Muradi memberikan pendapat tentang RUU Kamnas yang sedang digelar, apakah dengan RUU KAMNAS ini kelak akan menjadi obat mujarab ataukah justru menjadi racun bagi demokratisasi dan HAM di Indonesia.
RUU KAMNAS, POLRI DAN OTONOMI DAERAH©
Muradi
I. Pendahuluan
Polemik pembahasan RUU Keamanan Nasional (Kamnas) yang
berlarut-larut sejak lima tahun terakhir, ketika pertama kali RUU tersebut
diajukan oleh Departemen Pertahanan bersama Mabes TNI menggambarkan
bahwa penataan kelembagaan sektor pertahanan dan keamanan belum
seirama. Hal ini tercermin dari penolakan Polri terkait dengan sejumlah draft
RUU Kamnas yang dibuat. Pada era Kapolri Sutanto dan Bambang Hendarso
Danuri, secara tegas menolak RUU Kamnas diteruskan untuk dibahas
menjadi UU dengan berbagai alasan, salah satunya adalah keengganan Polri
di bawah kementerian terkait. Pimpinan Polri beranggapan bahwa di bawah
langsung Presiden adalah realitas politik, sehingga apabila diposisikan di
bawah departemen tertentu akan menyulitkan Polri sebagai sebuah institusi.
Setelah mengalami beberapa revisi, RUU Kamnas1 ternyata pula masih
mengundang perdebatan, baik antar aktor keamanan, khususnya TNI dan
Polri, serta melibatkan institusi lain: Pemerintah Daerah (Pemda) yang dalam
derajat politik tertentu justru memiliki peran signifikan dalam penguatan
demokrasi lokal, terlepas adanya sejumlah anomali-anomali politik yang
mengikutinya. Sebagaimana diketahui, paska pemisahan Polri dari ABRI,
Polri relatif menikmati ‘keleluasaan’ dalam menjalankan peran dan fungsinya
secara proporsional dan professional di tingkat lokal. Bahkan Pemda
menjadikan Polri sebagai mitra strategis dalam konteks Keamanan Dalam
Negeri (Kamdagri) dan Harkamtibmas. Meskipun, hubungan antara
keduanya juga mengalami pasang-surut; tergantung kepemimpinan masingmasing
institusi.
Mengacu pada uraian tersebut, makalah ini akan menguraikan
bagaimana Polri dan juga Pemda dalam RUU Kamnas, baik dalam konteks
institusi, maupun irisan keduanya dalam menjalankan peran dan fungsinya
yang terkait dengan fungsi pemerintahan, Kamdagri, Harkamtibmas, dan
penegakan hukum.2 Selain itu, berkaca pada berbagai kemungkinan posisi
Polri dalam RUU Kamnas tersebut, maka dalam makalah ini juga ditawarkan
sikap yang dapat diambil oleh Polri, dengan berbagai catatan-catatan di
dalamnya.
II. Polri dan Pemda dalam RUU Kamnas
Paska pemisahan Polri dari ABRI membawa konsekuensi positif bagi
Polri. Setidaknya dalam konteks tersebut, Polri menikmati suasana yang lebih
lepas dalam menjalankan peran dan fungsinya secara nasional. Kewenangan
yang dimiliki Polri paska pemisahan dalam dari tingkat pusat hingga tingkat
© Disampaikan sebagai Penanggap Utama pada Seminar Nasional Mengkritisi RUU Keamanan
Nasional, diselenggarakan oleh PP POLRI, 20 Febuari 2012, Grand Hyatt Hotel, Jakarta.
Staf Pengajar Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIP, Universitas Padjadjaran (UNPAD),
Bandung
1 Draft RUU Kamnas tertanggal 30 Maret 2011.
2 Lebih lanjut tentang fungsi kepolisian, lihat Pasal 2, UU No.2/2002.
lokal berbentuk piramida, di mana makin rendah level kepolisian, maka
kewenangan Polri cenderung memiliki keleluasan kewenangan lebih besar
(Lihat Figure 1).
Figure 1
Piramida Kewenangan Polri Paska Pemisahan Polri dari ABRI
Besarnya kewenangan Polri di tingkat lokal inilah membuat hubungan
antara Polri dengan Pemda menjadi lebih strategis dari pada sebelumnya.
Pola hubungan antara Polri dengan pemerintah dalam konteks politik ini
diikuti dengan kewenangan yang dimiliki. Sekedar ilustrasi, karena Polri di
tingkat pusat berada di bawah Presiden, maka efektifitas ruang gerak Polri
relative terbatas, dan besar kemungkinannya terpolitisasi. Sementara
hubungan Polri di level lokal memiliki keleluasaan kewenangan yang efektif,
karena hubungan antara Polri di tingkat lokal dengan pimpinan daerah
bersifat koordinatif, dan tidak terikat oleh kepentingan politik secara
langsung. Tak heran apabila pada berbagai kesempatan, baik yang bersifat
formal maupun informal, pimpinan Polri di tingkat lokal memiliki hubungan
yang baik dengan pimpinan daerah. Forum Muspida dan Komunitas Intelijen
Daerah (Kominda) yang dahulu didominasi oleh militer di tingkat lokal,
paska pemisahan dari ABRI, Polri memiliki peran yang signifikan. Meski
dalam beberapa kasus kewenangan besar yang dimiliki tersebut juga
disalahgunakan untuk kepentingan sejumlah oknum Polri di tingkat lokal
untuk memperkaya diri.3
Namun demikian harus diakui bahwa hubungan antara Polri dengan
Pemda memiliki konteks yang saling membutuhkan satu dengan yang lain,
khususnya pada peran dan fungsi Kamdagri dan Harkamtibmas. Ada relasi
kepentingan yang membuat hubungan kedua institusi tersebut menjadi
3 Lihat Muradi. (2010). Polri, Politik, dan Korupsi. Bandung: PSKN UNPAD. Hal. 12-15.
Mabes
Polda
Polrestabes/Polres
Polsek
begitu strategis khususnya pada pembahasan RUU Kamnas.4 Ada kealpaan
yang sangat krusial dan fatal ketika RUU tersebut mempertegas keberadaan
Dewan Keamanan Nasional (DKN) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
dengan nama Forum Dewan Keamanan Nasional Daerah (FDKND), mana
kala memosisikan kepala daerah menjadi ketua FDKND.5 Selain duplikasi
dari keberadaan Forum Muspida dan juga Kominda, FDKND juga secara
eksplisit akan difungsikan sebagai kepanjangan kepentingan dari DKN untuk
mengontrol dinamika politik lokal atas nama keamanan. Tak heran apabila
sejumlah pihak beranggapan keberadaan DKN dan FDKND itu menjadi
reinkarnasi dari Kopkamtib dan Bakorstanas yang berjaya dan sukses
mematikan aspirasi dan kebebasan publik atas nama stabilitas keamanan di
era Orde Baru.
Apalagi terkait dengan hal tersebut, karena kemungkinan besar Ketua
Harian DKN akan dijabat oleh pejabat Negara setingkat kementerian, di
mana Kementerian Pertahanan menjadi kandidat terkuat untuk mengisi
posisi tersebut. Apalagi, sudah menjadi semacam kesepakatan politik, di
mana pengusul undang-undang biasanya akan mengisi posisi strategis dari
RUU yang disahkan tersebut. Dalam konteks ini di tingkat nasional,
keberadaan Polri akan makin terancam eksistensinya mengingat salah satu
tugas DKN adalah merumuskan kebijakan terkait dengan Kamdagri, di mana
pada UU No. 2/2002 ditegaskan bahwa kewenangan tersebut ada pada
Kapolri. 6 Hal tersebut secara tidak langsung memosisikan Polri hanya
menjadi institusi operasional belaka, bersama dengan TNI dan BIN.7
Konsekuensi dari hal tersebut bagi Polri adalah bahwa salah satu
peran dan fungsi Polri dalam pemberantasan tindak pidana terorisme tidak
lagi otomatis melekat pada Polri sebagaimana yang ditegaskan pada UU No.
15/2003, karena dengan kewenangan DKN, perumusan ancaman terhadap
keamanan nasional menjadi sangat military approach.8 Sehingga bisa saja
pada praktiknya terorisme menjadi ancaman kedaulatan negara, yang mana
penanganannya akan lebih mengedepankan peran militer dari pada Polri.9
Selain itu, RUU Kamnas juga secara tidak langsung menegasikan salah
satu tugas Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dalam menentukan arah
kebijakan Polri sebagai pedoman dalam penyusunan kebijakan teknis Polri.10
4 Lihat pasal 31 hingga pasal 33 RUU Kamnas, Draft tertanggal 30 Maret 2011, terkait dengan
pembentukan FDKND dan unsur-unsur yang terlibat di dalamnya pada level provinsi dan
kabupaten/kota.
5 Lihat Pasal 32 RUU Kamnas, Draft tertanggal 30 Maret 2011.
6 Meski pada Pasal 30 ayat 2 dari RUU Kamnas, ditegas bahwa “Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Kapolri) menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan strategi
Penyelenggaraan fungsi Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, perlindungan, pelayanan, pengayoman, dan penegakan hukum dalam rangka
pelaksanaan keamanan nasional”.
7 Lihat Pasal 29 dan 30 RUU Kamnas, Draft tertanggal 30 Maret 2011.
8 Lihat Pasal 25 RUU Kamnas terkait dengan tugas DKN.
9 Situasi tersebut sangat dimungkinkan mengingat ada keinginan sejumlah pihak untuk
melibatkan militer dalam pemberantasan terorisme, dan berkembangnya wacana bahwa
terorisme tidak hanya terbatas pada kejahatan tindak pidana semata, tapi telah mengancam
kedaulatan Negara, yang mana mempertegas legitimasi militer untuk dilibatkan aktif.
10 Lihat Peraturan Presiden No. 17/2011, tanggal 4 Maret 2011 tentang Komisi Kepolisian
Nasional (KOMPOLNAS), Pasal 4 dan 5.
Hal ini juga mengancam proses penguatan kewenangan Kompolnas dalam
menjalankan peran dan fungsinya agar kinerja Polri professional dan
mandiri. Sebab kewenangan DKN yang besar dan melebar membuat
keberadaan institusi-institusi keamanan lainnya akan tereduksi.11
Pada konteks lokal, sebagaimana diurai di awal, RUU Kamnas secara
langsung akan mengancam harmonisasi peran dan fungsi Polri dan Pemda.
Keberadaan Forum Muspida dan Kominda, yang selama ini berjalan dan
menjadi media bagi Polri untuk berkoordinasi dan berkomunikasi dengan
sejumlah institusi keamananan dan penegak hukum di daerah. Keberadaan
forum tersebut telah memberikan keleluasaan pada Polri untuk
mengefektifkan kewenangannya dalam bidang Kamdagri, Harkamtibmas,
dan juga penegakan hukum. Hal tersebut berbeda kontras pada era Orde
Baru, di mana Polri, khususnya di daerah hanya menjadi pelengkap dari
kegiatan dan pertemuan Muspida. Apalagi kewenangan kepala daerah dalam
konteks Otonomi Daerah sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No.
32/2004 akan pula terkoreksi dengan keberadaan FDKND, yang meski
menjadi ketua FDKND, namun kewenangannya akan dikontrol oleh DKN di
tingkat pusat. Dalam pengertian bahwa seberapapun besarnya kewenangan
kepala daerah dalam FDKND, namun tidak akan cukup memiliki keleluasaan
dalam menjalankan fungsinya. Sehingga, pada praktiknya, kepala daerah
setempat hanya akan menjalankan rumusan kebijakan DKN dari pada
melakukan perumusan kebijakan tingkat lokal.12
Efek negative yang dirasakan Polri pada akhirnya akan terasa, di mana
keleluasaan kewenangan yang selama kurun waktu hampir dua belas tahun
dinikmati oleh Polri, khususnya di tingkat lokal akan terkoreksi. Akan ada
interupsi dan intervensi atas nama stabilitas keamanan oleh militer lokal dan
atau kepala daerah melalui FDKND setempat khususnya pada penegakan
hukum. Bahkan pada kondisi tertentu, dalam RUU Kamnas dimungkinkan
fungsi kepolisian tidak dapat berjalan efektif, karena kewenangan
Harkamtibmas dan penegakan hukum tidak lagi sepenuhnya dipegang oleh
Polri karena sesuatu hal.13
III. Penyikapan Polri
Dari uraian tersebut di atas, Polri sebagai salah satu aktor keamanan
harus terlibat aktif dalam perumusan dan pembahasannya. Hal tersebut
mengandung konsekuensi terhadap eksistensi Polri sebagai institusi, yakni:
Polri mengikuti pembahasan RUU Kamnas dengan sejumlah persyaratan,
yakni: Pertama, Pembahasan RUU Kamnas harus dilakukan lintas komisi
dalam bentuk Panitia Khusus (Pansus), yakni Komisi Pertahanan, Komisi
Pemerintahan, dan Komisi Hukum dan Keamanan, sebagaimana yang
berkembang saat ini. Ketiga Komisi tersebut, Komisi I, II, dan III akan efektif
membahasnya karena RUU Kamnas melibatkan institusi-institusi yang
menjadi mitra ketiga komisi tersebut.
11 Lihat Tugas DKN pada RUU Kamnas, khususnya Pasal 25.
12 Bandingkan kewenangan kepala daerah dalam UU No. 32/2004 dengan Draft RUU
Kamnas, khususnya Pasal 31 dan 32.
13 Lebih lanjut lihat Pasal 34 dan 35 RUU Kamnas, draft tanggal 30 Maret 2011, terkait dengan
pengerahan unsur penyelenggara Keamanan Nasional.
Kedua, perlu ada sejumlah revisi terkait dengan keberadaan DKN di
daerah. Polri dan juga Kemendagri harus secara eksplisit menolak
keberadaan DKN di daerah. Karena sifatnya yang nasional, maka akan elok
apabila DKN hanya ada di level nasional. Sedangkan untuk di daerah RUU
Kamnas harus memberdayakan potensi lokal yang sudah berjalan selama ini:
Forum Muspida dan Kominda. Hal tersebut pada hakikatnya mengurangi
potensi dan peluang kemungkinan militer di tingkat lokal menggunakan
legitimasi dari keberadaan FDKND. Sehingga porsi peran dan fungsi masingmasing
institusi tetap proposional. Di sini juga dipertegas bahwa dengan
tidak adanya DKN di tingkat lokal, maka posisi Polri di lokal tetap memiliki
keleluasaan dan kewenangan yang efektif
Ketiga, posisi ketua harian DKN yang secara implisit mengarah pada
Kementrian Pertahanan sebagai pengusul RUU Kamnas ini. Polri seyogyanya
mendesak agar posisi ketua harian dipertegas dan dipegang oleh
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, karena meluasnya
kewenangan DKN. Dalam pengertian agar pembahasan dan pelaksanaan
DKN bersifat lebih komprehensif karena mencakup lintas institusi, tidak
hanya sebatas pada institusi tertentu semata.
Keempat, tanpa mengurangi esensi dari DKN dalam RUU Kamnas
tersebut. Seyogyanya pula keberadaan Kompolnas tetap strategis, karena
akan menjadi sesuatu yang kurang baik apabila, di satu sisi Kompolnas
melakukan peran dan tugasnya untuk memastikan Polri professional dan
mandiri, sementara DKN secara tidak langsung mengurangi peran dan fungsi
Polri secara sistematis dengan sejumlah pendekatan keamanan, sebagaimana
penjelasan di atas.
Tinggalkan Balasan