Tinjauan aspek teknis dalam penemuan dan pencarian alat bukti digital kasus “penghinaan” melalui media Twitter
Eksistensi UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai Cyberlaw di Indonesia mengatur antara lain : Transaksi elektronik atau e-commerce, hak cipta ( property right), pemanfaatan tanda tangan digital ( Digital Signature) dan ( Certification Authority ), perbuatan pidana ( cybercrime) dan pemanfaatan alat bukti digital ( Digital Evidence).
Akibat perkembangan dan akseptibilitas internet selain sebagai alternative infrastruktur modern , ternyata juga menimbulkan permasalahan yang bersifat teknis maupun non teknis, masalah teknis yang muncul adalah masalah reabilitas teknologi elektronik itu sendiri, inti teknologi dan piranti pendukungnya dalam hubungannya dengan penggunaanya sebagai media, sedangkan masalah nonteknis adalah masalah yang berkaitan dengan implikasi –implikasi yang lahir dari aplikasi teknologi elektronik itu.Permasalahan dan problematika yang muncul, terbagi dalam : 1. Problematika substantive , yaitu keaslian data massage, keabsahan ( Validity), kerahasiaan (confidentiality/ privacy), keamanan ( security), dan ketersediaan ( availability). 2. Problematika procedural umumnya terkait masalah yuridiksi, hukum positif , nasionality dari pelaku maupun korban.
Selain terkait dengan types of evidence bahwa terdapat pertimbangan klasifikasi bukti digital “ Classification of Digital Evidence yang meliputi :
1. Original Digital evidence sebagai physical items, data objects, yang terkait dengan kejahatan dimana langsung diperoleh pada saat penyitaan.
2. Duplicate digital evidence sebagai reproduksi akurat dari semua obyek data yang diperoleh.
3. Demonstrative evidence merupakan hasil rekonstruksi dari suatu peristiwa, kejadian yang memungkinakan ditampilak kehadapan sidang dengan menggunakan visualisasi, table dan grapis.
4. Documentary evidence merujuk kepada document tertulis seperti bukti pada umumnya.
Dengan melihat kepada studi kasus “penghinaan “ atau pencemaran nama baik terhadap profesi “ Advokad “ oleh seseorang yang dengan berinisial DI , dimana beberpa Advokad yang merasa tersinggung akibat Kehormatan dan nama baik profesi Advokad dilecehkan dengan menyebut sebagai koruptor terdapat suatu pembelajaran yang unik terkait bagaimana Polri bertidak secara professional untuk dapat menemukan alat bukti sehingga sangkaan penghinaan atau penyerangan terhadap kehormatan seperti yang dilaporkan oleh sekelompok Advokad dalam sebuah laporan Polisi dalam di susun dengan baik , adapun pasal yang disangkakan adalah merujuk kepada pasal 310 ayat 1 dan 2 KUHP.
Pada dasarnya tidak ada suatu metodologi yang sama dalam pengambilan bukti pada data digital, karena setiap kasus adalah unik sehingga memerlukan penanganan yang berbeda. Walaupun demikian dalam memasukan wilayah hukum formal, tentu saja dibutuhkan suatu aturan formal yang dapat melegalkan suatu investigasi Untuk itu menurut US Department of Justice ada tiga hal yang ditetapkan dalam memperoleh bukti digital : Pertama, Tindakan yang diambil untuk mengamankan dan mengumpulkan barang bukti digital tidak boleh mempengaruhi integritas data tersebut . Kedua , Seseorang yang melakukan pengujian terhadap data digital harus sudah terlatih . Ketiga , Aktivitas yang berhubungan dengan pengambilan, pengujian, penyimpanan atau pentransferan barang bukti digital harus didokumentasikan dan dapat dilakukan pengujian ulang.
Sebagai suatu rangkaian dari kegiatan penyelidikan Polri adalah untuk menentukan suatu peristiwa yang dilaporkan sebagai suatu tindak pidana atau bukan suatu tindak pidana, maka Polisi tidak dapat melanjutkan penyelidikan ke tahap penyidikan, manakala unsur – unsur pidana yang diperlukan dalam pasal 310 ayat 1 KUHP tadi tidak terpenuhi ( khususnya pada unsur “ seseorang “ spesifik menunjuk siapa / person yang diserang) , pada tahap ini sebenarnya Polisi sudah cukup alasan untuk menghentikan penyidikan lebih lanjut, namun bilamana tetap memaksakan untuk melakukan suatu pengumpulan , pengamanan dan penyajian bukti digital sebagai alat bukti yang sah setidaknya Polisi harus memenuhi 5 ( lima ) aturan pokok yang oleh Vacca;2005 dalam Golose disebutkan antara lain:
a. Admissible : bahwa bukti digital dapat dihadirkan dan digunakan sebagai alat bukti pada saat pemeriksaan maupun pada saat sidang di pengadilan, sekedar menampilkan hasil print out dari screen Picture tweeter seseorang adalah tidaklah cukup , Polri perlu menghadirkan data log file milik DI yang digunakan mengakses tweeter dengan memintakan kepada pihak penyelengara jasa jejaring social tadi yang kebetulan berada di Amerika , suatu jalan panjang yang tidak mudah mengingat kebebasan dan hak pribadi menjadi sedemikian terproteksi dalam Amandemen pertama konstitusi Amerika Serikat, apakah polisi mampu dan pertanyaan lainnya apakah pihak tweeter mau memberikan data log file milik akun DI.
b. Authentic : bahwa bukti yang dihadirkan memang memiliki kaitan langsung, relevant terhadap kejahatan yang terjadi, artinya Polisi harus bisa menghadirkan bukti bahwa benar perangkat handphone dengan nomor IMEI sekian ataupun perangkat lainnya, ataupun IP address dengan nomor sekian, dan atau bahwa benar akun tweeter yang digunakan untuk menulis “ Penghinaan “ tersebut adalah milik DI
c. Complete : bahwa bukti yang dikumpulkan bukan hanya dalam perspektif pelaku melakukan kesalahan di suatu situs namun juga mampu menunjukan keberadaan orang lain di situs yang sama namun tidak melakukan kejahatan.Polisi dalam hal ini selain mengumpulkan bukti bahwa benar DI telah menulis suatu penghinaan , pihak kepolisian juga harus bisa menemukan orang yang menyiarkan kembali kicauan Tweeter DI ( retweet) dimana diketahui bahwa Tweeter adalah bersifat tertutup dalam keanggotaan bahwa apa yang ditulis pada dasarnya dalah bersifat tertutup untuk pribadi yang kemudian di retweet secara sukarela oleh pihak lain, selain itu dengan melihat Term Of Service dari jasa layanan Tweeter jelas – jelas disebutkan bahwa pihak penyelenggara tidak bertanggung jawab atas isi dan akibat yang ditimbulkan dari tulisan yang dibuat anggotanya serta segenap konflik yang timbul akan diselesaikan di pengadilan Califonia AS.
d. Reliable : bahwa bukti yang dikumpulkan masuk akal dan sahih karena dalam proses pengumpulan, pengamanan dan penyajian menggunakan metode dan prosedur standar yang benar dan sah , apakah print out terhadap tampilan tweeter sudah sah dan masuk akal dilihat dari standard an kompetensi orang yang membuat.
e. Believable : dapat dengan mudah dipahami dan diyakini oleh disajikan dalam bentuk dan penjelasan yang umum dimengerti awam dan pengadilan sehingga keyakinan atas kepastian bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim, artinya Polisi harus bisa menyajikan kehadapan sidang nantinya bahwa kasus penghinaan tersebut benar dilakukan oleh DI , dengan menggunakan perangkat berupa Smartphone merek X dengan nomor IMEI 1234, dalam kurun waktu yang jelas , dibuat dengan akun atas nama DI sendiri dengan melihat pada log file pada jaringan Internet yang digunakan maupun pada server milik Tweeter di Amerika.
Kesimpulan :
Adapun upaya penyidikan yang sekiranya akan dilakukan oleh kepolisian harus dilakukan berdasarkan proses pencarian , pengumpulan, penyimpanan dan penyajian yang admissible, authentic, complete, reliable, Believable dimana hal hal ini sangat dipengaruhi oleh factor internal profesionalisme dan kemampuan penyidikan dan dukungan alat yang canggih, serta factor eksternal terkait policy perusahaan penyedia content dan kewenangan yuridiksi antar Negara.
Daftar Pustaka :
1. http://twitter.com/tos diakses pada tanggal 12 september 2012.
2. UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
3. Dr. Petrus Reinhard Golose , Seputar Kejahatan Hacking, Teori dan Studi Kasus, YPKIK, Jakarta 2008
4. Niniek Suparni, S.H.,M.H. Cyberspace, Problematika dan Antisipasi penganturannya, Sinar Grafika , Jakarta, 2009.
Tinggalkan Balasan