Qaeda berhasil mengguncang kemapanan masyarakat Barat khususnya Amerika dan Inggris untuk menyadari bahwa polarisasi kembali muncul justru saat Blok Komunis runtuh secara massal.
Studi
berikutnya tentang trend terorisme adalah merupakan hasil penelitian dari Jason
Thomas Destein (2015) yang melengkapi teori dari Rapoport diatas dengan
menyebut bahwa saat ini telah muncul wave Kelima yakni gelombang balas dendam,
“Revenge” oleh kelompok semi states, Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa isu
pertentangan identitas berupa religious ternyata tidak cukup untuk menarik
minat seseorang menjadi lone wolf maupun FTF, dibutuhkan isu lain sebagai bahan
bakar misalnya (kesenjangan ekonomi, akses kesejahteraan ,praktek diskriminasi dan
kebijakan negara berbasis perbedaan
identitas primordialisme)
PEMBAHASAN
Wave of terrorism memberikan wawasan kepada kita bahwa aktor, target, locus, modus dan tempus serangan senantiasa berubah dan sangat dinamis. Merujuk pengalaman atas serangan teror yang mendera Indonesia sejak bom Bali I terlihat adanya lompatan -lompatan pola serangan sebagai berikut :
Penggunaan Bom Mobil atau setidaknya Bom ransel, seperti pada kasus Bom Rusun Tanah Tinggi, Mall Cijantung , Atrium Senen, Bom Malam Natal, Bom Bali 1 dan II, dimana ditemukan bahwa hampir semuanya dilakukan dengan skala besar , melibatkan aksi “pengantin” Bom bunuh diri dengan sasaranya jelas adalah identitas Barat seperti fasilitas Amerika, Australia atau juga Inggris.
Pola berikutnya pasca penangkapan besar besaran dan upaya gakkum yang tegas terhadap jaringan Bom Bali I dan II serta pelaku serangan Bom lainnya, jaringan teror di Indonesia mulai merubah Pola serangan dengan melakukan aksi hit and run dengan sasaran Polri, adanya doktrin “firoqul maut wal ightiyaalaat” (kelompok – kelompok pembawa maut dan pembunuh senyap) untuk melakukan ightiyalat dan inghimas, dimana konsep Ightiyalat diterjemahkan sebagai sebuah operasi pembunuhan mendadak terhadap sasaran tertentu yang menjadi lawan.

Ightiyalat merupakan operasi yang melibatkan sarana militer, tetapi inti utamanya adalah masalah keamanan (security) sedangkan Inghimas ini adalah serangan yang mampu menerobos ke jantung pertahanan musuh dengan korban efektif dan efek kejutan yang tidak kalah dahsyat, sebagai near enemies yakni mereka yang dianggap merintangi upaya serangan terhadap identitas Barat (far enemies) di Indonesia, pada masa itu kerap terjadi (sampai sekarang) penembakan terhadap personal Polri dilapangan maupun percobaan serangan racun Sianida di kantin dan supply air minum isi ulang yang kerap didatangi anggota Polri.
Pola serangan tunggal dan sporadis
Trend selanjutnya adalah serangan-serangan tunggal yang dilakukan oleh para lone wolf dan wolfes berupa active shooter maupun MTFA : Marauding terrorist firearms attacks , bentuk seranganya adalah pelaku tunggal atau team dengan bermodalkan senjata api atau sajam seadanya saja termasuk beberapa Bom rakitan skala kecil untuk menyerang petugas Polri maupun Markas Kepolisian : kasus Bom di Masjid Polres Cirebon, serangan Bom di Halte Kampung Melayu, percobaan Bom Panci di depan Istana Presiden, insiden Sarinah Thamrin dan termasuk penyerangan di Mapolda Riau, Sumut , Polresta Surabaya, Polres Banyumas dan kini di Polsek Wonokromo.
Trend di Indonesia dan respon Polri
Berbagai lompatan -lompatan pola serangan teror di Indonesia didapatkan beberapa pengetahuan baru sebagai pembelajaran sekaligus antisipasi yang harus dilakukan oleh Kepolisian khususnya pada level Polres sebagai Komando Operasional Dasar Kepolisian, antara lain bahwa:
Respon cepat Polisi di lapangan merupakan hal mutlak, setiap Polisi dilapangan memiliki tugas untuk melakukan respon awal sebelum Tim taktikal dari CRT Densus 88 maupun Satwanteror Gegana Tiba di TKP.
Tugas Polisi ( apapun tugas dan strukturnya ) adalah melakukan upaya 4 C yakni : COUNTER atau lawan semampunya dulu; CORDON atau giring pelaku ke satu sudut termasuk menggiring masyarakat keluar dari lokasi kontak; CLOSE yakni menutup TKP agar tidak banyak orang yang ingin tahu masuk ke lokasi kontak , dan terakhir adalah CALL atau panggil bantuan yakni pasukan Taktikal dengan menyiapkan lokasi brefing cepat , penyiapan akses keluar masuk dan lokasi screening untuk memilah mana pelaku dan mana korban.
Peran Polri dalam respon cepat di TKP serangan teror
Terdapat peran utama setiap Polisi di TKP adalah untuk : saving people’s live , artinya menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin dengan cara langsung bergerak ke sumber tembakan atau ancaman, tujuanya adalah buying time mengulur waktu agar Team Taktikal CRT dan Wanteror Gegana sempat datang untuk melakukan penindakan dan peran untuk gathering intelligence yakni mengumpulkan data awal dari pelaku yakni siapa, berapa pelakunya, cirinya ,bawa senjata apa, untuk nanti peran petugas Polri dilapangan adalah scouting atau memandu Tim taktikal yang datang pasti datang dalam keadaan buta dan tuli.
Konsep inilah yang disebut dengan RASI ( response on active shooter incident) maupun MTFA itu sendiri, perbedaan antara RASI Dan MTFA sebenarnya simple saja yakni siapa negara yang memberikan program pelatihan, sedangkan persamanya adalah bagaimana Polisi di Lapangan mampu bereaksi dengan cepat dan tepat dilapangan sebelum Tim Taktikal tiba.
Seperti Kita ketahui saat tragedy Mumbai maupun kasus penyanderaan Bus Parwisata di Philipina terdapat beberapa fakta yang harus menjadi bahan refleksi Polri, antara lain : saat terjadi serangan teror dengan pola active shooter tidak boleh lagi Polisi non Taktikal hanya bertugas untuk memasang police line dan hanya menunggu Tim Taktikal tiba, harus segera lalukan tugas 4C tadi, artinya adalah setiap anggota Polri mengetahui, mengerti dan memahami bagaimana melakukan tactical progression yakni two men go bahkan one man go dengan senpi yang dimiliki, artinya lagi adalah setiap anggota Polri wajib dibekali latihan cara menggunakan senpi secara benar, tahu cara manuver di Lorong, Gedung dan setidaknya bisa membedakan cara membuka pintu secara taktis.
Perlunya pusat kendali operasi berupa operator HT maupun Pusat CCTV yang bisa diandalkan, syukurlah saat ini hampir setiap Polda memiliki Mobil Komando Taktis yang dipercayakan kepada Resmob Polda termasuk beberapa Polda dan Polres yang telah memiliki Command Centre yang bisa dipakai memantau dan mengendalikan operasi penindakan, cuma apakah operator dan alat-alat yang ada dalam keadaan siap pakai dan pernah berlatih manajemen insiden active shooter?
Pelajaran dari kejadian penyanderaan Bus di Philipina dan serangan Minggu Paskah di Sri Lanka adalah bagaimana kontradikasi peran media Massa terutama sosmed berbasis internet justru menjadi boomerang bagi upaya penanggulangan serangan teror, pada serangan Bus Pariwisata di Philipina adalah bukti bagaimana konsep first to know dan first to share social media akhirnya berujung pada timbulnya belasan sandera tewas, kejadian yang berhasil diantisipasi oleh Pemerintah Sri Lanka dengan menutup semua akses internet pasca serangan teror, Pola yang sama berhasil dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pasca insiden 21 dan 22 Mei 2019 lalu.
Bagaimana respon Polres sebagai KOD
Melihat trend serangan yang sedemikian dinamis maka respon Polres sebagai KOD adalah : Alternative pertama dengan menempatkan, sebar habis setiap team CRT dan Gegana yang ada, cara ini sangat efektif namun tidak efisien yakni berapa lama dan bagaimana dukungan lainnya .
Alternative kedua adalah dengan membekali setiap anggota Polri khususnya yang bertugas langsung dilapangan (Bhabinkamtibmas, Polantas , Sabhara maupun Reskrim dan Intelijen dengan kemampuan taktikal seperti materi tactical progression dengan mencuplik beberapa materi tanggap darurat yang diajarkan pada materi Wanteror maupun CRT Polri.
Pilihan
kedua juga mensyaratkan bahwa perlunya wish
pimpinan KOD (Kapolres) untuk mau menyelenggarakan latihan taktikal ini di
lingkup tugasnya, dengan menggandeng Satbrimob Polda setempat sebagai
narasumber, namun yang paling utama adalah menjadikan materi taktikal : menembak reaksi, manuver
buddy system , manajemen insiden, P3K dan penguasaan Alat Komunikasi berupa HT, menjadi
materi pokok yang diajarkan di sekolah pembentukan Brigadier, Akpol bahkan Setukpa
dan PTIK.
Ijin share.
Terima kasih
SukaSuka