BIROKRASI PERIJINAN PENYIDIKAN TERHADAP PEJABAT PENYELENGGARA NEGARA

dpr 1dpr 2dpr 3dpr 4dpr 5dpr 6dpr 7

BIROKRASI PERIJINAN PENYIDIKAN
TERHADAP PEJABAT PENYELENGGARA NEGARA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk melaksanakan amanat tersebut, dibentuklah lembaga-lembaga yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta dapat menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat agar sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lembaga-lembaga tersebut merupakan lembaga penyelenggara negara yang mewakili kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Lembaga penyelenggara negara dalam operasionalisasinya “diawaki” oleh para penyelenggara negara yang mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku . Para penyelenggara negara tersebut meliputi: pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, menteri, gubernur, hakim, dan pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku .
Penyelenggaraan negara oleh para penyelenggara negara diliputi oleh asas-asas yaitu: kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas . Para penyelenggara negara diharapkan dapat melaksanakan tugas melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Implementasi asas-asas penyelenggaraan negara tersebut diharapkan dapat mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Para penyelenggara negara, dalam melaksanakan tugasnya, tidak jarang melakukan penyimpangan. Penyimpangan tersebut dapat berupa penyimpangan dalam bentuk pelanggaran administrasi maupun tindak pidana. Guna mendukung penerapan prinsip-prinsip good governance dalam penyelenggaraan negara, segala bentuk penyimpangan yang diduga dilakukan oleh atau melibatkan para penyelengaara negara tetap harus ditindak tegas. Untuk pelanggaran administrasi, mereka dapat diproses dan dijatuhkan sanksi internal di institusi atau lembaga masing-masing sesuai ketentuan yang berlaku, sedangkan untuk tindak pidana, mereka tetap mengikuti prosedur hukum pidana yang berlaku di Indonesia, yaitu melalui penyidikan, penuntutan dan pengadilan bahkan dijatuhi hukuman apabila terbukti bersalah telah melakukan perbuatan pidana yang disangkakan kepada mereka.
Pasal 27 Amandemen Keempat UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Oleh karena itu, terhadap para penyelenggara negara yang melakukan tindakan pidana tetap harus berhadapan dengan “hukum sebagai panglima” di negeri ini, namun dalam implementasinya, berlaku suatu “aturan khusus” bagi para penyelenggara negara yang diduga terlibat atau melakukan tindak pidana, yaitu: adanya suatu mekanisme birokrasi perijinan yang harus dilakukan apabila penyidik akan melakukan rangkaian tindakan penyidikan terhadap mereka. Mekanisme birokrasi tersebut antara lain disebutkan secara “gamblang” dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 72 Tahun 2005.
Sebagai aparat penegak hukum, Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terhadap semua warga negara Indonesia yang melakukan atau terlibat tindak pidana maupun seluruh warga negara asing yang melakukan atau terlibat tindak pidana pidana di wilayah hukum NKRI. Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut telah secara jelas menentukan suatu mekanisme khusus berupa birokrasi perijinan yang harus ditempuh oleh penyidik Polri apabila tindak pidana yang terjadi diduga dilakukan atau melibatkan para penyelenggara negara. Para penyelenggara negara tersebut meliputi: anggota MPR, anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, anggota DPD, kepala daerah atau wakil kepala daerah, dan kepala desa.
Meskipun telah diatur secara tegas, implementasi mekanisme birokrasi perijinan tersebut masih menemui berbagai kendala. Kendala-kendala tersebut ditemui oleh penyidik Polri yang sedang melakukan penyidikan tindak pidana yang diduga dilakukan atau melibatkan pejabat penyelenggara negara. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2005 sampai 2008, tidak kurang dari 1.437 anggota Dewan di seluruh Indonesia telah diproses hukum dalam kasus korupsi . Dari jumlah itu, 782 orang sudah dijatuhi vonis (bersalah atau tidak), selebihnya 655 kasus terindikasi macet, bahkan sebagian sudah dihentikan . Salah satu penyebabnya adalah izin pemeriksaan yang tidak keluar. Adanya kendala-kendala tersebut dikhawatirkan tidak hanya dapat mengganggu proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri, namun dapat mengganggu kredibilitas Polri di mata masyarakat. Proses penyidikan dapat terhambat bahkan dapat memunculkan “persepsi negatif” masyarakat tehadap Polri yang menganggap bahwa Polri “tidak netral”, “berpihak kepada penguasa”, “tidak profesional” dan anggapan-anggapan negatif lainnya.

1.2. Permasalahan
Implementasi mekanisme birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara yang dilakukan oleh para penyidik Polri masih menemui berbagai kendala. Untuk itu, penulis menentukan permasalahan-permasalahan dalam tulisan ini yaitu: (a) Bagaimanakah birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat negara yang berlaku saat ini?; (b) Kendala-kendala apa saja yang ditemui oleh Penyidik Polri dalam mengimplementasikan birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara?; dan (c) Bagaimana solusi terhadap kendala-kendala yang dihadapi oleh para penyidik Polri dalam mengimplementasikan birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara?

1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud penulis menyusun tulisan ini adalah: (a) menjabarkan birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat negara yang berlaku saat ini; (b) mengidentifikasi dan menginventarisasi kendala-kendala yang ditemui oleh para Penyidik Polri dalam mengimplementasikan birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara; dan (c) merumuskan solusi-solusi terbaik terhadap kendala-kendala yang ditemui para Penyidik Polri dalam mengimplementasikan birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara.
Hasil tulisan ini diharapkan dapat: (a) memberikan gambaran yang jelas mengenai birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat negara yang berlaku saat ini; (b) memberikan gambaran yang jelas mengenai kendala-kendala yang ditemui oleh para Penyidik Polri dalam mengimplementasikan birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara; dan (c) memberikan masukan bagi para pimpinan Polri mengenai solusi terhadap kendala-kendala tersebut sehingga dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam penentuan kebijakan mengenai implementasi birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara bagi para Penyidik Polri sehingga proses penyidikan dapat berjalan lancar dan kredibilitas Polri dapat terjaga di mata masyarakat Indonesia.

BAB II
LANDASAN KONSEPTUAL

2.1. Konsep Birokrasi
Secara etimologi, “birokrasi” berasal dari kata “bureau” dan “kratia”, “bureau” berarti “meja” atau “kantor” dan “kratia” berarti “pemerintahan”. Oleh karena itu, “birokrasi” dapat diartikan sebagai pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dari meja ke meja . Dalam perkembangannya, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendifinisikan birokrasi sebagai:
“(a) sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan; (b) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya” .
Menurut Blau dan Meyer, birokrasi dipandang sebagai tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan mengkoordinasikan banyak orang secara sistematis . Sedangkan Max Weber secara ideal lebih memandang Birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas pejabat-pejabat atau sekelompok yang pasti dan jelas pekerjaannya serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi .
Bintoro Tjokroamidjojo, terkait birokrasi, menyatakan bahwa:
“Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal. Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan ke dalam struktur birokrasi. Dengan demikian, birokrasi disusun sebagai hirarki otoritas yang terelaborasi yang mengutamakan pembagian kerja secara terperinci yang dilakukan sistem administrasi, khususnya aparatur pemerintahan” .
Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Denhard, Feisal Tamin mengemukakan bahwa birokrasi ditandai dengan kinerja yang sarat dengan acuan sebagai berikut:
“(a) Komitmen terhadap nilai-nilai sosial politik yang telah disepakati bersama (publicly defined societal values) dan tujuan politik (political purpose); (b) Implementasi nilai-nilai sosial politik yang berdasarkan etika dalam tatanan manajemen publik (provide an ethical basis for public management); (c) Realisasi nilai-nilai sosial politik (exercising social political values); (d) Penekanan pada pekerjaan kebijakan publik dalam rangka pelaksanaan mandat pemerintah (emphasis on public policy in carrying out mandate of government); (e) Keterlibatan dalam pelayanan publik (involvement overall quality of public services); dan (f) Bekerja dalam rangka penanganan kepentingan umum (operate in public interest)” .
Berdasarkan berbagai definisi dan pengertian birokrasi diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa birokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang terorganisasi secara rasional dan formal serta berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan guna menjalankan dan mewujudkan suatu tujuan yang dikehendaki dengan menurut tata aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan “birokrasi” dalam tulisan ini ialah suatu sistem pemerintahan Republik Indonesia dalam penegakan hukum secara formal, hirarki dan berjenjang guna menerapkan prinsip-prinsip good governance, menegakkan supremasi hukum, dan mewujudkan suatu penyelenggaraan negara yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme menurut peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan sebelumnya.

2.2. Konsep Penyidikan dan Kewenangan Polri dalam Bidang Penyidikan
Penyidikan, dalam KUHAP, diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. Pejabat Polri yang dapat melaksanakan penyidikan disebut dengan penyidik. Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Kewenangan Polri dalam penyidikan tindak pidana diatur antara lain dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kewenangan-kewenangan tersebut antara lain:
1. Pasal 7 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 mengatur kewenangan penyidik meliputi:
“(a) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; (b) melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; (c) menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (d) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) mengambil sidik jari dan memotret seseorang; (g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (h) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (i) mengadakan penghentian penyidikan; dan (j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”.
2. Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 mengatur kewenangan penyidik yaitu: penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
3. Pasal 109 UU No. 8 Tahun 1981 mengatur kewenangan penyidik yaitu:
“(a) Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum; dan (b) Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.
4. Pasal 110 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 mengatur kewenangan penyidik yaitu: dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum.
5. Pasal 112 UU No. 8 Tahun 1981 mengatur kewenangan penyidik yaitu:
“(a) Penyidik yang melakukan pemanggilan dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut; (b) jika orang yang dipanggil tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya”.
6. Pasal 113 UU No. 8 Tahun 1981 mengatur kewenangan penyidik, yaitu: penyidik datang ke tempat kediaman tersangka atau saksi yang dipanggil apabila ia memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang ke penyidik yang akan melakukan pemeriksaan.
7. Pasal 120 UU No. 8 Tahun 1981 mengatur kewenangan penyidik yaitu:
“(a) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus; (b) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta”.
8. Pasal 16 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 menyebutkan kewenangan Polri di bidang proses pidana yaitu:
“(a) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (b) melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (c) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; (d) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (h) mengadakan penghentian penyidikan; (i) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (j) mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; (k) memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil serta menerima hasil penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan (l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab”.
Berdasarkan uraian kewenangan-kewenangan Polri tersebut, penulis menyimpulkan kewenangan Polri di bidang penyidikan tindak pidana meliputi: (1) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (2) melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; (3) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; (4) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (5) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (6) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (7) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (8) mengadakan penghentian penyidikan; (9) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (10) mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; (11) memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil serta menerima hasil penyidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan (12) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2.3. Konsep Penegakan Hukum dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara . Pengertian penegakan hukum dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu: dari sudut subyek dan dari sudut obyeknya.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya, bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Apabila penulis mencermati konsep penegakan hukum dari Prof. Jimly tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa penegakan hukum sebenarnya merupakan suatu proses yang dilakukan untuk menegakkan atau memfungsikan norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum guna mewujudkan tujuan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Proses tersebut melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum dan mencakup nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya, bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penegakan hukum merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum. Tujuan hukum tersebut meliputi: (a) keadilan, yaitu hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya karena hukum hanya dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang adil ; (b) kemanfaatan, yaitu hukum harus menuju ke arah barang apa yang berguna (mengutamakan utilitet utiliteits theory) yang menjamin adanya bahagia sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya ; dan (c) kepastian hukum, yaitu hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu .
Penyidikan merupakan suatu bentuk tindakan penegakan hukum oleh Penyidik Polri. Penyidikan dilakukan untuk menegakkan atau memfungsikan norma hukum yang telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan guna mewujudkan tujuan hukum. Dalam implementasinya, penegakan hukum selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto (2004), dalam bukunya “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, ada lima yang saling berkaitan sangat eratnya dan merupakan esensi dari penegakan hukum serta merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum. Kelima faktor tersebut yaitu:
“(a) Faktor hukumnya sendiri; (b) Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum; (c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; (d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan (e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup” .

2.4. Kerangka Berpikir
Pada hakekatnya, penyidikan sebagai suatu bentuk perwujudan upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Polri bertujuan untuk menegakkan norma hukum yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan guna mewujudkan tujuan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam implementasi penegakan hukum, terdapat suatu “ketentuan khusus” yang berlaku bagi para penyelenggara negara berupa birokrasi perijinan penyidikan terhadap penyelenggara negara.
Adanya birokrasi perijinan penyidikan terhadap penyelenggara negara tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga menimbulkan berbagai permasalahan dalam penyidikan yang dilaksanakan oleh para Penyidik Polri. Permasalahan terjadi ketika ditemuinya beberapa kendala menyangkut birokrasi perijinan penyidikan terhadap penyelenggara negara dalam mengimplementasikan birokrasi tersebut. Kendala-kendala yang ditemui dapat menghambat proses penyidikan sehingga dapat menghalangi pencapaian tujuan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Gambar
Kerangka Berpikir

Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi dan inventarisasi kendala-kendala yang ditemui menyangkut implementasi birokrasi perijinan penyidikan terhadap penyelenggara negara yang berlaku. Kendala-kendala tersebut perlu dicarikan solusi pemecahannya agar dapat diselesaikan dengan baik dan tidak mengganggu proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri. Solusi pemecahan yang dipilih diharapkan dapat mendorong terwujudnya proses penyidikan yang lancar dan sesuai dengan harapan sehingga tujuan hukum dapat tercapai. Pada akhirnya, tercapainya tujuan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Birokrasi Perijinan Penyidikan bagi Pejabat Penyelenggara Negara
Dasar hukum yang dapat dijadikan pedoman penyidik dalam mengajukan permohonan persetujuan melakukan tindakan penyelidikan dan/atau penyidikan terhadap anggota dewan atau kepala daerah yang diduga terlibat tindak pidana yaitu: Pertama, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Kedua, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan Ketiga, Undang-Undang Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Selain itu, penyidik dapat mempedomani peraturan-peraturan lain yang terkait dengan permohonan ijin pemeriksaan tersebut.
Penyelenggara negara yang memperoleh “perlakuan khusus” dalam birokrasi penegakan hukum di Indonesia yaitu: anggota DPRD Kabupaten/Kota, anggota DPRD Provinsi, anggota DPD, anggota DPR RI, anggota MPR RI, kepala daerah/wakil kepala daerah, dan kepala desa. Terhadap para penyelenggara negara tersebut berlaku suatu birokrasi perijinan bila akan melakukan penyidikan terhadap suatu perkara pidana yang diduga dilakukan atau melibatkan mereka. Birokrasi tersebut yaitu:
a. Anggota DPRD Kabupaten/Kota
Berdasarkan Pasal 391 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tindakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap Anggota DPRD Kabupaten/Kota yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Gubernur. Apabila persetujuan tertulis tersebut tidak diberikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila anggota DPRD Kabupaten/Kota tersebut tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
b. Anggota DPRD Provinsi
Berdasarkan Pasal 340 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tindakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap Anggota DPRD Provinsi yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Apabila persetujuan tertulis tersebut tidak diberikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila anggota DPRD Provinsi tersebut tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
c. Anggota DPD
Berdasarkan Pasal 289 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tindakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap Anggota DPD yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden. Apabila persetujuan tertulis tersebut tidak diberikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila anggota DPD tersebut tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.

d. Anggota DPR
Berdasarkan Pasal 220 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tindakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap Anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden. Apabila persetujuan tertulis tersebut tidak diberikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila anggota DPR tersebut tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
e. Anggota MPR
Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tindakan pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap Anggota MPR yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden. Apabila persetujuan tertulis tersebut tidak diberikan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan dapat dilakukan. Ketentuan tersebut tidak berlaku apabila anggota MPR tersebut tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
f. Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah
Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tindakan penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. Apabila persetujuan tertulis tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Persetujuan tertulis tidak diperlukan apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut tertangkap tangan melakukan tindak pidana atau disangka telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati atau telah melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara. Namun, setelah dilakukan tindakan penyidikan, wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam.
g. Kepala Desa
Tindakan penyidikan terhadap kepala desa diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa, dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota. Persetujuan tertulis tidak diperlukan apabila kepala desa tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan atau diduga telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati. Namun, tindakan penyidikan tersebut diberitahukan secara tertulis oleh atasan penyidik kepada Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari.
Selain itu, Berdasarkan Surat Kepala Badan Reserse Kriminal Nomor: B/588/DIT-I/IX/2005/Bareskrim tanggal 27 September 2005, dinyatakan bahwa kelengkapan berkas dalam setiap mengajukan permohonan ijin kepada Presiden RI, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri meliputi: Laporan Polisi (LP); Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP); Hasil Gelar Perkara; Resume atau Laporan Kemajuan yang berisi kasus posisi/ duduk perkara, peran pejabat yang dipanggil/ disidik, analisa yuridis dan penerapan pasal serta kerugian yang ditimbulkan (apabila ada). Ketentuan yang berlaku dalam mengajukan permohonan persetujuan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota dewan atau kepala daerah yang diduga terlibat tindak pidana adalah sebagai berikut:
a. Kepala Daerah dan/ Wakil Kepala Daerah, yaitu: (1) penyidik mengajukan surat permohonan persetujuan tertulis untuk memeriksa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah melalui Bareskrim Polri dengan menyebutkan status terperiksa sebagai tersangka atau saksi serta mencantumkan identitas penyidik; (2) permohonan disertai dengan laporan hasil kemajuan perkara; dan (3) dalam hal terperiksa sebagai saksi, harus menyebutkan tersangkanya; sebelum mulai pemeriksaan, dokumen asli persetujuan tertulis Presiden terlebih dahulu diperlihatkan atau untuk dibaca oleh terperiksa.
b. Anggota MPR, DPR, dan DPD, yaitu: (1) pemeriksaan sebagai tersangka atau saksi harus dengan persetujuan tertulis dari Presiden; (2) permohonan kepada Presiden dilakukan oleh Kapolri dengan menyebutkan status terperiksa dan identitas penyidik; (3) permohonan disertai dengan laporan hasil kemajuan; dan (4) pemanggilan dilakukan dengan menyebutkan persetujuan tertulis Presiden sebagai salah satu dasar; sebelum pemeriksaan, dokumen persetujuan asli diperlihatkan untuk dibaca oleh terperiksa.
c. Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, yaitu: (1) penyidik mengajukan permohonan tertulis dengan menyebutkan status terperiksa sebagai tersangka atau saksi dan mencantumkan identitas penyidik kepada Menteri Dalam Negeri atau Gubernur; permohonan disertai dengan laporan kemajuan singkat; (2) dalam hal status terperiksa sebagai saksi, maka disebutkan siapa tersangkanya; (3) sebelum mulai pemeriksaan, terlebih dahulu dokumen persetujuan asli diperlihatkan untuk dibaca oleh terperiksa.
d. Kepala Desa, yaitu: (1) penyidik mengajukan surat permohonan persetujuan tertulis kepada Bupati/ Walikota; dalam surat tersebut, dijelaskan secara singkat perkara yang ditangani dan siapa tersangkanya; dan (2) setelah mendapat persetujuan, maka penyidik dapat melakukan tindakan kepolisian.
Ketentuan lain yang berlaku dalam birokrasi perijinan penyidikan terhadap penyelenggara negara yaitu:
a. Berdasarkan Surat Telegram Kepala Badan Reserse Kriminal Nomor: ST/96/XI/2006 tanggal 1 November 2006 tentang Tata Cara Pemanggilan atau Penyidikan terhadap Anggota MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, ijin tidak diperlukan dalam hal anggota MPR/ DPR/ DPRD/ Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah berstatus saksi pelapor atau sebagai saksi korban dalam suatu tindak pidana.
b. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2009 tentang Petunjuk Izin Penyelidikan terhadap Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD, ditentukan yaitu: (1) apabila permohonan persetujuan bagi kepala daerah/ wakil kepala daerah belum ada dan telah melewati waktu yang ditentukan (60 hari), maka ijin dari Presiden tersebut dianggap tidak relevan lagi; (2) Ketentuan permohonan ijin bagi anggota MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak diperlukan apabila diduga terlibat tindak pidana korupsi, terorisme dan tindak pidana lain (selain korupsi dan terorisme) yang tertangkap tangan.

3.2. Kendala-Kendala yang dihadapi oleh Penyidik Polri
Kendala yang dihadapi penyidik Polri dalam menempuh birokrasi perijinan penyidikan terhadap penyelenggara negara meliputi: (a) panjangnya birokrasi yang harus ditempuh; (b) lamanya surat persetujuan tersebut diterima; (c) masih sering terjadi kontroversi antara Polri, Kejaksaan dan instansi terkait; (d) keraguan penyidik dalam menindaklanjuti penyidikan tanpa adanya surat persetujuan; dan (e) rentan terhadap terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan selama proses berlangsung.
a. Panjangnya Birokrasi yang harus ditempuh
Birokrasi yang panjang harus ditempuh oleh penyidik Polri apabila mengajukan permohonan persetujuan untuk melakukan penyidikan terhadap penyelenggara negara yang diduga melakukan atau terlibat tindak pidana. Birokrasi itu mungkin nampak tidak terlalu rumit bila penyidik yang menangani adalah penyidik Polri di lingkungan Bareskrim Polri, namun bayangkan apabila penyidik yang menangani kasus tersebut berada di lingkungan Polres atau bahkan polsek. Penyidik harus mengajukan perijinan melalui polres, polda, mabes Polri, sekretariat negara, dan kembali lagi melalui jalur yang sama. Dapat dibayangkan betapa panjangnya jalur yang harus ditempuh hanya sekedar untuk memperoleh persetujuan sebelum melakukan pemanggilan dan pemintaan keterangan terhadap pejabat penyelenggara negara tersebut.
Hal ini juga pernah dikeluhkan oleh Mabes Polri seperti cuplikan dalam sebuah berita online berikut ini:
“Mabes Polri mengeluhkan sulitnya untuk memeriksa pejabat negara yang terkait dengan kasus korupsi. Pemeriksaan pejabat negara seperti anggota MPR, DPR, DPD, atau DPRD baik untuk saksi maupun tersangka yang harus izin presiden dinilai menyulitkan pengungkapan kasus korupsi. Hal ini berbeda dengan KPK, yang tidak memerlukan ijin dari presiden bila ingin melakukan pemeriksaan kepada pejabat Negara” .
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Saud Usman Nasution pernah menyampaikan bahwa: “Sedangkan kalau KPK tidak ada proses perizinan jadi bisa langsung diperiksa” .
b. Lama atau tidak diterimanya Surat Persetujuan
Panjangnya birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara berdampak bagi lamanya waktu yang dibutuhkan agar surat perijinan dapat diterima oleh instansi atau pejabat terkait. Hal ini belum termasuk lamanya surat jawaban yang dibuat oleh instansi yang bersangkutan dan lamanya waktu yang diperlukan untuk kembali lagi kepada penyidik yang menangani perkaranya untuk mulai melakukan pemanggilan atau permintaan keterangan. Apabila dikalkulasikan, betapa banyak waktu yang dibutuhkan dan hal tersebut “tanpa ada kepastian” apakah persetujuan memang akan dibuat atau diberikan kepada penyidik Polri.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mencanangkan one day service bagi ijin pemeriksaan pejabat negara . Beliau juga menyampaikan tidak pernah memperlambat ijin pemeriksaan pejabat negara yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum . Meskipun telah menyatakan hal tersebut, tidak dapat dipungkiri, masih terjadi keterlambatan atau “kemoloran” perijinan bagi pemeriksaan pejabat penyelenggara negara. “Bisa saja keterlambatan surat tersebut sampai di meja kerja Presiden karena semuanya memerlukan proses. Itu kan proses dari daerah ke pusat, lalu ke Seskab (Sekretaris Kabinet) dan saya”, kata Presiden menjawab keluhan Kejakgung melalui sebuah media online .
c. Sering Timbul Kontroversi antara Polri, Kejaksaan dan Instansi Terkait
Kontroversi mengenai birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara sering terjadi. Kontroversi tersebut terjadi meliputi mekanisme, proses, perlunya ijin dan lain sebagainya. Beberapa kejadian antara lain:
 Kontroversi antara Kejakgung dan Seskab
Terkait anggapan “lamban”-nya proses penuntasan kasus korupsi oleh jajaran Kejaksaan, Kajakgung menyatakan bahwa kelambanan tersebut dikarenakan belum adanya persetujuan pemeriksaan pejabat penyelenggara negara dari Presiden. Hal ini dibantah oleh Sekretaris Kabinet bahwa hal tersebut bukan karena presiden lambat merespon, namun karena proses yang harus dilalui.
“Kejaksaan Agung Republik Indonesia pernah mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengajukan 61 permohonan ijin pemeriksaan terhadap pejabat negara kepada Presiden, namun setelah sekian lama belum ada yang turun. Dipo Alam, sekretaris Kabinet menampik hal itu, Ia mengaku baru memproses sejumlah 28 ijin selama dia menjabat sebagai Sekretaris Kabinet Indonesia bersatu II, selain itu tidak ada baik dari Kejaksaan maupun dari kepolisian. Sementara itu, Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, mengaku dari 61 yang dimohonkan ijin tersebut masih diproses di Sekretaris Kabinet tidak ada di meja presiden” .
 Kontroversi antara Polda Jateng dengan Kemendagri
Terkait kasus dua anggota DPRD Jateng, yakni Drs Mustofa dan Doni Meiyudin, SH, Polda Jateng mengajukan ijin pemeriksaan kepada Kemendagri. Ijin tidak keluar, namun pihak kemendagri mengembalikan surat permohonan dengan alasan tidak sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan.
“Mendagri Gamawan Fauzi tidak mau mengeluarkan izin pemeriksaan untuk anggota DPRD yang diajukan pihak kepolisian jika permohonannya tidak diteken Kapolri. Sikap Gamawan ini ditunjukkan ketika merespons permohonan izin pemeriksaan dua anggota DPRD Jateng, yakni Drs Mustofa dan Doni Meiyudin, SH, yang diajukan Polda Jateng. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Reydonnyzar Moenek menjelaskan, pada prinsipnya Mendagri tidak menolak permohonan izin dimaksud. Hanya saja, Gamawan berupaya konsisten menjaga aturan yang berlaku. Kemendagri melayangkan surat jawaban sebagai jawaban pengajuan izin dari Polda Jateng yang menyatakan belum dapat memenuhi permohonan tersebut. Alasannya, karena tidak sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku” .
Masih banyak kontroversi lain yang sering terjadi antara Polri, Kejaksaan dan instansi terkait. Kontroversi-kontroversi tersebut dapat menghambat proses penyidikan yang telah dilakukan sehingga berdampak pada penyelesaian kasus yang sedang ditangani oleh penyidik.
d. Keraguan Penyidik dalam Menindaklanjuti Penyidikan tanpa Surat Persetujuan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa telah secara “tegas” dan “jelas” menyatakan adanya batasan waktu bagi pengajuan perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara. Batasan waktu tersebut yaitu: (1) paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan bagi anggota DPRD Kabupaten/Kota, anggota DPRD Provinsi, anggota DPD, anggota DPR RI dan anggota MPR; (2) paling lambat 60 (enam puluh) hari terrhitung sejak diterimanya permohonan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah ; dan (3) tidak ada batasan waktu bagi kepala desa.
Pengaturan tersebut mengindikasikan bahwa apabila pengajuan telah diajukan dan belum ada ijin selama batasan waktu tersebut, maka penyidik Polri dapat melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap pejabat penyelenggara negara tersebut. Meskipun telah diatur dengan jelas dan tegas, namun tidak jarang para penyidik Polri “masih ragu-ragu” dalam mempedomani ketentuan tersebut. Keragu-raguan sering menyelimuti benak penyidik, sehingga daripada salah bertindak, mereka cenderung tetap menunggu surat persetujuan yang tidak ada kepastian kapan dapat diterima dan ditindaklanjuti.
e. Rentan terhadap Terjadinya Penyimpangan atau Penyalahgunaan
Birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara dapat menimbulkan permasalahan lain, yaitu rentan terhadap terjadinya penyimpangan atau penyelewengan selama proses maupun memanfaatkan birokrasi tersebut baik oleh penyidik yang menangani maupun bagi pihak-pihak yang diduga melakukan atau terlibat tindak pidana. Terkait hal itu, Adnan T. Prabowo dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan:
“Ketentuan itu dapat mereka gunakan untuk menghindar dari proses penyelidikan dan penyidikan. Para penegak hukum pun sering berdalih tidak melanjutkan pemeriksaan atau terhambat memeriksa karena ketiadaan izin tersebut. Kondisi itu tentu memperburuk upaya penegakan hukum terutama jika kasus-kasus itu bersentuhan dengan para penyelenggara negara, khususnya para wakil rakyat dan pejabat negara” .
Ia juga menyatakan bahwa “Selain itu, diskresi yang dilakukan presiden pun dapat terpengaruh karena pasal-pasal dalam kedua undang-undang itu” . Ia berasumsi bahwa “Seorang presiden dapat saja tidak memberikan izin pemeriksaan karena pejabat negara yang terlibat dalam sebuah kasus berasal dari partai yang sama atau memiliki afiliasi politik” .
Kendala-kendala yang dihadapi penyidik tersebut dapat berdampak buruk bagi proses penyidikan yang dilakukan terhadap pejabat penyelenggara negara. Dampak yang mungkin terjadi antara lain: (a) penyidik menjadi enggan menangani atau menindaklanjuti perkara yang dilaporkan; (b) alat bukti termasuk barang bukti dapat hilang atau lebih sulit untuk ditemukan apabila untuk memulainya saja membutuhkan waktu yang lama; (c) calon tersangka dapat dengan mudah mengatur strategi maupun mengupayakan pengaburan atau penghilangan alat bukti terkait perkaranya, sehingga dapat menimbulkan kesulitan bagi penyidik untuk menangani perkara tersebut bila sudah menerima surat persetujuan pemeriksaan; (d) kepastian hukum sulit untuk dipastikan karena tidak ada kepastian disetujui atau tidak maupun kapan surat persetujuan tersebut dapat diterima; dan (e) lebih parah lagi, kondisi tersebut rentan terhadap penyelewengan atau penyimpangan karena tidak menutup kemungkinan keengganan penyidik, panjangnya birokrasi, sulitnya alat bukti diperoleh maupun tidak ada jaminan kepastian hukum memberikan peluang penyelewengan oleh penyidik bersama atau tanpa oknum-oknum yang terkait lainnya.
Kondisi tersebut sangat memprihatinkan apabila tidak segera ditangani dengan baik. Dampak-dampak yang dapat terjadi tersebut akhirnya dapat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Polri akan semakin dinilai tidak profesional, tidak netral, dan tidak “becus” dalam menangani permasalahan, bahkan dapat timbul asumsi atau prasangka buruk masyarakat terhadap Polri bahwa Polri tidak lebih dari “alat penguasa” yang hanya memihak kelompok tertentu dan tidak memihak masyarakat.

3.3. Upaya Mengatasi Kendala
Upaya telah dilakukan oleh pemerintah guna mengantisipasi birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara, yaitu dengan membentuk Tim Evaluasi Akhir Permohonan Penyelidikan, Penyidikan, dan/atau Penahanan Pejabat Negara yang Memerlukan Persetujuan Tertulis Presiden melalui Keputusan Sekretaris Kabinet Nomor 5 Tahun 2010 tertanggal 28 Maret 2010 . Selain itu, Presiden menyarankan pemberlakuan pemberitahuan dibandingkan dengan permohonan perijinan. Hal tersebut disampaikan Presiden dalam sambutan pembuka pada dialog dengan aktivis LSM Antikorupsi di Istana Negara sebagai berikut:
“Pemberitahuan bisa menggantikan, karena pemberitahuan lebih masuk akal dibandingkan dengan izin. Keputusan terbaik tentu akan dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini sedang menangani uji materi pasal 36 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur bahwa pemeriksaan kepala daerah yang terindikasi dalam kasus korupsi memerlukan izin presiden. Kita ikuti prosesnya di MK. Pemberitahuan tentang kepala daerah yang diperiksa atau ditahan karena terlibat kasus korupsi sebenarnya tetap diperlukan” .
Selanjutnya, Ia lalu mencontohkan beberapa tahun sebelumnya pernah terjadi seorang walikota bersama dengan wakilnya ditahan bersamaan karena terlibat kasus korupsi tanpa pemberitahuan kepada Presiden sehingga pemerintah tidak dapat mengangkat caretaker untuk menggantikan mereka .
Kondisi yang dapat terjadi akibat kendala dalam birokrasi perijinan penyidikan sangat memprihatinkan, oleh karena itu, perlu penanganan segera terhadap kendala-kendala tersebut. Alternatif-alternatif yang dapat dilakukan, menurut penulis, antara lain: Pertama, melakukan amandemen terhadap UU terkait yang ada dengan menghilangkan keharusan mengajukan permohonan persetujuan apabila ada anggota dewan atau kepala daerah yang diduga terkait tindak pidana; Kedua, Polri mengambil langkah sebagai polisi protagonis, sesuai dengan konsep hukum progresif dari Satjipto Rahardjo, dengan melakukan terobosan-terobosan hukum, seperti: memangkas birokrasi yang panjang dengan pendelegasian wewenang ke level yang lebih rendah (di bawah Bareskrim) atau ke badan khusus yang dapat fokus memfasilitasi dalam mempercepat birokrasi yang ditempuh atau membentuk tim khusus yang efektif dalam mendukung dan menjamin kelancaran proses.
Amandemen terhadap UU terkait, menurut penulis, perlu dipertimbangkan mengenai adanya keharusan persetujuan tersebut. Dengan adanya keharusan untuk mengajukan permohonan persetujuan terlebih dahulu, seolah-olah menjadikan para penyelenggara negara sebagai “orang-orang istimewa” di hadapan hukum. Apa keistimewaan mereka dibandingkan warga negara lainnya di mata hukum? Hal tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 27 Amandemen Keempat UUD 1945, dimana segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Penulis menyadari bahwa proses amandemen memerlukan waktu dan perdebatan yang cukup panjang, namun kondisi yang sangat mendesak (urgent) di lapangan, mengharuskan ditempuh langkah-langkah bijak dalam mengatasi permasalahan dan mengantisipasi dampak yang mungkin timbul. Oleh karena itu, diperlukan sosok pimpinan Polri yang progresif dalam mengimplementasikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Polri perlu melakukan terobosan-terobosan hukum, seperti: memangkas birokrasi yang panjang dengan pendelegasian wewenang ke level yang lebih rendah (di bawah Bareskrim) atau ke badan khusus yang dapat fokus memfasilitasi dalam mempercepat birokrasi yang ditempuh atau membentuk tim khusus yang efektif dalam mendukung dan menjamin kelancaran proses.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara diatur dalam Pasal 66, Pasal 220, Pasal 289, Pasal 340 dan Pasal 391 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa.
Meskipun telah diatur secara jelas dan tegas, implementasi birokrasi tersebut oleh Penyidik Polri masih menemui beberapa kendala. Kendala-kendala itu antara lain: (a) panjangnya birokrasi yang harus ditempuh; (b) lamanya surat persetujuan tersebut diterima; (c) masih sering terjadi kontroversi antara Polri, Kejaksaan dan instansi terkait; (d) keraguan penyidik dalam menindaklanjuti penyidikan tanpa adanya surat persetujuan; dan (e) rentan terhadap terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan selama proses berlangsung.
Kondisi yang dapat terjadi sangat memprihatinkan, oleh karena itu perlu penanganan segera terhadap kendala-kendala tersebut. Alternatif-alternatif yang dapat dilakukan, menurut penulis, antara lain: Pertama, melakukan amandemen terhadap UU terkait yang ada dengan menghilangkan birokrasi perijinan penyidikan terhadap pejabat penyelenggara negara yang diduga terlibat atau melakukan tindak pidana; Kedua, Polri mengambil langkah sebagai polisi protagonis, dengan melakukan terobosan-terobosan hukum, seperti: memangkas birokrasi yang panjang dengan pendelegasian wewenang ke level yang lebih rendah (di bawah Bareskrim) atau ke badan khusus yang dapat fokus memfasilitasi dalam mempercepat birokrasi yang ditempuh atau membentuk tim khusus yang efektif dalam mendukung dan menjamin kelancaran proses.

4.2. Saran
Penanganan kendala-kendala yang dihadapi oleh para penyidik Polri dalam mengimplementasikan birokrasi perijinan penyidikan terhadap para pejabat penyelenggara negara yang diduga melakukan atau terlibat tindak pidana sangat diperlukan. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar dioptimalkan komunikasi dan kerjasama dengan pihak dan instansi terkait guna menunjang efektifitas upaya-upaya tersebut. Selain itu, diperlukan komitmen dan konsistensi dari pihak Polri untuk terus bekerja dan meningkatkan profesionalisme dalam pelaksanaan tugas.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arrasjid, Chainur, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2008.
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Ed. 1 Cet. 5, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

INTERNET
Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, http://jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf.
Hukumonline.com, Hapuskan Syarat Izin Pemeriksaan Anggota Dewan, 1 Desember 2008, http://hukumonline.com/berita/baca/hol20612/hapuskan-syarat-izin-pemeriksaan-anggota-dewan.
Kompas, Izin Presiden Hambat Penegakan Hukum, Website Komisi Yidisial Republik Indonesia, http://portal-kyri.com/beta/index.php?option=com_content&view=article&id=457:pejabat-negara-izin-presiden-hambat-penegakan-hukum&catid=8:Berita%20Terakhir&Itemid=86.
Ratya, Mega Putra, Polri Keluhkan Sulitnya Periksa Pejabat Negara dalam Kasus Korupsi, DetikNews, 11 November 2011, http://www.detiknews.com/read/2011/11/11/030217/1765047/10/polri-keluhkan-sulitnya-periksa-pejabat-negara-dalam-kasus-korupsi.
Shvoong.com, Pengertian Birokrasi, http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2024105-pengertian-birokrasi/.
Sitanggang, Bungaran, Polemik Ijin Pemeriksaan Pejabat Negara, bsa-lawoffice.blogspot.com, 12 April 2011, http://bsa-lawoffice.blogspot.com/2011/04/polemik-ijin-pemeriksaan-pejabat-negara.html.
Wikipedia.org, Birokrasi, http://id.m.wikipedia.com/wiki/Birokrasi .
Yosa, Birokrasi, Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, 1 Juli 2010, http://itjen-depdagri.go.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=24.
___________, Izin periksa pejabat, SBY: ‘One day service’, Waspada.co.id, 12 April 2011,http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=187217:izin-periksa-pejabat-sby-one-day-service&catid=17&Itemid=30.
____________, SBY Belum Terima 61 Surat Ijin Pemeriksaan Pejabat Negara, presidensby.info, 12 April 2011, http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2011/04/12/6689.html.
_________, Tanpa Melalui Kapolri, Mendagri Tolak Permohonan Izin Pemeriksaan, Harian Equator Online, 23 September 2011, http://www.equator-news.com/utama/hukum/20110923/tanpa-lewat-kapolri-mendagri-tolak-permohonan-izin-pemeriksaan.
_________, Seskab: Tak Ada Surat Ijin Pemeriksaan di Meja Presiden, politikindonesia.com, 11 April 2011, http://www.politikindonesia.com/index.php?k=politik&i=20823.
___________, Presiden: Pemberitahuan Bisa Gantikan Izin Pemeriksaan, Berita Nasional, 26 Januari 2012, http://www.depdagri.go.id/news/2012/01/26/presiden-pemberitahuan-bisa-gantikan-izin-pemeriksaan.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 1999.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 2005.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 123 Tahun 2009.

SUMBER TERKAIT LAINNYA
Surat Kepala Badan Reserse Kriminal Nomor: B/588/DIT-I/IX/2005/Bareskrim, tanggal 27 September 2005, tentang kelengkapan berkas dalam pengajuan ijin pemeriksaan kepada Presiden RI, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Surat Telegram Kepala Badan Reserse Kriminal Nomor: ST/96/XI/2006, tanggal 1 November 2006, tentang Tata Cara Pemanggilan atau Penyidikan terhadap Anggota MPR, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2009, tentang Petunjuk Izin Penyelidikan terhadap Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD.

Tinggalkan komentar

Situs Web WordPress.com.

Atas ↑